Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Aleksandr Petrov
Tahun Rilis: 1992
Judul Internasional: The Dream of a Ridiculous Man
Diadaptasi dari cerpen The Dream of a Ridiculous Man (1887) karya Fyodor Dostoevsky.
Dengan tidak menyepelekan/mengesampingkan animasi-animasi mainstream yang sudah merajalela, menurut saya Aleksandr Petrov adalah salah satu animator langka, berkelas, dan terbaik dewasa ini–sekaligus salah satu animator paling underrated dewasa ini. Bukan berarti karya-karya Aleksandr Petrov tidak pernah mendapat pengakuan dunia, sebut saja The Cow, Mermaid, The Old Man and the Sea, dan My Love, yang berhasil masuk jajaran nominator Academy Awards for Best Animated Short Film. Bahkan The Old Man and the Sea berhasil meraup penghargaan tersebut. Hanya saja, cukup wajar buat saya kalau namanya tidak seterkenal Hayao Miyazaki atau sutradara-sutradara Pixar, misalnya, karena sejauh ini beliau hanya memproduksi animasi-animasi pendek (karyanya dengan durasi paling lama adalah My Love, kurang lebih 26 menit). Rasanya cukup dimengerti juga kenapa sejauh ini Aleksandr Petrov hanya berkutat pada film-film animasi berdurasi singkat. Bayangkan saja, Aleksandr Petrov menghabiskan waktu dua setengah tahun untuk memproduksi The Old Man and the Sea yang hanya berdurasi kurang lebih 20 menit. Dan konon untuk melukis lebih dari 29000 frame film tersebut, Aleksandr Petrov menghabiskan waktu dari Maret 1997 sampai April 1999.
Animasi-animasi karya Aleksandr Petrov sangat berbeda dengan animasi umumnya yang beredar di pasaran. Aleksandr Petrov menggunakan teknik paint-on-glass animation–gaya animasi yang sangat jarang ditemui (dan entah bagaimana ceritanya, kebanyakan animasi bergaya seperti ini merupakan bikinan animator Rusia). Animator lain yang piawai menggunakan teknik ini adalah Vladimir Samsonov. Penjelasan singkatnya, animasi seperti ini merupakan manipulasi gerakan (teknik animasi klasik) pada lukisan minyak di atas selembar kaca.
Yang membuat Aleksandr Petrov langka bukan hanya sekedar teknik animasinya, tapi juga bagiamana beliau memanfaatkan gaya animasinya tersebut pada substansi filmnya. Dalam The Dream of a Ridiculous Man ini, Aleksandr Petrov memanfaatkan teknik animasinya pada sebuah kisah surrealis-ekistensialis. Sialnya, teknik tersebut berdampak cukup besar pada nuansa surrealisme yang dihadirkan. Atau dengan bahasa singkatnya, Aleksandr Petrov cenderung mampu memanfaatkan tekniknya untuk menghasilkan kekuatan visual (bahasa gambar/animasi) yang menakjubkan.
Film yang diangkat dari cerpen klasik ini terbilang sangat sulit untuk diikuti, terutama bagi yang belum terbiasa dengan bentuk/gaya animasinya. Film ini lebih seperti sebuah monolog di mana sang tokoh utama menarasikan kisahnya di balik layar (voice over), sementara penonton menyaksikan satu per satu scene yang dijelaskannya. Tokoh utamanya adalah seorang pria paruh baya yang hendak bunuh diri tapi digagalkan oleh seorang gadis kecil yang tiba-tiba datang memanggilnya (meminta pertolongan padanya).
Film dibuka dengan beberapa monolog berupa perbandingan. “It was like on earth but it was lit up by some unholy exultation.” Kalimat pembuka ini bisa diartikan menjadi bermacam-macam versi. Bisa saja berupa pernyataan kebingungan yang dirasa narator (si pria) antara alam yang dirasakannya sekarang (alam mimpi, kalau merancu pada judul film) dengan alam nyata (Bumi). Bisa juga diartikan sebagai sebuah cemoohon/sindiran bagi kemanusiaan, kalau merancu pada kalimat selanjutnya: “I had never seen such beauty in a human being on earth, except for in our earthly children in the first year of their lives. As I look on their faces for the first time, I comprehended everything. Everything!” Narator bisa saja diartikan sedang membandingkan kemanusiaan dengan innocence (keluguan/kepolosan). Atau kalau mau diartikan secara keseluruhan, narator tidak lain sedang berbicara soal takdir, kemanusiaan, dan eksistensialisme. Apalagi selanjutnya narator menyatakan (“setiap kali dia melihat wajah lugu kanak-kanak”): “It was an earth of no-sinners. Only innocent people lived here.”
Masuk ke area bunuh dirinya. Si pria (narator) berkali-kali mempertanyakan persolaan takdir dan eksistensi: terutama mencari alasan kuat baginya untuk tetap hidup. Si pria merasakan pengasingan dari kehidupan modern, dan seperti yang sudah diketahui, pengasingan adalah hal produk/dampak revolusi (setting film ini). Gagal menemukan alasan yang cukup kuat untuk tetap hidup, si pria memutuskan untuk menembak kepalanya. Tiba-tiba datang gadis kecil memohon padanya untuk menyelamatkan ibunya. Pada poin ini, sekalipun si pria tidak menyelamatkan ibunya, gadis kecil tersebut sudah menjadi titik baliknya pada kemanusiaan. Usai adegan ini, monolog si pria masih mempertanyakan takdir kemanusiaannya. Sampai akhirnya datanglah adegan kenapa film (dan cerpen ini) berjudul: The Dreams of a Ridiculous Man. Karena si pria tertidur, bermimpi, dan mimpinya cenderung menggelikan (secara filosofis menggelikan, karena si pria bahkan tetap mempertanyakan takdir, kemanusian, dan eksistensi dalam mimpinya).
Adegan mimpi ini berlangsung sangat absurd dan surreal. Tidak banyak yang dapat dijelaskan sejelas-jelasnya, karena pada dasarnya ini adegan mimpi, dan mimpi tidak terlalu bertopang pada logika riil. Tapi benarkah ini mimpi? Atau malah semacam “penglihatan”? Atau ada sangkut pautnya dengan trauma, alam sadar, dan alam bawah sadar–saya tidak terlalu tahu area ini karena saya bukan dokter, psikolog, atau psikiater? Satu hal yang pasti saya tangkap, alam mimpi ini digambarkan sangat surgawi, dan sangat idealis di mana tidak ada permusuhan, perkelahian, kecemburuan, pengkhianatan–segala macam tingkah-laku manusia yang jauh dari kemanusiaan. Dunia ideal seperti ini lah yang selalu menjadi pertanyaan si pria itu. Di mimpi ini si pria menembak dadanya, dan tiba di dunia surgawi ini. Dunia yang masih murni, masih polos, belum tercemar. Apakah dunia tersebut adalah surga? Saya rasa bukan, dunia ini lebih tepat disebut utopia yang ada di bayangan si pria.
Si pria, yang notabene datang masyarakat yang lebih modern, membawa sesuatu yang dinamakan pengetahuan. Akibatnya, dunia ini mulai tercemar oleh pengetahuan: kehilangan keharmonias, korupisi, kompetisi, perang, kegilaan seksual–semua hal yang tidak manusiawi. Untungnya si pria datang ke dunia baru ini tidak hanya membawa pengetahan, tapi juga kemanusiaan. Dengan modal kemanusiaan dan pengetahuan, manusia-manusia tersebut menciptakan sesuatu yang disebut hukum dan etika, yang keduanya notabene merupakan perwujudan moral yang lagi-lagi produk manusia-manusia itu sendiri. Tapi tentu manusia-manusia yang tinggal di dunia terebut bukan manusia-manusia modern yang bisa belajar cepat, kemanusiaan dan pengetahuan tidak bisa ditanamkan secara instan, hasilnya hal-hal yang dibawa si pria malah mersak dunia baru tersebut. Sekalipun nilai-nilai hukum dan etika sudah dibuat, kalau pondasinya tidak kuat, lantas hancur juga. Bagian ini disimbolismekan dengan adegan seseorang dengan gampang menendang pondasi menara manusia (kemanusiaan) yang dibangun. Menara tersebut runtuh, dan manusia menjadi kacau-balau.
Tapi benarkah hal terebut adalah sebuah kesalahan dari pengetahuan? Bukankah pengetahuan punya sisi lain selain sisi tajamnya yang merusak? Untuk menjawab pertanyaan ini kembali lagi ke permasalahaan awal yang dirasakan si pria: Kenapa si pria memutuskan untuk bunuh diri? Karena si pria tidak puas dengan kehidupannya. Karena si pria tidak menemukan alasan yang kuat baginya untuk tetap hidup. Sebuah alasan eksistensialisme. Arti dari semua mimpi yang dirasakan si pria itu adalah sebuah pilihan: Apabila Anda disuruh memilih antara hidup di dunia surgawi (bukan surga) dimana tidak ada pilihan selain menjalani hidup yang baik, atau hidup di dunia yang Anda sendiri menjalankan hidup menuju hidup yang baik? Yang mana yang Anda pilih? Yang mana yang dipilih si pria di film ini? Karena itu lah kisah ini diberi judul: The Dream of a Ridiculous Man.
Sutradara: Aleksandr Petrov
Tahun Rilis: 1992
Judul Internasional: The Dream of a Ridiculous Man
Diadaptasi dari cerpen The Dream of a Ridiculous Man (1887) karya Fyodor Dostoevsky.
Dengan tidak menyepelekan/mengesampingkan animasi-animasi mainstream yang sudah merajalela, menurut saya Aleksandr Petrov adalah salah satu animator langka, berkelas, dan terbaik dewasa ini–sekaligus salah satu animator paling underrated dewasa ini. Bukan berarti karya-karya Aleksandr Petrov tidak pernah mendapat pengakuan dunia, sebut saja The Cow, Mermaid, The Old Man and the Sea, dan My Love, yang berhasil masuk jajaran nominator Academy Awards for Best Animated Short Film. Bahkan The Old Man and the Sea berhasil meraup penghargaan tersebut. Hanya saja, cukup wajar buat saya kalau namanya tidak seterkenal Hayao Miyazaki atau sutradara-sutradara Pixar, misalnya, karena sejauh ini beliau hanya memproduksi animasi-animasi pendek (karyanya dengan durasi paling lama adalah My Love, kurang lebih 26 menit). Rasanya cukup dimengerti juga kenapa sejauh ini Aleksandr Petrov hanya berkutat pada film-film animasi berdurasi singkat. Bayangkan saja, Aleksandr Petrov menghabiskan waktu dua setengah tahun untuk memproduksi The Old Man and the Sea yang hanya berdurasi kurang lebih 20 menit. Dan konon untuk melukis lebih dari 29000 frame film tersebut, Aleksandr Petrov menghabiskan waktu dari Maret 1997 sampai April 1999.
Animasi-animasi karya Aleksandr Petrov sangat berbeda dengan animasi umumnya yang beredar di pasaran. Aleksandr Petrov menggunakan teknik paint-on-glass animation–gaya animasi yang sangat jarang ditemui (dan entah bagaimana ceritanya, kebanyakan animasi bergaya seperti ini merupakan bikinan animator Rusia). Animator lain yang piawai menggunakan teknik ini adalah Vladimir Samsonov. Penjelasan singkatnya, animasi seperti ini merupakan manipulasi gerakan (teknik animasi klasik) pada lukisan minyak di atas selembar kaca.
Yang membuat Aleksandr Petrov langka bukan hanya sekedar teknik animasinya, tapi juga bagiamana beliau memanfaatkan gaya animasinya tersebut pada substansi filmnya. Dalam The Dream of a Ridiculous Man ini, Aleksandr Petrov memanfaatkan teknik animasinya pada sebuah kisah surrealis-ekistensialis. Sialnya, teknik tersebut berdampak cukup besar pada nuansa surrealisme yang dihadirkan. Atau dengan bahasa singkatnya, Aleksandr Petrov cenderung mampu memanfaatkan tekniknya untuk menghasilkan kekuatan visual (bahasa gambar/animasi) yang menakjubkan.
Film yang diangkat dari cerpen klasik ini terbilang sangat sulit untuk diikuti, terutama bagi yang belum terbiasa dengan bentuk/gaya animasinya. Film ini lebih seperti sebuah monolog di mana sang tokoh utama menarasikan kisahnya di balik layar (voice over), sementara penonton menyaksikan satu per satu scene yang dijelaskannya. Tokoh utamanya adalah seorang pria paruh baya yang hendak bunuh diri tapi digagalkan oleh seorang gadis kecil yang tiba-tiba datang memanggilnya (meminta pertolongan padanya).
Film dibuka dengan beberapa monolog berupa perbandingan. “It was like on earth but it was lit up by some unholy exultation.” Kalimat pembuka ini bisa diartikan menjadi bermacam-macam versi. Bisa saja berupa pernyataan kebingungan yang dirasa narator (si pria) antara alam yang dirasakannya sekarang (alam mimpi, kalau merancu pada judul film) dengan alam nyata (Bumi). Bisa juga diartikan sebagai sebuah cemoohon/sindiran bagi kemanusiaan, kalau merancu pada kalimat selanjutnya: “I had never seen such beauty in a human being on earth, except for in our earthly children in the first year of their lives. As I look on their faces for the first time, I comprehended everything. Everything!” Narator bisa saja diartikan sedang membandingkan kemanusiaan dengan innocence (keluguan/kepolosan). Atau kalau mau diartikan secara keseluruhan, narator tidak lain sedang berbicara soal takdir, kemanusiaan, dan eksistensialisme. Apalagi selanjutnya narator menyatakan (“setiap kali dia melihat wajah lugu kanak-kanak”): “It was an earth of no-sinners. Only innocent people lived here.”
Masuk ke area bunuh dirinya. Si pria (narator) berkali-kali mempertanyakan persolaan takdir dan eksistensi: terutama mencari alasan kuat baginya untuk tetap hidup. Si pria merasakan pengasingan dari kehidupan modern, dan seperti yang sudah diketahui, pengasingan adalah hal produk/dampak revolusi (setting film ini). Gagal menemukan alasan yang cukup kuat untuk tetap hidup, si pria memutuskan untuk menembak kepalanya. Tiba-tiba datang gadis kecil memohon padanya untuk menyelamatkan ibunya. Pada poin ini, sekalipun si pria tidak menyelamatkan ibunya, gadis kecil tersebut sudah menjadi titik baliknya pada kemanusiaan. Usai adegan ini, monolog si pria masih mempertanyakan takdir kemanusiaannya. Sampai akhirnya datanglah adegan kenapa film (dan cerpen ini) berjudul: The Dreams of a Ridiculous Man. Karena si pria tertidur, bermimpi, dan mimpinya cenderung menggelikan (secara filosofis menggelikan, karena si pria bahkan tetap mempertanyakan takdir, kemanusian, dan eksistensi dalam mimpinya).
Adegan mimpi ini berlangsung sangat absurd dan surreal. Tidak banyak yang dapat dijelaskan sejelas-jelasnya, karena pada dasarnya ini adegan mimpi, dan mimpi tidak terlalu bertopang pada logika riil. Tapi benarkah ini mimpi? Atau malah semacam “penglihatan”? Atau ada sangkut pautnya dengan trauma, alam sadar, dan alam bawah sadar–saya tidak terlalu tahu area ini karena saya bukan dokter, psikolog, atau psikiater? Satu hal yang pasti saya tangkap, alam mimpi ini digambarkan sangat surgawi, dan sangat idealis di mana tidak ada permusuhan, perkelahian, kecemburuan, pengkhianatan–segala macam tingkah-laku manusia yang jauh dari kemanusiaan. Dunia ideal seperti ini lah yang selalu menjadi pertanyaan si pria itu. Di mimpi ini si pria menembak dadanya, dan tiba di dunia surgawi ini. Dunia yang masih murni, masih polos, belum tercemar. Apakah dunia tersebut adalah surga? Saya rasa bukan, dunia ini lebih tepat disebut utopia yang ada di bayangan si pria.
Si pria, yang notabene datang masyarakat yang lebih modern, membawa sesuatu yang dinamakan pengetahuan. Akibatnya, dunia ini mulai tercemar oleh pengetahuan: kehilangan keharmonias, korupisi, kompetisi, perang, kegilaan seksual–semua hal yang tidak manusiawi. Untungnya si pria datang ke dunia baru ini tidak hanya membawa pengetahan, tapi juga kemanusiaan. Dengan modal kemanusiaan dan pengetahuan, manusia-manusia tersebut menciptakan sesuatu yang disebut hukum dan etika, yang keduanya notabene merupakan perwujudan moral yang lagi-lagi produk manusia-manusia itu sendiri. Tapi tentu manusia-manusia yang tinggal di dunia terebut bukan manusia-manusia modern yang bisa belajar cepat, kemanusiaan dan pengetahuan tidak bisa ditanamkan secara instan, hasilnya hal-hal yang dibawa si pria malah mersak dunia baru tersebut. Sekalipun nilai-nilai hukum dan etika sudah dibuat, kalau pondasinya tidak kuat, lantas hancur juga. Bagian ini disimbolismekan dengan adegan seseorang dengan gampang menendang pondasi menara manusia (kemanusiaan) yang dibangun. Menara tersebut runtuh, dan manusia menjadi kacau-balau.
Tapi benarkah hal terebut adalah sebuah kesalahan dari pengetahuan? Bukankah pengetahuan punya sisi lain selain sisi tajamnya yang merusak? Untuk menjawab pertanyaan ini kembali lagi ke permasalahaan awal yang dirasakan si pria: Kenapa si pria memutuskan untuk bunuh diri? Karena si pria tidak puas dengan kehidupannya. Karena si pria tidak menemukan alasan yang kuat baginya untuk tetap hidup. Sebuah alasan eksistensialisme. Arti dari semua mimpi yang dirasakan si pria itu adalah sebuah pilihan: Apabila Anda disuruh memilih antara hidup di dunia surgawi (bukan surga) dimana tidak ada pilihan selain menjalani hidup yang baik, atau hidup di dunia yang Anda sendiri menjalankan hidup menuju hidup yang baik? Yang mana yang Anda pilih? Yang mana yang dipilih si pria di film ini? Karena itu lah kisah ini diberi judul: The Dream of a Ridiculous Man.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar