Oleh: Rio Johan (Rijon)Sutradara: Tom Ford
Pemain: Colin Firth, Julianne Moore, Nicholas Hoult, Matthew Goode, Jon Kortajarena, Paulette Lamori, Ryan Simpkins, Ginnifer Goodwin, Teddy Sears, Lee Pace, Erin Daniels, Aline Weber, Jon Hamm
Tahun Rilis: 2009
Diadaptasi dari novel A Single Man karya Christopher Isherwood.
Melalui novel klasik Christopher Isherwood, yang sering digembor-gemborkan sebagai salah satu novel terbaik dari era Gay Liberation, Tom Ford, seorang fashion designer ternama, memulai debutnya sebagai sutradara. Hasilnya, film ini pun tampil glamor nan cantik bak halaman-halaman majalah lifestyle mahal. Bukan, bukan hanya karena kemewahan dan kemenawanan design set dan kostum – jelas dong, gak perlu heran lagi, tapi juga berkat score klasikal, gaya visual, dan kemampuan para aktornya untuk menghasilkan emosi dan mood dramatik. Bahkan pada saat sunyi – atau hanya score musik yang menemani, film ini tetap mampu melemparkan emosi.
Film ini bercerita tentang seorang pria single yang hidup di tahun 60-an, George (Colin Firth), seorang dosen universitas yang tinggal di sebuah rumah impian ala majalah-majalah arsitektur, yang baru saja bangun dari mimpinya. George baru saja – dan mungkin bukan yang pertama kalinya – bermimpi tentang kecelakaan yang menewaskan kekasih hatinya, Jim (Matthew Goode) – FYI, George is a gay. Dan hari George pun dimulai dengan tenggelam. Tenggelam dalam kemurungan. Murung tanpa Jim – dan mungkin sama dengan hari-hari sebelumnya. Secara garis besar film mengajak penonton melihat George beserta orang-orang disekelilingnya selama satu hari itu – semacam stream of consciousness ala Mrs. Dalloway, novel karya Virginia Woolf.
Sudah jelas bahwa George masih dihantui perasaan kehilangan berlarut-larut. Apalagi keluarga Jim secara halus tidak mengijinkan George hadir ke pemakaman kekasihnya – bentuk penolakan pada kaum homseksual di masa itu. Dari pistol yang sudah dipersiapkan George di awal film, juga bisa diketahui bahwa pria itu kemungkinan merencanakan bunuh diri. Di awal film juga diperlihatkan adegan stylish George mengintip keluarga tetangga yang tampak bahagia dari balik sela-sela rumahnya. Dari getiran tatapan mata George, terlihat pria itu membayangkan kemungkinan-kemungkinan andaikata dia membangun kehidupan “normal” layaknya pemandangan rumah seberang.
Seharian itu George berjumpa dengan tidak banyak orang – cuma tiga orang yang patut disoroti. Pertama, di kampus tempat dia mengajar, George berjumpa dengan mahasiswa yang lebih mirip model celana dalam Calvin Klein, Kenny (Nicholas Hoult). Jelas sekali Kenny menyimpan semacam ketertarikan terhadap George. Lalu berjumpa dengan seorang gigolo Latin bernama Carlos (Jon Kortajarena – benar-benar supermodel celana dalam). Dan terakhir, George berjumpa dengan Charley (Julianne Moore), janda paruh baya yang merupakan sahabatnya sejak bertahun-tahun silam. Satu hari tersebut merupakan hari di mana George perlahan-lahan mendapatkan pencerahan atas ketakutannya, kemurungannya, kesendiriannya, dan isolasi yang dia rasakan – dan menemukan kembali semangat untuk tetap hidup.
Banyak yang menganggap A Single Man sebagai sebuah “film gay.” Saya mengerti kenapa A Single Man dilabel demikian – dalam artian positif. Melalui pengalaman batin sehari George, Tom Ford menghadirkan potret isolasi dan ketakutan yang dirasakan seorang gay di era 1960-an – toleransi LGBT di masa itu tidak sebesar sekarang. Hal tersebut terlihat jelas dalam pidato tentang fear and society – atau tekanan sosial yang secara langsung atau tidak langsung muncul dari nilai-nilai yang sudah dianggap baku – yang disampaikan George di kelasnya. Seperti yang diutarakan George, semakin tidak terlihat kaum minoirtas (yang melenceng dari nilai-nilai tersebut) – dalam konteks ini kaum gay, semakin besar tekanan sosial yang dirasakan.
Tom Ford berhasil melakukan sesuatu yang menarik: menyatakan politik LGBT-nya melalui kisah personal George, dan dengan cerdas lebih menegaskan lagi makna A Single Man di judulnya. Akibat intoleransi sosial terhadap orientasi seksualnya, yang mengakibatkan isolasi dan ketakutan, George seakan benar-benar sendiri di dalam lingkungannya – terlebih pasca meninggalnya Jim (pasangan sehati dan senasib).
Satu-satunya tempat di mana George bisa leluasa terhadap orientasi seksualnya hanyalah rumah, juga dengan gigolo Spanyol yang juga senasib dengannya – bahkan keduanya hanya berani bicara soal orientasi seksual mereka dalam bahasa Spanyol. Adegan awal, ketika George mengintip potret keluarga “normal” di rumah seberang merupakan perwujudan nilai-nilai sosial yang baku – sekaligus tekanan sosial yang dirasakan George. Di luar “area aman” tersebut, George (merasa) harus menyembunyikan jati dirinya dari masyarakat – bersembunyi di balik jas dan kacamatanya.
George juga cukup terbuka pada Charley, sahabatnya, termasuk untuk urusan hubungannya dengan Jim. George dan Charley sendiri sebenarnya pernah melakukan hubugan seksual. Dan juga cukup terang-terangan Charley menyatakan ketertarikannya pada George – sekalipun George sepertinya tidak pernah memberikan timpalan yang sesuai. Ketika makan malam berdua, Charley malah mengakui tidak pernah menganggap serius hubungan George dan Jim yang sudah berlangsung selama enam belas tahun. Bagi Charley hubungan tersebut tidak nyata dan hanya sekedar pelarian George semata – satu lagi bentuk penolakan sosial dari atas orientasi seksual George.
Dan terakhir tokoh Kenny dimunculkan sebagai solusi bagi George – baik untuk masalah personalnya maupun tekanan sosial yang dirasakannya. George melihat, bahkan mengakui, Kenny sebagai sosok yang lebih modern – tidak terikat – dari dirinya. Kenny tidak hanya mengabaikan intoleransi atas orientasi seksualnya, tapi juga mengabaikan jarak terlarang guru-murid atas obsesiya, dan dengan lantang menantang George dengan tampil telanjang – sekalipun George tidak memberikan tanggapan balik. Dari Kenny, George belajar untuk tidak hidup di masa lalu ataupun masa depan, tapi di masa kini dengan cara melupakan kesedihan berlarut-larutnya. Kenny juga membuka mata George atas kemungkinan-kemungkinan yang mungkin bakal terlewatkan andai saja ia terlanjur menghabisi hidupnya. Singkatnya, George belajar untuk hidup lebih lepas – hal ini disimbolisasikan dalam adegan Kenny dan George berenang telanjang di pantai pada malam hari.
Untuk urusan gaya visual, Tom Ford agaknya cukup banyak mengikuti jejak-jejak Pedro Almodóvar, Wong Kar-wai, bahkan Alfred Hitchcock. Tom Ford memanfaatkan warna sebagai penegasan mood dan emosi filmnya – hal yang sering dijumpai di film-film Pedro Almodóvar. Warna-warna di layar disesuaikan dengan kondisi emosional George: seperti warna-warna kusam di adegan-adegan tidak bahagia, warna-warana cerah bahkan terang benderang untuk bagian yang menyenangkan, dan sebagainya. Hal tersebut dipertegas juga dengan sinematografinya. Selain itu, Tom Ford juga memanfaatkan extreme close-up kaku untuk menegaskan kondisi emosional sekaligus hasrat yang ada di balik tokoh-tokohnya. Pembangunan mood juga dibantu dengan baik menggunakan adegan-adegan slow-motion seperti yang biasa digunakan Wong Kar-wai.
Tidak hanya itu, A Single Man juga sempurna dari segi penampilan. Colin Firth memimpin film ini dengan sempurna. Bahkan di adegan-adegan yang hanya menyoroti matanya, Colin Firth tetap tampil prima. Sementara Julianne Moore, seperti biasanya, memberikan sentuhan yang sangat elegan pada film ini, sekalipun perannya terbilang minim. Nicholas Hoult juga memberikan kharisma tersendiri. Aktor muda tersebut dengan cerdas bermain-main dengan senyum dan penekanan-penekanan nada bicaranya. Ketika Kenny tersenyum – termasuk senyum sembari berbicara – terpancar jelas hasrat dan pesonanya. Matthew Goode juga memberikan salah satu penampilan terbaiknya di film ini, walaupun jam tayang dan dialog tokohnya terbilang minim. Secara keseluruhan, ini lah film dengan ensemble cast terbaik di 2009 bagi saya.
A Single Man mungkin masih jauh bila dibandingkan dengan karya-karya terbaik Pedro Almodóvar atau Wong Kar-wai. Terlepas dari semua itu, bagi saya ini lah salah satu film paling substil dari Hollywood di tahun 2009. Sebagai film debutan, A Single Man sudah lebih dari cukup untuk membuat saya menanti gebrakan-gebrakan Tom Ford selanjutnya.
Pemain: Colin Firth, Julianne Moore, Nicholas Hoult, Matthew Goode, Jon Kortajarena, Paulette Lamori, Ryan Simpkins, Ginnifer Goodwin, Teddy Sears, Lee Pace, Erin Daniels, Aline Weber, Jon Hamm
Tahun Rilis: 2009
Diadaptasi dari novel A Single Man karya Christopher Isherwood.
Melalui novel klasik Christopher Isherwood, yang sering digembor-gemborkan sebagai salah satu novel terbaik dari era Gay Liberation, Tom Ford, seorang fashion designer ternama, memulai debutnya sebagai sutradara. Hasilnya, film ini pun tampil glamor nan cantik bak halaman-halaman majalah lifestyle mahal. Bukan, bukan hanya karena kemewahan dan kemenawanan design set dan kostum – jelas dong, gak perlu heran lagi, tapi juga berkat score klasikal, gaya visual, dan kemampuan para aktornya untuk menghasilkan emosi dan mood dramatik. Bahkan pada saat sunyi – atau hanya score musik yang menemani, film ini tetap mampu melemparkan emosi.
Film ini bercerita tentang seorang pria single yang hidup di tahun 60-an, George (Colin Firth), seorang dosen universitas yang tinggal di sebuah rumah impian ala majalah-majalah arsitektur, yang baru saja bangun dari mimpinya. George baru saja – dan mungkin bukan yang pertama kalinya – bermimpi tentang kecelakaan yang menewaskan kekasih hatinya, Jim (Matthew Goode) – FYI, George is a gay. Dan hari George pun dimulai dengan tenggelam. Tenggelam dalam kemurungan. Murung tanpa Jim – dan mungkin sama dengan hari-hari sebelumnya. Secara garis besar film mengajak penonton melihat George beserta orang-orang disekelilingnya selama satu hari itu – semacam stream of consciousness ala Mrs. Dalloway, novel karya Virginia Woolf.
Sudah jelas bahwa George masih dihantui perasaan kehilangan berlarut-larut. Apalagi keluarga Jim secara halus tidak mengijinkan George hadir ke pemakaman kekasihnya – bentuk penolakan pada kaum homseksual di masa itu. Dari pistol yang sudah dipersiapkan George di awal film, juga bisa diketahui bahwa pria itu kemungkinan merencanakan bunuh diri. Di awal film juga diperlihatkan adegan stylish George mengintip keluarga tetangga yang tampak bahagia dari balik sela-sela rumahnya. Dari getiran tatapan mata George, terlihat pria itu membayangkan kemungkinan-kemungkinan andaikata dia membangun kehidupan “normal” layaknya pemandangan rumah seberang.
Seharian itu George berjumpa dengan tidak banyak orang – cuma tiga orang yang patut disoroti. Pertama, di kampus tempat dia mengajar, George berjumpa dengan mahasiswa yang lebih mirip model celana dalam Calvin Klein, Kenny (Nicholas Hoult). Jelas sekali Kenny menyimpan semacam ketertarikan terhadap George. Lalu berjumpa dengan seorang gigolo Latin bernama Carlos (Jon Kortajarena – benar-benar supermodel celana dalam). Dan terakhir, George berjumpa dengan Charley (Julianne Moore), janda paruh baya yang merupakan sahabatnya sejak bertahun-tahun silam. Satu hari tersebut merupakan hari di mana George perlahan-lahan mendapatkan pencerahan atas ketakutannya, kemurungannya, kesendiriannya, dan isolasi yang dia rasakan – dan menemukan kembali semangat untuk tetap hidup.
Banyak yang menganggap A Single Man sebagai sebuah “film gay.” Saya mengerti kenapa A Single Man dilabel demikian – dalam artian positif. Melalui pengalaman batin sehari George, Tom Ford menghadirkan potret isolasi dan ketakutan yang dirasakan seorang gay di era 1960-an – toleransi LGBT di masa itu tidak sebesar sekarang. Hal tersebut terlihat jelas dalam pidato tentang fear and society – atau tekanan sosial yang secara langsung atau tidak langsung muncul dari nilai-nilai yang sudah dianggap baku – yang disampaikan George di kelasnya. Seperti yang diutarakan George, semakin tidak terlihat kaum minoirtas (yang melenceng dari nilai-nilai tersebut) – dalam konteks ini kaum gay, semakin besar tekanan sosial yang dirasakan.
Tom Ford berhasil melakukan sesuatu yang menarik: menyatakan politik LGBT-nya melalui kisah personal George, dan dengan cerdas lebih menegaskan lagi makna A Single Man di judulnya. Akibat intoleransi sosial terhadap orientasi seksualnya, yang mengakibatkan isolasi dan ketakutan, George seakan benar-benar sendiri di dalam lingkungannya – terlebih pasca meninggalnya Jim (pasangan sehati dan senasib).
Satu-satunya tempat di mana George bisa leluasa terhadap orientasi seksualnya hanyalah rumah, juga dengan gigolo Spanyol yang juga senasib dengannya – bahkan keduanya hanya berani bicara soal orientasi seksual mereka dalam bahasa Spanyol. Adegan awal, ketika George mengintip potret keluarga “normal” di rumah seberang merupakan perwujudan nilai-nilai sosial yang baku – sekaligus tekanan sosial yang dirasakan George. Di luar “area aman” tersebut, George (merasa) harus menyembunyikan jati dirinya dari masyarakat – bersembunyi di balik jas dan kacamatanya.
George juga cukup terbuka pada Charley, sahabatnya, termasuk untuk urusan hubungannya dengan Jim. George dan Charley sendiri sebenarnya pernah melakukan hubugan seksual. Dan juga cukup terang-terangan Charley menyatakan ketertarikannya pada George – sekalipun George sepertinya tidak pernah memberikan timpalan yang sesuai. Ketika makan malam berdua, Charley malah mengakui tidak pernah menganggap serius hubungan George dan Jim yang sudah berlangsung selama enam belas tahun. Bagi Charley hubungan tersebut tidak nyata dan hanya sekedar pelarian George semata – satu lagi bentuk penolakan sosial dari atas orientasi seksual George.
Dan terakhir tokoh Kenny dimunculkan sebagai solusi bagi George – baik untuk masalah personalnya maupun tekanan sosial yang dirasakannya. George melihat, bahkan mengakui, Kenny sebagai sosok yang lebih modern – tidak terikat – dari dirinya. Kenny tidak hanya mengabaikan intoleransi atas orientasi seksualnya, tapi juga mengabaikan jarak terlarang guru-murid atas obsesiya, dan dengan lantang menantang George dengan tampil telanjang – sekalipun George tidak memberikan tanggapan balik. Dari Kenny, George belajar untuk tidak hidup di masa lalu ataupun masa depan, tapi di masa kini dengan cara melupakan kesedihan berlarut-larutnya. Kenny juga membuka mata George atas kemungkinan-kemungkinan yang mungkin bakal terlewatkan andai saja ia terlanjur menghabisi hidupnya. Singkatnya, George belajar untuk hidup lebih lepas – hal ini disimbolisasikan dalam adegan Kenny dan George berenang telanjang di pantai pada malam hari.
Untuk urusan gaya visual, Tom Ford agaknya cukup banyak mengikuti jejak-jejak Pedro Almodóvar, Wong Kar-wai, bahkan Alfred Hitchcock. Tom Ford memanfaatkan warna sebagai penegasan mood dan emosi filmnya – hal yang sering dijumpai di film-film Pedro Almodóvar. Warna-warna di layar disesuaikan dengan kondisi emosional George: seperti warna-warna kusam di adegan-adegan tidak bahagia, warna-warana cerah bahkan terang benderang untuk bagian yang menyenangkan, dan sebagainya. Hal tersebut dipertegas juga dengan sinematografinya. Selain itu, Tom Ford juga memanfaatkan extreme close-up kaku untuk menegaskan kondisi emosional sekaligus hasrat yang ada di balik tokoh-tokohnya. Pembangunan mood juga dibantu dengan baik menggunakan adegan-adegan slow-motion seperti yang biasa digunakan Wong Kar-wai.
Tidak hanya itu, A Single Man juga sempurna dari segi penampilan. Colin Firth memimpin film ini dengan sempurna. Bahkan di adegan-adegan yang hanya menyoroti matanya, Colin Firth tetap tampil prima. Sementara Julianne Moore, seperti biasanya, memberikan sentuhan yang sangat elegan pada film ini, sekalipun perannya terbilang minim. Nicholas Hoult juga memberikan kharisma tersendiri. Aktor muda tersebut dengan cerdas bermain-main dengan senyum dan penekanan-penekanan nada bicaranya. Ketika Kenny tersenyum – termasuk senyum sembari berbicara – terpancar jelas hasrat dan pesonanya. Matthew Goode juga memberikan salah satu penampilan terbaiknya di film ini, walaupun jam tayang dan dialog tokohnya terbilang minim. Secara keseluruhan, ini lah film dengan ensemble cast terbaik di 2009 bagi saya.
A Single Man mungkin masih jauh bila dibandingkan dengan karya-karya terbaik Pedro Almodóvar atau Wong Kar-wai. Terlepas dari semua itu, bagi saya ini lah salah satu film paling substil dari Hollywood di tahun 2009. Sebagai film debutan, A Single Man sudah lebih dari cukup untuk membuat saya menanti gebrakan-gebrakan Tom Ford selanjutnya.
Sayang, Colin Firth tidak menang Oscar.
BalasHapusFilmnya memang bagus banget. :)
rio, minta rekomendasiin film gay yg bagus dong apa aja?. saking banyakny jdi bingung yg milih. T.T
BalasHapuslg searcing film2 genre gay nih. thx a lot
Film bertema gay (film tentang hubungan lesbian gak termasuk):
BalasHapus"Presque Rien"
"Wild Reeds"
"A Single Man"
"O Fantasma"
"A Very Natural Thing"
"La Mala Educacion"
"Venkovský učitel"
"Morrer Como Um Homem"
"Mysterious Skin"
"Ma Vie en Rose"
"The Dreamers"
"The Wedding Banquet"
"Todo sobre mi madre"
"Il conformista"
"Plein soleil"
"Brothers of the Head"
"Contracorriente"
"Fresa y chocolate"
"Pink Narcissus"
"Krámpack"
"Rih Essed"
"Ja'i tu ma mere"
"Les amours imaginaires"
"XXY"
"Before the Rain"
Itu yang langsung terlintas di kepalaku, dan menurutku cukup bagus -- aku suka. Hati-hati aja, beberapa di antarnya mengandung adegan full frontal nudity scene.
sadar rijon dapet film itu dowloadya,kalo dlload nida ga kasih alamat webnya
BalasHapusmaksudnya bisa ga kasih alamat webnya
BalasHapuswah, Rijon, saya baru saja donlot film ini tapi didubbing rusia jadi sulit ngerti jalan ceritanya.
BalasHapus