Oleh: Rio Johan (Rijon)
SAAT ini saya sedang tertarik menulis tentang dramatisme vs realisme. Mungkin bisa dibilang juga saya lagi pingin sok-sok tahu sebagai penonton ala kadarnya.
Dalam pemahaman saya, sebuah film yang baik, khususnya drama, hakikatnya mampu menyajikan gambaran yang nyata, riil, dan apa adanya. Lantas apa jadinya film yang hanya menampilkan potret nyata? Potret riil? Potret yang tidak dilebih-lebihkan? Atau saya lebih suka menyebutnya (istilah karang-karangan saya sendiri: “film dengan pendekatan realisme” atau singkatnya “film realisme.” Hasil film semacam ini bisa dilihat dari nasib beberapa judul yang memang ditujukan festival. Sebut saja: “The Wind That Shakes the Barley,” “De battre mon cœur s'est arrêté,” “Un prophète,” atau dari Indonesia “3 Doa 3 Cinta.”
Pernah saya suguhkan“(Ajami) عجمي” ke beberapa teman saya. Ada yang bilang , “Filmnya bikin ngantuk!” Ada juga yang bilang, “Filmnya gak jelas!”
Film realisme tidak laku di pasaran.
SAAT ini saya sedang tertarik menulis tentang dramatisme vs realisme. Mungkin bisa dibilang juga saya lagi pingin sok-sok tahu sebagai penonton ala kadarnya.
Dalam pemahaman saya, sebuah film yang baik, khususnya drama, hakikatnya mampu menyajikan gambaran yang nyata, riil, dan apa adanya. Lantas apa jadinya film yang hanya menampilkan potret nyata? Potret riil? Potret yang tidak dilebih-lebihkan? Atau saya lebih suka menyebutnya (istilah karang-karangan saya sendiri: “film dengan pendekatan realisme” atau singkatnya “film realisme.” Hasil film semacam ini bisa dilihat dari nasib beberapa judul yang memang ditujukan festival. Sebut saja: “The Wind That Shakes the Barley,” “De battre mon cœur s'est arrêté,” “Un prophète,” atau dari Indonesia “3 Doa 3 Cinta.”
Pernah saya suguhkan“(Ajami) عجمي” ke beberapa teman saya. Ada yang bilang , “Filmnya bikin ngantuk!” Ada juga yang bilang, “Filmnya gak jelas!”
Film realisme tidak laku di pasaran.