Pages

Minggu, 30 Mei 2010

The End of the Affair

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Neil Jordan
Pemain:
Ralph Finnes, Julianne Moore, Stephen Rea

Tahun Rilis: 1999

Film ini diangkat dari novel “The End of the Affair” karya Graham Greene.

JULIANNE Moore sepertinya memang terlahir buat peran-peran melankolis bertabur emosi seperti ini. Beliau memang selalu jago dalam mengukur emosi tokohnya di setiap adegan. Sebut saja peran-peran emosif-nya di film-film lain seperti “The Hours,” “A Single Man,” “Far From Heaven,” “The End of the Affair,” “Magnolia,” “An Ideal Husban,” “Boogie Woogie,” “Blindness,” “The Forgotten,” bahkan sampai film yang mengandung adegan seksual kental berjudul “Savage Grace”. Beliau seakan-akan hampir tidak pernah gagal mengukur dan mengkadar emosinya di setiap peran-perannya.

Dan sekali lagi, Julianne Moore berhasil memukau saya di film ini.

Tahun 1946. London. Cerita dibuka dengan narasi Maurice Bendrix (Ralph Finnes), seorang pengarang. Dalam satu kesempatan, Bendrix bertemu lagi dengan Sarah (Julianne Moore), mantan selingkuhannya, dan suaminya, Henry (Stephen Rea). Setengah bagian film ini disajikan dalam bentuk semacam flashback bolak-balik. Bendrix yang masih menyimpan rasa cinta pada Sarah pun akhirnya menyewa detektif untuk menguntit Sarah, sembari itu flashback masa-masa perselingkuhan mereka pun bergulir bergantian. Kedua plot masa lampau dan masa sekarang itu pun dipersatukan di satu titik (adegan) oleh diary. Dari buku harian Sarah (yang tentunya didapat oleh sang detektif), Bendrix akhirnya mendapati alasan kenapa wanita pujannya itu memutuskan untuk meninggalkannya sepihak. Sarah sudah membuat janji dengan Tuhan.

Kurang lebih begitulah garis besar cerita drama melankolis ini.

Plot dan pace film ini sangat terjaga. Tidak terasa pergerakan-pergerakan mendadak plot yang terasa menganggu atau menjablak. Alur film terjaga pelan - dan selalu konstan pada alur pelan itu. Penggambaran masing-masing adegan pun sangat cantik. Paling terasa di adegan seks-nya: tergambar evokatif dan jatuhnya tidak menjijikkan. Malah saya berani bilang, inilah contoh film-film percintaan yang pace-nya, romansanya, hingga sensualitasnya sangat terjaga.

Alasan Sarah meninggalkan Bendrix adalah sentral masalah film ini. Saya yakin sebagian besar penonton (yang menyimak) tentu bakal mempertanyakan hal itu pula (sesuai judulnya juga). Namun, sang sutradara yang memang konsisten dengan sudut pandang filmnya membiarkan hal itu tidak terjawab dengan cara yang tepat (dengan hanya memberikan kemungkinan-kemungkinan kecil yang dapat diambil). Satu-satunya jawaban yang paling meyakinkan (dan disugestikan oleh dialog tokoh Sarah sendiri) bahwa beliau sudah membuat janji dengan Tuhan yang sudah mengabulkan doanya, menyelamatkan nyawa Bendrix. Sarah pun melanjutkan, semakin waktu berjalan semakin dia merasa cintanya hanya terisi untuk Tuhan. Tapi di adegan lain lain, Sarah mengakui tidak lagi menemui Bendrix juga merupakan kutukan. Namun yang jadi pertanyaan (layaknya penonton diposisikan pada tokoh Bendrix), benarkah itu alasan Sarah yang sebenarnya? Seperti apakah sosok Sarah ini sesungguhnya? Sedalamkah itu keyakinan Sarah? Kenapa dia tiba-tiba memilih untuk tidak mau lagi menemui Bendrix?

Film ini tidak memberikan jawabannya. Dan itu hal menariknya. Satu-satunya jawaban, dari saya, adalah film ini menuntut penontonnya untuk mempelajari (menyelami) tokohnya (terutama Sarah dan keyakinannya). This is a rare movie about character reading.

Untungnya, Julianne Moore yang dibebani tugas berat memerankan tokoh Sarah.

http://2.bp.blogspot.com/-uLSbCumGA8Y/TWvGJW9zNXI/AAAAAAAACMs/-4gJX4bAOu8/s1600/B.bmp

Tidak ada komentar:

Posting Komentar