Oleh: Rio Johan (Rijon)Sutradara: Duncan Jones
Pemain: Jake Gyllenhaal, Michelle Monaghan, Vera Farmiga, Jeffrey Wright, Cas Anvar, Russell Peters, Michael Arden, Scott Bakula
Tahun Rilis: 2011
Saya ingat sesuatu yang pernah saya baca dulu-dulu sekali sewaktu SMA. Saya lupa judul artikelnya, pun lupa keseluruhan detil isinya. Samar-sumir, isi artikel itu garis besarnya tentang teknologi neurotik untuk mempertahankan kerja otak di semacam (mungkin) Nitrogen cair, sementara bagian tubuh lain dimatikan sementara. Entah bagaimana tetek-bengeknya, yang saya ingat, artikel itu menyatakan kalau mati menurut hukum beda hakikatnya dengan mati menurut klinis. Mati menurut hukum ditandai dengan berhentinya kerja jantung, sementara menurut klinis tergantung pada kerja otak. (Itu kalau memori saya tak keliru menerawang.)
Film terbaru dari sutradara Moon ini mengangkat latar metafisika tentang kekuatan otak pula. Konon, meski tubuh sudah mati, otak yang belum mati masih menyimpan memori sekilas sebelum kematian. Kemungkinan metafisika itu digunakan oleh sebuah kelompok pemerintah pada program Source Code. Program ini digunakan untuk mereka ulang memori salah seorang korban pemboman kereta api yang sudah mati, tapi mayatnya masih utuh sehingga memorinya bisa dilejajahi. Seorang kapten, Colter Stevens, yang ditugaskan di Afghanistan (Jake Gyllenhaal) yang ditugasi misi. Bukan tubuh badaniahnya, tapi manifestasinya; tubuhnya yang sudah mati ditopang dengan alat.
Pak Stevens ini ditugasi menjelajahi memori salah seorang penumpang delapan menit sebelum pemboman. Misinya tiada lain ialah mencari pelakon dari pemboman tersebut, sebab di dunia nyata ancaman pemboman datang lagi dari pelaku yang sama. Delapan menit itu pun berulang-ulang dilejajahi. Delapan menit. Tak terduga, delapan menit yang sungguh terasa elastis. Stevens bisa merayu wanita, turun kereta, membuntuti seorang pria ke toilet, mengancam pria itu, berkelahi, lalu jatuh ke rel kereta api; semuanya dilakukan dalam waktu delapan menit. Manakala saya mengulangi lagi adegan itu dari awal, kalau fasilitas stopwatch di telepon genggam saya bisa dipercaya, niscaya delapan menit di film itu benar adanya. Pujalah cut in dan cut out. Andaikata single shot? Pulakah delapan menit itu benar pada praktik nyata? Entahlah, saya tak pernah melakukan rentetan kejadian yang dialami Stevens ini. Saya cuma pernah masak mi goreng instan (kurang lebih 3 menit, itu pun belum termasuk menghidupkan kompor dan menyiapkan panci terlebih dahulu), menyiapkan mi yang sudah masak di atas piring (kurang dari 1 menit), lalu makan. Berhubung saya tak gelojoh, mungkin sekitar delapan menit adanya. Kalau ada yang penasaran, praktikan sendiri saja. Saya cuma menerka-nerka.
Ya, menerka-nerka lah yang seringkali saya lakukan pada film sci-fi tersohor ini. Termasuk juga perihal konsep metafisiknya. Andaikata pemahaman dan penangkapan saya tak salah, segala yang terjadi selama lingkaran waktu delapan menit itu adalah manifestasi dari memori guru sejarah yang mana penampakan fisiknya digunakan oleh Stevens untuk menjelajah. Sungguh luar biasa hebat memori si pria ini; sampai-sampai bisa mereka kembali seluruh lekak-lekuk kota, sampai-sampai segala isi gerbong bisa dibangun ulang sedetil-detilnya (mungkin jerawat penumpang juga bisa diingat kembali). Termasuk pula mobil si pelaku, lengkap dengan perlengkapan radioaktifnya. Tunggu? Kok bisa?
Lebih dari itu, kalau memang kondisi, entah jenazah entah apalah, si guru sejarah ini masih memadai untuk dijadikan patokan, kenapa tak menggunakan manifestasi memorinya saja sendiri untuk menjelajah? Bukankah lebih tak runyam, kan? (Tentu masih ada pertanyaan buntutan lainnya.) Lah?
Titik persoalannya tentulah konsep metafisik Source Code itu sendiri. Ah, tentulah kalau Anda bukan ilmuwan, filsuf, cendikiawan, atau penonton skeptis, pastilah beranggapan tak usah melogikakan sains dalam fiksi. Apalagi film musim panas. (Benar, kan?) Cukup nikmati saja tiap tegang-regangnya keseruan-keseruan yang ada. Persoalannya Source Code malah repot-repot ingin menjelaskan. Dan bukannya berhasil menjelaskan, malah menimbulkan pertanyaan baru, dan pertentangan baru lagi. (Ah, bodohnya saya. Ini film tegang musim panas. Tak usah pakai kepala, kan?)
Pemain: Jake Gyllenhaal, Michelle Monaghan, Vera Farmiga, Jeffrey Wright, Cas Anvar, Russell Peters, Michael Arden, Scott Bakula
Tahun Rilis: 2011
Saya ingat sesuatu yang pernah saya baca dulu-dulu sekali sewaktu SMA. Saya lupa judul artikelnya, pun lupa keseluruhan detil isinya. Samar-sumir, isi artikel itu garis besarnya tentang teknologi neurotik untuk mempertahankan kerja otak di semacam (mungkin) Nitrogen cair, sementara bagian tubuh lain dimatikan sementara. Entah bagaimana tetek-bengeknya, yang saya ingat, artikel itu menyatakan kalau mati menurut hukum beda hakikatnya dengan mati menurut klinis. Mati menurut hukum ditandai dengan berhentinya kerja jantung, sementara menurut klinis tergantung pada kerja otak. (Itu kalau memori saya tak keliru menerawang.)
Film terbaru dari sutradara Moon ini mengangkat latar metafisika tentang kekuatan otak pula. Konon, meski tubuh sudah mati, otak yang belum mati masih menyimpan memori sekilas sebelum kematian. Kemungkinan metafisika itu digunakan oleh sebuah kelompok pemerintah pada program Source Code. Program ini digunakan untuk mereka ulang memori salah seorang korban pemboman kereta api yang sudah mati, tapi mayatnya masih utuh sehingga memorinya bisa dilejajahi. Seorang kapten, Colter Stevens, yang ditugaskan di Afghanistan (Jake Gyllenhaal) yang ditugasi misi. Bukan tubuh badaniahnya, tapi manifestasinya; tubuhnya yang sudah mati ditopang dengan alat.
Pak Stevens ini ditugasi menjelajahi memori salah seorang penumpang delapan menit sebelum pemboman. Misinya tiada lain ialah mencari pelakon dari pemboman tersebut, sebab di dunia nyata ancaman pemboman datang lagi dari pelaku yang sama. Delapan menit itu pun berulang-ulang dilejajahi. Delapan menit. Tak terduga, delapan menit yang sungguh terasa elastis. Stevens bisa merayu wanita, turun kereta, membuntuti seorang pria ke toilet, mengancam pria itu, berkelahi, lalu jatuh ke rel kereta api; semuanya dilakukan dalam waktu delapan menit. Manakala saya mengulangi lagi adegan itu dari awal, kalau fasilitas stopwatch di telepon genggam saya bisa dipercaya, niscaya delapan menit di film itu benar adanya. Pujalah cut in dan cut out. Andaikata single shot? Pulakah delapan menit itu benar pada praktik nyata? Entahlah, saya tak pernah melakukan rentetan kejadian yang dialami Stevens ini. Saya cuma pernah masak mi goreng instan (kurang lebih 3 menit, itu pun belum termasuk menghidupkan kompor dan menyiapkan panci terlebih dahulu), menyiapkan mi yang sudah masak di atas piring (kurang dari 1 menit), lalu makan. Berhubung saya tak gelojoh, mungkin sekitar delapan menit adanya. Kalau ada yang penasaran, praktikan sendiri saja. Saya cuma menerka-nerka.
Ya, menerka-nerka lah yang seringkali saya lakukan pada film sci-fi tersohor ini. Termasuk juga perihal konsep metafisiknya. Andaikata pemahaman dan penangkapan saya tak salah, segala yang terjadi selama lingkaran waktu delapan menit itu adalah manifestasi dari memori guru sejarah yang mana penampakan fisiknya digunakan oleh Stevens untuk menjelajah. Sungguh luar biasa hebat memori si pria ini; sampai-sampai bisa mereka kembali seluruh lekak-lekuk kota, sampai-sampai segala isi gerbong bisa dibangun ulang sedetil-detilnya (mungkin jerawat penumpang juga bisa diingat kembali). Termasuk pula mobil si pelaku, lengkap dengan perlengkapan radioaktifnya. Tunggu? Kok bisa?
Lebih dari itu, kalau memang kondisi, entah jenazah entah apalah, si guru sejarah ini masih memadai untuk dijadikan patokan, kenapa tak menggunakan manifestasi memorinya saja sendiri untuk menjelajah? Bukankah lebih tak runyam, kan? (Tentu masih ada pertanyaan buntutan lainnya.) Lah?
Titik persoalannya tentulah konsep metafisik Source Code itu sendiri. Ah, tentulah kalau Anda bukan ilmuwan, filsuf, cendikiawan, atau penonton skeptis, pastilah beranggapan tak usah melogikakan sains dalam fiksi. Apalagi film musim panas. (Benar, kan?) Cukup nikmati saja tiap tegang-regangnya keseruan-keseruan yang ada. Persoalannya Source Code malah repot-repot ingin menjelaskan. Dan bukannya berhasil menjelaskan, malah menimbulkan pertanyaan baru, dan pertentangan baru lagi. (Ah, bodohnya saya. Ini film tegang musim panas. Tak usah pakai kepala, kan?)
Emang film ini lemah pada penyampaian teori sci-finya atau fantasinya. haha. Yang ada memang membuat rentetan pertanyaannya. daripada ribet menjelaskan aturan mainnya. Dramanya juga tergolong err biasa ajah deh. haha.
BalasHapusTapi, film ini lumayan lah menghibur. apalagi soundnya yang asik. dar-der-dor (diulang sampai satuan-kali). :D
Eh, itu jake gyllenhall udah mati ato masih hidup sih? Kok menurutku masih hidup ya?
BalasHapus@curhatsinema Seingatku, Jake Gyllenhaal alias si tentara Afghanistan itu, otaknya dibantu dengan semacam "life support." Nah, aku bukan pakar ilmiah ya (apalagi persoalan medis, klinis, kedokteran semacam ini). Sepenangkapanku sih, secara harfiahnya si Jake Gyllenhaal itu mati, tapi otak (dan mungkin sebagian tubuh lainnya) dipertahankan hidup dengan life support itu. Kalau dicabut, ya mati.
BalasHapus