Oleh: Rio Johan (Rijon)Sutradara: Volker Schlöndorff
Pemain: Mathieu Carrière, Marian Seidowsky, Bernd Tischer, Fred Dietz, Lotte Ledl, Jean Launay, Barbara Steele
Tahun Rilis: 1966
Judul Internasional: Young Törless
Diangkat dari novel Die Verwirrungen des Zöglings Törleß karya Robert Musil.
Good vs. Evil: Humanisasi-dehumanisasi Militerisme
Kekerasaan itu tak hanya ihwal fisik, tapi juga psikis dan emosif. Secara badaniah tentulah kasat mata. Namun rupanya bisa beranak-pinak dan berubah-ubah sewenang-wenangnya. Dalam Young Törless, sejatinya kekerasan melibatkan dua perwujudan: Good vs. Evil. Lantas bagaimana menentukannya?
Austria abad 20. Thomas Törless (Mathieu Carrière), pemuda cerdas namun naif, yang baru saja tiba di sebuah sekolah asrama lelaki di pedalaman. Laiknya pemuda rumahan perdana di rantauan, ia dihantui guncangan psikologis yang biasa disebut: homesick. Ia berteman dengan seorang senior, Beineberg (Bernd Tischer), yang kemudian bersamanya menyambani kediaman Bozena si lacur lokal (Barbara Steele). Di sini, ia dihadapkan pada dilema antara naluri remaja dan tuntutan pendewasaan: antara ibundanya yang bertatakrama dengan Bozena si sundal yang binal dan bengal. Bukannya bernafsu, Törless malah begitu naif menempatkan si sundal secara banal.
Kelak di sekolahnya, Törless dihadapkan pada dilema moral serupa. Bermula dari Basini (Marian Seidowsky) si penumpuk hutang yang kedapatan mencuri uang oleh Reiting (Fred Dietz). Basini tak diadukan tetapi menyumpah menjadi budak Reiting, setiap pada segala ritual-ritual sadistis-homoerotis yang dilakukan. Bersama Beineberg, di loteng rahasia, Törless turut ambil bagian dalam upacara-upacara penyiksaan tersebut.
Sejatinya si muda Törless tak pernah benar-benar turut melakukan penyiksaan. Ia hanya menelisik kekerasaan yang terjadi di depan matanya tanpa benar-benar turut campur. Ketertarikannya pada fenomena itu mulanya hanya semata-mata persoalan intelektual. Ibarat bilangan imajiner, i, yang merupakan hasil dari akar negatif. (Yang tak mungkin ada pada praktik nyata.) Törless bersikukuh mengejawantahkan bilangan imajiner secara intelektual. Bilangan imajiner jelas sekali tak bisa dipergunakan untuk membuat jembatan, atau mendirikan bangunan. Namun guru Matematikanya, yang tak mampu memberikan pemuasan logika lebih dalam, malah mengejawantahkan bilangan imajiner sebagai polah emosional dari ilmu pengetahuan. Bahwasannya ada bagian-bagian yang tak logis, namun munculkan demi pemenuhan emosional. Maka moral pun tak hanya sebatas yang kasat mata. Tak sepatutnya moral hanya dibatasi oleh hakikat hitam vs. putih. Seperti Bozena yang sudah terlanjur dicap sundal. Keterlibatan Törless pada tiap penyiksaan Basini hanya sebatas pemenuhan intelektual, tanpa ada campur tangan sisi emosional. Sebab itu mulanya ia tak berniat mengadukan kejahanaman di depan mata. Ia hanya tertariik pada pencarian kesimpulan di baliknya.
Törless mulanya beranggapan persoalan tersebut hanya sebatas urusan etis belaka. Ada yang bersalah, ada yang menghakimi. Ada pelaku, ada korban. Di mana Törless melakukan suatu usaha agar Basini mengakui perbuatan mencurinya di depan Reiting dan Beineberg. Reiting dan Beineberg memonopoli pengadilan. Sedangkan Basini laiknya kriminal yang patut didisiplinkan. Namun, bukannya selesai, semakin lama, penyiksaan yang ditunjukkan tak lagi berwujud hukuman, lebih ke pada wujud pemuasaan dan pengakuan. Obsesi superioritas. Pun gairah tak manusiawi pada siksaan yang dihujam pada Basini. Basini tak lagi menerima penyiksaan itu sebagai hukuman, melainkan sebagai pemuasaan emosional. Penyiksaan menjadi sebuah kebutuhan. Semua itu, tentunya, urusan emosional yang tak lazim bagi logika Törless. Nilai etik dan nilai subjektif pun jadi bertentangan. Maka batasan antara good dan evil pun semakin suram.
Pemain: Mathieu Carrière, Marian Seidowsky, Bernd Tischer, Fred Dietz, Lotte Ledl, Jean Launay, Barbara Steele
Tahun Rilis: 1966
Judul Internasional: Young Törless
Diangkat dari novel Die Verwirrungen des Zöglings Törleß karya Robert Musil.
Good vs. Evil: Humanisasi-dehumanisasi Militerisme
Kekerasaan itu tak hanya ihwal fisik, tapi juga psikis dan emosif. Secara badaniah tentulah kasat mata. Namun rupanya bisa beranak-pinak dan berubah-ubah sewenang-wenangnya. Dalam Young Törless, sejatinya kekerasan melibatkan dua perwujudan: Good vs. Evil. Lantas bagaimana menentukannya?
Austria abad 20. Thomas Törless (Mathieu Carrière), pemuda cerdas namun naif, yang baru saja tiba di sebuah sekolah asrama lelaki di pedalaman. Laiknya pemuda rumahan perdana di rantauan, ia dihantui guncangan psikologis yang biasa disebut: homesick. Ia berteman dengan seorang senior, Beineberg (Bernd Tischer), yang kemudian bersamanya menyambani kediaman Bozena si lacur lokal (Barbara Steele). Di sini, ia dihadapkan pada dilema antara naluri remaja dan tuntutan pendewasaan: antara ibundanya yang bertatakrama dengan Bozena si sundal yang binal dan bengal. Bukannya bernafsu, Törless malah begitu naif menempatkan si sundal secara banal.
Kelak di sekolahnya, Törless dihadapkan pada dilema moral serupa. Bermula dari Basini (Marian Seidowsky) si penumpuk hutang yang kedapatan mencuri uang oleh Reiting (Fred Dietz). Basini tak diadukan tetapi menyumpah menjadi budak Reiting, setiap pada segala ritual-ritual sadistis-homoerotis yang dilakukan. Bersama Beineberg, di loteng rahasia, Törless turut ambil bagian dalam upacara-upacara penyiksaan tersebut.
Sejatinya si muda Törless tak pernah benar-benar turut melakukan penyiksaan. Ia hanya menelisik kekerasaan yang terjadi di depan matanya tanpa benar-benar turut campur. Ketertarikannya pada fenomena itu mulanya hanya semata-mata persoalan intelektual. Ibarat bilangan imajiner, i, yang merupakan hasil dari akar negatif. (Yang tak mungkin ada pada praktik nyata.) Törless bersikukuh mengejawantahkan bilangan imajiner secara intelektual. Bilangan imajiner jelas sekali tak bisa dipergunakan untuk membuat jembatan, atau mendirikan bangunan. Namun guru Matematikanya, yang tak mampu memberikan pemuasan logika lebih dalam, malah mengejawantahkan bilangan imajiner sebagai polah emosional dari ilmu pengetahuan. Bahwasannya ada bagian-bagian yang tak logis, namun munculkan demi pemenuhan emosional. Maka moral pun tak hanya sebatas yang kasat mata. Tak sepatutnya moral hanya dibatasi oleh hakikat hitam vs. putih. Seperti Bozena yang sudah terlanjur dicap sundal. Keterlibatan Törless pada tiap penyiksaan Basini hanya sebatas pemenuhan intelektual, tanpa ada campur tangan sisi emosional. Sebab itu mulanya ia tak berniat mengadukan kejahanaman di depan mata. Ia hanya tertariik pada pencarian kesimpulan di baliknya.
Törless mulanya beranggapan persoalan tersebut hanya sebatas urusan etis belaka. Ada yang bersalah, ada yang menghakimi. Ada pelaku, ada korban. Di mana Törless melakukan suatu usaha agar Basini mengakui perbuatan mencurinya di depan Reiting dan Beineberg. Reiting dan Beineberg memonopoli pengadilan. Sedangkan Basini laiknya kriminal yang patut didisiplinkan. Namun, bukannya selesai, semakin lama, penyiksaan yang ditunjukkan tak lagi berwujud hukuman, lebih ke pada wujud pemuasaan dan pengakuan. Obsesi superioritas. Pun gairah tak manusiawi pada siksaan yang dihujam pada Basini. Basini tak lagi menerima penyiksaan itu sebagai hukuman, melainkan sebagai pemuasaan emosional. Penyiksaan menjadi sebuah kebutuhan. Semua itu, tentunya, urusan emosional yang tak lazim bagi logika Törless. Nilai etik dan nilai subjektif pun jadi bertentangan. Maka batasan antara good dan evil pun semakin suram.
օգտակար տեղեկություններ
BalasHapusՇՆՈՐՀԱԿԱԼՈՒԹՅՈՒՆ առաջարկությամբ :-)
հավաքածու դեղերի հաղթահարել հիվանդությունը միոմա
=======================================================
obat miom
obat miom
obat miom
obat miom
obat miom
========================================================