Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: João Pedro Rodrigues
Pemain: Ricardo Meneses, Beatriz Torcato, Andre Barbosa, Eurico Vieira, Joaquim Oliveira, Florindo Lourenço, Rodrigo Garin, Jorge Almeida, Maria Paola Porru, Luis Zorro, Salomão, João Rui Guerra da Mata
Tahun Rilis: 2000
Lebih dari 50% orang yang sudah menonton film karya João Pedro Rodrigues ini mungkin memberi film ini label “pornografi,” “eksploitasi seksual,” “bokep,” “film porno-sok-nyeni,” “pornografi-berkedok-seni,” atau malah “sampah gay-pornografi.” Tapi kesan saya setelah menonton film asal Portugal ini adalah sebuah film tentang seksualitas seorang pemuda yang kaya dengan makna, sekaligus “sakit” dalam waktu bersamaan. Bagi yang belum 18 tahun atau sudah 18 tahun tapi tidak menyukai cerita-cerita semacam ini, saya sarankan tidak usah membaca resensi film ini (apalagi menonton).
Ya, film ini menampilkan gambaran-gambaran seksual yang gamblang, porno, jorok, menjijikan, dan cenderung homo. Tapi film ini jauh dari “bokep-bokep-kosong-semata.” Alasannya karena, dibalik sensasi keeksplisitan adegan seksualnya, ada sesuatu yang lebih mendalam yang sebenarnya bisa dilihat dari film ini. Setidaknya menurut saya.
João Pedro Rodrigues membawa saya pada sebuah kisah dingin dengan suasana sunyi, kelam, gelap, dan cenderung sakit, kumuh, dan mencekam. Lebih jauh lagi, O Fantasma bahkan bisa dilihat sebagai sebuah puisi, atau lirik yang berani, nekat, dan menantang, tentang ketelanjangan obsesi, gairah, dan gejolak testosteron seorang manusia.
Selain menjadi debut feature film sutradara João Pedro Rodrigues, film ini juga menjadi debut Ricardo Meneses. Saya rasa ini salah satu debut yang paling berani untuk seorang aktor pemeran utama. Dan Ricardo Meneses, sekalipun ini penampilan perdananya di film, sangat berhasil menampilkan urgensi, ketegangan, kepolosan, hingga ketelanjangan seorang remaja yang sedang dalam masa pendewasaan. Sekalipun film ini sunyi, minim dialog, yang artinya tokoh yang diperankan Ricardo Meneses tidak banyak berbicara, aktor muda tersebut sudah sangat berhasil berbicara dengan bahasa tubuhnya – dari atas hingga bawah. Di adegan ketika Ricardo Meneses mastrubasi di shower sambil melilitkan selang shower ke lehernya – ala bondage (atau sadomasochism), misalnya. Adegan tersebut dibawakan olehnya tidak hanya dari segi sensasional-ala-bokep-bokep-bondage semata, tapi, melalui penampilannya, saya (sebagai penonton) juga berhasil dibuat mengerti bahwa ada sesuatu (yang sangat urgen dan memaksa) yang benar-benar dia butuhkan dan dia inginkan, tidak hanya tentang kebutuhan seksual, tapi juga menyangkut kebutuhan emosional. Selain itu, keberhasilan film ini juga sangat terbantu dengan suasana semi-surreal yang diciptakan João Pedro Rodrigues.
Ricardo Meneses memerankan Sergio, seorang pemuda yang bekerja sebagai tukang pungut sampah (pegawai pemerintah?). Sergio cenderung pemurung, sangat pendiam, bahkan misterius. Sergio bahkan seakan-akan mempunyai dunianya sendiri, yang jauh dari jangkauan orang-orang “normal.” Dan memang dia punya dunianya sendiri, atau dunia seksuaklnya sendiri. Sergio memuaskan hasrat seksualnya dengan mengintip, menuntit, dan pada puncaknya memerkosa sasarannya tersebut dengan pakaian lateks hitam yang mirip dengan yang dipakai Maggie Cheung di Irma Vep.
Sergio lah sosok “sakit” di film ini. Sekalipun “sakit,” Sergio dianugerahi tampang dan badan ala model Dolce & Gabbana yang mampu membuatnya digilai wanita, bahkan pria. Salah satu wanita yang tertambat pada pesona Sergio adalah Fátima (Beatriz Torcata), teman kerjanya. Sayangnya Sergio malah lebih tertarik bermain-main dengan anjing peliharaannya, yang dinamai Lorde, ketimbang melumat bibir Fátima. Sergio dan Lorde, di film ini, sebenarnya pasangan yang harmonis. Sama seperti temannya tersebut, Sergio lebih suka memenuhi hasrat seksualnya dengan menjilati lelaki ketimbang Fátima. Sergio bahkan bertingkah seperti Lorde, mengendus-endus, menjilat-jilat, bahkan penciumannya pun seakan-akan sekuat anjing.
Suatu hari Sergio berjumpa João (André Barbosa), pemuda tampan yang mempunyai sepeda motor Suzuki besar yang tidak kalah tampan juga. Semenjak saat itu, sirkulasi testosteron Sergio pun mulai tidak karuan. Sergio mulai membuntutinya, menguntitnya, diam-diam mengintip kamarnya setiap malam, bahkan mengikutinya hingga ke kamar mandi kolam renang umum. Bahkan Sergio mandi di bilik shower yang baru saja digunakan João sambil menjilat-jilati dinding (seperti anjing), melilitkan selang shower ke leher, dan, tentu saja, mastrubasi. Lebih gila lagi, Sergio malah mengacak-acak kotak sampah rumahnya demi mendapatkan kenang-kenangan seksi dari João: sebuah celana dalam (yang kelak akan digunakannnya untuk memenuhi tuntutan hormonal).
Pesona yang dimiliki Sergio di film ini digambarkan seperti sebuah candu, bukan hanya Fátima yang terpengaruh (sayangnya Sergio lebih tertarik pada seks sejenis), polisi-polisi yang dia jumpai di jalan pun turut terhipnotis. Dan ketika polisi-polisi tersebut dengan gagahnya menantang Sergio dengan pentungan mereka, Sergio malah membalas dengan wajah rakus dan lapar.
O Fantasma juga bisa dilihat sebagai film tentang alienasi (pengasingan). Ada cara pandang yang menarik dari bagaiaman João Pedro Rodrigues menggambarkan kemiripian Sergio dengan Lorde. Sudah bukan rahasia umum kalau manusia selalu mengklaim bahwa spesies mereka berbeda, bahkan lebih tinggi, dari binatang. Manusia termasuk mamalia, tapi tidak pernah mau disamakan dengan sapi, kerbau, atau hewan-hewan mamalia lainnya. Tapi penerapan di masyarakat nyata jelas beda dengan teorinya. Masyarakat bisa menjadi medium yang kejam bagi manusia untuk menampakkan insting kebinatangan mereka. Melalui O Fantasma, João Pedro Rodrigues menampilkan seseosok manusia dengan insting binatang, si Sergio. Sérgio bahkan lebih akrab dengan anjing peliharaannya, ketimbang manusia. Sergio menghadapi alienasi dengan cara melakukan kesenangan seksual, baik sekedar mastrubasi, atau malah melakukannya dengan pria mana pun yang ia temui di jalan. Perjumpaannya dengan João merupakan medium pemantapan dan penegasan identitas Sérgio. Semakin João menolak Sérgio, semakin Sérgio menggebu-gebu, dan semakin kuat insting binatannya. Dengan berpijak pada cara pandang di atas, “the phantom,” atau “bayangan,” yang dimaksud di sini bukan lah Sérgio, melainkan naluri kebinatangan di dalam diri Sérgio – dan manusia pada umumnya. Ini bukan sekedar film tentang homoseksual, tapi tentang manusia.
Sutradara: João Pedro Rodrigues
Pemain: Ricardo Meneses, Beatriz Torcato, Andre Barbosa, Eurico Vieira, Joaquim Oliveira, Florindo Lourenço, Rodrigo Garin, Jorge Almeida, Maria Paola Porru, Luis Zorro, Salomão, João Rui Guerra da Mata
Tahun Rilis: 2000
Lebih dari 50% orang yang sudah menonton film karya João Pedro Rodrigues ini mungkin memberi film ini label “pornografi,” “eksploitasi seksual,” “bokep,” “film porno-sok-nyeni,” “pornografi-berkedok-seni,” atau malah “sampah gay-pornografi.” Tapi kesan saya setelah menonton film asal Portugal ini adalah sebuah film tentang seksualitas seorang pemuda yang kaya dengan makna, sekaligus “sakit” dalam waktu bersamaan. Bagi yang belum 18 tahun atau sudah 18 tahun tapi tidak menyukai cerita-cerita semacam ini, saya sarankan tidak usah membaca resensi film ini (apalagi menonton).
Ya, film ini menampilkan gambaran-gambaran seksual yang gamblang, porno, jorok, menjijikan, dan cenderung homo. Tapi film ini jauh dari “bokep-bokep-kosong-semata.” Alasannya karena, dibalik sensasi keeksplisitan adegan seksualnya, ada sesuatu yang lebih mendalam yang sebenarnya bisa dilihat dari film ini. Setidaknya menurut saya.
João Pedro Rodrigues membawa saya pada sebuah kisah dingin dengan suasana sunyi, kelam, gelap, dan cenderung sakit, kumuh, dan mencekam. Lebih jauh lagi, O Fantasma bahkan bisa dilihat sebagai sebuah puisi, atau lirik yang berani, nekat, dan menantang, tentang ketelanjangan obsesi, gairah, dan gejolak testosteron seorang manusia.
Selain menjadi debut feature film sutradara João Pedro Rodrigues, film ini juga menjadi debut Ricardo Meneses. Saya rasa ini salah satu debut yang paling berani untuk seorang aktor pemeran utama. Dan Ricardo Meneses, sekalipun ini penampilan perdananya di film, sangat berhasil menampilkan urgensi, ketegangan, kepolosan, hingga ketelanjangan seorang remaja yang sedang dalam masa pendewasaan. Sekalipun film ini sunyi, minim dialog, yang artinya tokoh yang diperankan Ricardo Meneses tidak banyak berbicara, aktor muda tersebut sudah sangat berhasil berbicara dengan bahasa tubuhnya – dari atas hingga bawah. Di adegan ketika Ricardo Meneses mastrubasi di shower sambil melilitkan selang shower ke lehernya – ala bondage (atau sadomasochism), misalnya. Adegan tersebut dibawakan olehnya tidak hanya dari segi sensasional-ala-bokep-bokep-bondage semata, tapi, melalui penampilannya, saya (sebagai penonton) juga berhasil dibuat mengerti bahwa ada sesuatu (yang sangat urgen dan memaksa) yang benar-benar dia butuhkan dan dia inginkan, tidak hanya tentang kebutuhan seksual, tapi juga menyangkut kebutuhan emosional. Selain itu, keberhasilan film ini juga sangat terbantu dengan suasana semi-surreal yang diciptakan João Pedro Rodrigues.
Ricardo Meneses memerankan Sergio, seorang pemuda yang bekerja sebagai tukang pungut sampah (pegawai pemerintah?). Sergio cenderung pemurung, sangat pendiam, bahkan misterius. Sergio bahkan seakan-akan mempunyai dunianya sendiri, yang jauh dari jangkauan orang-orang “normal.” Dan memang dia punya dunianya sendiri, atau dunia seksuaklnya sendiri. Sergio memuaskan hasrat seksualnya dengan mengintip, menuntit, dan pada puncaknya memerkosa sasarannya tersebut dengan pakaian lateks hitam yang mirip dengan yang dipakai Maggie Cheung di Irma Vep.
Sergio lah sosok “sakit” di film ini. Sekalipun “sakit,” Sergio dianugerahi tampang dan badan ala model Dolce & Gabbana yang mampu membuatnya digilai wanita, bahkan pria. Salah satu wanita yang tertambat pada pesona Sergio adalah Fátima (Beatriz Torcata), teman kerjanya. Sayangnya Sergio malah lebih tertarik bermain-main dengan anjing peliharaannya, yang dinamai Lorde, ketimbang melumat bibir Fátima. Sergio dan Lorde, di film ini, sebenarnya pasangan yang harmonis. Sama seperti temannya tersebut, Sergio lebih suka memenuhi hasrat seksualnya dengan menjilati lelaki ketimbang Fátima. Sergio bahkan bertingkah seperti Lorde, mengendus-endus, menjilat-jilat, bahkan penciumannya pun seakan-akan sekuat anjing.
Suatu hari Sergio berjumpa João (André Barbosa), pemuda tampan yang mempunyai sepeda motor Suzuki besar yang tidak kalah tampan juga. Semenjak saat itu, sirkulasi testosteron Sergio pun mulai tidak karuan. Sergio mulai membuntutinya, menguntitnya, diam-diam mengintip kamarnya setiap malam, bahkan mengikutinya hingga ke kamar mandi kolam renang umum. Bahkan Sergio mandi di bilik shower yang baru saja digunakan João sambil menjilat-jilati dinding (seperti anjing), melilitkan selang shower ke leher, dan, tentu saja, mastrubasi. Lebih gila lagi, Sergio malah mengacak-acak kotak sampah rumahnya demi mendapatkan kenang-kenangan seksi dari João: sebuah celana dalam (yang kelak akan digunakannnya untuk memenuhi tuntutan hormonal).
Pesona yang dimiliki Sergio di film ini digambarkan seperti sebuah candu, bukan hanya Fátima yang terpengaruh (sayangnya Sergio lebih tertarik pada seks sejenis), polisi-polisi yang dia jumpai di jalan pun turut terhipnotis. Dan ketika polisi-polisi tersebut dengan gagahnya menantang Sergio dengan pentungan mereka, Sergio malah membalas dengan wajah rakus dan lapar.
O Fantasma juga bisa dilihat sebagai film tentang alienasi (pengasingan). Ada cara pandang yang menarik dari bagaiaman João Pedro Rodrigues menggambarkan kemiripian Sergio dengan Lorde. Sudah bukan rahasia umum kalau manusia selalu mengklaim bahwa spesies mereka berbeda, bahkan lebih tinggi, dari binatang. Manusia termasuk mamalia, tapi tidak pernah mau disamakan dengan sapi, kerbau, atau hewan-hewan mamalia lainnya. Tapi penerapan di masyarakat nyata jelas beda dengan teorinya. Masyarakat bisa menjadi medium yang kejam bagi manusia untuk menampakkan insting kebinatangan mereka. Melalui O Fantasma, João Pedro Rodrigues menampilkan seseosok manusia dengan insting binatang, si Sergio. Sérgio bahkan lebih akrab dengan anjing peliharaannya, ketimbang manusia. Sergio menghadapi alienasi dengan cara melakukan kesenangan seksual, baik sekedar mastrubasi, atau malah melakukannya dengan pria mana pun yang ia temui di jalan. Perjumpaannya dengan João merupakan medium pemantapan dan penegasan identitas Sérgio. Semakin João menolak Sérgio, semakin Sérgio menggebu-gebu, dan semakin kuat insting binatannya. Dengan berpijak pada cara pandang di atas, “the phantom,” atau “bayangan,” yang dimaksud di sini bukan lah Sérgio, melainkan naluri kebinatangan di dalam diri Sérgio – dan manusia pada umumnya. Ini bukan sekedar film tentang homoseksual, tapi tentang manusia.
Uwo... kaget juga baca resensinya. saya pikir bakal ada scene bestiality-nya *pletak*
BalasHapus