Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: M. Night Shyamalan
Pemain: Noah Ringer, Dev Patel, Nicola Peltz, Jackson Rathbone, Shaun Toub, Aasif Mandvi, Seychelle Gabriel, Cliff Curtis, Summer Bishil
Tahun Rilis: 2010
Diangkat dari serial animasi televisi
Avatar: The Last Airbender.
Siapa kira M. Night Shyamalan, yang pernah melahirkan
The Sixth Sense dengan salah satu line fenomenal “I see dead people,” bisa menelurkan sebuah film buruk hampir dari segala aspek vital. Saya akan membuat resensi ini sesingkat mungkin, saya sama sekali tidak berniat membuat tulisan rumit dan panjang seperti yang saya buat untuk
Ten atau
A Passage to India. Lagipula memang tidak banyak yang bisa dibicarakan panjang-lebar dari film ini. Mengena sinopsis, saya tidak akan menulis ulang sinopsisnya, serial tivi
Avatar: The Last Airbender sudah cukup terkenal bahkan di Indonesia. Saya asumsikan saja semua orang yang membaca tulisan ini, terlepas sudah atau belum menonton film ini, sudah tahu garis besar ceritanya.
The Last Airbender malah sudah menimbulkan kontroversi ketika M. Night Shyamalan memutuskan menggunakan aktor kaukasoid untuk memerankan Aang, yang sangat kental unsur Buddha, Taoisme, dan keorientalannya. Bukan. Noah Ringer, pemeran Aang malah bukan aktor profesional sebenarnya. Dan penampilan Noah Ringer di sini sangat buruk, malah jadi salah satu keburukan vital film ini. Lantas apa alasan M. Night Shyamalan memilih Noah Ringer? Dan Noah Ringer jelas bukan Dakota Fanning yang popularitasnya bisa mendongkrak film ini. Hanya beliau yang tahu. Tapi coba bandingkan dengan Gabe Nevins, yang juga bukan aktor profesional, yang dipilih Gus Van Sant untuk tampil sebagai pemeran utama di
Paranoid Parks. Atau kenapa Rob Marshal memilih Zhang Ziyi, Gong Li, dan Michelle Yeoh untuk memerankan tokoh-tokoh Jepang di
Memoirs of a Geisha. Kalau dibandingkan, susah menemukan alasan yang tepat kenapa M. Night Shyamalan memilih Noah Ringer. Jangankan Noah Ringer, tidak ada satupun penampilan pemain di film ini yang menyenangkan. Bahkan, untuk sebuah film yang harusnya menjadi hiburan, penampilan-penampilan di
The Last Airbender malah nyaris tidak bernyawa. Dramatisasi yang diterapkan kebanyakan tidak tepat.
Untuk ukuran sebuah film fantasi, di era di mana teknologi visualisasi sudah sampai level 3D ini,
The Last Airbender malah lebih buruk ketimbang efek-efek yang ada dalam animasi 1990-an. Bukan buruk dari segi kecanggihannya, tapi dari segi efektivitasnya. Wajar saja, mengingat
The Last Airbender adalah sebuah film yang dipaksakan untuk menjadi 3D. Mulanya film ini diproduksi hanya sebatas film fantasi 2D, tapi, karena alasan komersial pastinya, rumah produksi memaksa untuk membuat versi 3D dari film ini. Jadilah sebuah film yang sangat-sangat buruk dari segi visualisasi. Dan untuk ukuran
plot cerita, film ini tidak lebih baik dari akting dan efek spesialnya.
Pacing yang buruk. Bahkan peloncatan alur yang sangat-sangat kasar.
The Last Airbender seakan-akan cuma merangkum beberapa seri dari seril tivi nya. Hasilnya, tidak ada kejelasan kecuali sebuah
sequel.