A film is - or should be - more like music than like fiction. It should be a progression of moods and feelings. The theme, what’s behind the emotion, the meaning, all that comes later.
~ Stanley Kubrick
IN A BETTER WORLD (2010) — What makes the friendship between Christian and Elias so special is how deeply and honestly Susanne Bier displays the emotional side of both children. Only by peering the eyes of the two actors, I can feel the all emotional reasons why they become such small terrorists. YOUNG TÖRLESS (1966) — Violence is not just a physical matter, but also psychological and emotional. In Young Törless, ethical ​​and subjective values ​​were so contradictory. Then the boundaries between good and evil even more vague. PHARAOH (1966) — Faraon is an evocative anatopism, also an astonishing colossal. A truly rare gem of its kind. Not only works as a visual declaration, Kawalerowicz also made it so carefully, so mesmerizing, yet so challenging. THE BOYS OF PAUL STREET (1969) — An ironic allegory not only for the face of war, but also the heart of it: militarism and nationalism. The irony in the end makes the two terminologies be absurd. SPIRITED AWAY (2001) — “What's in a name?” asked Shakespeare. “A name is an identity,” said this movie. MISS JULIE (1951) - Miss Julie is a very challenging study, whether psychological or situational. In a simple but smart way, Miss Julie presents the phases of a political game of love and seduction. MY NIGHT AT MAUD'S (1969) - Éric Rohmer not only talk about choices and risks of choices, there is also a glimpse the importance of choices and the pain of choices. My Night at Maud's, for me, is the most amazing movie about refracting those two opposing aspects of life. TEN (2002) — The use of "dashboard camera" method by Abbas Kiarostami is successfully providing such microscopic spectacle about the characters, not only on outside but also capable of making this movie as a unique character and gender study. THE PARTY AND THE GUESTS / A REPORT ON THE PARTY AND THE GUESTS (1966) — The allegory is not only the great thing about this Czechoslovak New Wave Cinema movie, but also its weirdness, its unnatural behavior, its peculiar plot, but the most of it is about how the movie smartly move without caution. ELEPHANT (2003) — Elephant is a piece of work that should be commended for its bravery. Such compliments are mainly intended to for Gus Van Sant's guts on using such non-linear and unusual narrative spectacle. Also packed with such unnatural risky styles which was really cost lot of guts.
Tampilkan postingan dengan label Drama. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Drama. Tampilkan semua postingan

Selasa, 05 Juli 2011

Бал на води, Bal na vodi

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)Sutradara: Jovan Aćin
Pemain: Gala Videnović, Nebojša Bakočević, Dragan Bjelogrlić, Srđan Todorović, Goran Radaković, Milan Štrljić, Relja Bašić, Marko Todorović, Miloš Žutić, Đorđe Nenadović, Dragomir Bojanić Gidra, Ljubisa Samardzić, Ruzica Sokić, Spela Rozin, Danica Maksimović

Tahun Rilis: 1987
Judul Internasional: Hey Babu Riba / Dancing in the Water

“Hidup itu pilihan.” Basi bukan? Kolot! Mungkin lebih tepat disebut istilah yang “klasik.” Sama klasiknya dengan film asal Yugoslavia ini dalam memori saya. Ya, memori. Ingatan. Kenangan. Kelak pastilah akan berpadu dalam sebuah istilah melankoli yang disebut nostalgia. Nostalgia itu lumrah. Dan nostalgia tentulah bakal membawa kembali pada pilihan-pilihan masa silam. Buah pikiran masa jagung yang mungkin bakal dirasa benar bisa pula salah. Serupa renungan.

Sabtu, 02 Juli 2011

Želary

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)


Sutradara: Ondřej Trojan
Pemain: Anna Geislerová, György Cserhalmi, Jaroslava Adamová, Miroslav Donutil, Jaroslav Dusek, Iva Bittová, Ivan Trojan, Jan Hrusínský, Anna Vertelárová, Tomás Zatecka, Ondrej Koval, Tatiana Vajdová, Frantisek Velecký, Viera Pavlíková, Juraj Hrcka

Tahun Rilis: 2003

Jerman sudah menjajahi Eropa. Di Cekoslovakia, Gestapo (sebuah pasukan khusus Jerman) adalah momok utama bagi pelakon-pelakon gerakan resistensi. Adalah Eliška (Anna Geislerová), seorang skolar medis yang diam-diam mendukung gerakan resistensi, terancam keamanannya. Maka ia perlu diamankan ke pelosok sana. Adalah Joza (György Cserhalmi), seorang pria dusun yang sebelumnya terselamatkan nyawanya karena donor darah dari Eliška, yang bersedia menampung gadis metropolit itu. Maka, Eliška diberi identitas baru: Hana Hanulka.

Senin, 30 Agustus 2010

Volver

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Pedro Almodóvar
Pemain:
Penélope Cruz, Carmen Maura, Lola Dueñas, Blanca Portillo, Yohana Cobo, Chus Lampreave

Tahun Rilis: 2006

Volver kalau diterjemahkan dari bahasa Spanyol artinya kembali, spesifiknya, kembali ke suatu tempat. Volver tidak lain disutradari oleh salah satu sutradara terkemuka asal Spanyol, Pedro Almodóvar.

Rabu, 18 Agustus 2010

The Color Purple

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Steven Spielberg
Pemain:
Whoopi Goldberg, Oprah Winfrey, Danny Glover, Margaret Avery, Akosua Busia

Tahun Rilis: 1985

Diadaptasi dari novel “The Color Purple” karya Alice Walker.

SUDAH hal biasa orang-orang menggambarkan mood dengan warna. Blue is sad. Biru juga bisa diartikan damai. Kadang, biru juga diartikan sebagai sebuah keadaan depresi. Tergantung cara memaknainya. Pink paling sering diartikan sebagai love (atau cinta). Hitam paling sering diartikan sebagai duka. Lalu purple? Atau ungu – sesuai judul film ini: “The Color Purple” – juga bisa diartikan macam-macam: kesetiaan, spiritualitas, misteri, transformasi, pencerahan, kebijakan, kekejaman, kekerasan, bahkan ungu sendiri sering kali dinilai sebagai warna yang eksotik. Semua makna yang saya tulis itu bisa dibilang memang cukup mewakili film besutan Steven Spielberg ini.

Saya sudah pernah membaca novel “The Color Purple,” tapi saya tidak akan membeberkan detil novelnya, hanya beberapa informasi kecil tentang novel pemenang Pulitzer ini. Pertama, novel ini ditulis dengan teknik epistolari. Yang artinya, tentu tidak gampang menyulap novel yang keseluruhan kisahnya diceritakan dalam bentuk diary dan surat menjadi sebuah skenario film. Hal yang serupa ketika Stephen Frears mencoba mengangkat “Les liasons dangeruses,” sebuah novel epistolari, menjadi “Dangerous Liaisons.” Untungnya apa yang dilakukan Stephen Frears, setidaknya, lumayan memuaskan. Kasus yang paling baru dilakukan Lasse Hallström yang mencoba menyulap novel epistolari “Dear John” menjadi sebuah film, sayangnya versi film “Dear John”-nya bisa dibilang gagal total.

Kedua, selain novel ini berbentuk epistolari, dianugerahi Pultizer, novel ini ber-genre drama dan bisa dibilang termasuk drama yang cukup kompleks. Dan drama yang sangat kompleks ini dipercayakan di tangan Steven Spielberg, yang lebih dikenal sebagai sutradara film-film epik ketimbang drama – ini merupakan drama perdana Steven Spielberg. Terasa jelas pendekatan dramatis yang diterapkan Spielberg di sini serupa dengan yang dilakukannya pada “E.T. The Extra-Terrestrial.”

Jelas Spielberg sudah mengurangi ke-kompleks-an kisah asli dari novelnya. Berbagai aspek disentuh di novelnya: Mulai dari konsep Tuhan di mana Tuhan dipandang sebagai sesuatu yang terpisah, sehingga Celie menulis surat untuk Tuhan (di awal novel) untuk mengutarakan perasaannya. Bisa disimpulkan, Celie (di novel) merupakan sosok dengan keyakinan kuat. Celie punya cara tersendiri memandang Tuhan. Selain simbolisme Tuhan, novelnya juga mensimbolkan pengekangan bersuara dalam bentuk surat. Celie menulis surat pada Tuhan, dan selanjutnya Celie menulis surat pada Nettie (adiknya), hal ini dikarenakan Celie tidak punya cara lain lagi untuk mengekspresikan emosinya. Novelnya juga menyuarakan emansipasi wanita ketika Celie memulai usaha mandiri berjualan celana wanita. Di jaman itu, ketika wanita dianggap hanya pantas menggunakan rok dan bekerja di dalam rumah semata, celana untuk kaum wanita jelas sekali mempunyai arti pembebasan wanita dari kungkungan-kungkungan yang ada (di masa itu). Tentunya, sebagai menu utama, novelnya membahas kental tentang tiga tema utama: hubungan, rasisme, dan seksualisme.

Sayangnya, yang bakalan ditemukan di film hasil adaptasi Steven Spielberg cuma tiga menu utama, surat, celana panjang, dan sedikit sekali penjelasan tentang lesbian-isme (yang di novel dibahas cukup kental). Nyaris tidak ditemukan pandangan Celie tentang Tuhan di versi filmnya.

http://3.bp.blogspot.com/_FWlFbU673eI/TGuRvK_1bKI/AAAAAAAABCA/RLwsF2z6TFo/s1600/HOMEPAGE.jpg

Tapi film dan novel adalah dua bentuk karya yang benar-benar berbeda. Masing-masing harus dipandang sendiri-sendiri. Itulah kira-kira yang sering dijadikan tameng oleh beberapa maniak film. Memang, kalau “The Color Purple” mau dipandang sebagai film, terlepas dari novelnya, ini sebuah karya yang sangat bagus. Bukan drama terbaik dari Steven Spielberg. Dan tentunya, bukan drama terbaik yang pernah saya tonton. Tapi, “The Color Purple” menyuguhkan nyaris semua aspek yang diperlukan oleh sebuah drama.

Celie (Whoopi Goldberg) adalah gadis kulit hitam yang tinggal di pedesaan yang hidupnya selalu dikelilingi oleh kekejian dan kekejaman (pada dirinya sendiri). Dia berkali-kali ditiduri bapaknya sendiri, dua kali dihamili, kedua anak hasil rahimnya pun harus diserahkan pada orang lain, dan seusai melahirkan anak kedua Celie juga harus kehilangan kesempatan untuk punya anak lagi. Cuma saudarinya Nettie (Akosua Busia) satu-satunya orang yang paling baik baginya.

Sayangnya, di usia yang masih sangat muda, Celie dipaksa menikah dengan seoarang lelaki yang selalu dipanggilnya “Mister” (Danny Glover). “Mister” sama sekali tidak pernah cinta pada Celie. Lebih kejam lagi, “Mister” malah memperlakukan Celie layaknya kacung. Celie yang pemalu, naif, dan polos nyaris tidak bisa berkutik dengan siksaan “Mister.” Celie bahkan tidak bisa surat-menyurat dengan Nettie karena “Mister” selalu menyembunyikan semua surat-surat. Pada awalnya “The Color Purple” seakan-akan berupa film tentang penderitaan Celie, menjelang pertengahan bisa didapati bahwa “The Color Purple” adalah film tentang kemenangan Celie. Bahkan sejak saya melihat Celie dewasa, bagaimana dia selalu tersenyum malu-malu (ditutupi dengan tangan), saya tahu film ini lebih tentang bagaimana sosok Celie bisa bertahan.

Kemenangan Celie makin terlihat jelas ketika dua wanita kulit hitam lain masuk ke dalam kehidupannya. Yang pertama, Shug Avery (Margaret Avery), penyanyi bar yang merupakan mantan pacar “Mister” (sekaligus wanita yang sebenarnya masih dicintainya). Pertama kali bertemu Celie, Shug berkata: “You sure is ugly.” Namun selanjutnya, Celie dan Shug malah menjadi teman dekat. Hubungan Celie dan Shug ini salah satu hubungan yang menarik untuk di simak: Shug tipikal wanita cantik yang sudah berpengalaman melompat dari satu hubungan dangkal ke hubungan dangkal lainnya, sementara Celie adalah wanita bentukan kekerasan pria. Keduanya menjalin hubungan dekat. Shug, bisa dibilang, tersentuh/iba dengan apa yang dialami Celie. Sementara Celie sendiri, bisa dibilang, kagum bukan hanya dengan kecantikan Shug, tapi juga pada bagaimana Shug membuat “Mister” tertunduk-tunduk. Di novel, hubungan unik ini dikembangkan lebih dalam dan lebih detil, bahkan ke arah seksual. Tapi di film, Spielberg lebih memfokuskan pada dunia di sekeliling Celie ketimbang pengalaman erotik Celie dengan Shug. Satu adegan (yang menurut saya) paling bermakna sepanjang film, ketika Shug membuka tangan Celie yang selalu menutupi senyumnya. Terasa jelas sisi humanisme Celie dan Shug di adegan ini.

Wanita kedua yang masuk ke kehidupan Celie adalah Sofia (Oprah Winfrey), wanita gendut yang menikahi Harpo (Willard E. Pugh), putra “Mister.” Sofia, sama halnya dengan Celie, sudah sering mengalami kekerasan dari para pria. Bedanya, tidak seperti Celie yang lebih memilih bertahan (mentoleransi), Sofia yang keras dan berani lebih memilih untuk melawan. Celie menemukan keberanian dari Sofia.

Selain pendalaman cerita dan karakter, penampilan juga kunci utama keberhasilan drama perdana Steven Spielberg ini. Trio Whoopi Goldberg, Oprah Winfrey, dan Margaret Avery jelas merupakan pesona utama di sini. Ditambah penampilan Danny Glover sebagai “Mister” yang membuat film ini semakin lengkap. Whoopi selalu tersenyum, nyaris sebagian besar adegan awal menampilkan Whoopi sedang tersenyum. Tapi Whoopi tidak sekedar tersenyum. Whoopi berhhasil menampilkan sesuatu di balik senyumnya. Sebagai sebuah debut akting, penampilan Whoopi jelas salah satu debut yang sangat bagus.

“The Color Purple” mungkin memang bukan drama terbagus yang pernah saya tonton, tapi, tidak diragukan lagi, “The Color Purple” memang sebuah drama yang sangat bagus dan layak ditonton. Film ini berhasil memaknai judulnya sendiri: memaknai warna ungu.

http://1.bp.blogspot.com/-nhStlHuwPw8/TWvFtSuSwNI/AAAAAAAACMk/29KSHDpWz7U/s1600/B%252B.bmp

Minggu, 15 Agustus 2010

D'Love

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Helfi Kardit
Pemain:
Aurelie Moeremans, Rebecca Reijman, Agung Saga, Achmad Albar, Rizky Adrianto, Shierly Rushworth

Tahun Rilis:
2010

HELFI Kardit bilang bahwa beliau pingin bikin film tentang cinta, tapi nggak keliahatan cintanya. Lahirlah “D'Love,” film tentang cinta, tapi nggak kelihatan cintanya, dari tangan sutradara yang sempat menelurkan “Sumpah Pocong di Sekolah,” “Arisan Berondong,” dan “The Sexi City.”

Kamis, 12 Agustus 2010

Taxi Driver

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Martin Scorsese
Pemain:
Robert De Niro, Jodie Foster, Cybill Shepherd, Harvey Keitel, Peter Boyle, Albert Brooks, Leonard Harris

Tahun Rilis: 1976

SAYA lebih suka mengamati “Taxi Driver” sebagai sebuah film tentang suasana kelam sebuah kota, dan bagaimana suasana kelam tersebut bisa memengaruhi jiwa kacau seorang laki-laki. Martin Scosrsese, lagi-lagi, menyuguhkan tokoh “sakit” untuk kita simak di sini.

Minggu, 08 Agustus 2010

The Secret Life of Bees

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Gina Prince-Bythewood
Pemain:
Dakota Fanning, Queen Latifah, Paul Bettany, Jennifer Hudson, Alicia Keys, Sophie Okonedo, Tristan Wilds, Hilarie Burton

Tahun Rilis: 2008

“THE Secret Life of Bees” membawa isu sosial sepuar penindasan ras kulit hitam di Amerika jaman dulu. Dari kalima pembuka itu saja sudah membuat film ini seakan-akan berupa pintar soal masalah sosial yang umumnya berkualitas jempolan. Tunggu dulu, film ini tidak membahas masalah rasisme sedalam apa yang dilakukan “Crash” (2004) kok. Film ini justru menyuguhkan cerita yang lebih personal, ketimbang sosial. Sejujurnya, cerita yang disajikan justru lebih ke arah opera sabun dramatis ketimbang realisme sosial.

I Know What You Did on Facebook

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Awi Suryadi
Pemain:
Fanny Fabriana, Edo Borne, Kimi Jayanti, Fikri Ramdhan, Restu Sinaga, Imelda Therinne, Agastia Kandou, Yama Carlos

Tahun Rilis: 2010

MEMANG dasar bisnis, ya bisnis. Ujung-ujungnya memang bisnis. Segala sesuatu yang ngetrend pun bisa-bisa saja dijadikan film. Entah trend itu berdampak positif, atau malah negatif. Dulu trend film-film Islami dibuntuti akibat “Ayat-Ayat Cinta.” Lalu trend film-film kutang dan sempak berdalih horror atau thriller. Dan yang lebih parah lagi, embel-embel penampilan khusus aktris Jepang pun pernah jadi trend. Kali ini Facebook yang rasanya memang sudah jadi bagian dari pop culture juga ikut-ikutan difilmkan. Entah memang benar-benar ingin “dikaryakan” atau pada dasarnya cuma diniatkan untuk “dibisniskan,” siapa yang tahu? Yang pasti para pelakonnya sudah berbicara panjang lebar di tivi, ala orang bijak, bahwa filmnya kali ini mengusut misi mulia perihal gambaran sosial masyarakat Facebook.

Sabtu, 10 Juli 2010

Up in the Air

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Jason Reitman
Pemain: George Clooney, Vera Farmiga, Anna Kendrick

Tahun Rilis: 2009

Film ini diangkat dari novel “Up in the Air” karangan Walter Kim.

SIAPA yang mau dipecat dari pekerjaannya? Apalagi setelah belasan – bahkan puluhan – tahun mengabdi? Atau lebih tepat dipertanyakan, siapa yang tega memecat pekerjaan seseorang? Bahkan bagi sebagian orang, memecat pekerjaan orang lain hampir setara dengan membunuh orang tersebut. Bukan cuma membunuh pekerjaannya, tapi juga membunuh orangnya, membunuh hidupnya, bahkan mungkin membunuh keluarga dan orang di sekitarnya. Siapa yang tega melakukannya? Well, tokoh utama film ini jelas sekali sering melakukannya. Ryan Bingham (George Clooney) rela berpergian dari kota ke kota demi untuk memecat pekerjaan orang lain – mewakili pihak yang seharusnya bertanggung jawab melakukan hal tersebut tapi tidak berani melakukannya. Dan memang itu lah pekerjaan tokoh utama film ini.

Wikipedia mengkategorikan “Up in the Air” sebagai film drama-komedi. “Up in the Air” rasanya kurang cocok untuk benar-benar disebut komedi. “Up in the Air” juga bukan black comedy atau dark comedy. Bahkan “Up in the Air” sama sekali tidak cocok untuk disebut sebuah kisah tragedi. “Up in the Air” lebih cocok disebut drama. Atau lengkapnya, “Up in the Air” lebih tepat dipandang sebagai sebuah drama tentang pekerjaan seseorang, bagaimana orang itu melakukannya, serta pengaruhnya bagi kehidupnya.

Sekilas sepertinya gampang-gampang saja Ryan melakukan pekerjaannya. Dia mendatangi kantor-kantor yang menyewanya, lalu tinggal memecat orang-orang yang harus dipecat – dengan etika dan tata krama. Faktanya, pekerjaan Ryan itu tidak segampang seperti yang kita lihat ketika dia melakukannya. Ryan punya kredibilitas pada pekerjaannya. Ryan tidak serta merta menendang orang-orang yang dia pecat. Ryan punya respect dengan orang-orang yang akan dia pecat. Atau singkatnya, Ryan tahu persis apa yang dia kerjakan.

http://2.bp.blogspot.com/_FWlFbU673eI/TDlWBncwxgI/AAAAAAAAA4g/CncHoE09-Us/s1600/Up+in+the+Air.JPG

Lalu muncul Natalie Keener (Anna Kendrick), gadis muda, cerdas, dan ambisius, yang baru saja diperkerjakan di kantor tempat Ryan bekerja. Natalie muncul dengan ide barunya: melakukan pemecatan melalui webcam. Ide ini ditanggapi positif oleh pemilik perusahaan karena jelas sekali bakal memotong besar-besaran biaya operasi kantor: biaya hotel, biaya tetek-bengek, termasuk biaya pesawat karena dengan webcam mereka cuma perlu duduk-duduk di kantor. Ryan menganggap gebrakan yang dilakukan Natalie ini tidak etis. Memecat orang melalui webcam sama halnya dengan memutuskan pacar melalui SMS. Ryan beranggapan Natalie sama sekali tidak tahu apa-apa tentang pekerjaannya. Pemilik perusahaan pun menugaskan Ryan untuk membawa Natalie dalam pekerjaannya – untuk menunjukkan pada Natalie “wujud” sebenarnya pekerjaan yang dia gandrungi. Maka Natalie dan Ryan bertualang memecat orang-orang dari kota-ke-kota.

Ryan menjalin hubungan dengan Alex (Vera Farmiga) – sekalipun tidak satu pun dari mereka menyatkan sebuah komitmen. Alex, sama halnya dengan Ryan, juga seorang petualang dari bandara yang satu ke bandara lainnya. Mereka menyocokkan jadual berjumpa. Mereka membuat janji. Hubungan keduanya bisa dibilang berkelas dan modern. Makan di restoran mewah. Bercinta di hotel berkelas. Keduanya bertingkah layaknya pasangan bahagia, faktanya tidak satupun yang mengakui bahwa mereka (secara tidak langsung dan tidak resmi) “pasangan.”

Gaya hidup Ryan pun bisa dibilang sangat eksklusif. Ryan bukan tipe orang yang hobi berkumpul, berbincang-bincang, atau bercanda di tengah kehangatan keluarga. Ryan lebih memilih mengasingkan diri dari keluarga. Ryan tidak punya kediaman tetap. Dia berpindah-pindah bandara – pesawat – bandara – hotel – bandara – dan seterusnya sesuai dengan tempat dia ditugaskan. Ryan tidak mau rumah tetap. Ryan tidak mau menikah. Ryan tidak mau sebuah keluarga. Ryan sesekali menjadi pembicara dalam sebuah acara motivasi diri tentang “What's In Your Backpack?” Ryan tidak mau terikat komitmen keluarga.

Jason Reitman memang piawai mengarahkan pemainnya. Setelah Ellen Page diantarkan ke Oscar melalui “Juno,” kini Vera Farmiga dan Anna Kendrick yang dinobatkan Oscar melalui film ini. Vera Farmiga tampil super elegan. Dia menyajikan sosok wanita yang hangat, cantik, glamor, bitchy, modern, praktis, eksklusif – sulit menentukan yang mana yang tepat untuk karakter solid ciptaan Farmiga. Anna Kendrick pun tampil cemerlang sebagai gadis muda yang masih sangat hijau tapi penuh dengan ambisi. Anna Kendrick membuktikan kualitas aktingnya jauh lebih cemerlang dari sekedar penampilan pajangannya di “Twilight Saga.”

“Up in the Air” termasuk film dengan tema dan pengemasan yang langka di tengah maraknya pop culture dewasa ini. Mulanya “Up in the Air” menyajikan sosok yang sama sekali tidak baik – bahkan pekerjaan Ryan cenderung dibenci malah dihujat amoral. Seiring berjalannya film, “Up in the Air” semakin memaparikan sisi rasional dari temanya dengan logika yang nyaris sempurna (bentuk serupa dengan film-film Jason Reitman sebelumnya: “Thank You for Smoking” dan “Juno”). Dari ketiga filmnya, jelas sekali Jason Reitman termasuk sutradara mempunya kepekaan tema dan ketajaman logika.

http://1.bp.blogspot.com/-nhStlHuwPw8/TWvFtSuSwNI/AAAAAAAACMk/29KSHDpWz7U/s1600/B%252B.bmp

Selasa, 29 Juni 2010

All About Eve

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)

Sutradara: Joseph L. Mankiewicz
Pemain:
Bette Davis, Anne Baxter, George Sanders, Celeste Holm, Gary Merrill, Hugh Marlowe, Thelma Ritter, Gregory Ratoff, Barbara Bates, Marilyn Monroe

Tahun Rilis: 1950

Film ini merupakan adaptasi dari cerpen “The Wisdom of Eve” (1946) karya Mary Orr.

Ada banyak sekali bau-bau bitchy dalam “All About Eve.” Dan memang di situ lah letak kemenarikannya. Memang “All About Eve” mempertontonkan drama tentang pergulatan karakter-karakter bitchy. Setidaknya, kedua tokoh utama film ini memang berbau-bau bitchy.

Minggu, 27 Juni 2010

East of Eden

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Elia Kazan
Pemain: Julie Harris, James Dean, Raymond Massey, Burl Ives, Richard Davalos, Jo Van Fleet

Tahun Rilis: 1955

Film ini diadaptasi dari novel “East of Eden” karya John Steinbeck.

Film yang satu ini bisa dibilang daur ulang dari kisah “Cain dan Abel” dalam Injil (“Qabil and Habil” kalau versi Al-Qur'an-nya). Atau bisa dikatakan juga, film ini menggunakan premis persaingan antar saudara dalam “Cain dan Abel.”

Senin, 21 Juni 2010

Ladri di biciclette

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Vittorio De Sica
Pemain:
Lamberto Maggiorani, Enzo Staiola, Lianella Carell, Vittorio Antonucci, Gino Saltamerenda, Giulio Chiari

Tahun Rilis: 1948
Judul Internasional: “Bicycle Thieves” atau “The Bicycle Thief”

VITTORIO de Sicca memang telah dianggap sebagai salah satu figur yang berjasa di industri perfilman. Namanya dikenal meluas karena gebrakan-gebrakan teknik neorealisme Italia yang sering dijumpai di karya-karyanya. Termasuk di film “Ladri di biciclette” ini, atau lebih dikenal dengan judul “Bicycle Thieves” atau “The Bicycle Thief.”

Neorealisme sendiri adalah gaya pengkarakterisasian dengan cerita seputar permasalahan kalangan miskin atau menengah. Pengambilan gambar dengan gaya neorealisme biasanya dilakukan pada lokasi aslinya, bukan dengan setting replikaan studio. Tidak jarang pula film-film yang menggunakan gaya neorealisme ini menggunakan aktor-aktor non profesional. Biasanya, film-film neorealisme mengangkat masalah seputar masalah ekonomi, kemanusiaan, krisis moral, hingga human nature (jadi jangan terlalu berharap ada adegan aksi super-canggih ala “Iron Man”). Gaya neorealisme ini mendominasi perfilman Italia pada sekitar 1944 1952, era ini dikenal juga dengan nama “Era Neorealisme.”

Minggu, 20 Juni 2010

Jungfrukällan

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Ingmar Bergman
Pemain:
Max von Sydow, Birgitta Valberg, Gunnel Lindblom, Birgitta Pettersson

Tahun Rilis: 1960
Judul Internasional: “The Virgin Spring”

“THE Virgin Spring” adalah salah satu dari sekian banyak karya klasik cemerlang Ingmar Bergman, seorang sutradara Swedia yang cukup diakui oleh dunia. “The Virgin Spring” adalah film pertama Ingmar Bregman yang memenangkan patung emas Oscar untuk kategori Best Foreign Language Film pada tahun 1960. Tahun berikutnya, 1961, beliau meraup patung tersebut (dalam kategori yang sama pula), untuk film yang berjudul “Såsom i en spegel” (Through a Glass Darkly). Tahun 1971, Ingmar Bergman dianugrahi Irving G. Thalberg Memorial Award (oleh Academy Awards aka Oscar)

Karya-karya Ingmar Bergman seringkali berputar pada pertanyaan-pertanyaan eksistensialisme mengenai moralitas, kesendirian, dan keyakinan religius. Termasuk pula di film ini, ciri khas Ingmar Bergaman tersebut terasa kental sekali.

Kamis, 17 Juni 2010

Amelia

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Mira Nair
Pemain:
Hilary Swank, Richard Gere, Ewan McGregor, Christopher Eccleston

Tahun Rilis: 2009

“AMELIA” adalah sebuah film biopic tentang Amelia Earhart, penerbang wanita pertama. Amelia Earhart masih menyisakan misteri dalam penerbangan terakhirnya mengelilingi dunia. Amelia Earhart, bersama Fred Noonan (navigatornya) dan Electra (pesawatnya), hilang di dekat Pulau Howland di Samudera Pasifik. Maka seharusnya, film ini pun menyajikan sebuah misteri yang sama misteriusnya dengan kisah Amelia Earhart itu.

Rabu, 16 Juni 2010

Dangerous Liaisons

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Stephen Frears
Pemain:
Glenn Close, John Malkovich, Michelle Pfeiffer, Swoosie Kurtz, Keanu Reeves, Mildred Natwick, Uma Thurman, Peter Capaldi

Tahun Rilis: 1988

Film ini merupakan adaptasi dari drama panggung “Les liasons dangeruses” (1985) karya Christopher Hampton, yang juga merupakan adaptasi dari novel epistolari “Les liasons dangeruses” (1782) karya Pierre Choderlos de Laclos.

“DANGEROUS Liasons,” judul film ini, kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi “hubungan-hubungan haram yang berbahaya.” Sesuai dengan judulnya pula, film ini bercerita seputar “hubungan-hubungan haram yang berbahaya.” Tapi jangan kira period drama yang satu ini bersuasana cengeng, film ini mengemban suasana kelam dan kejam. Mungkin ada yang ingat “Cruel Intention,” film yang diproduksi bertahun-tahun setelah film ini. Sekedar info, “Cruel Intention,” yang dibintangi Sarah Michelle Gellar dan Reese Witherspoon, adalah versi modern dari “Dangerous Liasons.”

Period drama ini berlatar di Perancis sekitar sebelum masa revolusi Perancis. Bersentral pada dua orang manusia dari kalangan atas Perancis, Marquise Isabelle de Merteuil (Glenn Close) dan Vicomte Sébastien de Valmont (John Malkovich). Dua sejoli ini diam-diam sebenarnya saling menaruh cinta, hanya saja keduanya malah menghabiskan waktu bersaing satu sama lain dalam permain mereka sendiri – yang ujung-ujungnya malah saling menghancurkan satu sama lain. Memang itu lah garis besarnya film ini: permainan cinta dan seduksi kedua tokoh tersebut.

Marquise Isabelle de Merteuil (ribet kan namanya?) meminta Vicomte Sébastien de Valmont (lebih ribet yang mana coba?), partnernya, untuk merayu keponakannya yang masih muda, Cécile de Volanges (Uma Thurman yang ini, setidaknya, lebih gampang diingat). Alasannya, Marquise Isabelle de Merteuil ingin membalas dendam pada bekas kekasihnya yang hendak menikahi Cécile. Mulanya, Sébastien menolak misi tersebut karena beliau sendiri sedang dalam misi yang menurutnya lebih menantang: merayu Madame de Tourvel (Michelle Pfeiffer), wanita cantik yang sedang setia menanti kepulangan suaminya yang bertugas di luar negeri. Isabelle yang menyadari kecilnya kemungkinan Sébastien mampu melancarkan misinya tersebut memberikan suatu tantangan: andaikan partnernya itu berhasil, Isabelle akan memberikan sebuah “hadiah.”

Di tengah-tengah misinya, Sébastien pun menyadari Madame de Volanges (Swoosie Kurtz) telah diam-diam menyurati Madame de Tourvel (bayangkan kalau zaman sekarang kita masih harus menyebut nama orang panjang-panjang dan ribet seperti ini) tentang niat jahatnya. Untuk membalasnya, Sébastien pun menerima ajakan rencana kotor Isabelle yang ia tolak sebelumnya. Mereka memanfaatkan hubungan diam-diam Cécile dengan guru musiknya, Chevalier Danceny (Keanu Reeves), yang pastinya bakal ditolak mentah-mentah ibunya karena tidak beruang.


Untuk sebuah film yang sebagian besar ceritanya merupakan arena seduksi-seduksi antar manusia, “Dangerous Liasons” ternyata mampu tampil elegan tanpa mengurangi suasana skandalismenya. Suatu poin penting (dan poin utama) film ini, yang seringkali dilupakan oleh film-film bergenre sejenis, adalah pergulatan antar-karakternya yang terasa dalam. Beruntung sekali film ini tidak terjebak stereotipe film-film bergenre sejenis yang kebanyakan lebih terfokus pada adegan-adegan birahi semata.

Keberhasilan pembangunan suasanya yang mampu menghipnotis tersebut tidak lepas dari penggambaran karakter masing-masing tokohnya yang tajam, terutama dua tokoh utamanya yang diperankan oleh Glenn Close dan John Malkovich. Keduanya tampil superb. Dialog-dialog bertele-tele ala zaman Elizabeth yang mereka ucapkan pun tampil seduktif. Pemeran lain yang juga patut diberi perhatian adalah Michelle Pfeiffer dan Uma Thurman. Keduanya mampu menampilkan emosi (ala zaman Elizabeth) yang nyaris sempurna untuk tiap-tiap adegan tokohnya, terutama Michelle Pfeiffer.

Pembangunan suasana film ini memang patut diberi applause: di permukaan tenang tak bergelombang, tapi bila ditilik lebih dalam ternyata ada pergulatan batin antar manusia yang kejam.

http://1.bp.blogspot.com/-nhStlHuwPw8/TWvFtSuSwNI/AAAAAAAACMk/29KSHDpWz7U/s1600/B%252B.bmp

Billy Elliot

nmeTULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Stephen Daldry
Pemain:
Jamie Bell, Julie Walters, Gary Lewis, Jamie Draven, Stuart Wells

Tahun Rilis: 2000

BERLATAR di Inggris di masa protes pertambangan (1984-1985), “Billy Elliot” berpusat pada tokoh Billy Elliot (Jamie Bell), seorang bocah yang menyukai balet dan harus memperjuangkan bakat baletnya itu di depan bapaknya dan kakaknya. Kalau biasanya dipertontonkan film-film bertema emansipasi wanita; “Million Dollar Baby,” dan judul-judul setipe lainnya. “Billy Elliot” malah mempertontonkan emansipasi pria – kurang lebih. Garis besarnya, film ini mengkritisi persoalan diskriminasi gender.

Kamis, 10 Juni 2010

Minggu Pagi di Victoria Park

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)

SAAT ini saya sedang tertarik menulis tentang dramatisme vs realisme. Mungkin bisa dibilang juga saya lagi pingin sok-sok tahu sebagai penonton ala kadarnya.

Dalam pemahaman saya, sebuah film yang baik, khususnya drama, hakikatnya mampu menyajikan gambaran yang nyata, riil, dan apa adanya. Lantas apa jadinya film yang hanya menampilkan potret nyata? Potret riil? Potret yang tidak dilebih-lebihkan? Atau saya lebih suka menyebutnya (istilah karang-karangan saya sendiri: “film dengan pendekatan realisme” atau singkatnya “film realisme.” Hasil film semacam ini bisa dilihat dari nasib beberapa judul yang memang ditujukan festival. Sebut saja: “The Wind That Shakes the Barley,” “De battre mon cœur s'est arrêté,” “Un prophète,” atau dari Indonesia “3 Doa 3 Cinta.

Pernah saya suguhkan“(Ajami) عجمي” ke beberapa teman saya. Ada yang bilang , “Filmnya bikin ngantuk!” Ada juga yang bilang, “Filmnya gak jelas!”

Film realisme tidak laku di pasaran.

Sabtu, 05 Juni 2010

Interview with the Vampire

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Neil Jordan
Pemain:
Tom Cruise, Brad Pitt, Kirsten Dunst, Antonio Banderas, Christian Slater, Stephen Rea

Tahun Rilis: 1994

Film ini diangkat dari cerpen “Interview with the Vampire” karangan Anne Rice.

Setelah sebelumnya menulis resensi “Bakjwi,” sesama film tentang vampir (lupakan sejenak “Twilight” atau “New Moon”). Melihat nama-nama poster film ini memberikan ekspektas pada saya: bayangkan saja duet maut Tom Cruise dan Brad Pitt dalam satu judul yang sama? Saya tidak akan terlalu bercerita panjang lebar lagi kali ini.

(Baran) باران

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Majid Majidi
Pemain: Hossein Abedini, Zahra Bahrami, Mohammad Amir Naji, Abbas Rahimi, Gholam Ali Bakhshi

Tahun Rilis: 2002
Judul Internasional: “Baran”

SINEMA Iran salah satunya memang terkenal dengan film-film humanistik realismenya. “Baduk,” “Pedar,” “Children of Heaven,” dan “The Color of Paradise” adalah salah satu contohnya. Film-film itu, termasuk film ini juga, mengingatkan saya kembali akan tujuan sesungguhnya dari sebuah film selain sebagai medium hiburan semata. Tapi, yang membuat judul-judul itu lebih hebat lagi, adalah bagaimana mereka tidak melupakan identitasnya sebagai seni hanya karena tendensi untuk menampilkan pesan.

Hal penting itu salah satu poin yang sekarang ini sering diabaikan oleh sineas-sineas Indonesia tercinta kita.

Selasa, 01 Juni 2010

The Queen

TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Stephen Frears
Pemain:
Helen Mirren, Michael Sheen, James Cromwell, Halen McCrory, Alex Jennings, Roger Allam, Sylvia Syms

Tahun Rilis: 2006

STEPHEN Frears patutlah berterima kasih pada Helen Mirren, karena beliaulah salah satu nyawa total film ini. Bahkan dengan lantang saya nyatakan Helen Mirren memang pantas mendapatkan patung emas Oscar yang memang sudah dia dapatkan untuk perannya di film ini. Ya, memang empat nominator lainnyaPenélope Cruz (“Volver”), Judi Dench (“Notes on a Scandal”), Meryl Streep (“The Devil Wears Prada”), dan Kate Winslet (“Little Children”) masing-masing sudah menampilkan penampialan yang memukau (saya sudah menyimak semua judul itu), tapi dengan sangat yakin saya katakan: Helen Mirren dengan penampilannya di film ini lah yang pantas merangkul patung emas itu.