Oleh: Rio Johan (Rijon)Sutradara: Mark Romanek
Pemain: Carey Mulligan, Isobel Meikle-Small, Keira Knightley, Ella Purnell, Andrew Garfield, Charlie Rowe, Sally Hawkins, Charlotte Rampling, Nathalie Richard, Andrea Riseborough
Tahun Rilis: 2010
Diadaptasi dari novel Never Let Me Go karya Kazuo Ishiguro.
Saya sama sekali belum menyentuh novel dystopia (lawan kata dari utopia) karangan Kazuo Ishiguro yang berhasil memenangkan berbagai macam penghargaan sastra tersebut, jadi saya tidak akan membuat perbandingan antara novel dengan filmnya.
Fiksi yang tidak banyak bicara ....
Never Let Me Go, bisa saja dikategorikan sebagai science-fiction (fiksi ilmiah), sekalipun film ini tidak memamerkan visualisasi futuristik, mesin-mesin canggih, teknologi-teknologi tingkat tinggi, android, robot, laser, dan properti scifi pada umumnya. Konteksnya lah yang membuat Never Let Me Go bisa dimasukkan kategori itu. Pada kenyataannya penonton sama sekali tidak dihadirkan dunia scifi pada umumnya, melainkan Inggris alternatif (Inggris lain yang berbeda dengan Inggris yang ada di dunia kita saat ini) yang secara kasat mata tidak terlalu jauh bedanya dengan dunia yang kita tinggali.
Sama halnya dengan The Remains of the Day, yang juga diangkat dari novel Kazuo Ishiguro, Never Let Me Go juga menyajikan pahit-manis kisah percinta-cintaan. Hanya saja, pilihan yang dimiliki tokoh dalam Never Let Me Go jauh lebih minim. Film ini bercerita tentang cinta segitiga antara Kathy (Carey Mulligan), Tommy (Andrew Garfield), dan Ruth (Keira Knightley). Hanya saja ketiga makhluk tersebut bukan lah manusia normal pada umumnya. Mereka produk kloning yang dibuat untuk mendonorkan organ-organ vital mereka pada manusia “original” – sederhananya, hidup mereka sudah digariskan untuk mengorbankan nyawa mereka demi hidup orang lain.
Film dibuka dengan narasi Kathy yang menyatakan bahwa hidupnya lebih dihabiskan untuk melihat ke “belakang,” bukan ke “depan.” Dan film pun bergulir layaknya memori melodrama seorang Kathy, di mulai di Hailsham tahun 1978 ketika Kathy, Tommy, dan Ruth masih anak-anak (masing-masing diperankan oleh Izzy Meikle-Small, Charlie Rowe, dan Ella Purnell). Ketiganya tinggal di Hailsham, sebuah sekolah asrama terpencil. Tapi Hailsham tidak seperti sekolah asrama seperti pada umumnya, murid-murid sekolah ini diisolasi dari dunia luar (dengan cerita-cerita menyeramkan), mereka dilarang merokok, mereka diberi makanan lengkap gizi dan nutrisi, dan ketimbang mempelajari materi-materi umum sekolahan mereka malah belajar melakukan peragaan kehidupan manusia normal sehari-hari (kafe, belanja, dan semacamnya) dan membuat karya seni (lukisan/gambar). Sampai akhirnya seorang guru (atau “guardian”) membocorkan fakta pahit tentang mereka. Di Hailsham, Kathy yang masih muda malu-malu jatuh cinta pada Tommy, dan Tommy juga membalasnya dengan malu-malu. Cintanya monyet keduanya hanya sebatas malu-malu-kucing, tapi di layar penonton dibuat diperlihatkan bahwa keduanya serasi satu sama lain. Hingga akhirnya cinta monyet keduanya buyar ketika Ruth menggandeng tangan Tommy.
Kemudian film meloncat tujuh tahun selanjutnya, di mana ketiganya sudah mencapai kedewasaan dan diharuskan keluar dari Hailsham menuju The Cottage, semacam kompleks tempat “mereka” tinggal sampai akhirnya waktu pendonoran tiba. Selama itu Kathy tetap memendam cintanya pada Tommy yang sudah menjadi milik Ruth. Ketiganya dihadapkan pada berbagai macam masalah di masa ini, seputar origin (manusia sumber DNA mereka), seputar rahasia dibalik Hailsham, bahkan seputar permasalahan cinta segitiga mereka yang semakin rumit. Babak terakhir, seperti embel-embelnya “Completion,” mengambil latar sembilan tahun kemudian. Di masa ini, Kathy, Ruth, dan Tommy sudah berpisah satu sama lain. Kathy bekerja sebagai “carer” (perawat bagi para “pendonor”) sampai waktu donornya tiba. Babak terakhir ini bercerita reuni antara Kathy, Ruth, dan Tommy. Dilema cinta segitiga mereka pun dituntaskan di babak di sini.
Namun tidak seperti embel-embelnya, “Completion,” Never Let Me Go tidak memberikan penjabaran lengkap tentang materinya. Film ini, dengan sengaja, meninggalkan berbagai macam pertanyaan yang tidak terjawab secara verbal. Seperti fakta Hailsham, film ini tidak berbicara gamblang, melainkan dengan bisikan samar-samar seputar Hailsham. Hailsham kemungkinan adalah sebuah institusi untuk mempersiapkan para “model” (atau kloningan). Namun film ini tidak mau berbicara lebih dari itu. Bahkan penonton tidak diberikan gambaran tentang asal-muasal para kloning. Hanya dari argumen Ruth, ketika ketiga tokoh utama berdebat, penonton mendapat kemungkinan bahwa mereka dikloning dari manusia-manusia “sampah selokan.” Bahkan Kathy sendiri membolak-balik halaman majalah porno hanya untuk mencari “originnya.” Tapi tidak ada satupun bagian dari film ini yang menyatakan bahwa argumen tersebut benar. Bisa saja alasan tersebut hanyalah pernyataan yang memang sudah ditanamkan di kepala mereka, dan ketika Ruth melihat wanita yang kemungkinan “originnya” (yang nyatanya bukanlah “sampah selokan”), dia panik. Lebih tepatnya, kemungkinan dia iri akan kehidupan originnya (yang ternyata tidak sesampah yang ada di pikirannya). Dan perasaan semacam ini manusiawi, bahkan untuk sebuah manusia kloningan. Termasuk juga cinta segitiga antara Kathy, Tommy, dan Ruth. Begitulah cara kerja Never Let Me Go, tidak banyak berbicara, tapi lebih banyak berteriak. Film ini bahkan sama sekali tidak memberikan pernyataan mengapa (sepertinya) tidak ada satupun manusia kloningan tersebut yang mempertanyakan (atau protes atas) nasib mereka. Penonton hanya difokuskan pada tiga tokoh utama yang di sepanjang film ini digambarkan sebagai “makhluk malang.” Ya, gampang menyatakan bahwa ini adalah film tentang gagasan-gagasan, tentang moral, tentang kemanusian, dan tentang etika ilmiah, tapi jauh di atas semua itu, ini adalah film tentang empati.
Sederhananya, film ini memancing empati penontonnya dengan kisah percintaan: tentang cinta Kathy dan Tommy, tentang Tommy yang direbut oleh Ruth, tentang Ruth yang ingin memperbaiki kesalahannya pada Kathy dan Tommy walaupun terlambat, dan tentang Kathy dan Tommy yang berharap bisa mendapatkan “penangguhan” (“defer”) demi cinta mereka. Never Let Me Go mempercayakan gagasan-gagasannya melalui melodrama tersebut. Sekalipun adegan demi adegan bisa saja diinterpretasikan berbeda-beda, semua itu tetap saja diarahkan untuk memancing kepedulian penonton akan nasib tiga tokoh utamanya. Secara pribadi, saya suka cara film ini memancing empati penontonnya – dengan tidak banyak bicara.
Pemain: Carey Mulligan, Isobel Meikle-Small, Keira Knightley, Ella Purnell, Andrew Garfield, Charlie Rowe, Sally Hawkins, Charlotte Rampling, Nathalie Richard, Andrea Riseborough
Tahun Rilis: 2010
Diadaptasi dari novel Never Let Me Go karya Kazuo Ishiguro.
Saya sama sekali belum menyentuh novel dystopia (lawan kata dari utopia) karangan Kazuo Ishiguro yang berhasil memenangkan berbagai macam penghargaan sastra tersebut, jadi saya tidak akan membuat perbandingan antara novel dengan filmnya.
Fiksi yang tidak banyak bicara ....
Never Let Me Go, bisa saja dikategorikan sebagai science-fiction (fiksi ilmiah), sekalipun film ini tidak memamerkan visualisasi futuristik, mesin-mesin canggih, teknologi-teknologi tingkat tinggi, android, robot, laser, dan properti scifi pada umumnya. Konteksnya lah yang membuat Never Let Me Go bisa dimasukkan kategori itu. Pada kenyataannya penonton sama sekali tidak dihadirkan dunia scifi pada umumnya, melainkan Inggris alternatif (Inggris lain yang berbeda dengan Inggris yang ada di dunia kita saat ini) yang secara kasat mata tidak terlalu jauh bedanya dengan dunia yang kita tinggali.
Sama halnya dengan The Remains of the Day, yang juga diangkat dari novel Kazuo Ishiguro, Never Let Me Go juga menyajikan pahit-manis kisah percinta-cintaan. Hanya saja, pilihan yang dimiliki tokoh dalam Never Let Me Go jauh lebih minim. Film ini bercerita tentang cinta segitiga antara Kathy (Carey Mulligan), Tommy (Andrew Garfield), dan Ruth (Keira Knightley). Hanya saja ketiga makhluk tersebut bukan lah manusia normal pada umumnya. Mereka produk kloning yang dibuat untuk mendonorkan organ-organ vital mereka pada manusia “original” – sederhananya, hidup mereka sudah digariskan untuk mengorbankan nyawa mereka demi hidup orang lain.
Film dibuka dengan narasi Kathy yang menyatakan bahwa hidupnya lebih dihabiskan untuk melihat ke “belakang,” bukan ke “depan.” Dan film pun bergulir layaknya memori melodrama seorang Kathy, di mulai di Hailsham tahun 1978 ketika Kathy, Tommy, dan Ruth masih anak-anak (masing-masing diperankan oleh Izzy Meikle-Small, Charlie Rowe, dan Ella Purnell). Ketiganya tinggal di Hailsham, sebuah sekolah asrama terpencil. Tapi Hailsham tidak seperti sekolah asrama seperti pada umumnya, murid-murid sekolah ini diisolasi dari dunia luar (dengan cerita-cerita menyeramkan), mereka dilarang merokok, mereka diberi makanan lengkap gizi dan nutrisi, dan ketimbang mempelajari materi-materi umum sekolahan mereka malah belajar melakukan peragaan kehidupan manusia normal sehari-hari (kafe, belanja, dan semacamnya) dan membuat karya seni (lukisan/gambar). Sampai akhirnya seorang guru (atau “guardian”) membocorkan fakta pahit tentang mereka. Di Hailsham, Kathy yang masih muda malu-malu jatuh cinta pada Tommy, dan Tommy juga membalasnya dengan malu-malu. Cintanya monyet keduanya hanya sebatas malu-malu-kucing, tapi di layar penonton dibuat diperlihatkan bahwa keduanya serasi satu sama lain. Hingga akhirnya cinta monyet keduanya buyar ketika Ruth menggandeng tangan Tommy.
Kemudian film meloncat tujuh tahun selanjutnya, di mana ketiganya sudah mencapai kedewasaan dan diharuskan keluar dari Hailsham menuju The Cottage, semacam kompleks tempat “mereka” tinggal sampai akhirnya waktu pendonoran tiba. Selama itu Kathy tetap memendam cintanya pada Tommy yang sudah menjadi milik Ruth. Ketiganya dihadapkan pada berbagai macam masalah di masa ini, seputar origin (manusia sumber DNA mereka), seputar rahasia dibalik Hailsham, bahkan seputar permasalahan cinta segitiga mereka yang semakin rumit. Babak terakhir, seperti embel-embelnya “Completion,” mengambil latar sembilan tahun kemudian. Di masa ini, Kathy, Ruth, dan Tommy sudah berpisah satu sama lain. Kathy bekerja sebagai “carer” (perawat bagi para “pendonor”) sampai waktu donornya tiba. Babak terakhir ini bercerita reuni antara Kathy, Ruth, dan Tommy. Dilema cinta segitiga mereka pun dituntaskan di babak di sini.
Namun tidak seperti embel-embelnya, “Completion,” Never Let Me Go tidak memberikan penjabaran lengkap tentang materinya. Film ini, dengan sengaja, meninggalkan berbagai macam pertanyaan yang tidak terjawab secara verbal. Seperti fakta Hailsham, film ini tidak berbicara gamblang, melainkan dengan bisikan samar-samar seputar Hailsham. Hailsham kemungkinan adalah sebuah institusi untuk mempersiapkan para “model” (atau kloningan). Namun film ini tidak mau berbicara lebih dari itu. Bahkan penonton tidak diberikan gambaran tentang asal-muasal para kloning. Hanya dari argumen Ruth, ketika ketiga tokoh utama berdebat, penonton mendapat kemungkinan bahwa mereka dikloning dari manusia-manusia “sampah selokan.” Bahkan Kathy sendiri membolak-balik halaman majalah porno hanya untuk mencari “originnya.” Tapi tidak ada satupun bagian dari film ini yang menyatakan bahwa argumen tersebut benar. Bisa saja alasan tersebut hanyalah pernyataan yang memang sudah ditanamkan di kepala mereka, dan ketika Ruth melihat wanita yang kemungkinan “originnya” (yang nyatanya bukanlah “sampah selokan”), dia panik. Lebih tepatnya, kemungkinan dia iri akan kehidupan originnya (yang ternyata tidak sesampah yang ada di pikirannya). Dan perasaan semacam ini manusiawi, bahkan untuk sebuah manusia kloningan. Termasuk juga cinta segitiga antara Kathy, Tommy, dan Ruth. Begitulah cara kerja Never Let Me Go, tidak banyak berbicara, tapi lebih banyak berteriak. Film ini bahkan sama sekali tidak memberikan pernyataan mengapa (sepertinya) tidak ada satupun manusia kloningan tersebut yang mempertanyakan (atau protes atas) nasib mereka. Penonton hanya difokuskan pada tiga tokoh utama yang di sepanjang film ini digambarkan sebagai “makhluk malang.” Ya, gampang menyatakan bahwa ini adalah film tentang gagasan-gagasan, tentang moral, tentang kemanusian, dan tentang etika ilmiah, tapi jauh di atas semua itu, ini adalah film tentang empati.
Sederhananya, film ini memancing empati penontonnya dengan kisah percintaan: tentang cinta Kathy dan Tommy, tentang Tommy yang direbut oleh Ruth, tentang Ruth yang ingin memperbaiki kesalahannya pada Kathy dan Tommy walaupun terlambat, dan tentang Kathy dan Tommy yang berharap bisa mendapatkan “penangguhan” (“defer”) demi cinta mereka. Never Let Me Go mempercayakan gagasan-gagasannya melalui melodrama tersebut. Sekalipun adegan demi adegan bisa saja diinterpretasikan berbeda-beda, semua itu tetap saja diarahkan untuk memancing kepedulian penonton akan nasib tiga tokoh utamanya. Secara pribadi, saya suka cara film ini memancing empati penontonnya – dengan tidak banyak bicara.
foto di covernya cakep, by the way. jadi pengen nonton.
BalasHapusintinya film ini tidak mengecewakan,muliggan berakting jauh lebih baik tidak seperti sebelumnya di WS 2
BalasHapusresensi film sampean banyak sekali,mantab,salut deh,penggemar film sejati,saya bookmark dulu yah :D
BalasHapuskeren sinopsisnya loh...
BalasHapussalut saya...
pasti seorang jurnalis nih yang punya blog...
salam ya
tapi kalo gue kok rasanya "capek" yah nonton film ini yang dari awal sampai akhir auranya negatif terus. bikin film melodramatik kan tidak perlu melulu dengan atmosfer suram; Rabbit Hole contohnya. tapi untung ketiga pemeran utamanya menyelamatkan film ini.
BalasHapus@timo:
BalasHapusNegatif atau tidaknya kurasa tergantung dari subyek yang dibawanya. Untuk urusan itu, jeas Rabbit Hole dan Never Let Me Go dua film yang berbeda. Rabbit Hole subyeknya lebih personal, lebih intim. Sedangkan Never Let Me Go lebih filosofis, lebih larger than life gitu.
saya juga sdkt ga mengerti di awal, pas ditengah2 baru ngerti n sedikit ngantuk-ngantuk juga....
BalasHapuspengen nonton...
BalasHapuspengen nonton jugaaa..
BalasHapusmembosankan :(
BalasHapusuntuk cerita yg sama lebih bagus The Island :)
gw ga puas ntn film ni, hikss..... pdhl msh pgn liat perjalanan cinta kathy dan tommy :(
BalasHapusklo the Island mah pilem buat anak umur 13-17 tahun bro,mudah ketebak!alias KLIMAKS! hahaha
BalasHapussalut buat reviewnya..
filmnya keren, ngebuat saya jadi bertanya-tanya terus dan akhirnya googling. hhaa
BalasHapustema yg cukup dalam dan di kemas dengan mood yg melonkolis. great film.
BalasHapusya, saya sepakat film ini adalah film tentang empathy.... mungkin pembuat film (novel) ini adalah seorang yang terlahir jenius,,,, ia pintar sekali membuat orang bertanya-tanya.. mengapa mereka tidak lari bila ingin menyelamatkan hidup mereka supaya organ-oragan mereka tidak diambil??? tapi malah mengajukan penangguhan (dever)...?? buat yang bisa jawab,, sya ucapkan trima kasih, krna rasa ingin thu ini cukup mengganggu saya..
BalasHapusMungkin karna gelang yg mereka pake ada pelacaknya jd kalo pergi kemanapun bakalan kedeteksi kali ya. Film nya sadis bgt-_- gk tega liatnya
BalasHapusSipp blognya
BalasHapus