Oleh: Rio Johan (Rijon)Sutradara: Olivier Masset-Depasse
Pemain: Anne Coesens, Alexandre Gontcharov, Milo Masset-Depasse, Natalia Belokonskaya, Olga Zhdanova, Tomasz Bialkowski, Denis Dupont, Moktar Belletreche, David Leclercq, Gregory Loffredo, Christophe Vincent, Christelle Cornil, Olivier Funcken, Angelo Dello Spedale, Fabienne Mainguet
Tahun Rilis: 2010
Judul Internasional: Illegal
Perwakilan dari Belgia untuk Best Foreign Language Oscar 2011 ini mengambil formula yang sebenarnya sudah sangat umum: perjuangan si ibu demi anak. Yah, kira-kira film ini duduk di barisan yang sama dengan Madeo-nya Korea Selatan, Changeling-nya Clint Eastwood, Some Mother's Son yang dibintangi Helen Mirren, dan beberapa judul terkenal lainnya. Yang membuat Illégal menarik adalah suasana klasutrofobia yang terjalin melalui jeruji-jeruji pusat penahanan dan subyek riskan yang terbilang kontroversial tidak hanya bagi Belgia, tetapi juga negara-negara lainnya.
Film ini serupa dengan Madeo dan Changeling, di mana sang sutradara memanfaatkan tetesan air mata perjuangan seorang ibu untuk mengkritik – cenderung memojokkan – ketidakbecusan dan ketidakmanusiawian sebuah instansi pemerintahan lengkap dengan aparat-aparatnya. Dan suasana klaustrofobia jeruji penjara kental ala If I Want to Whistle, I Whistle membuat film ini seakan-akan seperti Changeling yang berada di dalam film Romania tersebut.
Di sini, Olivier Masset-Depasse memancing simpati penontonnya pada sosok seorang Tania (Anne Coesens) untuk mengkritik kekerasan yang seringkali dilakukan oleh petugas-petugas imigrasi. Tania dan putranya Ivan (Alexandre Gontcharov), sepasang ibu-anak asal Rusia, adalah imigran gelap di Belgia. Mereka sudah tinggal secara ilegal di Belgia bahkan sejak Ivan masih kecil. Selama itu mereka menggunakan jasa dari mafia Rusia untuk mendapatkan surat-surat palsu. Selama itu juga penolakan ijin tinggal tetap yang resmi selalu didapat.
Tepat di hari ulang tahun Ivan yang ke-14, ketika Tania masih menjemput putranya di sekolah dengan wajah berseri-seri sementara kejutan ulang tahun di rumah sudah menanti, keduanya tertangkap basah oleh dua orang polisi tengah menggunakan bahasa Rusia. Pemerksiaan pun dilakukan. Tania panik. Ivan berhasil kabur. Tania tertangkap dan dibawa ke pusat penahanan, tempat di mana sebagian besar cerita ini bergulir.
Penonton mengikuti pengalaman Tania menjalani serangkaian proses, mulai dari interogasi sopan, interogasi keras, upaya kabur, hingga deportasi dengan kekerasan. Mulanya, sekeras apapun petugas menginterogasi, Tania bersikukuh menolak memberi informasi. Tania menolak memberi nama. Pun juga kewarganegaraan. Jelas saja, bayang-bayang deportasi – yang artinya berpisah dengan putranya – jelas akan semakin dekat bila ia membocorkan informasi diri. Terlebih putranya bakal turut ternacam apabila ia bocor sedikit saja. Satu-satunya obsesi Tania adalah menghindari, terutama bagi putranya, deportasi.
Akhirnya Tania berbohong dengan menggunakan nama temannya. Namun, sejarah imigras temannya itu ternyata menjadi bumerang sendiri bagi Tania – Tania tidak tahu mendetil sejarah imigrasi temannya. Kali ini Tania malah terancam dideportasi ke Polandia
Seperti yang saya bilang sebelumnya, Illégal mengusung suasana klaustrofobia yang kental. Satu-satunya koneksi Tania ke dunia luar hanyalah telepon umum yang digunakan untuk bercakap-cakap dengan Ivan. Melalui telepon itu juga Tania mengetahui bahwa putranya terpaksa (atau dipaksa) bekerja untuk mafia Rusia (yang sebelumnya membantu mendapatkan identitas palsu). Situasi Tania semakin sulit – terutama bagi seorang wanita. Tania semakin tidak ingin meninggalkan Ivan. Ibu mana yang lega mendengar putranya bekerja untuk mafia? Di sisi lain, Tania dihadapkan pada dinding tinggi deportasi.
Di pusat penahanan itu Tania berteman dengan beberapa wanita. Dan melalui wanita-wanita tersebut Olivier Masset-Depasse mencoba menyisipkan kritik terhadap pemerintahan (tidak perlu diberi tahu institusi apa kan?). Tania berteman dengan Eva (Akemi Letelier) dan putrinya, imigran gelap Latin yang tinggal menunggu nasib deportasi. Dengan Aïssa (Esse Lawson), wanita negro yang mengalami penyiksaan-fiksi-tidak-manusiawi dari petugas imigrasi. Juga bertemu dengan Lieve (Christelle Cornil), petugas imigrasi yang menghadapi dilema dengan moral dan nuraninya dalam bertugas.
Penampilan tegas, serius, sekaligus misterius dari Anne Coesens adalah salah satu faktor yang menghidupkan film ini. Anne Coesens cukup berhasil menyuguhkan kebingungan yang mendalam bagi penontonnnya.
Untuk ukuran jenisnya, Illégal bukanlah yang terbaik. Sebagai sesama film tentang usaha melarikan diri, kronik di dalam Illégal tidak serapi If I Want to Whistle, I Whistle. Tapi Illégal bukanlah film yang buruk. Film ini punya tantangan sendiri, dan punya risiko tersendiri bagi penontonnya. Satu bagian yang paling penting (menurut saya) adalah ketika Lieve bertanya pada Tania: Apakah semua upayanya itu sepadan? Apakah pulang ke rumah – deportasi – benar-benar bukan pilihan? Sia-siakah yang Tania perjuangkan?
Pemain: Anne Coesens, Alexandre Gontcharov, Milo Masset-Depasse, Natalia Belokonskaya, Olga Zhdanova, Tomasz Bialkowski, Denis Dupont, Moktar Belletreche, David Leclercq, Gregory Loffredo, Christophe Vincent, Christelle Cornil, Olivier Funcken, Angelo Dello Spedale, Fabienne Mainguet
Tahun Rilis: 2010
Judul Internasional: Illegal
Perwakilan dari Belgia untuk Best Foreign Language Oscar 2011 ini mengambil formula yang sebenarnya sudah sangat umum: perjuangan si ibu demi anak. Yah, kira-kira film ini duduk di barisan yang sama dengan Madeo-nya Korea Selatan, Changeling-nya Clint Eastwood, Some Mother's Son yang dibintangi Helen Mirren, dan beberapa judul terkenal lainnya. Yang membuat Illégal menarik adalah suasana klasutrofobia yang terjalin melalui jeruji-jeruji pusat penahanan dan subyek riskan yang terbilang kontroversial tidak hanya bagi Belgia, tetapi juga negara-negara lainnya.
Film ini serupa dengan Madeo dan Changeling, di mana sang sutradara memanfaatkan tetesan air mata perjuangan seorang ibu untuk mengkritik – cenderung memojokkan – ketidakbecusan dan ketidakmanusiawian sebuah instansi pemerintahan lengkap dengan aparat-aparatnya. Dan suasana klaustrofobia jeruji penjara kental ala If I Want to Whistle, I Whistle membuat film ini seakan-akan seperti Changeling yang berada di dalam film Romania tersebut.
Di sini, Olivier Masset-Depasse memancing simpati penontonnya pada sosok seorang Tania (Anne Coesens) untuk mengkritik kekerasan yang seringkali dilakukan oleh petugas-petugas imigrasi. Tania dan putranya Ivan (Alexandre Gontcharov), sepasang ibu-anak asal Rusia, adalah imigran gelap di Belgia. Mereka sudah tinggal secara ilegal di Belgia bahkan sejak Ivan masih kecil. Selama itu mereka menggunakan jasa dari mafia Rusia untuk mendapatkan surat-surat palsu. Selama itu juga penolakan ijin tinggal tetap yang resmi selalu didapat.
Tepat di hari ulang tahun Ivan yang ke-14, ketika Tania masih menjemput putranya di sekolah dengan wajah berseri-seri sementara kejutan ulang tahun di rumah sudah menanti, keduanya tertangkap basah oleh dua orang polisi tengah menggunakan bahasa Rusia. Pemerksiaan pun dilakukan. Tania panik. Ivan berhasil kabur. Tania tertangkap dan dibawa ke pusat penahanan, tempat di mana sebagian besar cerita ini bergulir.
Penonton mengikuti pengalaman Tania menjalani serangkaian proses, mulai dari interogasi sopan, interogasi keras, upaya kabur, hingga deportasi dengan kekerasan. Mulanya, sekeras apapun petugas menginterogasi, Tania bersikukuh menolak memberi informasi. Tania menolak memberi nama. Pun juga kewarganegaraan. Jelas saja, bayang-bayang deportasi – yang artinya berpisah dengan putranya – jelas akan semakin dekat bila ia membocorkan informasi diri. Terlebih putranya bakal turut ternacam apabila ia bocor sedikit saja. Satu-satunya obsesi Tania adalah menghindari, terutama bagi putranya, deportasi.
Akhirnya Tania berbohong dengan menggunakan nama temannya. Namun, sejarah imigras temannya itu ternyata menjadi bumerang sendiri bagi Tania – Tania tidak tahu mendetil sejarah imigrasi temannya. Kali ini Tania malah terancam dideportasi ke Polandia
Seperti yang saya bilang sebelumnya, Illégal mengusung suasana klaustrofobia yang kental. Satu-satunya koneksi Tania ke dunia luar hanyalah telepon umum yang digunakan untuk bercakap-cakap dengan Ivan. Melalui telepon itu juga Tania mengetahui bahwa putranya terpaksa (atau dipaksa) bekerja untuk mafia Rusia (yang sebelumnya membantu mendapatkan identitas palsu). Situasi Tania semakin sulit – terutama bagi seorang wanita. Tania semakin tidak ingin meninggalkan Ivan. Ibu mana yang lega mendengar putranya bekerja untuk mafia? Di sisi lain, Tania dihadapkan pada dinding tinggi deportasi.
Di pusat penahanan itu Tania berteman dengan beberapa wanita. Dan melalui wanita-wanita tersebut Olivier Masset-Depasse mencoba menyisipkan kritik terhadap pemerintahan (tidak perlu diberi tahu institusi apa kan?). Tania berteman dengan Eva (Akemi Letelier) dan putrinya, imigran gelap Latin yang tinggal menunggu nasib deportasi. Dengan Aïssa (Esse Lawson), wanita negro yang mengalami penyiksaan-fiksi-tidak-manusiawi dari petugas imigrasi. Juga bertemu dengan Lieve (Christelle Cornil), petugas imigrasi yang menghadapi dilema dengan moral dan nuraninya dalam bertugas.
Penampilan tegas, serius, sekaligus misterius dari Anne Coesens adalah salah satu faktor yang menghidupkan film ini. Anne Coesens cukup berhasil menyuguhkan kebingungan yang mendalam bagi penontonnnya.
Untuk ukuran jenisnya, Illégal bukanlah yang terbaik. Sebagai sesama film tentang usaha melarikan diri, kronik di dalam Illégal tidak serapi If I Want to Whistle, I Whistle. Tapi Illégal bukanlah film yang buruk. Film ini punya tantangan sendiri, dan punya risiko tersendiri bagi penontonnya. Satu bagian yang paling penting (menurut saya) adalah ketika Lieve bertanya pada Tania: Apakah semua upayanya itu sepadan? Apakah pulang ke rumah – deportasi – benar-benar bukan pilihan? Sia-siakah yang Tania perjuangkan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar