A film is - or should be - more like music than like fiction. It should be a progression of moods and feelings. The theme, what’s behind the emotion, the meaning, all that comes later.
~ Stanley Kubrick
IN A BETTER WORLD (2010) — What makes the friendship between Christian and Elias so special is how deeply and honestly Susanne Bier displays the emotional side of both children. Only by peering the eyes of the two actors, I can feel the all emotional reasons why they become such small terrorists. YOUNG TÖRLESS (1966) — Violence is not just a physical matter, but also psychological and emotional. In Young Törless, ethical ​​and subjective values ​​were so contradictory. Then the boundaries between good and evil even more vague. PHARAOH (1966) — Faraon is an evocative anatopism, also an astonishing colossal. A truly rare gem of its kind. Not only works as a visual declaration, Kawalerowicz also made it so carefully, so mesmerizing, yet so challenging. THE BOYS OF PAUL STREET (1969) — An ironic allegory not only for the face of war, but also the heart of it: militarism and nationalism. The irony in the end makes the two terminologies be absurd. SPIRITED AWAY (2001) — “What's in a name?” asked Shakespeare. “A name is an identity,” said this movie. MISS JULIE (1951) - Miss Julie is a very challenging study, whether psychological or situational. In a simple but smart way, Miss Julie presents the phases of a political game of love and seduction. MY NIGHT AT MAUD'S (1969) - Éric Rohmer not only talk about choices and risks of choices, there is also a glimpse the importance of choices and the pain of choices. My Night at Maud's, for me, is the most amazing movie about refracting those two opposing aspects of life. TEN (2002) — The use of "dashboard camera" method by Abbas Kiarostami is successfully providing such microscopic spectacle about the characters, not only on outside but also capable of making this movie as a unique character and gender study. THE PARTY AND THE GUESTS / A REPORT ON THE PARTY AND THE GUESTS (1966) — The allegory is not only the great thing about this Czechoslovak New Wave Cinema movie, but also its weirdness, its unnatural behavior, its peculiar plot, but the most of it is about how the movie smartly move without caution. ELEPHANT (2003) — Elephant is a piece of work that should be commended for its bravery. Such compliments are mainly intended to for Gus Van Sant's guts on using such non-linear and unusual narrative spectacle. Also packed with such unnatural risky styles which was really cost lot of guts.

Rabu, 30 Juni 2010

3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Benni Setiawan
Pemain:
Reza Rahadian, Laura Basuki, Arumi Bachsin, Ira Wibowo, Robby Tumewu, Henidar Amroe, Rasyid Karim, Zainal Abidin Domba, Jay Wijayanto

Tahun Rilis: 2010

Diadaptasi dari novel “Balada Rosid dan Delia” dan “Da Peci Code” karya Ben Sohib.

“3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta” mengangkat tema yang serupa dengan “cin(T)a,” dengan konflik yang lebih rumit, tapi dengan tone yang lebih ringan.

Under the Tree

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Garin Nugroho
Pemain: Marcella Zalianty, Dwi Sasono, Ikranegara, Nadia Saphira, Aryani Kiergenburg Willems, Ayu Laksmi, Lilibeth Morillo.

Tahun Rilis: 2008

Film Garin Nugroho kali ini, layaknya “Opera Jawa” yang penuh dengan metafora dan simbolisme, mengibaratkan “janin” sebagai “benih.” Dan selanjutnya, benih tersebut berbunga sebagaimana cerita ini menggambarkan putaran kehidupan. Berbalut adegan-adegan yang sarat dengan bau-bau kemistisan dan kesakralan budaya Bali, “Under the Tree” menceritakan tragedi tiga wanita tentang “benih.” Mendasar pada metafora kental yang dihadirkan Garin, tidaklah gampang mengejawantahkan tiap-tiap film ini menjadi satu kesimpulan. Ada adegan-adegan tertentu yang kental dengan metafora yang nyatanya bisa saja menimbulkan interpretasi berbeda. Untuk ukuran film yang bertonggak pada metafora dan adegan-adegan simbolik, nyatanya “Under the Tree” tidak begitu rumit bila dibandingkan dengan “Persona,” “The Seventh Seal,” atau “Face to Face.” Bahkan film ini lebih gampang diserap bila dibandingkan dengan “Opera Jawa,” film besutan Garin sebelumnya. Garin memberikan arah yang pasti dalam filmnya, tinggal urusan penonton yang menerjemahkan arah tersebut sesuai dengan pemahaman dan penangkapan masing-masing.

Before Sunset

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Richard Linklater
Pemain:
Ethan Hawke & Julie Delpy

Tahun Rilis: 2004

Film ini adalah sequel dari “Before Sunrise” (1995).

Saya belum pernah nonton “Before Sunrise.” Walaupun begitu, sequel-nya ini ternyata tidak membuat saya hilang arah. Nyatanya, saya justru mendapat gambaran garis besar dari “Before Sunrise.” Dan karena saya belum nonton “Before Sunrise,” saya tidak akan membandingkan kedua film itu.

Selasa, 29 Juni 2010

All About Eve

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)

Sutradara: Joseph L. Mankiewicz
Pemain:
Bette Davis, Anne Baxter, George Sanders, Celeste Holm, Gary Merrill, Hugh Marlowe, Thelma Ritter, Gregory Ratoff, Barbara Bates, Marilyn Monroe

Tahun Rilis: 1950

Film ini merupakan adaptasi dari cerpen “The Wisdom of Eve” (1946) karya Mary Orr.

Ada banyak sekali bau-bau bitchy dalam “All About Eve.” Dan memang di situ lah letak kemenarikannya. Memang “All About Eve” mempertontonkan drama tentang pergulatan karakter-karakter bitchy. Setidaknya, kedua tokoh utama film ini memang berbau-bau bitchy.

Senin, 28 Juni 2010

Nosferatu

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: F. W. Murnau
Pemain:
Max Schreck, Gustav von Wangenheim, Greta Schröder, Alexander Granach, Ruth Landshoff

Tahun Rilis: 1922
Judul Alternatif: “Nosferatu, eine Symphonie des Grauens,” “Nosferatu: A Symphony of Horror,” atau “Nosferatu: A Symphony of Terror”

Film ini merupakan adaptasi pertama dari novel “Dracula” (1897) karya Bram Stoker.

“NOSFERATU” dikenal sebagai adaptasi pertama dari novel terkenal karya Bram Stoker, “Dracula.” “Nosferatu” juga dikenal sebagai film pertama tentang drakula, vampir, atau makhluk penghisap darah sejenis. “Nosferatu” memang adaptasi ilegal (tidak mendapat izin resmi sebagai adaptasi di masanya), tapi “Nosferatu,” hingga saat ini, tetap dikenang sebagai film bapak film-film drakula/vampir (dan tentunya banyak menginspirasi film-film sejenis).

Un prophète

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Jacques Audiard
Pemain:
Tahar Rahim, Niels Arestrup, Adel Bencherif

Tahun Rilis: 2009
Judul Internasional: “A Prophet”

“UN prophète,” atau “A Prophet,” nominator Oscar dari Perancis ini memberikan gambaran naturalistik bagaimana kekuasaan bisa menggerogoti manusia. “A Prophet,” dengan bahasa lain, berhasil menunjukkan bagaimana sebuah kehidupan penjara membentuk sosok yang mulanya naif menjadi pemimpin sebuah geng. Sebuah kredit untuk keberhasilan Jacques Audiard memberikan drama kriminal sekompleks ini, setelah sebelumnya berhasil menyuguhkan “The Beat That My Heart Skipped” (yang kurang lebih bernuansa sejenis).

Dear John

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Lasse Hallström
Pemain:
Channing Tatum, Amanda Seyfried, Henry Thomas, Scott Porter, Richard Jenkins

Tahun Rilis: 2010

Film ini diadaptasi dari novel “Dear John” karya Nicholas Sparks.

YA, “Dear John” berhasil menampilkan senyuman manis Amanda Seyfried (sekaligus bikininya) sekaligus kegagahan Channing Tatum – sekalipun film ini bukan film tinju-tinjuan, urban, atau “G.I. Joe.” Permasalahannya, film ini gagal menampilkan apa yang sesungguhnya ingin ditampilkan. Saya sendiri belum pernah membaca novel Nicholas Sparks, jadi saya tidak akan mengunkit-ungkit novelnya. Hanya saja, untuk sebuah film romantis, “Dear John” terbilang gagal.

Minggu, 27 Juni 2010

East of Eden

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Elia Kazan
Pemain: Julie Harris, James Dean, Raymond Massey, Burl Ives, Richard Davalos, Jo Van Fleet

Tahun Rilis: 1955

Film ini diadaptasi dari novel “East of Eden” karya John Steinbeck.

Film yang satu ini bisa dibilang daur ulang dari kisah “Cain dan Abel” dalam Injil (“Qabil and Habil” kalau versi Al-Qur'an-nya). Atau bisa dikatakan juga, film ini menggunakan premis persaingan antar saudara dalam “Cain dan Abel.”

Sabtu, 26 Juni 2010

Tsotsi

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Gavin Hood
Pemain: Presley Chweneyagae, Terry Pheto, Kenneth Nkosi, Mothusi Magano

Tahun Rilis: 2005

“TSOTSI,” film asal Republik Afrika Selatan ini menggaet penghargaan Best Foreign Film versi Academy Awards (alias Oscar) tahun 2005 silam. Cerita yang disuguhkan “Tsotsi” sebenarnya sangat-sangat simpel. Bahkan keseluruhan cerita “Tsotsi” hanya memakan waktu kurang lebih satu setengah jam total. Tapi, yang membuat “Tsotsi” layak masuk jajaran nominator Oscar adalah kajiannya yang sangat dalam dan, tentu saja, eksekusi kajiannya tersebut ke arah yang sangat tepat.

Jumat, 25 Juni 2010

Fröken Julie

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Alf Sjöberg
Pemain: Anita Björk, Ulf Palme, Märta Dorff

Tahun Rilis: 1951
Judul Internasional: “Miss Julie”

Film ini diadaptasi dari drama panggung “Fröken Julie” karya August Strindberg.

“MISS Julie” adalah salah satu dari judul klasik dengan tema yang kontroversif. Film Swedia ini, tidak lain, membahas tema yang masih terbilang sensasional pada jamannya: seks (dan hal-hal yang berkaitan). Hal yang menarik dari menyimak “Miss Julie” adalah menyaksikan persepsi klasik seputar seks dalam balutan sebuah drama yang tersuguh dalam layar hitam putih. Nyatanya, film klasik yang membahas seksualitas ini sama tidak menyajikan adegan birahi, tapi lebih pada adegan-adegan seduksi (dan pengaruhnya) antar karakter yang terkait.

Kamis, 24 Juni 2010

Män som hatar kvinnor

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Niels Arden Oplev
Pemain: Michael Nyqvist, Noomi Rapace, Sven-Bertil Taube, Peter Haber, Marika Lagercrantz

Tahun Rilis: 2009
Judul Internasional: “The Girl with the Dragon Tattoo” atau “Men Who Hate Women”

Film ini diadaptasi dari novel “Män som hatar kvinnor” karya Stieg Larsson.

DARI segi misteri dan thriller-nya, “The Girl with the Dragon Tattoo” termasuk film crime thriller yang rumit, memaksa, membingungkan, dan cukup menarik. Perpaduan latar belakang nazi, misteri pembunuhan gadis-gadis, ayat-ayat suci, tersangka-tersangka ala novel detektif klasik, sampai masalah psikotik – kurang rumit apa lagi coba? Tapi, nilai tambah yang membuat film ini lebih menarik dan berbeda dari film-film sejenis adalah wujud dan karakterisasi protagonisnya.

Ada dua protagonis di film ini. Yang pertama, Mikael Blomkvist (Michael Nyqvist), seorang wartawan Majalah Millenium – tipe protagonis yang sering ditemukan di film-film penyelidikan – yang akan dijebloskan di penjara karena kalah kasus melawan industrialis Swedia (yang dituduhnya melakukan korupsi). Protagonis yang satunya lagi (yang membuat film ini unik) adalah Lisbeth Salander (Noomi Rapace), seorang hacker bergaya punk yang diam-diam membantu Mikael Blomkvist (dengan memasuki jaringan komputernya secara ilegal). Lisbeth termasuk tokoh, selain unik, sangat rumit untuk film sejenis. Lisbeth memasang tindik-tindik di badannya, memasang cincin/anting di hidungnya, merokok, berjalan layaknya pria, bahkan memasang sebuah tato naga di punggungnya sebagai perlambangan maskulinitas dalam tubuh feminimnya – sesuai dengan judul internasional film ini.

http://3.bp.blogspot.com/_FWlFbU673eI/TCR8EVAzjpI/AAAAAAAAAvg/R-K752_9vIw/s1600/photo_10_hires.jpg

Lisbeth punya masa lalu yang tidak kalah rumit dengan tindikan dan tato di badannya. Sewaktu kecil, dia bahkan membakar hidup-hidup bapaknya. Memori fotografik yang dimiliki Lisbeth bukannya menjadi berkah buatnya, malah menjadi hantu yang menghantuinya sepanjang hidup. Tidak dijelaskan lebih lanjut alasan tepatnya (toh film ini tergolong trilogi), yang pasti dari kebencian Lisbeth terhadap ketika menatap sang pembunuh di akhir film (dan juga dari subplot tentang wali Lisbeth yang mesum), kita tahu Lisbeth punya dendam tersendiri – semacam pelecehan/kekerasan terhadap perempuan. Bertolak belakang dengan kehidupannya yang kacau, Lisbeth ternyata adalah hacker yang sangat handal. Terlepas dari perwujudannya yang punk, Lisbeth adalah sosok yang ternyata intelektual. Naomi Rapace, pemeran Lisbeth, mewujudkan karakter rumit ini dengan cara yang sangat intensif dan tajam. Saya belum pernah membaca novelnya, jadi saya tidak akan membandingkan dengan karakter Lisbeth di novel.

Lisbeth secara diam-diam membantu Mikael menyelesaikan sebuah kasus yang ia terima di hari-hari terakhirnya sebelum terpuruk di penjara. Mikael diminta oleh seorang CEO sebuah perusahaan milik keluarga kaya-raya, Henrik Vanger (Sven-Bertil Taube), untuk memecahkan misteri hilangnya keponakan gadisnya tiga puluh tujuh tahun yang lalu (hilang saat usia 16 tahun). Henrik yakin keponakannya tersebut dibunuh oleh salah satu dari anggota seraka keluarga jutawan tersebut. Kedua orang ini, Lisbeth dan Mikael, menjadi pasangan yang unik dalam cerita detektif-detektifan ini.

Kedua pasang protagonis tersebut pun menjadi pasangan, bukan hanya pasangan “partner kerja,” tapi “pasangan yang lebih intim lagi.” Terdapat pergolakan psikologis yang menarik dalam tokoh Lisbeth sepanjang pergolakan romansa ini – bukan hanya sekedar pameran birahi. Secara psikologis, sebenarnya pengkajian tokoh Lisbeth tidak bisa dibilang dalam. Hanya saja, perwujudannya yang membuat tokoh Lisbeth ini disturbin sekaligus seksi serta aneh sekaligus seduktif.

http://4.bp.blogspot.com/_FWlFbU673eI/TCR8DmALWjI/AAAAAAAAAvY/GkUESWwxHRU/s1600/photo_05_hires.jpg

Sebenarnya, formula yang digunakan di film ini untuk meramu misterinya sudah sangat umum ditemukan di film-film serupa. Kedua protagonis itu melakukan penyelidikan, dan perlahan-lahan kebenaran pun terkuak dengan cara yang mengaggetkan. Semakin dekat kedua protagonis tersebut dengan kebenaran, semakin pula mereka dekat dengan kotak Pandora yang hakikatnya berbahaya bila dibuka. Kebenaran di film-film semacam ini, memang selalu diibaratkan sebagai sesuatu yang mematikan untuk dikuak. Formula yang sudah umum.

Hanya saja, apa saja yang tersembunyi di balik misteri-misteri di film ini, bagaimana misteri-misteri film ini dikaitkan satu sama lain, dan lalu dihubungkan dengan latar belakang tokohnya, adalah hal yang membuat film ini beberapa langkah lebih maju dari keklisean.

Setting yang digunakan pun sangat efektif untuk menekan misterinya sampai titik puncak. Thriller yang disajikan sangat berpadu-padan dengan suasana dingin-dingin (memang settingnya dingin) yang terasa dari latar. Ada beberapa adegan yang menunjukkan kekerasan, perkosaan, bondage, bahkan kekerasan seksual yang lebih tajam lagi. Hanya saja, eksekusi adgean-adegan ini jatuhnya pun tidak sekedar “birahi.” Ada semacam kesan feminisme yang terasa, sesuai dengan judul internasionalnya: “The Girl with the Dragon Tattoo.”

http://1.bp.blogspot.com/-nhStlHuwPw8/TWvFtSuSwNI/AAAAAAAACMk/29KSHDpWz7U/s1600/B%252B.bmp

Rabu, 23 Juni 2010

Jeux interdits

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: René Clément
Pemain: Georges Poujouly, Brigitte Fossey

Tahun Rilis: 1952
Judul Internasional: “Forbidden Games”

Film ini diadaptasi dari novel “Jeux interdits” karya François Boyer.

MENYAKSIKAN film yang “murni” menyajikan keluguan dan kepolosan anak-anak tanpa embel-embel dan tempel-tempelan lain adalah pengalaman langka di era modern ini. Tidak banyak, bahkan nyaris jarang, pekerja-pekerja film yang berani menyajikan film sejenis “Jeux interdits” atau “Forbidden Games” ini. Faktanya, memang, film-film klasik cenderung lebih murni dan tidak ternoda ketimbang kebanyakan film modern masa kini (“Bicycle Thieves” contoh lainnya).

Selasa, 22 Juni 2010

Isadora

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Karel Reisz
Pemain:
Vanessa Redgrave, James Fox, Jason Robards, Ivan Tchenko, John Fraser

Tahun Rilis: 1968

Film ini merupakan adaptasi dari buku autobiografi Isadora Duncan berjudul “My Life” dan buku “Intimate Portrait” karya Sewekll Stokes.

My first study of movement of the dance came from the rhythm of the waves . And my first understanding of music from the sighing of the winds in the giant redwoods. For I was born by the sea. And all the great events of my life have taken place by the sea. I was born under the star of Aphrodite, Goddess of love.
-Isadora Duncan-

ISADORA Duncan adalah salah satu nama yang cukup terkenal dalam dunia tari-menari. Beliau adalah pendobrak era modern dunia seni tari. Isadora Duncan adalah wanita dengan cita rasa seni tinggi, khususnya dalam dunia tari-menari. Selain itu, Isadora Duncan juga dikenal sebagai wanita yang sensasional. Hasrat seksual dan teriakannya terhadap kebebabasan personal dan ekspresional telah mengejutkan mereka-mereka yang berpikiran sempit di masanya. Kepekaan seninya, foto-foto telanjangnya, pertunjukkan tari telanjangnya, hingga jajaran nama-nama terkenal yang pernah menjalin cinta dengannya, semua itu membuat Isadora Duncan menjadi sosok yang historikal, artistikal, sensasional, dan fenomenal secara bersamaan.

“Isadora” adalah sebuah film biopic tentang sosok wanita yang telah berjasa dalam dunia tari tersebut. Vanessa Redgrave, aktris Inggris (yang di film ini masih muda, juga bermain di “Atonement”), memikul beban sebagai Isadora Duncan di film ini. “Isadora” adalah salah satu film yang cukup terkenal pada masanya. Namun tak lama setelah rilis, entah kenapa film ini hilang dari peredaran. Saya pun cukup kesulitan menemukan film “Isadora” ini.

Red CobeX

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Upi Avianto
Pemain: Tika Panggabean, Indy Barends, Sarah Sechan, Cut Mini, Aida Nurmala, Lukman Sardi, Revalina S Temat, Shanty, Irfan Hakim, Niniek L. Karim, Edo Kondologit

Tahun Rilis: 2010

BELUM lama ini perfilman Indonesia meluncurkan “RATU KOSTmopolitan” yang memamerkan Luna Maya, Tyas Mirasih, dan Imey-Liem, yang kesemuanya cantik nan seksi. Kali ini, Upi Avianto (sutradara wanita yang dikenal dengan “Radit dan Jani”), melalui “Red Cobex” mencoba memanjakan kita dengan formula serupa. Bedanya, tiga gadis cantik nan seksi tersebut diganti dengan lima emak-emak pembasmi keonaran, kemaksiatan, dan kemudharatan.

“Red Cobex” bisa dibilang punya kemiripan dengan “RATU KOSTmopolitan,” tapi tidak bisa juga dibilang benar-benar persis/mirip. Saya tidak akan menuduh (toh kedua film itu jelas berbeda), saya hanya akan membandingkan. Kemiripan pertama, kedua film itu sama-sama bergenre komedi berbalut aksi, tentunya. Kedua film itu sama-sama menonjolkan ke-maskulin-an kaum hawa. Kedua film itu sama-sama mengangkat misi Bhineka Tunggal Ika, di mana para pahlawan wanitanya memiliki perbedaan suku yang ditonjolkan dari bahasa dan aksen berbicara.

Senin, 21 Juni 2010

Ladri di biciclette

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Vittorio De Sica
Pemain:
Lamberto Maggiorani, Enzo Staiola, Lianella Carell, Vittorio Antonucci, Gino Saltamerenda, Giulio Chiari

Tahun Rilis: 1948
Judul Internasional: “Bicycle Thieves” atau “The Bicycle Thief”

VITTORIO de Sicca memang telah dianggap sebagai salah satu figur yang berjasa di industri perfilman. Namanya dikenal meluas karena gebrakan-gebrakan teknik neorealisme Italia yang sering dijumpai di karya-karyanya. Termasuk di film “Ladri di biciclette” ini, atau lebih dikenal dengan judul “Bicycle Thieves” atau “The Bicycle Thief.”

Neorealisme sendiri adalah gaya pengkarakterisasian dengan cerita seputar permasalahan kalangan miskin atau menengah. Pengambilan gambar dengan gaya neorealisme biasanya dilakukan pada lokasi aslinya, bukan dengan setting replikaan studio. Tidak jarang pula film-film yang menggunakan gaya neorealisme ini menggunakan aktor-aktor non profesional. Biasanya, film-film neorealisme mengangkat masalah seputar masalah ekonomi, kemanusiaan, krisis moral, hingga human nature (jadi jangan terlalu berharap ada adegan aksi super-canggih ala “Iron Man”). Gaya neorealisme ini mendominasi perfilman Italia pada sekitar 1944 1952, era ini dikenal juga dengan nama “Era Neorealisme.”

Minggu, 20 Juni 2010

Jungfrukällan

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Ingmar Bergman
Pemain:
Max von Sydow, Birgitta Valberg, Gunnel Lindblom, Birgitta Pettersson

Tahun Rilis: 1960
Judul Internasional: “The Virgin Spring”

“THE Virgin Spring” adalah salah satu dari sekian banyak karya klasik cemerlang Ingmar Bergman, seorang sutradara Swedia yang cukup diakui oleh dunia. “The Virgin Spring” adalah film pertama Ingmar Bregman yang memenangkan patung emas Oscar untuk kategori Best Foreign Language Film pada tahun 1960. Tahun berikutnya, 1961, beliau meraup patung tersebut (dalam kategori yang sama pula), untuk film yang berjudul “Såsom i en spegel” (Through a Glass Darkly). Tahun 1971, Ingmar Bergman dianugrahi Irving G. Thalberg Memorial Award (oleh Academy Awards aka Oscar)

Karya-karya Ingmar Bergman seringkali berputar pada pertanyaan-pertanyaan eksistensialisme mengenai moralitas, kesendirian, dan keyakinan religius. Termasuk pula di film ini, ciri khas Ingmar Bergaman tersebut terasa kental sekali.

Toy Story 3

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Lee Unkrich

Tahun Rilis: 2010

Film ini merupakan sequel dari “Toy Story 2” (1999).

Ini adalah film ketiga dari franchise “Toy Story,” yang kurang lebihnya bercerita tentang petualangan para mainan yang hidup ketika para manusia tidak melihat mereka. Bayangkan kalau mainan kita tiba-tiba bergerak, berbicara, hidup, di malam hari ketika tidur.

Film ketiga ini tetap menyoroti Woody, sebuah mainan koboi-koboian, dan teman-temannya. Mereka semua merupakan mainan milik seorang bocah bernama Andy. Sayangnya, sekarang Andy sudah 17 tahun dan sedang bersiap-siap untuk kuliah. Para mainan tersebut dihdapakan pada ketidakpastian, tentu Andy yang sudah dewasa tidak mungkin memainkan mereka lagi. Ketika berkemas, Andy memutuskan untuk membawa Woody, sementara yang lainnya dimasukkan ke sebuah kantung plastik berlabel “sampah.” Sebenarnya Andy berniat menyimpan sisa mainnya (selain Woody) di loteng. Sayangnya, ketika ibunya mendapatkan kantung berlabel “sampah” tersebut, mereka malah terbuang.

http://4.bp.blogspot.com/_FWlFbU673eI/TB5hO6h4JaI/AAAAAAAAAsI/owZEgfrVUTU/s1600/2.jpg

Woody yang menyaksikan jelas semua kejadian ini berusaha menjelaskan pada teman-temannya. Sayangnya, para mainan yang sudah sangat terluka dan kecewa tersebut sama sekali tidak mau mendengar. Mereka bahkan memutuskan untuk pergi ke Pusat Penitipan Anak Sunnyside, berharap dapat kembali dimainkan di tempat tersebut. Woody pun, secara tidak sengaja, ikut bersama mereka. Di Sunnyside, mulanya, mereka disambut dengan hangat oleh mainan-mainan lain. Tempat tersebut dipimpin oleh sebuah boneka beruang besar yang dinamai Lotso (Lots-o-Huggin' Bear). Melihat rona bahagia teman-temannya di Sunnyside, Woody memutuskan untuk berpisah dan kembali ke Andy. Sayangnya, ternyata Woody tidak langsung bisa tiba ke rumah Andy ketika Bonnie, anak pengurus Sunnyside, menemukannya lalu membawanya pulang sebagai mainannya.

http://4.bp.blogspot.com/_FWlFbU673eI/TB5hOcLGnmI/AAAAAAAAAsA/UctR-vRGfWg/s1600/1.jpg

Sementara itu, teman-teman Woody mendapatkan kejutan yang tidak menyenangkan dari anak-anak balita yang memainkan mereka di ruangan tempat mereka ditempatkan. Balita-balita tersebut memainkan mereka dengan sangat kasar. Dibanting. Ditendang. Diduduki. Maklum, balita, belum tahu cara memainkan mainan dengan benar.

Para mainan tersebut, yang tentunya tidak tahan diperlakukan seperti itu, memutuskan untuk menemui Lotso agar mereka dipindahkan ke ruangan khusus anak-anak (bukan balita). Malamnya, Buzz memutuskan untuk menemui Lotso, untuk membicarakan masalah tersebut. Sayangnya, ternyata tidak segampang itu. Lotso, yang ternyata merupakan sosok yang zalim, malah memrogram ulang Buzz. Buzz berbalik melawan teman-temannya, memenjarakan mereka. Dari sini, diceritakanlah perjuangan mainan-mainan tersebut untuk lolos dari kungkungan Sunnyside, yang lebih mirip penjara bagi mereka.

Pada “Toy Story” dan “Toy Story 2” penonton dikenalkan pada kisah tentang kedekatan hubungan antara seorang bocah dan mainan-mainannya. Dalam produksi Pixar kali ini, “Toy Story 3,” penonton diperkenalkan pada anti klimaksnya. Di sini kita dihadapkan pada Andy, yang sedang dalam masa pendewasaan, yang harus meninggalkan masa kecilnya (termasuk mainan-mainannya). Tapi, yang lebih inti dari film ini, bagaimanakah seharusnya Andy meninggalkan masa kecilnya? Dibuang begitu saja? Atau dengan sesuatu yang lebih bermakna? Di “Toy Story 3” ini, penonton malah dihadapkan pada kisah yang bertolak belakang dari dua film pendahulunya: si bocah (yang sudah dewasa) dan mainan-mainannya saling berpisah satu sama lain. Hanya saja, bagimanakah seharusnya mereka berpisah?

http://4.bp.blogspot.com/_FWlFbU673eI/TB5hPjJ5MTI/AAAAAAAAAsQ/GySjiXBx50g/s1600/Toy-Story-3-Movie-Stills-disney-9631008-620-347.jpg

Tema yang lebih berkembang dari dua film sebelumnya merupakan gempuran utama yang menyenangkan. Film ini sangat terasa menyenangkan dari segala sisi. Lucu. Menghibur. Sedih. Menggugah. Film ini punya segala emosi yang dibutuhkan untuk sebuah animasi keluarga. Dan film ini sangat berhasil mengolah dan menempatkannya pada tempat yang tepat. Tapi tetap, hal yang paling membuat film ini sangat menarik adalah substansinya. Tema serius tentang “kedewasaan-bye-bye-childhood” yang berhasil dikemas dengan sangat menyenangkan. Substansinya itu yang membuat film ini sangat tepat sebagai sequel ketiga.

http://1.bp.blogspot.com/-nhStlHuwPw8/TWvFtSuSwNI/AAAAAAAACMk/29KSHDpWz7U/s1600/B%252B.bmp

Sabtu, 19 Juni 2010

The Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Andrew Adamson
Pemain:
Georgie Henley, Skandar Keynes, William Moseley, Anna Popplewell, Tilda Swinton, Liam Neeson, James McAvoy

Tahun Rilis: 2005

Film ini merupakan adaptasi dari novel “The Lion, The Witch and The Wardrobe” (1950) karya C. S. Lewis.

“THE Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe” film pertama adaptasi Disney dari total tujuh novel tentang dunia Narnia. Dalam novelnya sendiri, C. S. Lewis banyak meninggalkan simbolisme-simbolisme kristiani. Binatang-binatangnya. Aslan, Sang Singa, yang merupakan simbolisme Kristus. Jadis, Sang Penyihir Putih. Keseluruhan dunia Narnia tersebut bukanlah sekedar muncul mendadak dari imajinasi liar C. S. Lewis. Semuanya mengandung simbolisme-simbolisme masing-masing Tapi resensi ini tidak akan mengkaji sampai sedalam itu, toh ini bukan esei sastra, ini sekedar resensi praktis seputar film yang diadaptasi dari novel tersebut.

Being Julia

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: István Szabó
Pemain:
Annette Bening, Jeremy Irons, Shaun Evans, Lucy Punch, Juliet Stevenson, Miriam Margolyes, Tom Sturridge

Tahun Rilis: 2004

Film ini merupakan adaptasi dari novel “Theatre” (1937) karya W. Somerset Maugham.

“BEING Julia” adalah salah satu dari sekian banyak judul film terbitan Hollywood yang bercerita tentang permainan seduksi dan dendam, bisa dibilang setipe dengan “Dangerous Liaisons.” Bedanya, film yang berbau sensualitas ini malah hadir dengan suasana yang lebih ceria ketimbang film-film sejenis.

The Last Station

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Michael Hoffman
Pemain:
Christopher Plummer, Helen Mirren, James McAvoy, Paul Giamatti

Tahun Rilis: 2009

Film ini dibuat berdasarkan novel “The Last Station” (1990) karya Jay Parini

COUNT Lev Nikolayevich Tolstoy atau Leo Tolstoy (Christopher Plummer), pengarang sekaligus filsuf terkenal asal Rusia, hendak mendonasikan semua harta dan properti pribadi hasil kerja kerasnya pada rakyat Rusia. Dan istrinya, Countess Sophia Andreyevna Tolstaya atau Sofia Tolstaya (Helen Mirren), menentang habis-habisan rencana yang akan menguras segala warisan untuk keturunannya tersebut. Siapa yang bisa menyalahkan ketidaksetujuan Sofia, sang istri? Bukankah Sofia keinginan terhadap harta pribadi keluarganya tersebut sangat manusiawi? Bahkan alasan kepentingan moral, kemiskinan, hingga tetek-bengek kemanuasiaan pun tidak bisa menyalahkan penentangan Sofia atas kehendak suaminya. Apa yang Sofia lakukan adalah tindakan sangat manusiawi!

Kites

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Anurag Basu
Pemain:
Hrithik Roshan, Barbara Mori, Kangana Ranaut, Kabir Bedi, Nick Brown

Tahun Rilis: 2010

BOLLYWOOD sepertinya sedang mencoba menjamah pasar internasional akhir-akhir ini. Setelah sebelumnya sukses menjamah kancah internasional dengan “My Name is Khan” (sebuah film drama) dan “3 Idiots” (sebuah komedi), kali ini Bollywood mencoba dengan film roman, bercampur aksi-thriller, bercampur noir, bercampur western (koboi-koboian).

“Kites,” yang artinya layang-layang, dibuka dengan gambaran dua layang-layang yang sedang terbang, diiringi dengan sebuah narasi tentang filosofi dua layang-layang. “Bila dua layang-layang terlalu lama saling berdekatan, maka, salah satu pasti akan putus.” Filosofi ini memang sesuai dan menggambarkan, kurang lebih, nasib dari hero di film ini.

http://2.bp.blogspot.com/_FWlFbU673eI/TBzkYkwlCMI/AAAAAAAAAn4/X2oBqlZoJLY/s1600/photo_10_hires.jpg

J (Hrithik Roshan) ditemukan berlumuran darah di sebuah gerobong kereta di sebuah pedesaan Meksiko. Penduduk setempat membantunya. Dan setelah pulih, J beranjak mencari kekasihnya. Kisah tentang J pun diceritakan dengan cara flashback. J adalah seorang guru tari di Las Vegas, yang juga melakukan pekerjaan sampingan menjual popcorn, menyewakan DVD bajakan, dan menikahi wanita-wanita imigran agar mereka bisa mendapatkan “kartu hijau.” Namun, J tidak pernah kaya, seperti yang selalu diucapkannya, “Dewi rezeki selalu mengetuk pintunya, sayangnya dia selalu sedang bernyanyi di kamar mandi.” Termasuk ketika Gina (Kangana Ranaut), salah seorang gadis yang mengikuti kelas tarinya, mendadak masuk ke dalam kamarnya. Gina, secara tiba-tiba, menyatakan citnanya pada J. Sayangnya, J sama sekali tidak mencintainya. J menolaknya. Namun, ketika J menyadari Gina adalah putri dari pemilik gedung kasino yang mempunyai kuasa di kota ini, J mendekati Gina demi uang.

Tidak diduga, di rumah pantai keluarga Gina, J bertemu dengan Natasha (Barbara Mori), gadis hispanik tunangan Tony (Nick Brown), kakaknya Gina. Sebuah perjumpaan yang mengejutkan bagi J, karena sebenarnya Natasha dan J masih berstatus “suami-istri.” Yap, Natasha adalah salah satu gadis hispanik imigran yang dinikahinya, yang sebenarnya bernama Linda.

Suasana noir mewarnai bagain awal film ini. Dan dari sini, terkuak pula bahwa sebenarnya Linda lah gadis yang dicintai oleh J. J sendiri dihantui oleh dilema. Semakin lama dia melihat Linda bersama Tony, semakin J terkoyak. Namun, J sendiri tahu bahya semacam apa yang bakal mengancamnya. Di sebuah malam panjang berdua antara J dan Linda, dua-duanya saling mengakui bahwa mereka sama-sama mendekati harta pasangan masing-masing.

Suasana pun berubah menjadi kacau ketika J menodongkan pistol ke kepala Tony lalu membawa kabur Linda. Tony, dan keluarganya yang berkuasa, tentu tidak tinggal diam atas penghinaan ini. Dari suasana noir, film ini berubah perlahan-lahan menjadi sebuah chasing thriller ( kerjar-kejaran) yang penuh aksi.

http://1.bp.blogspot.com/_FWlFbU673eI/TBzp0HAed0I/AAAAAAAAAoA/DsYrvXQJbRQ/s1600/13813-hrithik-roshan-992.jpg

Aksi-aksi film ini patut diacungi jempol. Bayangkan berapa banyak mobil mewah pontang-panting, bertebrangan, tabrakan, meledak, dan salute pula pada para stuntman-nya. Yah, untuk ukuran film roman-aksi, aksi di film ini sangat menyenangkan.

Hrithik Roshan, sang aktor utama, patut diberi jempol bukan hanya karena sebagain besar stunt yang konon beliau lakukan sendiri. Tapi karena beliau juga mampu menopang beban berat film ini. Sebagai karakter utama, he's quite worth watching. Barabari Mori pun cukup memikat. Dua-duanya tampil dengan chemistry yang cukup meyakinkan, belum lagi dua-duanya sama-sama bermata hijau, dan punya senyum serupa pula.

Dan bagi yang bermasalah dengan film-film Bollywood, film yang ini agak berbeda dengan roman Bollywood umumnya. Film ini, bisa dibilang, versi westernisasi dari Bollywood tanpa kehilangan unsur Bollywoodnya. Saya pun sadar film ini penuh dengan unsur-unsur melodramatis, too good to be true, bahkan fairytale-isme yang mana kesemuanya itu memang ciri khas Bollywood sekali. Lagipula “Kites,” pada dasarnya, memang film popcorn (film hiburan). Anggap saja ini film hiburan (semacam “Iron Man,” dan sebagainya). Dan sebagai film hiburan, film ini tampil sangat menghibur. Menyimak usaha mati-matian dua sejoli memperjuangan cinta mereka yang disajikan di film ini, sangat menghibur.

Tidak ditemukan cheese-ness yang terlalu menganggu ala Bollywood di film ini. Tidak ada adegan kerjar-kejaran di padang rumput sambil menyanyi dan menari ala India. Adegan-adegan ala Bollywood-isme itu diganti dengan suasana noir di awal, menit-menit penuh ketegangan menjelang pertengahan, hingga nuansa western menjelang akhir. Transisi dan kait-mengait antar suasana itu pun terjalin mulus. Lebih dari itu, sekalipun tidak ada adegan-adegan nyanyian-tarian ala India, film ini tidak kehilangan atomosfir Bollywoodnya.

http://1.bp.blogspot.com/-NueRwvCWyRI/TWuaIz7MSOI/AAAAAAAACL8/0zKrw3WpcFI/s1600/C-.bmp

Kamis, 17 Juni 2010

Tanah Air Beta

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Ari Sihasale
Pemain:
Alexandra Gottardo, Asrul Dahlan, Griffit Patricia, Yahuda Rumbindi, Lukman Sardi, Ari Sihasale, Robby Tumewu, Thessa Kaunang, Marcel Raymond

Tahun Rilis: 2010

FILM ini sebenarnya dibuka dengan cukup baik. Penonton disuguhkan dengan gambaran para manusia yang memilih untuk tetap setia pada Indonesia (tanah air beta) dan rela meninggalkan tanah asal mereka. Di antara manusia-manusia itu tampaklah Tatiana (Alexandra Gottardo) dan putrinya, Merry (Griffit Patricia). Entah karena alasan apa (nasionalisme?), Tatiana dan Merry harus meninggalkan Timor Leste demi Indonesia, dan terpaksa berpisah dengan putranya, Mauro (Marcel Raymond), yang tinggal dengan pamannya. Tidak terlalu digambarkan jelas adakah alasan pribadi kenapa Tatiana memilih meninggalkan Timor Leste dan putranya. Tidak tersurat. Pun tidak pula tersirat. Yang bisa disimpulkan, Tatiana, seorang guru yang mengajarkan lagu “Tanah Air Beta,” besar kemungkinan melakukan itu karena nasionalismenya. Alhasil, Tatiana dan Merry tinggal di sebuah kamp pengungsian di Kupang, merindukan Mauro. Oke. Sebenarnya alasan Tatiana itu terdengar preachy (moralizing/menggurui – dalam artian berlebihan). Hanya saja saya maafkan, toh masih pembukaan.

Sayangnya, ternyata adegan-adegan preachy tidak hanya sampai di situ. Kenapa pula Tatiana harus menyanyikan lagu “Tanah Air Beta” di kelasnya? Tidak adakah pelajaran lain yang lebih penting diajarkan (ditampilkan dalam adegan itu)? Baca-tulis? Matematika? PPKN? Kenapa pula di sebuah dinding ada tulisan “NKRI Atau Mati.” Simbolisme-simbolisme nyata dari nasionalisme yang dipajang berlebihan (overdosis) ini tidak hanya memberi kesan preachy tapi juga malah terkesan menjadi propaganda pemerintahan. Adegan preachy lainnya pun muncul lagi ketika Abu Bakar (Asrul Dahlan), penjual bensin yang buta huruf, minta diajarkan membaca pada Tatiana. Bukan permintaannya yang preachy. Tapi jawaban yang dilontarkan Tatiana selanjutnya malah menambah deretan adegan preachy yang dihadirkan film ini. Well, sebenarnya tidak salah bila suatu film membumbuhi pesan-pesan moral pada penontonnya. Hanya saja, seharusnya pesan-pesan moral yang dibubuhi itu tidak merusak esensi seninya. Bukankah film itu seni? Lantas kalau isinya cuma menggurui, apa bedanya dengan ceramah?

Selanjutnya, menyambung masalah bumbu-bumbu nasionalisme yang sudah ditabur berlebihan tadi, ternyata film ini tidak menampilkan sebuah pergulatan sama sekali. Singkatnya, dangkal. Film berlanjut. Merry makin merindukan Mauro. Bahkan, saking rindunya Merry pada Mauro, gadis cilik ini memasangkan baju Mauro pada sebuah bantal lalu berimajinasi seolah-olah tengah meneleponnya. Muncul pula dua tokoh sampingan baru, Koh Ipin (Robby Tumewu) dan Ci Irene (Tessa Kaunang), warga Tionghoa setempat yang baik sekali pada keluarga Tatiana. Muncul juga tokoh Carlo (Yehuda Rumbini), bocah pengungsi yang sering menganggu (menggoda (?)) Merry. Tapi pada intinya, Merry selalu merindukan Mauro tiap malamnya. Dan Tatiana selalu tidak tega melihat keadaan ini.

Masalahnya, Ari Sihasale tampaknya tidak berani menggali lebih dalam esensi cerita ini. Padahal, saya sendiri, melihat sebuah potensi cerita yang kritis bila digali lebih dalam lagi. Film ini sama sekali tidak menunjukkan apakah Merry atau Tatiana menyesali pilihan mereka itu. Adakah dilema batin yang mereka rasakan dari penyesalan itu. Tidak. Film ini hanya sebatas berani menampilkan tokoh Merry yang merindukan kakaknya, tapi tidak pernah menuntut pada sang Ibu kenapa dia harus dipisahkan dengan kakaknya. Film ini hanya sebatas berani menampilkan tokoh Tatiana yang tidak tega melihat putrinya selalu merindukan kakaknya, tapi tidak pernah terlihat merenungkan pilihannya sebelumnya. Seharusnya, akan lebih menggugah lagi bila disajikan semacam perselisihan/pertentangan antara Merry dan Tatiana itu. Sayangnya: Tidak!

Sunguh disayangkan. Padahal sebenarnya Alexandra Gottardo memberikan penampilan yang cukup menyenangkan. Asrul Dahlan pun tampil, Oke lah. Permasalahan dari sisi penampilan justru muncul dari tokoh anak-anaknya, Griffit Patricia & Yahuda Rumbindi. Kenapa tokoh anak-anak di film ini harus digambarkan seperti tokoh anak-anak di film anak-anak. Apakah ini film anak-anak? Ini bukan “Petualangan Sherina,” kan? Yah, sebut saja, hasilnya film ini malah terlihat childish (untuk generenya yang seharusnya tidak childish).

Ari Sihasale memang gemar sekali menyoroti anak-anak. Terlihat jelas di tiap-tiap film besutannya (“King”). Hanya saja, Ari Sihasale sering kedodoran dalam menggambarkan tokoh anak-anak di film-filmnya. Jelas ada perbedaan penggambaran antara tokoh anak-anak di film anak-anak dengan tokoh anak-anak di film yang bukan film anak-anak. Andai saja tokoh anak-anak di film ini digambarkan lebih realisitis, baik secara emosif maupun secara ekspresif. Banyak film-film yang menampilkan tokoh anak-anak tanpa perlu kehilangan gambaran realistisnya, sebut saja antara lainnya “Children of Heaven” (Iran), “The Color of Paradise” (Iran), “Nuovo Cinema Paradiso” (Italia), atau “Das weiße Band” (German).

Untungnya ke-preachy-an dan ke-childish-an itu tidak terlalu berlarut-larut ketika film ini menyuguhkan perjalanan Merry dan Carlo menuju perbatasan. Yah, sekalipun saya masih kecewa karena film ini gagal menampilkan kekritisan ceritanya. Setidaknya, perjalanan dua bocah ini cukup menghibur (tapi cuma sebatas menghibur, tidak lebih). Melalu perjalanan ini, kita tahu bahwa diam-diam sebenarnya Carlo menaruh perhatian pada Merry. Dan Merry yang jelas sekali membutuhkan Carlo, perhalan-lahan luluh dan mulai menerimanya sebagai teman. Carlo rela mencuri air demi Merry. Carlo rela dikerumuni semut demi Merry. Carlo rela mencuri ayam demi Merry. Lalu mereka bakar ayam tersebut. Nah, muncul lah apa yang dinamakan “cacat logika” di adegan bakar ayam ini. Bagaimana mungkin Merry dan Carlo bisa membakar ayam yang dicuri hidup-hidup? Bagaimana mereka menyalakan api? Ala zaman batu? Bagaimana mereka menyemblih ayam itu? Bagaimana mereka menguliti ayam itu? Dibakar langsung dengan bulunya? Setidaknya, mereka terlalu muda untuk hal tersebut. Apalagi saat itu mereka sedang dalam keadaan, katakanlah, “terdampar.”

Singkat cerita, sampailah pada ending-nya. Di ending, tidak terduga, ternyata ke-preachy-an, yang semerbak di awal-awal film, muncul lagi. Entah kenapa Ari Sihasale membuat adegan Carlo dan Merry menyanyikan lagu “Kasih ibu, kepada beta, tak terhingga sepanjang masa ... and so on ... and so on ...,” ketika mencari Mauro di perbatasan. Bukan hanya preachy, adegan ini juga membawa kembali naunsa childish, sekaligus malah memperkental kesan over-melodramatis.

Dan sebagai penyelesaiannya, munculah Mauro yang naudzubillah tampannya. Sekalipun sudah dibikin kumuh dan dipakaikan baju lusuh, tetap saja kelihatan parlente. Yah, wajar saja, emaknya saja si cantik Alexandra Gottardo. Just kidding.

Akhir kata: Maju terus perfilman Indonesia!

http://1.bp.blogspot.com/-NueRwvCWyRI/TWuaIz7MSOI/AAAAAAAACL8/0zKrw3WpcFI/s1600/C-.bmp

Amelia

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Mira Nair
Pemain:
Hilary Swank, Richard Gere, Ewan McGregor, Christopher Eccleston

Tahun Rilis: 2009

“AMELIA” adalah sebuah film biopic tentang Amelia Earhart, penerbang wanita pertama. Amelia Earhart masih menyisakan misteri dalam penerbangan terakhirnya mengelilingi dunia. Amelia Earhart, bersama Fred Noonan (navigatornya) dan Electra (pesawatnya), hilang di dekat Pulau Howland di Samudera Pasifik. Maka seharusnya, film ini pun menyajikan sebuah misteri yang sama misteriusnya dengan kisah Amelia Earhart itu.

Cruel Intentions

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Roger Kumble
Pemain:
Sarah Michelle Gellar, Ryan Phillippe, Reese Witherspoon, Selma Blair, Louise Fletcher, Swoosie Kurtz, Sean Patrick Thomas, Christine Baranski

Tahun Rilis: 1999

Film ini merupakan adaptasi dari novel epistolari “Les liasons dangeruses” (1782) karya Pierre Choderlos de Laclos.

BERBEDA dengan “Dangerous Liaisons” yang berlatar Perancis tahun 1700-an (sesuai dengan novelnya), “Cruel Intentions” merupakan versi modernisasi dari novel “Les liasons dangeruses.” Dalam “Cruel Intentions,” Tidak ada wanita-wanita memakai korset dan gaun yang rasanya berat sekali buat berjalan. Tidak ada pria-pria dengan wig bergelombang. Kereta kuda diganti dengan mobil-mobil mengilap. Dan yang pasti, nama-nama tak ramah lidah ala kerjaan di versi aslinya diganti dengan nama-nama modern yang lebih bersahabat.

Rabu, 16 Juni 2010

Atonement

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Joe Wright
Pemain:
Keira Knightley, James McAvoy, Romola Garai, Saoirse Ronan, Vanessa Redgrave

Tahun Rilis: 2007

Film ini merupakan adaptasi dari novel “Atonement” (2001) karya Ian McEwan.

FILM ini bisa dibagi menjadi empat bagian. Bagian pertama, di mana asal muasal konflik diceritakan. Bagian kedua, tentang perjuangan Robbie di medan perang. Bagian ketiga, tentang Robbie dan Cecila yang akhirnya bersatu kembali. Dan bagian terakhir, berdekade-dekade kemudian, tentang penebusan (atonement) Briony yang sudah lanjut usia.

Garis besarnya, film ini berusaha menunjukkan bagaimana sebuah kebohongan bisa menghancurkan hidup orang lain. Dalam kasus ini, film ini menggambarkan bagaimana kebohongan Briony (Saoirse Ronan) bisa menghancurkan hidup tiga orang: kakanya, Cecilia (Keira Knightley); kekasih kakaknya, Robbie (James McAvoy); dan hidupnya sendiri tentunya.

Dangerous Liaisons

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Stephen Frears
Pemain:
Glenn Close, John Malkovich, Michelle Pfeiffer, Swoosie Kurtz, Keanu Reeves, Mildred Natwick, Uma Thurman, Peter Capaldi

Tahun Rilis: 1988

Film ini merupakan adaptasi dari drama panggung “Les liasons dangeruses” (1985) karya Christopher Hampton, yang juga merupakan adaptasi dari novel epistolari “Les liasons dangeruses” (1782) karya Pierre Choderlos de Laclos.

“DANGEROUS Liasons,” judul film ini, kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi “hubungan-hubungan haram yang berbahaya.” Sesuai dengan judulnya pula, film ini bercerita seputar “hubungan-hubungan haram yang berbahaya.” Tapi jangan kira period drama yang satu ini bersuasana cengeng, film ini mengemban suasana kelam dan kejam. Mungkin ada yang ingat “Cruel Intention,” film yang diproduksi bertahun-tahun setelah film ini. Sekedar info, “Cruel Intention,” yang dibintangi Sarah Michelle Gellar dan Reese Witherspoon, adalah versi modern dari “Dangerous Liasons.”

Period drama ini berlatar di Perancis sekitar sebelum masa revolusi Perancis. Bersentral pada dua orang manusia dari kalangan atas Perancis, Marquise Isabelle de Merteuil (Glenn Close) dan Vicomte Sébastien de Valmont (John Malkovich). Dua sejoli ini diam-diam sebenarnya saling menaruh cinta, hanya saja keduanya malah menghabiskan waktu bersaing satu sama lain dalam permain mereka sendiri – yang ujung-ujungnya malah saling menghancurkan satu sama lain. Memang itu lah garis besarnya film ini: permainan cinta dan seduksi kedua tokoh tersebut.

Marquise Isabelle de Merteuil (ribet kan namanya?) meminta Vicomte Sébastien de Valmont (lebih ribet yang mana coba?), partnernya, untuk merayu keponakannya yang masih muda, Cécile de Volanges (Uma Thurman yang ini, setidaknya, lebih gampang diingat). Alasannya, Marquise Isabelle de Merteuil ingin membalas dendam pada bekas kekasihnya yang hendak menikahi Cécile. Mulanya, Sébastien menolak misi tersebut karena beliau sendiri sedang dalam misi yang menurutnya lebih menantang: merayu Madame de Tourvel (Michelle Pfeiffer), wanita cantik yang sedang setia menanti kepulangan suaminya yang bertugas di luar negeri. Isabelle yang menyadari kecilnya kemungkinan Sébastien mampu melancarkan misinya tersebut memberikan suatu tantangan: andaikan partnernya itu berhasil, Isabelle akan memberikan sebuah “hadiah.”

Di tengah-tengah misinya, Sébastien pun menyadari Madame de Volanges (Swoosie Kurtz) telah diam-diam menyurati Madame de Tourvel (bayangkan kalau zaman sekarang kita masih harus menyebut nama orang panjang-panjang dan ribet seperti ini) tentang niat jahatnya. Untuk membalasnya, Sébastien pun menerima ajakan rencana kotor Isabelle yang ia tolak sebelumnya. Mereka memanfaatkan hubungan diam-diam Cécile dengan guru musiknya, Chevalier Danceny (Keanu Reeves), yang pastinya bakal ditolak mentah-mentah ibunya karena tidak beruang.


Untuk sebuah film yang sebagian besar ceritanya merupakan arena seduksi-seduksi antar manusia, “Dangerous Liasons” ternyata mampu tampil elegan tanpa mengurangi suasana skandalismenya. Suatu poin penting (dan poin utama) film ini, yang seringkali dilupakan oleh film-film bergenre sejenis, adalah pergulatan antar-karakternya yang terasa dalam. Beruntung sekali film ini tidak terjebak stereotipe film-film bergenre sejenis yang kebanyakan lebih terfokus pada adegan-adegan birahi semata.

Keberhasilan pembangunan suasanya yang mampu menghipnotis tersebut tidak lepas dari penggambaran karakter masing-masing tokohnya yang tajam, terutama dua tokoh utamanya yang diperankan oleh Glenn Close dan John Malkovich. Keduanya tampil superb. Dialog-dialog bertele-tele ala zaman Elizabeth yang mereka ucapkan pun tampil seduktif. Pemeran lain yang juga patut diberi perhatian adalah Michelle Pfeiffer dan Uma Thurman. Keduanya mampu menampilkan emosi (ala zaman Elizabeth) yang nyaris sempurna untuk tiap-tiap adegan tokohnya, terutama Michelle Pfeiffer.

Pembangunan suasana film ini memang patut diberi applause: di permukaan tenang tak bergelombang, tapi bila ditilik lebih dalam ternyata ada pergulatan batin antar manusia yang kejam.

http://1.bp.blogspot.com/-nhStlHuwPw8/TWvFtSuSwNI/AAAAAAAACMk/29KSHDpWz7U/s1600/B%252B.bmp

Billy Elliot

nmeTULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Stephen Daldry
Pemain:
Jamie Bell, Julie Walters, Gary Lewis, Jamie Draven, Stuart Wells

Tahun Rilis: 2000

BERLATAR di Inggris di masa protes pertambangan (1984-1985), “Billy Elliot” berpusat pada tokoh Billy Elliot (Jamie Bell), seorang bocah yang menyukai balet dan harus memperjuangkan bakat baletnya itu di depan bapaknya dan kakaknya. Kalau biasanya dipertontonkan film-film bertema emansipasi wanita; “Million Dollar Baby,” dan judul-judul setipe lainnya. “Billy Elliot” malah mempertontonkan emansipasi pria – kurang lebih. Garis besarnya, film ini mengkritisi persoalan diskriminasi gender.

Selasa, 15 Juni 2010

Girl with a Pearl Earring

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Peter Webber
Pemain:
Colin Firth, Scarlett Johansson, Tom Wilkinson, Essie Davis, Cillian Murphy, Judy Parfitt

Tahun Rilis: 2003

Film ini merupakan adaptasi dari novel “Girl with a Pearl Earring” (1987) karya Tracy Chevalier.

DRAMA period ini, layaknya drama period umumnya, merupakan tipe-tipe drama tenang. Damai. Pelan. Namun diam-diam mempunyai sesuatu yang tergetar. “Girl with a Pearl Earring,” yang diangkat dari novel “Girl with a Pearl Earring” karangan Tracy Chevalier, bercerita tentang kehidupan pelukis Belanda (tokoh nyata) Johanes Vermeer. Judul film ini, “Girl with a Pearl Earring,” diambil dari judul salah satu lukisan terkenal Johanes Vermeer.

Senin, 14 Juni 2010

Superbad

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Greg Mottola
Pemain:
Jonah Hill, Michael Cera, Christopher Mintz-Plasse, Bill Hader, Seth Rogen, Emma Stone, Martha Maclsaac

Tahun Rilis: 2007

FILM besutan dari sutradara yang juga membesut “Adventureland” ini dikategorikan ke dalam kelompok screwball comedy. Screwball comedy sendiri adalah julukan untuk tipe-tipe film “pria dijajah wanita.” Garis besarnya, screwball comedy adalah komedi tentang para laki-laki yang “kejantanannya” ditantang demi para wanita. Dalam kancah perfilman, genre ini dipopulerkan oleh film “It Happened One Night,” film yang dibintangi Clark Gable. Sebelumnya, bentuk-bentuk screwball comedy ini pun bisa ditemukan dalam drama-drama Shakespeare, antara lain “Much Ado About Nothing,” “As You Like It,” dan yang paling terkanal “A Midsummer Night's Dream.” Dalam kancah perfilman modern Indonesia, wujud paling terasa dari screwball comedy bisa ditemukan di “Janji Joni.”

Minggu, 13 Juni 2010

The Brotherhood 2 - Young Warlocks

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: David Decoteau
Pemain: Sean Faris, Forrest Cochran, Stacey Scowley, Jennifer Capo, Justin Allen, C. J. Thomason

Tahun Rilis: 2001

Film ini merupakan sequel dari “The Brotherhood” (2001).

Film ini buruk. Dari awal saja sudah bisa ditebak film ini bukan film yang bagus. Film ini tidak ada bedanya dengan film-film horror sempak dan kutang yang biasa mampang di bioskop-bioskop Indonesia. Setidaknya, satu kelebihan film ini ketimbang horror-horror sempak-kutang itu, film ini lebih punya intensi untuk jadi horror. Tidak seperti horror-horror sempak-kutang Indonesia yang lebih besar porsi sempak-kutang-nya.

Chocolat

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Lasse Hallström
Pemain:
Juliette Binoche, Judi Dench, Alfred Molina, Lena Olin, Johnny Depp

Tahun Rilis:
2000

Film ini diangkat dari novel “Chocolat” karya Joanne Harris.

“CHOCOLAT” adalah film tentang pertempuran. “Chocolat” adalah film tentang peperangan. “Chocolat” adalah film tentang perjuangan. Tapi bukan dengan pedang. Pun dengan otot. “Chocolat” adalah film tentang iman dan keyakinan kristiani melawan mistisme coklat.

Sabtu, 12 Juni 2010

Robin Hood

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Ridley Scott
Pemain:
Russell Crowe, Cate Blanchett, Matthew Macfadyen, Mark Strong, Oscar Isaac, Kevin Durand, Mark Addy, William Hurt, Danny Huston, Max von Sydow

Tahun Rilis: 2010

“ROBIN Hood” versi Ridley Scott ini bukan benar-benar Robin Hood si pemimpin kelompok pencuri yang kita kenal dulu. “Robin Hood” yang ini, adalah Robin Hood yang sudah diutak-atik oleh Ridley Scott menjadi versinya sendiri.

Kalau saya menulis resensi ini berpijak dengan Robin Hood, maka versi Ridley Scott ini sudah jelas sekali kehilangan esensi Robin Hood. “Robin Hood” yang ini tidak memakai baju hijau yang sudah jadi ciri khasnya. “Robin Hood” yang ini terasa lebih kaku ketimbang Robin Hood yang saya kenal selama ini. Dan yang paling penting, “Robin Hood” yang ini tidak mencuri dari kalangan atas demi membantu kalangan bawah. Yang lebih parah, “Robin Hood” yang ini malah berperang melawan kalangan atas demi kepentingan kalangan atas pula.

Jumat, 11 Juni 2010

Jermal

ULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)


Sutradara: Ravi Bharwani, Rayya Makarim, & Utawa Tresno
Pemain:
Didi Petet, Yayu Aw Unru, Iqbal S. Manurung, Chairil A. Dalimunthe

Tahun Rilis:
2009

BAGI saya, “Jermal” merupakan film terbaik keluaran Indonesia sepuluh tahun belakangan ini, mendahului “3 Doa 3 Cinta” dan “Mereka Bilang Saya Monyet!”

Lupakan sejenak “Laskar Pelangi” yang memang lebih sukses dari “Jermal.” Film besutan Riri Reza itu memang lebih memanjakan mata dan pikiran penonton ketimbang “Jermal.” Namun, sebagai sesama film yang salah satu temanya adalah anak-anak, pencapaian “Jermal” jauh di atas “Laskar Pelangi.” Sekalipun, sekalipun (saya tegaskan) “Laskar Pelangi” lebih laku di pasaran.

Messengers 2: The Scarecrow

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)

Sutradara: Martin Barnewitz
Pemain:
Norman Reedus, Claire Holt, Heather Stephens, Michael McCoy, Erbi Ago, Richard Riehle, Matthew McNulty, Darcy Fowers, Kalina Green

Tahun Rilis:
2009

Film ini merupakan prequel dari “The Messengers” (2007).

TIMELINE kejadian di film ini mundur dari film sebelumnya, “The Messengers.” Atau katakan saja, cerita di film ini terjadi sebelum cerita di “The Messengers.” Konsepnya sih masih sama, bercerita tentang horror di daerah pertani-tanian. Bedanya, kalau “The Messengers” mengambil latar pemandangan ladang bunga matahari, prequel-nya ini menyajikan panorama ladang jagung. Saya sedikit de javu. Ingat film “Children of the Corn” yang juga berlatar di ladang jagung? Jangan berpikiran negatif dulu, film ini tidak ada hubungan apa-apa dengan film yang diadaptasi dari cerpen karangan Stephen King itu.

Garis besarnya sih, film ini bercerita tentang usaha John Rollins menyelamatkan ladang Jagungnya. Ladang jagungnya kering karena sistem irigasi yang sudah tidak bekerja lagi, ditambah lagi gagak-gagak semakin liar melahap jagung-jagungnya. Hutang pun menunggu untuk dibayar. Suatu hari, John menemukan ruang rahasia di gudangnya. Di dalam ruangan itu, John menemukan sebuah orang-orangan sawah. Singkat cerita, John menggunakan orang-orangan sawah tersebut untuk menakut-nakuti gagak yang menyerbu ladangnya. Tidak disangka ternyata orang-orangan sawah tersebut membawa kemujuran di ladang jagung John. Sayangnya, orang-orangan sawah tersebut juga membawa petaka.

Kamis, 10 Juni 2010

Minggu Pagi di Victoria Park

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)

SAAT ini saya sedang tertarik menulis tentang dramatisme vs realisme. Mungkin bisa dibilang juga saya lagi pingin sok-sok tahu sebagai penonton ala kadarnya.

Dalam pemahaman saya, sebuah film yang baik, khususnya drama, hakikatnya mampu menyajikan gambaran yang nyata, riil, dan apa adanya. Lantas apa jadinya film yang hanya menampilkan potret nyata? Potret riil? Potret yang tidak dilebih-lebihkan? Atau saya lebih suka menyebutnya (istilah karang-karangan saya sendiri: “film dengan pendekatan realisme” atau singkatnya “film realisme.” Hasil film semacam ini bisa dilihat dari nasib beberapa judul yang memang ditujukan festival. Sebut saja: “The Wind That Shakes the Barley,” “De battre mon cœur s'est arrêté,” “Un prophète,” atau dari Indonesia “3 Doa 3 Cinta.

Pernah saya suguhkan“(Ajami) عجمي” ke beberapa teman saya. Ada yang bilang , “Filmnya bikin ngantuk!” Ada juga yang bilang, “Filmnya gak jelas!”

Film realisme tidak laku di pasaran.

Selasa, 08 Juni 2010

The First Wives Club

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Hugh Wilson
Pemain:
Goldie Hawn, Diane Keaton, Bette Midler, Elizabeth Berkley, Stockard Channing, Stephen Collins, Victor Garber, Marcia Gay Harden, Eileen Heckart, Dan Hedaya, Sarah Jessica Parker, Bronson Pinchot, Maggie Smith

Tahun Rilis:
1996

TIGA aktris veteran nominator patung Oscar dipampangkan sebagai trio pemain utama film ini. Goldie Hawn meluk patung emas Oscar saat bermain satu layar dengan Ingrid Bergman di “Cactus Flower” (1969). Diane Keaton, yang termasuk jajaran pemeran “The Godfather,” memeluk patung emas Oscarnya di film Woody Alen: “Annie Hall.” Dan terakhir, Bette Midler yang juga seorang musisi, dua kali namanya dipasangkan sebagai nominator patung Oscar untuk penampilannya di “The Rose” dan “For the Boys,” beliau memainkan tokoh penyanyi dalam kedua film itu.

Sudah jelas sekali, penampilan pemeran utamanya bukanlah hal yang patut dipertanyakan lagi di film ini.

Elizabethtown

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Cameron Crowe
Pemain:
Orlando Bloom, Kristen Dunst, Susan Sarandon, Alec Baldwin, Bruce McGill, Judy Greer, Jessica Biel, Paul Schneider, Loudon Wainwright III

Tahun Rilis:
2005

UNTUK ukuran film yang diciptakan oleh pencipta judul dengan mutu sekaliber “Jerry Maguire” dan “Almost Famous,” film terakhirnya ini bisa dibilang jatuh. Tidak jatuh bebas, hanya sekedar jatuh biasa.

Saya tidak bilang film ini buruk. Saya tidak pula bilang film ini hancur. Tidak pula saya bilang film ini jelek. Hanya saja, film ini tidak sekritis dan setajam “Jerry Maguire” dan “Almost Famous.” Film ini tidak menuntut pembelajaran karakter tokoh-tokohnya. Pun tidak memberikan konflik dilematika situasional layaknya dua judul yang saya sebut sebelumnya. Sepemahaman saya, film ini mungkin memang sama sekali tidak bertujuan untuk ditelaah kritis oleh penontonnya, layaknya dua judul yang saya sebut itu. Film ini, memang, hadir lebih ringan layaknya film-film penghangat hati umumnya. Bisa juga dikatakan, memang sepertinya film ini diproduksi tidak bertendensi untuk menjadi film yang substansinya bisa ditelaah kritis.

Senin, 07 Juni 2010

Ca-Bau-Kan

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Nia di Nata
Pemain:
Ferry Salim, Lola Amaria, Niniek L. Karim, Irgi A. Fahrenzi, Alex Komang, Robby Tumewu, Tutie Kirana, Henky Solaiman, Alvin Adam, Maria Oentoe

Tahun Rilis: 2002
Judul Internasional:
“The Courtesan”

Film ini diangkat dari cerpen “Ca-Bau-Kan (Hanya Sebuah Dosa)” karangan Remy Sylado.

FILM debutan Nia di Nata sebagai sutradara ini bukanlah film terbaiknya. Tapi patutlah diacungi jempol untuk keberanian Nia di Nata menyuguhkan film yang langka untuk ukuran tahun 2000-an, di mana di masa modern ini para sutradara lebih cenderung mengikuti kemauan pasar yang doyan sekali nonton film-film bersetting modern. Lantas apa artinya menelurkan sebuah film epik kalau nyatanya tidak mampu mengeruk uang? Untungnya Nia di Nata berani mengambil risiko mutu ketimbang komersial. Setidaknya itu yang saya lihat, mengingat karya sehebat ini tidak lebih terkenal ketimbang “Ayat-Ayat Cinta,” “Ada Apa Dengan Cinta?,” atau sekedar “Eiffel I'm in Love.”