Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Jacques Audiard
Pemain: Romain Duris, Niels Arestrup, Jonathan Zaccaï, Gilles Cohen, Linh Dan Pham, Aure Atika, Emmanuelle Devos
Tahun Rilis: 2005
Judul Internasional: “The Beat That My Heart Skipped”
Film ini merupakan remake dari film “Fingers” (1978) karya James Toback.
Tentang Irama yang Sempat Terlupakan
DILEMA tentang cita-cita yang sudah dikubur dalam-dalam. Kira-kira itu tema utama film ini. Lalu bagaimana mungkin tema itu bisa diusung jadi sebuah thriller? Di mana thrilling point-nya. Tentu hasilnya akan berbeda bila tema itu dicampur lalu diramu dengan pintar dengan potret hitam kehidupan urbanisme.
“The Beat That My Heart Skipped”, itu judul internasionalnya, dari judul sendiri sudah tersirat maksud saya tentang cita-cita yang harus dikubur dalam-dalam. Apalagi kalau cita-cita yang dimaksud di film ini berhubungan dengan musik (beat), lengkap sudah garis besar tema film ini: cita-cita yang sudah dikubur, kehidupan urban, dan musik.
Tersentral tentang kehidupan Thomas Seyr, pemuda 28-an, yang (sepertinya) terpaksa harus mengikuti keinginan bapaknya untuk meneruskan usaha urban: menjadi makelar urban yang mengharuskan Thomas berurusan dengan orang-orang yang tidak bersahabat. Untuk itu, Thomas terpaksa harus mengubur jauh-jauh keinginannya (yang juga keinginan almarhumah ibunya) menjadi pianis terkenal seperti sang ibu. Sebuah pertemuan tiba-tiba memberikan harapan pada Thomas untuk menarik kembali mimpinya itu ke permukaan. Singkat cerita, dia pun mengikuti semacam audisi pianis. Sayangnya gagal. Tapi Thomas tidak langsung menyerah, dengan sedikit usaha akhirnya dia diperkenalkan dengan Miao Lin, wanita yang kelak menjadi guru pianonya. Sembari menjalankan usaha bapaknya di dunia urban, Thomas pun berusaha mewujudkan kembali keinginannya itu.
Keruwetan kehidupan Thomos tidak cukup pada dua dilema itu. Dari sisi bumbu asmara, Thomas diam-diam memupuk ketertarikan pada istri temannya, Aline, yang merupakan tipe-tipe wanita “keluyuran”. Belum lagi pekerjaan makelarnya yang semakin lama bukannya semakin baik, malah semakin kacau.
Tentu, kembalinya cita-cita Thomas yang sudah dikubur lama itu tidak bisa dibilang suatu kemendadakan. Penkhianatan bapaknya terhadap almarhumah ibu dengan menyenggamai perek muda membangkitkan semacam pengkhianatan pula dalam diri Thomas. Penkhianatan itu yang akhirnya menyemangati lubuk hatinya untuk menarik kembali cita-cita sang ibu.
Kira-kira begitulah ini cerita film thriller ini.
Ketimbang thriller tembak-tembakkan, tinju-tinjuan, kaget-kagetan atau kejar-kejaran, saya rasa thriller dari Perancis ini lebih diusung ke arah drama. Lantas di mana thrilling point film ini? Mungkin di Indonesia pernah ada film “Fiksi”, film thriller pemenang Film Terbaik Piala Citra yang saya rasa juga menyajikan thrilling point yang sama dengan film ini. Intensitas konflik dan tekanan psikologis yang dirasakan tokoh sentral, itulah ketegangan yang disuguhkan. Film ini sendiri, lebih menuntut untuk menyimak ketegangan yang memuncak perlahan-lahan yang dialami si tokoh utama. Semakin lama film berjalan, semakin runyam kehidupan si tokoh, semakin intens pula ketegangan psikologis yang terasa.
Bahasa Musik
Ada hal lain yang cukup menarik untuk dibahas. Untuk ukuran film remake, film ini tidak bisa dibilang 100% menjiplak. Mungkin lebih tepatnya film ini mendaur ulang film sebelumnya. Daur ulang itu terasa dari pengembangan hubungan Thomas dengan Miao Lin, sang guru piano, yang dibikin lebih dalam.
Dikisahkan Miao Lin ini baru saja tinggal di Perancis: cuma bisa berbahasa Cina, Vietnam, seutil-util Inggris, dan tidak berbahasa Perancis. Di sini lah letak kemenarikan hubungan Thomas dan Miao Lin ini. Cara mereka berkomunikasi melalui musik merupakan bumbu tambahan yang sangat spesial untuk disimak. Terlebih, cara sang sutradara menyampaikannya pun sangat menarik dan berhasil: ada semacam ketegangan sekaligus keharmonisan dari hubungan mereka.
Bila melihat film Jacques Audiard sebelumnya: “Read My Lips”, maka tidak heran bumbu pemecahan dinding bahasa dengan bahasa lain yang lebih universal muncul di film ini (tersirat kan dari judul film sebelumnya itu). Dan bila melihat film garapan sutradara ini selanjutnya, “Un prophète” (yang masuk jajaran lima nominator Film Bahasa Asing Oscar 2010), bisa diambil kesimpulan Jacques Audiard ini memang pakem untuk urusan thriller-thriller setipe ini.
Tokoh-tokoh yang Tergambar Tajam
Bukan hanya tema yang unik dan skenario yang tersusun rapi, tapi dari segi penokohan tokoh-tokohnya, film ini pun mampu menggugah saya. Bahkan para pemainnya, mulai dari pemain utama hingga pemain numpang lewat, tidak melakukan cacat yang berarti sedikit pun. Dari semua pemain itu, ada tiga yang paling membut saya terbius.
Yang pertama, Romain Duris, sang pemain utama sendiri, sudah sangat sempurna menghidupkan tokoh Thomas. Membawakan tokoh utama film ini yang terbilang kompleks bukanlah hal gampang tentunya. Apalagi semua adegan di film ini tersentral pada tokoh itu. Sebagus apa pun pernggambaran tokoh-tokoh lain oleh pemain lain, kalau tokoh sentralnya tergambar kacau, rusak sudah film ini. Untungnya Romain Duris melakukan hal sulit itu dengan baik.
Ternyata bukan pemain tokoh sentral saja yang sudah membius saya, ada dua pemain lagi: Robert-Niels Arestrup dan Linh Dan Pham. Roberts-Niels yang kebagian peran sebagai bapaknya Thomas, dengan cerdik memainkan tokohnya: pemabuk, uring-uringan, kacau, tapi tetap memberi kesan berkuasa, manipulatif, dan sangat mampu mendominasi kehidupan anaknya. Sementara Linh Dan Pham, sang guru piano, dengan menasi menghidupkan semacam oase di antara tokoh-tokoh gersang (tokoh-tokoh kehidupan urban) di film ini. Secara ekspresif maupun emosional, Linh Dan Pham bisa dibilang sangat-amat memukau.
Tetek Bengek Lain
Pertama, aku memang tidak terlalu paham masalah sinematografi, tapi cara-cara pengambilan gambar di film ini sangat membantu memahami pendekatan realisme yang cukup kental. Kedua, aku sangat suka eksekusi endingnya yang menurutku bukan hanya mampu meninggalkan kesan thrilling tapi juga mampu menegaskan pesan yang diusung dari awal. Ketiga, bagi saya pribadi, alasan-alasan, penyangkalan-penyangkalan, hingga tindakan yang dilakukan tokoh sentral yang ditampilkan di film ini bisa dibilang sangat logis (dan tidak terasa berlebihan) untuk ukuran thriller. Terakhir, meskipun aku tidak paham betul soal musik, tapi aku suka suara-suara film ini. Terbukti di film ini: thriller tidak harus memekakkan telinga.
Kesimpulannya: Ini bisa dibilang salah satu thriller yang sangat bagus! Tonton dah!
Sutradara: Jacques Audiard
Pemain: Romain Duris, Niels Arestrup, Jonathan Zaccaï, Gilles Cohen, Linh Dan Pham, Aure Atika, Emmanuelle Devos
Tahun Rilis: 2005
Judul Internasional: “The Beat That My Heart Skipped”
Film ini merupakan remake dari film “Fingers” (1978) karya James Toback.
Tentang Irama yang Sempat Terlupakan
DILEMA tentang cita-cita yang sudah dikubur dalam-dalam. Kira-kira itu tema utama film ini. Lalu bagaimana mungkin tema itu bisa diusung jadi sebuah thriller? Di mana thrilling point-nya. Tentu hasilnya akan berbeda bila tema itu dicampur lalu diramu dengan pintar dengan potret hitam kehidupan urbanisme.
“The Beat That My Heart Skipped”, itu judul internasionalnya, dari judul sendiri sudah tersirat maksud saya tentang cita-cita yang harus dikubur dalam-dalam. Apalagi kalau cita-cita yang dimaksud di film ini berhubungan dengan musik (beat), lengkap sudah garis besar tema film ini: cita-cita yang sudah dikubur, kehidupan urban, dan musik.
Tersentral tentang kehidupan Thomas Seyr, pemuda 28-an, yang (sepertinya) terpaksa harus mengikuti keinginan bapaknya untuk meneruskan usaha urban: menjadi makelar urban yang mengharuskan Thomas berurusan dengan orang-orang yang tidak bersahabat. Untuk itu, Thomas terpaksa harus mengubur jauh-jauh keinginannya (yang juga keinginan almarhumah ibunya) menjadi pianis terkenal seperti sang ibu. Sebuah pertemuan tiba-tiba memberikan harapan pada Thomas untuk menarik kembali mimpinya itu ke permukaan. Singkat cerita, dia pun mengikuti semacam audisi pianis. Sayangnya gagal. Tapi Thomas tidak langsung menyerah, dengan sedikit usaha akhirnya dia diperkenalkan dengan Miao Lin, wanita yang kelak menjadi guru pianonya. Sembari menjalankan usaha bapaknya di dunia urban, Thomas pun berusaha mewujudkan kembali keinginannya itu.
Keruwetan kehidupan Thomos tidak cukup pada dua dilema itu. Dari sisi bumbu asmara, Thomas diam-diam memupuk ketertarikan pada istri temannya, Aline, yang merupakan tipe-tipe wanita “keluyuran”. Belum lagi pekerjaan makelarnya yang semakin lama bukannya semakin baik, malah semakin kacau.
Tentu, kembalinya cita-cita Thomas yang sudah dikubur lama itu tidak bisa dibilang suatu kemendadakan. Penkhianatan bapaknya terhadap almarhumah ibu dengan menyenggamai perek muda membangkitkan semacam pengkhianatan pula dalam diri Thomas. Penkhianatan itu yang akhirnya menyemangati lubuk hatinya untuk menarik kembali cita-cita sang ibu.
Kira-kira begitulah ini cerita film thriller ini.
Ketimbang thriller tembak-tembakkan, tinju-tinjuan, kaget-kagetan atau kejar-kejaran, saya rasa thriller dari Perancis ini lebih diusung ke arah drama. Lantas di mana thrilling point film ini? Mungkin di Indonesia pernah ada film “Fiksi”, film thriller pemenang Film Terbaik Piala Citra yang saya rasa juga menyajikan thrilling point yang sama dengan film ini. Intensitas konflik dan tekanan psikologis yang dirasakan tokoh sentral, itulah ketegangan yang disuguhkan. Film ini sendiri, lebih menuntut untuk menyimak ketegangan yang memuncak perlahan-lahan yang dialami si tokoh utama. Semakin lama film berjalan, semakin runyam kehidupan si tokoh, semakin intens pula ketegangan psikologis yang terasa.
Bahasa Musik
Ada hal lain yang cukup menarik untuk dibahas. Untuk ukuran film remake, film ini tidak bisa dibilang 100% menjiplak. Mungkin lebih tepatnya film ini mendaur ulang film sebelumnya. Daur ulang itu terasa dari pengembangan hubungan Thomas dengan Miao Lin, sang guru piano, yang dibikin lebih dalam.
Dikisahkan Miao Lin ini baru saja tinggal di Perancis: cuma bisa berbahasa Cina, Vietnam, seutil-util Inggris, dan tidak berbahasa Perancis. Di sini lah letak kemenarikan hubungan Thomas dan Miao Lin ini. Cara mereka berkomunikasi melalui musik merupakan bumbu tambahan yang sangat spesial untuk disimak. Terlebih, cara sang sutradara menyampaikannya pun sangat menarik dan berhasil: ada semacam ketegangan sekaligus keharmonisan dari hubungan mereka.
Bila melihat film Jacques Audiard sebelumnya: “Read My Lips”, maka tidak heran bumbu pemecahan dinding bahasa dengan bahasa lain yang lebih universal muncul di film ini (tersirat kan dari judul film sebelumnya itu). Dan bila melihat film garapan sutradara ini selanjutnya, “Un prophète” (yang masuk jajaran lima nominator Film Bahasa Asing Oscar 2010), bisa diambil kesimpulan Jacques Audiard ini memang pakem untuk urusan thriller-thriller setipe ini.
Tokoh-tokoh yang Tergambar Tajam
Bukan hanya tema yang unik dan skenario yang tersusun rapi, tapi dari segi penokohan tokoh-tokohnya, film ini pun mampu menggugah saya. Bahkan para pemainnya, mulai dari pemain utama hingga pemain numpang lewat, tidak melakukan cacat yang berarti sedikit pun. Dari semua pemain itu, ada tiga yang paling membut saya terbius.
Yang pertama, Romain Duris, sang pemain utama sendiri, sudah sangat sempurna menghidupkan tokoh Thomas. Membawakan tokoh utama film ini yang terbilang kompleks bukanlah hal gampang tentunya. Apalagi semua adegan di film ini tersentral pada tokoh itu. Sebagus apa pun pernggambaran tokoh-tokoh lain oleh pemain lain, kalau tokoh sentralnya tergambar kacau, rusak sudah film ini. Untungnya Romain Duris melakukan hal sulit itu dengan baik.
Ternyata bukan pemain tokoh sentral saja yang sudah membius saya, ada dua pemain lagi: Robert-Niels Arestrup dan Linh Dan Pham. Roberts-Niels yang kebagian peran sebagai bapaknya Thomas, dengan cerdik memainkan tokohnya: pemabuk, uring-uringan, kacau, tapi tetap memberi kesan berkuasa, manipulatif, dan sangat mampu mendominasi kehidupan anaknya. Sementara Linh Dan Pham, sang guru piano, dengan menasi menghidupkan semacam oase di antara tokoh-tokoh gersang (tokoh-tokoh kehidupan urban) di film ini. Secara ekspresif maupun emosional, Linh Dan Pham bisa dibilang sangat-amat memukau.
Tetek Bengek Lain
Pertama, aku memang tidak terlalu paham masalah sinematografi, tapi cara-cara pengambilan gambar di film ini sangat membantu memahami pendekatan realisme yang cukup kental. Kedua, aku sangat suka eksekusi endingnya yang menurutku bukan hanya mampu meninggalkan kesan thrilling tapi juga mampu menegaskan pesan yang diusung dari awal. Ketiga, bagi saya pribadi, alasan-alasan, penyangkalan-penyangkalan, hingga tindakan yang dilakukan tokoh sentral yang ditampilkan di film ini bisa dibilang sangat logis (dan tidak terasa berlebihan) untuk ukuran thriller. Terakhir, meskipun aku tidak paham betul soal musik, tapi aku suka suara-suara film ini. Terbukti di film ini: thriller tidak harus memekakkan telinga.
Kesimpulannya: Ini bisa dibilang salah satu thriller yang sangat bagus! Tonton dah!
Surakarta, 14 Mei 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar