A film is - or should be - more like music than like fiction. It should be a progression of moods and feelings. The theme, what’s behind the emotion, the meaning, all that comes later.
~ Stanley Kubrick
IN A BETTER WORLD (2010) — What makes the friendship between Christian and Elias so special is how deeply and honestly Susanne Bier displays the emotional side of both children. Only by peering the eyes of the two actors, I can feel the all emotional reasons why they become such small terrorists. YOUNG TÖRLESS (1966) — Violence is not just a physical matter, but also psychological and emotional. In Young Törless, ethical ​​and subjective values ​​were so contradictory. Then the boundaries between good and evil even more vague. PHARAOH (1966) — Faraon is an evocative anatopism, also an astonishing colossal. A truly rare gem of its kind. Not only works as a visual declaration, Kawalerowicz also made it so carefully, so mesmerizing, yet so challenging. THE BOYS OF PAUL STREET (1969) — An ironic allegory not only for the face of war, but also the heart of it: militarism and nationalism. The irony in the end makes the two terminologies be absurd. SPIRITED AWAY (2001) — “What's in a name?” asked Shakespeare. “A name is an identity,” said this movie. MISS JULIE (1951) - Miss Julie is a very challenging study, whether psychological or situational. In a simple but smart way, Miss Julie presents the phases of a political game of love and seduction. MY NIGHT AT MAUD'S (1969) - Éric Rohmer not only talk about choices and risks of choices, there is also a glimpse the importance of choices and the pain of choices. My Night at Maud's, for me, is the most amazing movie about refracting those two opposing aspects of life. TEN (2002) — The use of "dashboard camera" method by Abbas Kiarostami is successfully providing such microscopic spectacle about the characters, not only on outside but also capable of making this movie as a unique character and gender study. THE PARTY AND THE GUESTS / A REPORT ON THE PARTY AND THE GUESTS (1966) — The allegory is not only the great thing about this Czechoslovak New Wave Cinema movie, but also its weirdness, its unnatural behavior, its peculiar plot, but the most of it is about how the movie smartly move without caution. ELEPHANT (2003) — Elephant is a piece of work that should be commended for its bravery. Such compliments are mainly intended to for Gus Van Sant's guts on using such non-linear and unusual narrative spectacle. Also packed with such unnatural risky styles which was really cost lot of guts.

Senin, 30 Agustus 2010

Volver

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Pedro Almodóvar
Pemain:
Penélope Cruz, Carmen Maura, Lola Dueñas, Blanca Portillo, Yohana Cobo, Chus Lampreave

Tahun Rilis: 2006

Volver kalau diterjemahkan dari bahasa Spanyol artinya kembali, spesifiknya, kembali ke suatu tempat. Volver tidak lain disutradari oleh salah satu sutradara terkemuka asal Spanyol, Pedro Almodóvar.

Knight and Day

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: James Mangold
Pemain:
Tom Cruise, Cameron Diaz, Peter Sarsgaard, Maggie Grace, Paul Dano, Marc Blucas, Viola Davis, Jordi Mollà

Tahun Rilis: 2010

Setelah Ashton Kutcher dipasangkan dengan Katherine Heigl dalam sebuah action-romantic comedy tentang agen rahasia yang berjudul Killers, sekarang giliran aktor yang lebih kawakan lagi, Tom Cruise dan Cameron Diaz, yang dipasangkan di film berformula serupa, Knight and Day.

Jumat, 27 Agustus 2010

Killshot

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: John Madden
Pemain:
Diane Lane, Mickey Rourke, Thomas Jane, Joseph Gordon-Levitt, Rosario Dawson, Hal Holbrook

Tahun Rilis: 2009

Film ini diangkat dari novel Killshot karya Elmore Leonard.

Killshot disutradarai oleh John Madden, yang sebelumnya menghasilkan Shakespeare in Love (pemenang Best Picture Oscar, Golden Globe, dan BAFTA), Mrs. Brown, Captain Corelli's Mandolin, dan Proof. Killshot, film yang bergenre suspense thriller ini dibintangi oleh dua orang yang bisa dibilang memang cukup menjanjikan di genre serupa. Diane Lane pernah dinominasikan Best Actress Oscar melalui Unfaithful, film yang bergenre erotic thriller. Mickey Rourke, yang tahun kemarin menyabet Oscar melalui penampilannya di The Wrestler, juga punya pengalaman di film serupa, Wild Orchid—walaupun Wild Orchid sejujurnya adalah produk gagal. Seharusnya sih, Killshot bisa menjadi film suspense yang cukup menjanjikan.

Mickey Rourke memerankan Armand “Blackbird” Degas, pembunuh bayaran profesional yang sialnya berjumpa dengan Richie Nix (Joseph Gordon-Levitt), pemuda perampok bank. Blackbird memutuskan untuk membantu Richie merampok seorang bos real-estate, sayangnya mereka salah sasaran. Wayne Colson (Thomas Jane), suami sekertaris kantor yang akan dirampok, Carmen (Diane Lane)—yang saat itu sedang menggunakan jas di kantor bos real-estate jadi target salah sasaran.

Pasangan itu melihat wajah Blackbirdk—yang notabene seorang penjahat federal. Pasangan Colson pun langsung diamankan oleh FBI melalui federal witness protection program (program perlindungan saksi federal) agar Blackbird tidak bisa menemukan mereka. Blackbird, yang tidak mau ambil resiko, terpaksa harus mencari dan menghabisi pasangan Colson.

Begitulah premisnya.

Sayangnya Killshot malah tidak mampu memenuhi ekspektasi saya. Yang terjadi menit-demi-menit hanya kegagalalan menyuguhkan sebuah suspense. Apapun bisa dijadikan alasan untuk kegagalan itu, antara lain timing, durasi, mubazirimse yang merajalela, suasana yang nyaris tidak terbangun baik, tapi tidak untuk penampilan. Satu-satunya yang bisa dijadikan hal positif dalam Killshot adalah penampilan. Secara keseluruhan, semua pemain memberikan penampilan yang cukup solid—sekalipun belum mampu mengangkat film ini ke level bagus.

Joseph Gordon-Levitt kadang terasa over-akting—di beberapa adegan over-aktingnya berhasil, tapi di beberapa adegan sayangnya terlihat aneh. Ini bukan penampilan terbaiknya.

Diane Lane dan Mickey Rourke pencuri perhatian di sini.

Ada bumbu seputar pernikahan tokoh Diane Lane, Carmen, yang diambang perceraian, karena Carmen merasa tidak pantas menjadi istri karena tidak mampu memberikan keturunan. Identitas baru yang diberikan FBI pada pasangan Colson memberikan kesempatan baru bagi Carmen untuk me-reevaluasi pernikahan mereka, atau bahkan mencoba mengulang kembali. Lalu datang bencana dari Blackbird yang, bisa dibilang, sebuah halangan atau tantangan dari usaha (tidak langsung) memperbaiki pernikhan. Diane Lane, sekalipun ini bukan penampilan terbaiknya, tampil sangat meyakinkan sebagai Carmen.

Mickey Rourke tampil menawan lagi, sekalipun tidak semenawan di The Wrestler. Ada semacam konflik batin dalam tokoh yang diperankan Mickey Rourke, Blackbird dihantui masa lalu ketika dia tidak sengaja menembak adiknya sendiri dalam suatu misi. Ini lah alasan kenapa Blackbird memutuskan untuk membantu Richie: karena Blackbird melihat (baca: mengingatkan) adiknya dalam diri Richie.

Sayangnya John Madden gagal membangun semacam chemistry antara Carmen dan Blackbird. Walapun begitu, Mickey Rourke dan Diane Lane adalah alasan kenapa saya tidak meninggalkan bioskop.

http://1.bp.blogspot.com/-NueRwvCWyRI/TWuaIz7MSOI/AAAAAAAACL8/0zKrw3WpcFI/s1600/C-.bmp

The Imaginarium of Doctor Parnassus

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Terry Gilliam
Pemain:
Heath Ledger, Christopher Plummer, Verne Troyer, Lily Cole, Andrew Garfield, Tom Waits, Johnny Depp, Colin Farrell, Jude Law

Tahun Rilis: 2009

The Imaginarium of Doctor Parnassus adalah satu dari sekian judul film yang menciptakan dunia fantasinya sendiri— yang cenderung absurd—untuk serta-merta dilahap oleh penonton. Film-film semacam Big Fish. Berhasil atau tidaknya, tergantung bagaimana sang sutradara mengolah dan mengeksekusi filmnya.

Kamis, 26 Agustus 2010

Mannequin

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Michael Gottlieb
Pemain:
Andrew McCarthy, Kim Cattrall, Estelle Getty, James Spader, G. W. Bailey, Steve Vinovich

Tahun Rilis: 1987

Untuk sebuah romantic comedy, genre yang sudah sangat umum dan cenderung ringan, Mannequin sangat-sangat gagal. Bahkan sekedar gagal total pun masih belum cukup untuk menggambarkan kegagalan Mannequin. Jangankan sekedar menghibur, Mannequin bahkan sudah sangat gagal untuk sekedar membuat filmnya terlihat hidup.

Rabu, 25 Agustus 2010

آفساید

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Jafar Panahi
Pemain:
Shima Mobarak-Shahi, Safar Samandar, Shayesteh Irani, Ayda Sadeqi, Golnaz Farmani, Melika Shafahi, Safdar Samandar, Mohammad Kheir-abadi, Masoud Kheymeh-kabood, Mohammed-Reza Gharebaghi

Tahun Rilis: 2006
Judul Internasional: Offside

Sinema Iran memang salah satu sinema favorit saya. Film-film bikinan sutradara Iran, diantaranya Abbas Kiarostami atau Majid Majidi, selalu jadi salah satu yang saya nanti-nanti. Sekarang, akibat The White Balloon, The Circle, dan Offside ini, Jafar Panahi masuk jajaran sutradara Iran yang bakal saya tunggu-tunggu karyanya.

How to Train Your Dragon

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Chris Sanders & Dean DeBlois

Tahun Rilis: 2010

Ada semacam perasaan menyenangkan ketika menonton How to Train Your Dragon. Ada suasana petualangan yang menyenangkan sekaligus mendebarkan dari film animasi komputer yang satu ini. Bukan cuma karena visualisasi animasinya yang menggugah, tapi juga karena chemistry antara Hiccup dan Toothless yang menawan.

Selasa, 24 Agustus 2010

Tasogare Seibei (たそがれ清兵衛)

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Yôji Yamada
Pemain:Hiroyuki Sanada, Rie Miyazawa, Nenji Kobayashi, Ren Osugi, Mitsuru Fukikoshi, Hiroshi Kanbe, Miki Itô, Erina Hashiguchi, Reiko Kusamura, Min Tanaka, Keiko Kishi, Tetsuro Tamba

Tahun Rilis: 2002
Judul Internasional: The Twilight Samurai

Seibei Iguchi (Hiroyuki Sanada), samurai kelas rendah tokoh utama film ini, hidup dengan gaji 50 koku (plus hasil membuat sangkar belalang) per bulan. Saya tidak tahu seberapa berharganya 50 koku di zaman itu, tapi dengan melihat film bisa saya bayangkan, menghidupi dua orang anak ditambah satu ibu yang sudah pikun dengan 50 koku per bulan, kurang lebih rasanya sama dengan jadi anak kost dengan biaya Rp. 50000 per bulan.

Senin, 23 Agustus 2010

Request Link Download

Berhubung di Facebook cukup banyak yang nanya dari mana saya mendapatkan film-film, silahkan tulis di sini (di komentar) film yang teman-teman inginkan dengan format:

Judul Film (dalam bahasa asal dan versi internasionalnya):
Tahun:
Asal Negara:
Sutradara:

CATATAN:
  1. Link download yang saya berikan umumnya saya dapat dari rapidshare atau hotfile, dan biasanya sudah dalam bentuk dipcah-pecah (bentuk rar). Dan perlu diketahui juga, link film yang saya berikan umumnya bersubtitle Bahasa Inggris (jangan berharap menemukan subtitle Bahasa Indonesia), bahkan bisa saja tidak bersubtitle sama sekali.
  2. Saya bukan uploader film-film tersebut, saya hanya membantu menemukan link download film-film tersebut. Sekali lagi, saya bukan uploader film-film tersebut.
  3. Saya bukan uploader, jadi saya tidak terlalu tahu detil teknis file yang akan didownload. Saya cuma membantu meencarikan.
  4. Berhubung saya juga punya keterbatasan, dan rasanya tidak mungkin tidak ada judul film yang tidak bisa saya temukan, apabila dalam kurun waktu satu minggu request tidak dibalas, artinya request teman-teman, mohon maaf, tidak saya temukan.
  5. Untuk menghindari tumpukan request. Satu orang, satu kali request, untuk satu kali kesempatan. Bila request tersebut belum dipenuhi, atau belum lewat satu minggu, mohon untuk tidak melayangkan request baru.
  6. Tidak menerima request bokep dan request junk.
Terima kasih.

Iedereen beroemd!

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Dominique Deruddere
Pemain: Josse De Pauw, Eva van der Gucht, Werner De Smedt, Thekla Reuten, Victor Löw

Tahun Rilis: 2000
Judul Internasional: Everybody's Famous!

Ini mungkin nominator Best Foreign Language Oscar terlemah yang pernah saya tonton, terlepas dari itu, Everyboy's Famous adalah komedi caper yang terlalu menarik untuk dilewatkan.

Everybody's Famous termasuk komedi situasional yang ringan. Film ini juga contoh character driven plot yang cukup bagus. Everybody's Famous mengkomedikan sepercik bagian dari bisnis entertainment. Berkisah tentang Jean (Josse De Pauw), seorang bapak yang terobsesi melejitkan putrinya, Marva (Eva van der Gucht), menjadi penyanyi terkenal. Marva gendut – jelas bukan tipe penyanyi hot nan seksi yang bakal digandrungi. Marva sebenarnya bisa bernyanyi – Marva bernyanyi merdu di sebuah pentas teater boneka di depan anak-anak TK. Tapi Marva, bisa dibilang, tidak PD dengan dirinya sendiri ketika diharuskan menanyi di atas panggung menghadap orang ramai. Marva bahkan mengira penyanyi wanita yang ngetop di TV pasti sudah meniduri puluhan nama produser. Marva selalu mengikuti kontes menyanyi, tapi tidak pernah menang. Mendapat tanggapan bagus pun tidak.

Jean mendapatkan kesempatan. Di tengah frustasi, Jean berjumpa Debbie (Thekla Reuten), seorang penyanyi pop ngetop yang kebetulan hobi otomotif dan sedang day off (berlibur sehari). Jean memanfaatkan kesempatan. Bersama teman kerja yang senasib dengannya, Willy (Werner De Smedt), Jean menculik Debbie. Jean mengancam manajer Debbie, Michael (Victor Löw), untuk membuatkan single buat Marva. Keadaan makin kacau ketika situasi berpindah ke tangan Michael yang ternyata punya rencana sendiri. Michael berjanji bakal mengorbitkan Marva, asalkan Jean setuju mendekap Debbie selama yang dia mau. Ditambah kacau ketika Debbie dan Willy diam-diam jatuh cinta satu sama lain.

http://2.bp.blogspot.com/_FWlFbU673eI/THNUSxt9wZI/AAAAAAAABFQ/LXJUZfc6nho/s1600/b00005oslr01sclzzzzz.jpg

Situasi komedik yang dihadirkan memang sangat hangat dan menghibur. Memang tokoh dan suasana yang ditampilkan terasa sangat komikal. Tapi di sini lah letak keberhasilan Everybody's Famous: peletakan humor-humor komikal yang tepat dan sesuai (tidak miskin, tidak pula over). Tokoh-tokohnya juga sanga menyenangkan, terutama Jean dan Marva. Ditambah penampilan solid pemain-pemainnya yang turut jadi pelengkap.

Komedi nominator Oscar ini cenderung ringan, terlalu ringan malah untuk diyakini sebagai nominator Best Foreign Language Oscar. Tipikal drama-drama keluarga, komedi ini termasuk yang sudah bisa ditebak bagaimana film ini berakhir (setidaknya sudah bisa samar-samar digambarkan). Walaupun begitu, terlepas dari terlalu ringan atau tidak untuk ukuran Oscar, humornya yang segar, jujur, dan tetap terasa elegan (tidak serta-merta asal dibuat kocak) membuat Everybody's Famous komedi yang layak untuk ditonton.

http://3.bp.blogspot.com/-R75uikEntM4/TWvFTSwAYZI/AAAAAAAACMc/8ZMgPBzkWLg/s1600/C%252B.bmp

Minggu, 22 Agustus 2010

Kytice

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: F.A. Brabec
Pemain: Martina Bezousková, Sylvie Kraslová, Sára Vorisková, Anna Bezousková, Dan Bárta, Linda Rybová, Jana Svandová, Vojtech Sahula, Nada Safratova, Karel Roden, Klára Sedlácková, Jirí Schmitzer, Bolek Polívka, Zuzana Bydzovská, Anna Geislerová, Marian Roden, Nina Divísková, Karel Dobry, Ivan Vyskocil, Jan Venclík, Vera Galatíková, Alena Mihulová, Stella Zázvorková, Katerina Janecková, Sandra Nováková, Jan Teplý

Tahun Rilis: 2000

Diangkat dari antologi puisi Kytice z pověstí národních (A Bouquet of National Legends) karya Antonín Dvořák.

JUJUR saja, saya bingung apa yang akan saya tulis di sini. Jarang sekali saya temukan sebuah film yang memberikan sensasi sangat misterius, sangat membingungkan, sangat aneh, sangat kuno, sekaligus sangat indah dan menawan secara bersamaan. Film terakhir yang juga memberikan sensasi serupa adalah Persona karya Ingmar Bergman yang saya tonton sekitar dua tahun yang lalu. Bahkan saya sampai menonton film ini dua kali berturut-turut, saya masih belum bisa menghilangkan perasaan aneh, tapi saya tetap merasakan pesonanya (setelah dua kali menonton).

By the bench there stood an infant,
Screaming, screaming, loud and wild;
‘Can’t you just be quiet an instant?
Hush, you nasty gipsy-child!

- Cuplikan puisi Polednice (The Noon Witch) -

‘Don’t go, don’t go to the water,
Stay at home today, my daughter!
In the night I dreamed bad dreams:
Don’t go, daughter, where it streams.

- Cuplikan puisi Vodnik (The Water Goblin) -

Kytice adalah sebuah omnibus yang berisi tujuh cerita yang diangkat dari antologi puisi Kytice z pověstí národních (A Bouquet of National Legends) karya Antonín Dvořák. Antologi puisi itu sendiri sebenarnya terdiri dari dua belas puisi – cuma tujuh yang diangkat di film ini – yang berisi tentang legenda-legenda rakyat Republik Cheko.

http://4.bp.blogspot.com/_FWlFbU673eI/THH4R1dtMTI/AAAAAAAABEY/_XKBpU5YDSk/s1600/Kytice.jpg
Segmen Kytice (Bouquet)

http://1.bp.blogspot.com/_FWlFbU673eI/THH4SEk1oNI/AAAAAAAABEg/DW7lCUE8ck8/s1600/Vodnik.jpg
Segmen Vodnik (The Water Goblin)

http://1.bp.blogspot.com/_FWlFbU673eI/THH5DFsZo-I/AAAAAAAABEo/abOvMbBGtYU/s1600/Svatebni+Kosile.jpg
Segmen Svatební košile (The Wedding Shirt)

Ketujuh cerita yang disuguhkan Kytice cenderung absurd dan surreal. Film dibuka dengan segmen Kytice (Bouquet) yang menyuguhkan cerita sangat sederhana tentang tiga gadis yatim piatu yang terus-terusan mendatangi makam ibunya. Dilanjutkan dengan segmen Vodnik (The Water Goblin), yang lebih kompleks bila dibandingkan dengan kisah sebelumnya, tentang takdir seorang ibu dan takdir anak gadisnya bersama water goblin. Segmen selanjutnya Svatební košile (The Wedding Shirt) berkisah tentang seorang istri yang berdoa kepada Maria untuk bertemu lagi dengan suaminya yang baru saja meninggal. Lalu Polednice (The Noon Witch), tentang seorang ibu yang mengutuk anaknya agar diambil oleh Noon Witch (dukun siang). Zlatý kolovrat (The Golden Spinning-Wheel) yang bercerita tentang wanita licik, ditemani anak gadisnya yang juga licik, yang membunuh anak gadis tirinya agar anak gadisnya yang satu lagi menikah dengan tuan tanah. Dceřina kletba (Daughter's Curse) tentang seorang wanita yang menebus kesalahannya karena telah membunuh anaknya sendiri. Dan segmen terakhir, Štědrý den (Christmas Eve), tentang seorang gadis yang melihat pantulan bayangan calon pasangannya di sebuah danau beku di malam natal.

Ketujuh kisah itu tidak diceritakan dalam bentuk konvensional, ini menariknya. Tidak dalam bentuk umum cerita dengan konflik yang menanjak menuju klimaks lalu turun ke anti-klimaks. Bahkan, bisa dibilang, tidak dalam bentuk prosa sekalipun. Kytice lebih tepat disebut sebagai puisi visual. Kekuatan utamanya ada di visualisasinya. Kebanyakan film menyuguhkan visualisasi cantik/indah hanya untuk pemandangan atau untuk memanjakan penonton semata. Tidak dengan Kytice. Film ini mengusung kisah-kisah yang kelam, tapi diwarnai dengan semburatan berbagai macam warna – hebatnya, tetap mampu mempertahankan kekelamannya. Warna-warna yang dipilih juga tidak asal-asalan tempel semata – seperti yang saya bilang sebelumnya, visualisasi di Kytice tidak semata-mata hanya untuk memanjakan mata. Seperti bunga-bunga berwarna ungu di makam sang ibu dalam segmen Kytice. Atau selendang merah muda yang disembunyikan di balik baju gadis yang selalu dipakaikan pakaian serba putih oleh ibunya di segmen Vodnik. Warna-warna ini punya makna tersendiri. Visualisasi yang ditapilkan sendiri, bisa dibilang, sama absurd-nya dengan ceritanya.

http://3.bp.blogspot.com/_FWlFbU673eI/THH5DoSdFVI/AAAAAAAABEw/d6cVpQEagwI/s1600/Polednice.jpg
Segmen Polednice (The Noon Witch)

http://2.bp.blogspot.com/_FWlFbU673eI/THH5EQnZKOI/AAAAAAAABFA/ID79daNcXBA/s1600/Kytice+06.jpg
Segmen Zlatý kolovrat (The Golden Spinning-Wheel)

http://1.bp.blogspot.com/_FWlFbU673eI/THH5D04m_hI/AAAAAAAABE4/k-OQBJ5Ofx4/s1600/Dcerina+Kletba.jpg
Segmen Dceřina kletba (Daughter's Curse)

Soundtrack yang sama mencekamnya dengan masing-masing kisah pun turut membantu membangun suasana kelam. Suasana yang disuguhkan Kytice agak mengingatkan saya dengan Dreams-nya Akira Kurosawa. Ketujuh cerita itu sendiri sangat kelam, dan cenderung tidak punya kaitan satu sama lain (selain sama-sama cerita rakyat) bila dipandang dari permukaan. Tapi secara garis bisa bisa ditarik kesimpulan masing-masing cerita mewakili satu dosa. Dan bila ada yang bertanya tentang pelajaran moral. Itu salah satu hal aneh lainnya yang saya rasakan di Kytice. Umumnya, dongeng semacam Cinderella cenderung memberikan pelajaran moral secara eksplisit, tapi di Kytice pelajaran moral yang didapatkan justru aneh bahkan ganjil. Bukan berarti tidak ada pesan yang bisa dipetik di Kytice. Pesan yang ditampilkan dipetik dari dosa-dosa di setiap segmennya. Jelas Kytice bukan tipikal dongeng buat anak-anak.

Kytice adalah contoh film poetik langka yang bakal memberikan segala macam perasaan aneh dan membingungkan ketika ditonton. Kytice, saya rasa, bukan tipikal film tentang plot dan arah alurnya, melainkan tipe film yang harus dirasakan makna di balik bahasa visualnya.

http://4.bp.blogspot.com/-0H2FLhaH8G0/TWvOgO_yp_I/AAAAAAAACNc/yP9H1lANsNk/s1600/B-.bmp

Remember Me

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Allen Coulter
Pemain: Robert Pattinson, Emilie de Ravin, Chris Cooper, Lena Olin, Pierce Brosnan, Tate Ellington, Ruby Jerins

Tahun Rilis: 2010

Robert Pattinson beranjak dari pesona vampir blink-blink ke peran yang lebih dewasa di Remember Me. Penampilannya di sini bukan pembuktian yang sangat-sangat memukau, tapi setidaknya terlihat usaha seorang Pattinson di sini. And I appreciate that.

Sabtu, 21 Agustus 2010

Tekken

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Dwight H. Little
Pemain: Jon Foo, Kelly Overton, Cary-Hiroyuki Tagawa, Ian Anthony Dale

Tahun Rilis: 2010

TEKKEN adalah salah satu kegagalan klise film-film yang diangkat dari video game yang seharusnya tidak perlu diulang-ulang lagi. Saya rasa ulasan yang menyatakan demikian sudah bertebaran di internet.

Jumat, 20 Agustus 2010

The Deer Hunter

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Michael Cimino
Pemain:
Robert De Niro, John Cazale, John Savage, Christopher Walken, Meryl Streep, George Dzundza

Tahun Rilis: 1978

MUNGKIN ada beberapa penonton yang bakal protes/terganggu dengan durasi “The Deer Hunter” yang kurang lebih tiga jam. Durasi yang lumayan panjang, tapi belum seberapa bila dibandingkan dengan “Sátántangó,” film Hungaria besutan Béla Tarr dengan durasi kurang lebih tujuh jam, atau “Fanny och Alexander,” film besutan Ingmar Bergman dengan durasi kurang lebih 5¼ jam. Tapi durasi tiga jam itu, bisa dibilang, terbayar sudah.

Kamis, 19 Agustus 2010

Silver Road

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Bill Taylor
Pemain:
Bill Taylor, Jonathan Keltz, Andrew Hachey

Tahun Rilis:
2007

FILM pendek lagi. Ketimbang “Miracle Fish” yang saya tuli resensinya beberapa hari yang lalu, “Silver Road” jauh lebih simpel dan sederhana lagi.

Love and Edelweiss

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Anto Tanjung
Pemain:
Mentari, Mike Lucock, Meriam Bellina, Aldo Bamar, Ira Wibowo, Donny Kesuma, Sonny Tulung, Sarah Shafitri, Chriss Hatta, Soraya Putri

Tahun Rilis: 2010

BANYAK juga lo penonton film lokal yang bilang kalau film-film Indonesia kebanyakan “sampah.” Bukan hal baru lagi malah, coba cek forum-forum film lokal, atau blog-blog film amatiran, atau KASKUS, sebagai buktinya. Menurut saya, ada dua jenis film perusak perfilman Indonesia. Yang pertama adalah film-film buruk yang memang dari awal sudah diniatkan untuk jadi film buruk dan dari awal pun sudah ketahuan kalau itu film buruk. Dan yang kedua adalah film-film buruk yang berkedok / berpura-pura menjadi film baik padahal akhirnya sama saja buruknya dengan film-film buruk yang memang dari awal sudah diniatkan untuk jadi buruk. “Love and Edelweiss” termasuk kategori yang kedua.

Rabu, 18 Agustus 2010

The Color Purple

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Steven Spielberg
Pemain:
Whoopi Goldberg, Oprah Winfrey, Danny Glover, Margaret Avery, Akosua Busia

Tahun Rilis: 1985

Diadaptasi dari novel “The Color Purple” karya Alice Walker.

SUDAH hal biasa orang-orang menggambarkan mood dengan warna. Blue is sad. Biru juga bisa diartikan damai. Kadang, biru juga diartikan sebagai sebuah keadaan depresi. Tergantung cara memaknainya. Pink paling sering diartikan sebagai love (atau cinta). Hitam paling sering diartikan sebagai duka. Lalu purple? Atau ungu – sesuai judul film ini: “The Color Purple” – juga bisa diartikan macam-macam: kesetiaan, spiritualitas, misteri, transformasi, pencerahan, kebijakan, kekejaman, kekerasan, bahkan ungu sendiri sering kali dinilai sebagai warna yang eksotik. Semua makna yang saya tulis itu bisa dibilang memang cukup mewakili film besutan Steven Spielberg ini.

Saya sudah pernah membaca novel “The Color Purple,” tapi saya tidak akan membeberkan detil novelnya, hanya beberapa informasi kecil tentang novel pemenang Pulitzer ini. Pertama, novel ini ditulis dengan teknik epistolari. Yang artinya, tentu tidak gampang menyulap novel yang keseluruhan kisahnya diceritakan dalam bentuk diary dan surat menjadi sebuah skenario film. Hal yang serupa ketika Stephen Frears mencoba mengangkat “Les liasons dangeruses,” sebuah novel epistolari, menjadi “Dangerous Liaisons.” Untungnya apa yang dilakukan Stephen Frears, setidaknya, lumayan memuaskan. Kasus yang paling baru dilakukan Lasse Hallström yang mencoba menyulap novel epistolari “Dear John” menjadi sebuah film, sayangnya versi film “Dear John”-nya bisa dibilang gagal total.

Kedua, selain novel ini berbentuk epistolari, dianugerahi Pultizer, novel ini ber-genre drama dan bisa dibilang termasuk drama yang cukup kompleks. Dan drama yang sangat kompleks ini dipercayakan di tangan Steven Spielberg, yang lebih dikenal sebagai sutradara film-film epik ketimbang drama – ini merupakan drama perdana Steven Spielberg. Terasa jelas pendekatan dramatis yang diterapkan Spielberg di sini serupa dengan yang dilakukannya pada “E.T. The Extra-Terrestrial.”

Jelas Spielberg sudah mengurangi ke-kompleks-an kisah asli dari novelnya. Berbagai aspek disentuh di novelnya: Mulai dari konsep Tuhan di mana Tuhan dipandang sebagai sesuatu yang terpisah, sehingga Celie menulis surat untuk Tuhan (di awal novel) untuk mengutarakan perasaannya. Bisa disimpulkan, Celie (di novel) merupakan sosok dengan keyakinan kuat. Celie punya cara tersendiri memandang Tuhan. Selain simbolisme Tuhan, novelnya juga mensimbolkan pengekangan bersuara dalam bentuk surat. Celie menulis surat pada Tuhan, dan selanjutnya Celie menulis surat pada Nettie (adiknya), hal ini dikarenakan Celie tidak punya cara lain lagi untuk mengekspresikan emosinya. Novelnya juga menyuarakan emansipasi wanita ketika Celie memulai usaha mandiri berjualan celana wanita. Di jaman itu, ketika wanita dianggap hanya pantas menggunakan rok dan bekerja di dalam rumah semata, celana untuk kaum wanita jelas sekali mempunyai arti pembebasan wanita dari kungkungan-kungkungan yang ada (di masa itu). Tentunya, sebagai menu utama, novelnya membahas kental tentang tiga tema utama: hubungan, rasisme, dan seksualisme.

Sayangnya, yang bakalan ditemukan di film hasil adaptasi Steven Spielberg cuma tiga menu utama, surat, celana panjang, dan sedikit sekali penjelasan tentang lesbian-isme (yang di novel dibahas cukup kental). Nyaris tidak ditemukan pandangan Celie tentang Tuhan di versi filmnya.

http://3.bp.blogspot.com/_FWlFbU673eI/TGuRvK_1bKI/AAAAAAAABCA/RLwsF2z6TFo/s1600/HOMEPAGE.jpg

Tapi film dan novel adalah dua bentuk karya yang benar-benar berbeda. Masing-masing harus dipandang sendiri-sendiri. Itulah kira-kira yang sering dijadikan tameng oleh beberapa maniak film. Memang, kalau “The Color Purple” mau dipandang sebagai film, terlepas dari novelnya, ini sebuah karya yang sangat bagus. Bukan drama terbaik dari Steven Spielberg. Dan tentunya, bukan drama terbaik yang pernah saya tonton. Tapi, “The Color Purple” menyuguhkan nyaris semua aspek yang diperlukan oleh sebuah drama.

Celie (Whoopi Goldberg) adalah gadis kulit hitam yang tinggal di pedesaan yang hidupnya selalu dikelilingi oleh kekejian dan kekejaman (pada dirinya sendiri). Dia berkali-kali ditiduri bapaknya sendiri, dua kali dihamili, kedua anak hasil rahimnya pun harus diserahkan pada orang lain, dan seusai melahirkan anak kedua Celie juga harus kehilangan kesempatan untuk punya anak lagi. Cuma saudarinya Nettie (Akosua Busia) satu-satunya orang yang paling baik baginya.

Sayangnya, di usia yang masih sangat muda, Celie dipaksa menikah dengan seoarang lelaki yang selalu dipanggilnya “Mister” (Danny Glover). “Mister” sama sekali tidak pernah cinta pada Celie. Lebih kejam lagi, “Mister” malah memperlakukan Celie layaknya kacung. Celie yang pemalu, naif, dan polos nyaris tidak bisa berkutik dengan siksaan “Mister.” Celie bahkan tidak bisa surat-menyurat dengan Nettie karena “Mister” selalu menyembunyikan semua surat-surat. Pada awalnya “The Color Purple” seakan-akan berupa film tentang penderitaan Celie, menjelang pertengahan bisa didapati bahwa “The Color Purple” adalah film tentang kemenangan Celie. Bahkan sejak saya melihat Celie dewasa, bagaimana dia selalu tersenyum malu-malu (ditutupi dengan tangan), saya tahu film ini lebih tentang bagaimana sosok Celie bisa bertahan.

Kemenangan Celie makin terlihat jelas ketika dua wanita kulit hitam lain masuk ke dalam kehidupannya. Yang pertama, Shug Avery (Margaret Avery), penyanyi bar yang merupakan mantan pacar “Mister” (sekaligus wanita yang sebenarnya masih dicintainya). Pertama kali bertemu Celie, Shug berkata: “You sure is ugly.” Namun selanjutnya, Celie dan Shug malah menjadi teman dekat. Hubungan Celie dan Shug ini salah satu hubungan yang menarik untuk di simak: Shug tipikal wanita cantik yang sudah berpengalaman melompat dari satu hubungan dangkal ke hubungan dangkal lainnya, sementara Celie adalah wanita bentukan kekerasan pria. Keduanya menjalin hubungan dekat. Shug, bisa dibilang, tersentuh/iba dengan apa yang dialami Celie. Sementara Celie sendiri, bisa dibilang, kagum bukan hanya dengan kecantikan Shug, tapi juga pada bagaimana Shug membuat “Mister” tertunduk-tunduk. Di novel, hubungan unik ini dikembangkan lebih dalam dan lebih detil, bahkan ke arah seksual. Tapi di film, Spielberg lebih memfokuskan pada dunia di sekeliling Celie ketimbang pengalaman erotik Celie dengan Shug. Satu adegan (yang menurut saya) paling bermakna sepanjang film, ketika Shug membuka tangan Celie yang selalu menutupi senyumnya. Terasa jelas sisi humanisme Celie dan Shug di adegan ini.

Wanita kedua yang masuk ke kehidupan Celie adalah Sofia (Oprah Winfrey), wanita gendut yang menikahi Harpo (Willard E. Pugh), putra “Mister.” Sofia, sama halnya dengan Celie, sudah sering mengalami kekerasan dari para pria. Bedanya, tidak seperti Celie yang lebih memilih bertahan (mentoleransi), Sofia yang keras dan berani lebih memilih untuk melawan. Celie menemukan keberanian dari Sofia.

Selain pendalaman cerita dan karakter, penampilan juga kunci utama keberhasilan drama perdana Steven Spielberg ini. Trio Whoopi Goldberg, Oprah Winfrey, dan Margaret Avery jelas merupakan pesona utama di sini. Ditambah penampilan Danny Glover sebagai “Mister” yang membuat film ini semakin lengkap. Whoopi selalu tersenyum, nyaris sebagian besar adegan awal menampilkan Whoopi sedang tersenyum. Tapi Whoopi tidak sekedar tersenyum. Whoopi berhhasil menampilkan sesuatu di balik senyumnya. Sebagai sebuah debut akting, penampilan Whoopi jelas salah satu debut yang sangat bagus.

“The Color Purple” mungkin memang bukan drama terbagus yang pernah saya tonton, tapi, tidak diragukan lagi, “The Color Purple” memang sebuah drama yang sangat bagus dan layak ditonton. Film ini berhasil memaknai judulnya sendiri: memaknai warna ungu.

http://1.bp.blogspot.com/-nhStlHuwPw8/TWvFtSuSwNI/AAAAAAAACMk/29KSHDpWz7U/s1600/B%252B.bmp

Selasa, 17 Agustus 2010

Calendar Girls

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Nigel Cole
Pemain:
Helen Mirren, Julie Walters, Linda Bassett, Annette Crosbie, Celia Imrie, Penelope Wilton, Geraldin James, Philip Glenister, Ciarán Hinds, John Alderton, George Costigan, John-Paul Macleod

Tahun Rilis: 2003

HELEN Mirren dan Julie Walters sudah tua. Tapi keriput tidak menghentikan mereka untuk menanggalkan baju dalam “Calendar Girls.” Siapa yang mau melihat film tentang segeng wanita-wanita tua berfoto telanjang? Saya sendiri tidak mau munafik, kalau memang bodi yang dicari, saya pasti lebih memilih “The Blue Lagoon” ketimbang “Calendar Girls.”

Senin, 16 Agustus 2010

Contact

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Robert Zemeckis
Pemain:
Jodie Foster, Matthew McConaughey, James Woods, Tom Skerritt, William Fichtner, John Hurt, Angela Bassett, David Morse

Tahun Rilis: 1997

Film ini diadaptasi dari novel “Contact” karya Carl Sagan.

KETIKA gagasannya dianggap kurang ilmiah, malah dianggap seakan-akan sekedar fiksi ilmiah, Dr. Eleanor “Ellie” Ann Arroway (Jodie Foster) berkata (diterjemahkan bebas dari Bahasa Inggris):

“Mau dengar hal yang gila? Dua orang mau membuat sesuatu yang dinamakan pesawat terbang. Orang bisa masuk dan terbang seperti burung. Konyol, kan? Bagaimana dengan usaha pemecahan kecepatan suara, atau roket ke Bulan, atau tenaga atom, atau misi ke Mars? Fiksi ilmiah, kan?”

Dari dialog itu saja saya sudah menangkap bahwa “Contact” lebih ke arah sci-fi filosofis ketimbang sci-fi fantastik. Dan memang secara keseluruhannya, ketimbang menyajikan visualisasi sci-fi yang fantastik, “Contact” lebih membahas persoalan filosofis fundamental tentang science fiction itu sendiri (bahkan tentang science itu sendiri). Yap, “Contact” lebih seperti “2001: A Space Odyssey” dengan pendekatan yang lebih dramatis, ketimbang tipikal sci-fi semacam “Transformer.”

Minggu, 15 Agustus 2010

La Nana

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Sebastián Silva
Pemain:
Catalina Saavedra, Claudia Celedón, Mariana Loyola, Agustín Silva, Alejandro Goic, Andrea García-Huidobro

Tahun Rilis:
2009
Judul Internasional: “The Maid”

SAYA rasa saya menemukan penawar yang bagus setelah sebelumnya kepala, telinga, dan mata saya dirusak oleh “D'Love” dan “The Expandables.” “The Maid,” drama dari Chili ini mungkin memang tidak memiliki nilai produksi yang besar, tapi “The Maid” membuktikan bahwa nilai produksi tidak teralalu berpengaruh dengan kualitas film. Terbukti film yang dinominasikan dalam kategori Best Foreign Language Film Golden Globe 2010 ini mengalahkan “An Education” di Festival Film Sundance.

D'Love

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Helfi Kardit
Pemain:
Aurelie Moeremans, Rebecca Reijman, Agung Saga, Achmad Albar, Rizky Adrianto, Shierly Rushworth

Tahun Rilis:
2010

HELFI Kardit bilang bahwa beliau pingin bikin film tentang cinta, tapi nggak keliahatan cintanya. Lahirlah “D'Love,” film tentang cinta, tapi nggak kelihatan cintanya, dari tangan sutradara yang sempat menelurkan “Sumpah Pocong di Sekolah,” “Arisan Berondong,” dan “The Sexi City.”

Sabtu, 14 Agustus 2010

Miracle Fish

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Luke Doolan
Pemain:
Karl Beattie, Brendan Donoghue, Tara Morice

Tahun Rilis:
2009

BICARA tentang sebuah film yang jujur, “Miracle Fish”

The Expandables

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Sylvester Stallone
Pemain:
Sylvester Stallone, Jason Statham, Jet Li, Dolph Lundgren, Randy Couture, Steve Austin, Terry Crews, Mickey Rourke, Bruce Willis, Arnold Schwarzenegger, Gisele Itié, Charisma Carpenter, David Zayas, Eric Roberts, Gary Daniels, Antônio Rodrigo Nogueira

Tahun Rilis:
2010

SYLVESTER Stallone memang pernah jadi bintang aksi besar Hollywood. Doi sudah amat sangat dikenal luas sebagai Rambo. Doi juga pernah dianugrahi nominasi Oscar di “Rocky.” Bahkan Sylvester Stallone sempat dinobatkan sebagai simbol maskulinisme (lawan dari Marylin Monroe yang merupakan simbol seks). Sekarang, di usianya yang sudah 60-an, Stallone mencoba menggebrak lagi dengan menghadirkan sebuah film aksi all-star cast: “The Expandables.”

Stallone mengumpulkan nama-nama laga terkenal: ada Jet Li, ada Jason Statham, Dolph Lundgren, Mickey Rourke yang dinominasikan Oscar dalam “The Wrestler” tahun silam, Steve Austin, Bruce Willis, hingga sang walikota Arnold Schwarzenegger. Gosh, melihat posternya saja pasti sudah membakar nafsu menonton para penggila film-film aksi.

Tidak banyak yang bisa saya tuliskan mengenai plot ini, bukan karena saya tidak mau ber-spoiler ria, tapi memang tidak banyak yang bisa diceritakan di sini. Stallone menyuguhkan kisah tentang kelompok tentara bayaran, yang bernama The Expandables, yang dikepalai oleh Stallone sendiri. Anggotanya? Nama-nama di poster minus Steve Austin dan Bruce Willis, itulah anggotanya. Detil masing-masing anggota? Kalau yang ditanya adalah seputar konflik personal masing-masing anggota, tidak banyak yang bisa diceritakan. Kalau yang ditanya soal detil kemampuan aksi masing-masing anggota, silahkan lihat sendiri di filmnya karena saya malas menjabarkan. Kelompok The Expandables ini menerima sebuah pekerjaan dari Mr. Church (Bruce Willis). Aha! Konflik utama pun dimulai! Aksi-aksi pun dimulai! Dan berani taruhan, sebagian besar penggila aksi pasti mendidih-didih melihat kegarangan bintang-bintang laga tersebut.

Cerita! Ah, cerita! Kalau ditanya soal cerita (atau pendalaman cerita) – setidaknya saya pun membutuhkan cerita untuk menikmati sebuah film aksi. Oh ya, tapi Stallone punya cara lain lo untuk menutupi kemiskinan dan kedangkalan storyline-nya: lelucon. Sayangnya lelucon yang dihadirkan Stallone sama saja dangkalnya dengan storyline-nya. Dan hasilnya, film yang memampangkan deretan bintang-bintang aksi kelas A ini sekedar aksi-aksian kosong-melompong doang. Titik.

Tidak banyak lagi yang bisa saya jabarkan di sini, toh filmnya sendiri lebih dangkal dari apa yang sudah saya tulis di sini. Lalu buat apa saya menulis panjang-panjang? Buat mereka yang menggilai aksi-aksian, terlepas film itu punya cerita yang kuat atau sekedar tembak-tembakan semata, mungkin bakal melototi film ini. Tapi tidak buat saya! Saya malah lebih menikmati film sfotcore-nya Sylvester Stallone ketika muda dulu, “Party at Kitty and Stud's” (atau lebih dikenal dengan nama “The Italian Stallone”). Setidaknya film sex softcore itu jauh lebih bercerita ketimbang all star cast yang kosong-melompong ini. Anyway, kenapa Jean Claude Van Damme, Steven Seagal, dan Chuck Noris tidak sekalian ikut serta mampang di sini ya?

http://2.bp.blogspot.com/-x6JeoUYjJP4/TWvK0M7UldI/AAAAAAAACNM/X9VifyRcutw/s1600/D.bmp

Jumat, 13 Agustus 2010

The Karate Kid

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: John G. Avildsen
Pemain:
Ralph Macchio, Noriyuki "Pat" Morita, Elisabeth Shue, William Zabka, Martin Kove, Randee Heller

Tahun Rilis: 1984

Pada dasarnya “The Karate Kid” versi 1984 (atau dipersingkat “The Karate Kid” saja) menjanjikan segala macam premis yang sebenarnya sudah umum untuk ukuran film-film bela diri, klise malah. Dari premis, atau trailer, atau poster, atau malah judulnya saja sudah bisa ditebak garis besar ceritanya: sang pahlawan (tokoh utama, biasanya lugu) dibabak-belurkan oleh sang antagonis, lalu sang pahlawan bangkit (latihan, berguru dengan seseorang, etc), dan akhirnya sang pahlawan berhasil mengalahkan sang antagonis di akhir kisah. Umum. Klise. Dan jujur saja formula semacam ini sudah sangat sering dijumpai di film-film martial arts. Pernah lihat “Never Back Down” yang dibintangi Sean Faris dan Cam Gigandet? Atau “Sebelah Mata,” film Indonesia dengan formula sejenis? Atau film-film martial arts yang dibintangi Jean Claude Van Damme? Atau “Rocky”-nya Sylvester Stallone? Pasti tahu formula umum yang saya maksud.

Penonton disuguhkan Daniel Larusso (Ralph Maccio) sebagai tokoh utama, atau sang pahlawan. Daniel dan ibunya (Randee Heller) baru saja pinda ke California, dan Daniel kesal dengan keputusan ini. Daniel adalah sosok tipikal remaja pada umumnya. Daniel mencoba mendekati gadis cantikdari California, Ali (Elisabeth Shue). Sayangnya, Daniel malah mendapat masalah dengan Johnny (William Zabka). Daniel pun jadi bulan-bulanan Johnny (yang ternyata jago karate). Parahnya, bukan cuma bulan-bulanan malam itu saja, bahkan Daniel tetap jadi bulan-bulanan Johnny di sekolahnya. Sampai akhirnya, Daniel berteman dengan seorang pria Jepang, Mr. Miyagi (Pat Morita). Singkatnya, Daniel dan Mr. Miyagi membuat semacam kesepakatan dengan guru karate Johnny (Martin Kove) yang kesimpulannya Daniel bakal ikut sebuah turnamen karate.

Mr. Miyagi pun mengajarkan karate pada Johnny. Tapi sistem (cara mengajar) Mr. Miyagi di sii bisa dibilang menarik. Mr. Miyagi tidak mengajarkan “tinju,” “tendang,” atau “jurus-jurus karate,” sebaliknya Mr. Miyagi malah menyuruh Daniel mencuci mobil, mengecat tembok, dan menyikat lantai. Hari-hari Daniel bersama Mr. Miyagi pun diisi dengan mencuci mobil, mengecat tembok, dan mencuci lantai, bukan layaknya latihan karate yang Daniel bayangkan. Daniel pun protes. Dan ketika Daniel protes ini, terlihat bahwa Mr. Miyahi punya metode sendiri melatih Daniel.

Lompat ke ending, layaknya film-film serupa, film ini pun diakhiri dengan sebuah pertandingan antara sang pahlawan melawan musuh sejatinya. Ending ini bahkan sudah bisa ditebak sejak awal film. Dan konklusi yang bisa ditarik dari ending ini cuma dua: Daniel menang dan mampu membuktikan harga dirinya, atau Daniel kalah (titik).

Dari mana muncul empat bintang yang saya beri?

Pesona utama film ini bukan pada ending-nya, bukan pada martial arts-nya, dan bukan pada plot-nya. Pesona utama film ini ada pada momen-nya, suasana-nya, dan chemistry-nya – yang sering sekali diabaikan film-film serupa (dan cenderung lebih mempertontonkan aksi-aksi beladiri semata).

Pertama, dari segi chemistry, hubungan yang paling menonjol untuk di simak di sini adalah pertemanan Daniel dan Mr. Miyagi. Dua-duanya merupakan makhluk yang bisa dibilang sangat tidak mungkin untuk berteman dekat. Tapi, karena situasi dan kondisi tertentu, keduanya pun menjalin hubungan: bukan hanya guru-murid lagi, tapi sebagai teman, dan seiring berjalannya cerita hubungan mereka tidak lagi sebagai teman. Ada scene di mana Mr. Miyagi teler karena mabuk-mabukan, dan Daniel membantu Mr. Miyagi ke ranjang, lalu menyelimutinya. Bahkan Mr. Miyahi memberikan Daniel kado di hari ulang tahunnya. Hubungan Daniel dan Mr. Miyagi, seakan-akan, sudah sampai level ayah-anak (atau kakek-cucu). Gambaran hubungan Daniel dan Mr. Miyagi yang kuat ini jelas tidak akan terwujud bila tidak ditopang chemistry yang dibangun sangat baik oleh kedua pemerannya.

Pemilih kedua tokoh itu pun bisa dibilang sangat-sangat pas. Untung sekali Ralph Maccio, yang kurus dan tidak kekar, dipilih sebagai pemeran utama. Ralph Maccio jelas bukan tipikal aktor-aktor remaja tampan Hollywood yang lebih mengandalkan tampang ketimbang akting (tahu yang saya maksud?). Ralph Maccio tampil sangat natural di sini, dan bisa dilihat perkembangan kualitas Ralph Maccio selanjutnya di “My Cousin Vinny.” Pat Morita yang paling bersinar di film ini. Pat Morita menghadirkan tokohnya bukan hanya sekedar ahli karate, tapi sebagai tokoh yang hidup dengan karate. Karate seolah-olah mengalir di darahnya, bukan sebagai tinju-tendang atau sarana pertahanan diri, tapi juga sebagai penyeimbang hidup. “Hidup harus seimbang, kata Mr. Miyagi.” Butuh pendalaman yang tepat untuk mengantarkan dialog itu. Dan Pat Morita bukan hanya berhasil mengucapkan dialog itu, tapi juga berhasil membangun momen-nya.

Selain ditpang oleh chemistry, hubungan Mr. Miyagi dan Daniel juga sangat dibantu oleh momen-momen yang berhasil diciptakan (atau ditangkap). Seperti momen Daniel menyelimuti Mr. Miyagi (yang merupakan momen penting), atau latihan di pantai, atau ketika Mr. Miyagi berkata bahwa karate bukan hanya pelajaran beladiri tapi juga pelajaran tentang hidup, atau ketika Daniel bersikeras akan bertanding sekalipun kakinya cedera, momen-momen itu berhasil diciptakan dengan sangat baik oleh sang sutradara “Rocky.” Tidak heran kalau film ini masuk list 100 besar 100 Film Cheers versi AFI.

Pada akhirnya, sekalipun dengan formula klise dan ending yang tertebak, “The Karate Kid” punya suguhan sendiri yang sangat patut dipertimbangkan. Film ini tidak hanya berakhir sebagai film-film beladiri semata, lebih dari itu film ini juga merupakan gambaran menarik coming of age. Daniel bisa saja melaporkan tindakan Johnny ke ibunya atau ke pihak sekolah, tapi Daniel tidak mau. Perasaannya sebagai laki-laki yang mungkin menolak. Dan jelas harga dirinya bakal jatuh bila dia melapor (ngadu). Dari Mr. Miyagi (dan dari karate), Daniel mendapatkan pelajaran tentang keseimbangan hidup. Dan pada akhirnya (di adegan ketika kaki Daniel cedera), Daniel tidak hanya diharuskan untuk mengambil keputusan terus bertanding atau berhenti, tapi juga diharuskan mengambil keputusan hidupnya sendiri.

http://1.bp.blogspot.com/-nhStlHuwPw8/TWvFtSuSwNI/AAAAAAAACMk/29KSHDpWz7U/s1600/B%252B.bmp


Sutradara: Harald Zwart
Pemain:
Jaden Smith, Jackie Chan, Taraji P. Henson, Zhenwei Wang, Yu Rongguang, Wen Wen Han

Tahun Rilis: 2010

Film ini merupakan remake dari “The Karate Kid” (1984)

Lalu muncul remake versi 2010. Di versi 2010 ini, Ralph Maccio digantikan oleh Jaden Smith, Pat Morita digantikan oleh Jackie Chan, Elisabeth Sue digantikan Wen Wen Han, William Zabka digantikan Zhenwei Wang, dan Taraji P. Henson dipercayakan sebagai ibu dari Jaden Smith.

Tidak perlu lagi saya gambarkan plot versi 2010 ini, karen saya sudah menulis garis besarnya di atas (versi 1984) dan kurang lebih sama. Yang perlu dilakukan, hanyalah mengganti beberapa detil di plot singkat versi 1984 yang saya tulis: Daniel menjadi Dre, Mr. Miyagi menjadi Mr. Han, Johnny menjadi Cheng, Ali menjadi Mei Ying, California menjadi Beijing, dan Karate menjadi Kung Fu. Tunggu, lalu kenapa judulnya tetap “The Karate Kid,” bukan “The Kung Fu Kid”?? Saya rasa pertanyaan ini silahkan diajukan pada produser filmnya.

Bagi yang sudah pernah menonton “The Karate Kid” versi 1984, versi remake ini bakal sangat membangkitkan memori tentang film originalnya. Dan bagi yang belum, film ini masih teta dapat dinikmati.

Terlepas dari remake atau bukan, versi 2010 ini tereksekusi dengan baik. Baik Jaden Smith ataupun Jackie Chan masing-masing mampu membangun chemistry satu sama lain. Kredit paling besar pada Jackie Chan, yang biasanya cenderung memerankan tokoh komedik (komikal), tapi diharuskan mengkompresi emosinya sampai level serius di sini. Jackie Chan bisa akting serius (dan bagus) juga kok!

Kalau harus mengambil perbandingan, memang versi 2010 ini tampil tidak sekuat versi 1984. Momen yang dihadirkan di versi 2010 ini tidak semenggugah momen-momen yang bisa dirasakan di versi 1984. Momen ketika Daniel menyelimuti Mr. Miyagi lebih terasa menggugah ketimbang momen Dre (menggunakan semacam tongkat bambu) menghibur Mr. Han, misalnya. Dan adegan Dance Dance Revolution dengan lagu “Poker Face”-nya Lady Gaga, jujur saja, agak aneh. Chemistry antara Ralph Maccio dan Elisabeth Sue pun terbangun sangat baik, sementara cemistry antara Jaden Smith dan Wen Wen Han hanya terasa di beberapa scene (dan tidak terasa di beberapa scene). Setidaknya, versi 2010 tetap dapat tampil sebagai film yang menghibur, bahkan menyenangkan.

http://4.bp.blogspot.com/-ol3Ag0qoak8/TWvKBW3RH8I/AAAAAAAACNE/W3FzLYGUHn0/s1600/C.bmp

Kamis, 12 Agustus 2010

Taxi Driver

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Martin Scorsese
Pemain:
Robert De Niro, Jodie Foster, Cybill Shepherd, Harvey Keitel, Peter Boyle, Albert Brooks, Leonard Harris

Tahun Rilis: 1976

SAYA lebih suka mengamati “Taxi Driver” sebagai sebuah film tentang suasana kelam sebuah kota, dan bagaimana suasana kelam tersebut bisa memengaruhi jiwa kacau seorang laki-laki. Martin Scosrsese, lagi-lagi, menyuguhkan tokoh “sakit” untuk kita simak di sini.

Selasa, 10 Agustus 2010

D2 / Demi Dewi

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Charles Gozali
Pemain:
Wulan Guritno, Winky Wiryawan, Sendy Taroreh, Widyawati, Ray Sahetapy, Bulan Ayu, Volland Humonggio

Tahun Rilis: 2010

JUJUR saja, sebenarnya “Demi Dewi” punya potensi mentah untuk jadi film yang bagus, malah sangat bagus: tema yang disuguhkan bisa dibilang fresh ketimbang film-film sempak yang makin meraja-lela, pemainnya pun bisa dibilang mumpuni dan bukan sembarangan nama, bahkan (yang paling menantang niat untuk menonton) film ini disebut-sebut sebagai penyelamat kualitas perfilman Indonesia. Yang lebih hebat lagi, film ini bahkan melakukan hal yang cenderung amat-sangat jarang sekali dilakukan pekerja-pekerja perfilman Indonesia (yang rata-rata malas): penggalian tema dan penngembangan tokoh. Semua poin-poin itu seharusnya bisa mengantarkan “Demi Dewi” ke sebuah kualitas yang wah. Benarkah?

Minggu, 08 Agustus 2010

The Secret Life of Bees

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Gina Prince-Bythewood
Pemain:
Dakota Fanning, Queen Latifah, Paul Bettany, Jennifer Hudson, Alicia Keys, Sophie Okonedo, Tristan Wilds, Hilarie Burton

Tahun Rilis: 2008

“THE Secret Life of Bees” membawa isu sosial sepuar penindasan ras kulit hitam di Amerika jaman dulu. Dari kalima pembuka itu saja sudah membuat film ini seakan-akan berupa pintar soal masalah sosial yang umumnya berkualitas jempolan. Tunggu dulu, film ini tidak membahas masalah rasisme sedalam apa yang dilakukan “Crash” (2004) kok. Film ini justru menyuguhkan cerita yang lebih personal, ketimbang sosial. Sejujurnya, cerita yang disajikan justru lebih ke arah opera sabun dramatis ketimbang realisme sosial.

I Know What You Did on Facebook

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Awi Suryadi
Pemain:
Fanny Fabriana, Edo Borne, Kimi Jayanti, Fikri Ramdhan, Restu Sinaga, Imelda Therinne, Agastia Kandou, Yama Carlos

Tahun Rilis: 2010

MEMANG dasar bisnis, ya bisnis. Ujung-ujungnya memang bisnis. Segala sesuatu yang ngetrend pun bisa-bisa saja dijadikan film. Entah trend itu berdampak positif, atau malah negatif. Dulu trend film-film Islami dibuntuti akibat “Ayat-Ayat Cinta.” Lalu trend film-film kutang dan sempak berdalih horror atau thriller. Dan yang lebih parah lagi, embel-embel penampilan khusus aktris Jepang pun pernah jadi trend. Kali ini Facebook yang rasanya memang sudah jadi bagian dari pop culture juga ikut-ikutan difilmkan. Entah memang benar-benar ingin “dikaryakan” atau pada dasarnya cuma diniatkan untuk “dibisniskan,” siapa yang tahu? Yang pasti para pelakonnya sudah berbicara panjang lebar di tivi, ala orang bijak, bahwa filmnya kali ini mengusut misi mulia perihal gambaran sosial masyarakat Facebook.

Selasa, 03 Agustus 2010

Shanghai

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)

Sutradara: Mikael Håfström
Pemain:
John Cusack, Gong Li, Chow Yun-fat, Ken Watanabe, Jeffrey Dean Morgan, Rinko Kikuchi

Tahun Rilis: 2010

Dulu, sekitar tahun 1930-1940-an, zaman-zaman film masih kebanyakan disajikan dalam layar hitam putih, film-film berbau noir semacam “Shanghai” meraja lela. Mungkin beberapa diantaranya yang cukup terkenal antara lain “Notorious,” “M,” atau “Double Indemnity.” Biasanya film-film semacam ini mengangkat tema-tema kriminalitas, kehidupan gangster, detektif, atau bahkan konspirasi gelap. Dewasa ini, di saat teknologi sudah tidak bisa dibendung lagi, yang kita dapatkan kebanyakan cumalah film-film dengan budget tak terhingga nominalnya yang isinya cuma banting-bantingan mobil mewah atau sekedar pamer kecanggihan CGI. Yah, kebanyakan malah tidak jelas maksud dan tujuan membanting mobil mewah selain untuk bikin ngiler penonton seperti saya semata. Untungnya “Shanghai” membawa kembali ingatan pada masa keemasaan film noir dahulu (di mana di saat itu film lebih ditanggapi serius sebagai sebuah “karya”). Ada yang ingat (atau pernah menonton) “Chinatown” besutan Roman Polanski (salah satu film neo-noir terbaik yang pernah dibuat)? Yap, “Shanghai” mengingatkan saya pada nuansa neo-noir “Chinatown.”

“Shanghai” mengusut tema kriminalitas dengan plot yang sebenarnya sudah cukup umum di Hollywood. “Shanghai” dibuka di masa Perang Dunia II sebelum Shanghai jatuh ke tangan Jepang dan ketika Jepang menyerang Shanghai (karena Jepang menyatakan perang pada Amerika setelah membom Pearl Harbour). Paul Soames (John Cussack), sang tokoh utama, seorang wartawan Amerika bermisi menyelidik kematian sahabatnya, Connor (Jeffrey Dean Morgan) di Shanghai. Penyelidikannya ini membuatnya berkenalan dengan, Anthony Lan-Ting (Chow Yun-fat), seorang pria yang punya pengaruh kuat di Shanghai, dan istrinya yang cantik jelita, Anna Lan-Ting (Gong Li). Dalam sekejap Paul mendapatkan kepercayaan dari Anthony Lan-Ting. Perkenalan Paul dengan Anna Lan-Ting ternyata tidak sebatas perkenalan semata, mereka pun terlibat affair. Dan terkuak pula ternyata Anna Lan-Ting diam-diam berkerja untuk gerakan pemberontak (pemberontakan atas kedudukan Jepang di Shanghai). Melalui Anthony Lan-Ting, Paul pun diperkenalkan dengan seorang petinggi militer Jepang, Kapten Tanaka (Ken Watanabe). Di sisi yang lain, penyelidikan Paul atas kematian sahabatnya mengarah pada seorang wanita Jepang, kekasih Connor yang ternyata juga selir Kapten Tanaka, bernama Sumiko (Rinko Kikuchi) yang sedang ditahan oleh pihak pemeberontak untuk jaminan.

Plot film ini terbilang klasik, malah klise dan tipikal film-film noir klasik yang membahas soal kriminal dan persekonkolan. Saya rasa tidak perlu saya jabarkan lebih panjang-lebar lagi tentang detail cerita “Shanghai.” Ada keraguan di plotnya, ada juga pengkhianatan, ada pembunuhan, ada romansa, ada korupsi, ada perang, ada pemberontakan, ada pertumpahan darah, ada pula pengorbanan. Yap, banyak sekali pengalaman yang disuguhkan “Shanghai,” dan kesemuanya itu bisa dibilang bukan barang baru dalam film-film nori serupa. Walaupun begitu, tema, penggambaran adegan, bahkan dari segi penampilan pemainnya pun, malah membuat saya menikmati adegan-per-adegan film ini yang sebenarnya plot-plot-nya bisa ditemui di banyak film-film noir Hollywood. Film terus berjalan, berjalan, dan berjalan. Dan saya tetap senang menikmati.

John Cusack membeirkan penampilan yang pas di sini sebagai pemain utama. Gong Li, tetap cantik dan anggun, mampu menyuguhkan aura misterius sekaligus memesona dalam karakternya. Jarang sekali kita melihat Chow Yun-Fat menunjukkan akting dalam peran-perannya, kebanyakan perannya lebih ke arah aksi. Dan ya, Chow Yun-Fat, pantas mendapatkan peran sebagai bos yang punya pengaruh di Shanghai. Cara Chow Yun-Fat membuat tokohnya berbicara benar-benar pas pada karakternya. Ken Watanabe juga sangat meyakinkan sebagai antagonis utama film. Dan terakhir datang dari Rinko Kikuchi yang memberikan penampilan menawan terutama di detik-detik terakhir film.

Kebanyakan set film ditampilkan glamor untuk menunjukkan betapa eksotisnya Shanghai saat itu. Sebagian besar sinematografinya digambarkan dalam suasana-suasana kelam-gelap untuk menegaskan unsur noirnya. Entahlah apakah film ini bisa masuk kategori summer movie atau tidak (yang pasti saya tidak lagi mengkategorikan film ini sebagai popcorn movie atau film cuma untuk hibur-hiburan semata). Ada sesuatu yang pantas untuk ditonton di film ini. Setidaknya, “Shanghai” mengingatkan bahwa plot jauh lebih berharga ketimbang adegan-adegan banting-bantingan mobil mahal yang tidak jelas juntrungannya atau adegan CGI yang overdosis. “Shanghai” termasuk film modern yang membuat saya mengingat kembali pada film-film noir klasik.

http://1.bp.blogspot.com/-NueRwvCWyRI/TWuaIz7MSOI/AAAAAAAACL8/0zKrw3WpcFI/s1600/C-.bmp

Senin, 02 Agustus 2010

The Mirror Has Two Faces

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)

Sutradara: Barbra Streisand
Pemain:
Barbra Streisand, Jeff Bridges, Lauren Bacall, George Segal, Mimi Rogers, Brenda Vaccaro, Pierce Brosnan, Leslie Stefanson

Tahun Rilis: 1996

Film ini diadaptasi dari film “Le Miroir à Deux Faces” karangan André Cayatte (not a remake).

“THE Mirror Has Two Faces” lagi-lagi mengangkat isu seputar pernikahan, seks, dan seks dalam pernikahan. Jelas bukan tema yang langka. Tapi cara Barabra Streisand membawa isu klise tersebut dalam “The Mirror Has Two Faces” yang membuat film ini lumayan berarti.

Minggu, 01 Agustus 2010

The Sorcerer's Apprentice

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Jon Turteltaub
Pemain:
Nicolas Cage, Jay Baruchel, Alfred Molina, Monica Bellucci, Teresa Palmer

Tahun Rilis: 2010

Film ini terinspirasi dari puisi “L'apprenti sorcier” (1897) karya Paul Dukas.

VOILA! A NEW FRANCHISE?!!

Salt

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Phillip Noyce
Pemain:
Angelina Jolie, Liev Schreiber, Chiwetel Ejiofor

Tahun Rilis: 2010

SETAHUN yang lalu Angelina Jolie membuktikan kualitas aktingnya dengan nominasi Oscar melalui sebuah drama bestuan Clint Eastwood. Sebelumnya, Angelina Jolie sudah pernah mempertontonkan aksi-aksinya sebagai Tomb Rider. Jadi jangan heran kalau 2010 ini istri Brad Pitt ini mempertontonkan kembali aksi-aksi dalam “Salt.”

“Salt” bisa dibilang action thriller yang sangat mengobati di tengah-tengah film-film aksi yang dewasa ini umumnya tampil sekedar ala kadarnya. “Salt” punya plot, pastinya. Dan kalau saya harus menulis panjang lebar garis besar plot film ini, tentunya tidak akan menarik lagi bagi Anda sekalian yang belum menonton. Singkat saja, di sini Angelina Jolie memerankan seorang agen CIA, Evelyn Salt, yang dituduh sebagai mata-mata Rusia. Jolie melakukan banyak aksi di sini, mulai dari berlari dari kejaran CIA, beradu tinju, terjun dari jembatan ke atas mobil tangki yang sedang melaju, meloncat dari atas truk ke truk lainnya, bahkan Jolie merakit rocket launcher-nya sendiri.

Jelas sekali semua aksi yang ditampilkan di sini nyaris tidak mungkin terjadi, atau kasarnya “tidak masuk akal.” Melompat dari atas tangki mobil yang sedang melaju cepat ke atas mobil lainnya sambil menghindari dentuman-dentuman peluru pistol, jelas sekali nyaris tidak mungkin dilakukan tampa cedera sedikitpun. Angelina Jolie, di film ini, melakukannya sangat sempurna. Tampa cacat. Lupakan saja soal logika fisik dalam aksi-aksinya. Bukankah sebagian film aksi juga bernasib serupa, kan? Sebanyak apapun musuh yang menerjang, sebanyak apapun peluru ditembakkan, tokoh utamanya selalu saja mampu bertahan. Sebagian besar aksi “Salt” berupa kabur-kaburan dan selinap-selinapan. Dan ya, beberapa aksi yang dilakukan Jolie (entah benar-benar Jolie atau stuntman atau apalah) cukup mengagumkan untuk ukuran aksi.

http://4.bp.blogspot.com/_FWlFbU673eI/TFY_GaiC_KI/AAAAAAAAA8Y/MOOaxSKsSz4/s1600/Salt+1.jpg

Bicara soal twist dan rahasia, jelas “Salt” juga punya rahasia-rahasia di balik ceritanya. Hanya saja, rahasia yang terkuak di masing-masing adegan bukan hanya sekedar untuk memberikan fakta tak terduga dan mengagetkan buat penonton, tapi juga difungsikan sebagai plot device baru untuk adegan aksi kejar-kejaran atau selinap-selinapan baru. Semua rahasia-rahasia yang terkuak satu-per-satu terhubung pada satu pertanyaan mutlak: “Apa tujuan Salt sebenarnya?”

Dan pertanyaan besar itu terjawab menjelang akhir film. Beberapa penonton sinikal, jelas sekali motif Salt bakal dinilai terlalu old-fashioned. Angelina Jolie di sini mempunyai misi menyelamatkan dunia dari bencana, spesifiknya Jolie bakal menyelamatkan timur tengah dari bencana nuklir. Spoiler, hahaha! Cerita semacam ini memang bukan barang baru. Sudah bertaburan kisah-kisah heroik dengan fakta semacam ini. Lupakan tentang ke-absurd-an aksi dan motifnya. Yang pasti plot film ini bisa dibilang terstruktur cukup rapi untuk ukuran film aksi (seperti yang sudah saya tulis sebelumnya, sebuah rahasia dikuakkan bukan sekedar untuk mengagetkan, tapi juga sebagai plot device baru untuk motif dan pertanyaan baru). Bahkan Angelina Jolie juga tampil prima di sini. Jolie sudah pernah memamerkan aksi-aksinya sebagai Tomb Rider. Jolie sudah memamerkan kualitas aktingnya di “Changeling.” Bahkan Jolie mampu berbicara dengan aksen yang terbilang rumit di “A Mighty Heart.” Maka tidak perlu heran bila Jolie mampu melafalkan aksen Rusia di sini (sekalipun sebenarnya saya tidak terlalu akrab dengan aksen Rusia).

Secara personal, sebagai film popcorn “Salt” sudah sangat cukup menampilkan hiburan yang seharusnya memang ditampilkan oleh film-film popcorn.

http://3.bp.blogspot.com/-R75uikEntM4/TWvFTSwAYZI/AAAAAAAACMc/8ZMgPBzkWLg/s1600/C%252B.bmp