Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Bernardo Bertolucci
Pemain: Keanu Reeves, Bridget Fonda, Chris Isaak, Ruocheng Ying, Rudraprasad Sengupta, Alex Wiesendanger, Rajuh Lah, Greishma Makar Singh
Tahun Rilis: 1994
Sebuah Pengejawantahan Filsafat Religius dalam Layar Kaca
EKSISTENSIALISME. Apa yang ada dibenak penonton umum ketika mendengar film dengan tema seputar eksistensi manusia? Pastilah sebagian besar penonton bakal mengira film tersbut film yang berat, membingungkan, sangat absurd, atau malah bisa jadi sangat menjemukan. Tidak menutup kemungkinan juga sebagain besar penonton umum malah tidak paham di mana letak nilai filsafat eksistensi. Lebih parah lagi, malah sangat mungkin sebagian besar penonton umum, terutama di Indonesia, sama sekali tidak pernah mengenal kata “eksistensi”.
Lima tahun setelah “Little Buddha” ini dibuat, muncul film “Being John Malkovich” yang disutradari Spike Jonze, seorang sutradara yang karya-karyanya selalu sarat nilai-nilai filosofis (terlihat juga di film-film selanjutnya “Adaptation” dan “Where the Wild Things We Are”). “Being John Malkovich” sudah berhasil mengikrarkan ciri khasnya sendiri dengan meramu tema tentang filsafat modern seputar pikiran: asal muasal diri dan kesadaran, diktum pikiran-tubuh, dan penerimaan sensorik. Sebuah tema yang jarang diangkat sebagai tema utama dalam film (kalaupun diangkat biasanya cuma jadi tema bumbu). Lebih hebat lagi, “Being John Malkovich” mampu meramu tema-tema bermomok “tidak ramah penonton” itu menjadi film yang asyik dan menarik untuk disantap lahap.
Tapi “Little Buddha” tidak sedalam itu.
“Little Buddha” lebih mirip “The Fountain”, film fantasi surealis bertema filosofis yang dibintangi Hugh Jackman dan Rachel Weisz. Lebih tepatnya “Little Buddha” bisa dibilang versi lebih bersahabat dari “The Fountain”. Kenapa saya bilang begitu? Karena “Little Buddha” dan “The Fountain” sama-sama mengusung tema filosofis yang hampir sama (dengan cerita berbeda). Ditambah, kedua film itu juga sama-sama menggunakan agama dalam pengejawantahannya. Dalam “The Fountain” diuraikan Ayat Kejadian (Genesis) 3:24 untuk menegaskan tema thanatophobia (takut kematian) yang diusung. Sedangkan pada “Little Buddha”, filsafat akan kematian itu diceritakan melalui reinkarnasi dalam kepercayaan Buddha. Hanya saja, “Little Buddha” tidak sedalam dan seintens “The Fountain”.
Siddhartha dan Little Buddha
Sebelum masuk ke film, bolehlah saya tilik sebentar tentang siapa sutradara film ini. Dari namanya, Bernardo Bertolucci, saya rasa sudah ketahuan kalau sutradara ini berasal dari Italia. Sutradara Italia bikin film epik berlatar Asia? Jarang, bukan? Sejauh ini, kebanyakan sutradara Italia cenderung menelurkan film-film noir, potret nyata kehidupan, atau drama epik masa perang. Tapi sepertinya sutradara Italia satu ini juga tertarik melayarkan kisah-kisah Asia. Tujuh tahun sebelum film “Little Buddha” ini, sang sutradara sudah menelurkan film “The Last Emperor” yang berlatar Cina. Film itu sukses memenangkan total sembilan Piala Oscar dari sembilan kategori yang dinominasikan. Hebat sekali, bukan (dan memang film itu hebat, saya sudah lihat)? Lalu apakah “Little Buddha” ini sehebat film itu?
Film ini dibagi menjadi dua alur utama.
Dibuka dengan menampilkan sekelompok biksu, yang dipimpin oleh Lama Norbum, yang sedang dalam misi pencarian sosok reinkarnasi guru besar mereka. Melalui bukti-bukti spiritual dan (katakanlah) faktual, mereka tiba di rumah megah seorang bocah, Jesse, di Seattle, Amerika. Yap, bocah periang dan punya rasa ingin tahu yang besar ini diduga adalah jelmaan dari sang guru besar itu. Sang biksu pun, dengan cara sekonvensional mungkin, mendekati si bocah dan kedua orang tuanya. Ibu si anak digambarkan sebagai sosok yang tidak terlalu percaya dengan ocehan-ocehan seputar reinkarnasi, tapi tertarik (mungkin secara tidak langsung dalam lubuk hati terdalamnya dia ingin percaya–setidaknya itu yang saya tangkap). Sedangkan si bapak dipasangkan sebagai tokoh penetral di ceria ini, berpikiran praktis, modern, dan “sukses”.
Lama Norbu menghadiahi Jesse sebuah buku dongeng berjudul “Little Buddha” yang akhirnya dongeng ini diceritakan melalui plotnya tersendiri. Dalam plot ini penonton diperkenalkan pada suasana surrealis, mistik, dan fantasik yang berbeda dengan plot yang satunya. Plot dongeng ini dimulai dengan lahirnya Siddhartha. Sebenarnya, secara pribadi, adegan kelahiran yang penuh unsur-unsur dongeng ini sempat membuat saya berkata “waw” dalam hati. Sang Ratu (lupa namanya), ibunya Siddhartha, melhirkan sambil bersenandung sembari menggengam erat ranting pohon. Dua plot yang berbeda, yang satu menampilkan potret kehidupan nyata, yang satu lagi menampilkan potret mistik.
Keanu Reeves sebagai Siddharta?
Ini lucunya (setidaknya menurut saya). Dari awal saya sadar, bahkan sejak saya melihat kotak CD film ini pun saya sadar, dengan nama Keanu Reeves. Artinya Keanu Reeves, yang lebih sering main sebagai “cowok tampan”, unjuk gigi di film ini. Bermain sebagai “cowok tampan” bukan hal sulit bagi Keanu, dia cuma perlu tampil “tampan”. Lalu bagaimana nasib Keanu di film ini? Maka sebelum menonton saya bertanya-tanya, bermain sebagai apakah Keanu Reeves di sini? Sebagai biksu yang digunduli kepalanya? Atau sebagai bapak Jeese? Yap. Mulanya, kuat perkiraan saya kalau Keanu Reeves bermain sebagai bapaknya Jeese, berpasangan dengan Bridget Fonda. Tapi ternyata tidak! Dugaan saya salah besar ketika yang sosok bapaknya Jeese berbeda jauh dengan sosok Keanu Reeves yang charming itu. Lalu, sembari menelaah film, saya mencari-cari Keeanu di sini. Kenapa? Saya masih penasaran dengan tokoh yang diperankan Keanu, karena sejauh yang saya lihat (selain perang sebagai bapaknya Jeese) tidak ada peran lain sebagai “cowok tampan” di sini. Untuk itu, coba perhatikan foto tokoh Siddharta dari film ini yang saya tampilkan. Siapa coba yang mengira kalau itu Keanu Reeves? Saya pun sempat pangling. Make-up-nya, terutama penghitam matanya (entah apa namanya itu) yang tebal itu, rambut kriting-kritingnya, dan tone kulitnya, semua itu berhasil mengecoh saya.
Lalu apa reaksi saya ketika tahu Keanu bermain sebagai Siddharta?
Saya puas sekaligus kecewa. Saya puas karena Keanu membawakan peran yang cukup penting ini dengan cukup baik. Sekalipun tidak saya applause, penampilan Keanu ini bisa dibilang “bermanfaat”. Kecewanya? Karena, perannya kali ini sama sekali tidak terlalu berbeda dengan peran-peran sebelumnya sebagai “cowok tampan”. Bedanya, di sini dia bermain sebagai Siddharta yang notabene India, bukan Kaukasoid. Selebihnya peran yang dia lakukan sama sekali tidak menantang untuk ukuran Keanu (mungkin peran “cowok tampan” ini baru bisa dibilang menantang kalau diberikan pada pemain seperti Komeng atau Sule). Yang perlu Keanu lakukan di film ini, dan jelas dia lakukan, cuma terlihat baik-baik. Sekalipun dia gundah ataupun teriris sekalipun, dia tetap harus terlihat baik-baik–karena memang itulah hakikat tokohnya. Satu kritik kecil: kalau dibandingkan dengan aksen pemeran India yang lain, sepertinya aksen India yang ditirukan Keanu agak menganggu ya?
Lalu bagaimana penampilan tokoh di plot yang satunya?
Saya sama sekali tidak ada keluhan dengan tokoh Jesse yang diperankan oleh Alex Wiesendanger. Kritikan pedas dari saya malah akan saya lemparkan pada pemeran bapaknya Jesse, yang sebenarnya tokoh penting, Chris Isaak. Beliau sudah gagal total di film ini. Kaku bak kayu. Tidak meyakinkan. Bahkan, turut andil dalam ketidakmenarikan film ini. Yap, penampilan Chris Isaak sangat menganggu. Titik.
Sebuah Judi: Sekuat Material, Sedangkal Penceritaan, Sedangkal Penampilan
Judi? Kenapa saya bilang judi? Dari sub-judul di atas seharusnya pembaca sudah tahu apa yang saya maksud dengan judi. Film ini bisa dibilang bagus tapi bisa pula dibilang tidak bagus. Bagusnya? Film ini mempunya kekuatan pada materinya yang diangkatnya. Rasanya tidak perlu saya bahas lagi materi itu. Begitu pula dengan kekurangan film ini dari segi penampilan pemainnya, saya sudah bahas di atas kan?
Lalu bagaimana alur di film ini bergulir?
Mulanya film ini terfokus pada pencerahan yang dialami Jesse, si bocah, dalam memahami tata cara kehidupan para biksu. Maka masuk akal lah kenapa plot dongeng tentang Siddharta itu dimunculkan. Yap, awalnya penonton lebih diarahkan pada alur sederhana itu. Saya sama sekali tidak masalah dengan tema sedarhana, asalkan terbangun dengan baik dan rapi (dan tidak dangkal tentunya). Lalu mendadak, di tengah-tengah, penceritan terfokus pula pada crisis kepercayaan bapaknya Jesse. Sekali lagi, sebenarnya saya sama sekali tidak masalah dengan bertambahnya titik acuan konflik seperti ini. Masalahnya? Masalahnya, sejak itu fokus awalnya yang seharusnys tersentral di tokoh Jesse, malah seakan-akan berbelok ke arah bapaknya. Dilema tokoh Jesse menjadi tidak kritis, meskipun tetap diceritakan dengan porsi yang pas. Singkatnya: tidak adanya konsistensi dengan dilema awal yang belum terselesaikan.
Setidaknya ada satu adegan yang masih mampu menarik perhatian saya di film ini (dan ini jujur). Adegan puncaknya, yang juga merupakan adegan perjumpaan dua plot itu: yaitu adegan ketika Siddharta menghadapi trik-trik licik Mara.
Tetek Bengek Lain
Kalau ditanya apa hal-hal lain selain di atas yang menarik (atau tidak menarik) dari film ini? Tentu pengambilan gambarnya yang cantik. Apa lagi saya sebagai penonton cukup dimanjakan dengan pemandangan-pemandangan Tibet. Ditambah plot dongeng yang memberikan pengalaman tersendiri ketika disimak: adegan-adegan yang mistik, dialog yang puitis, sampai setting dan kostum yang cantik. Setidaknya itulah hal-hal yang bisa saya bagus-baguskan dari film ini.
Rasanya tidak ada lagi yang bisa saya resensi dari film ini. Silahkan nonton “Little Buddha”, tapi saya sarankan jangan dengan eksepektasi setinggi “The Last Emperor”. Kalau ditarik kesimpulan, ini film judi: tidak bisa dibilang bagus, tidak pula bisa dibilang jelek.
Sutradara: Bernardo Bertolucci
Pemain: Keanu Reeves, Bridget Fonda, Chris Isaak, Ruocheng Ying, Rudraprasad Sengupta, Alex Wiesendanger, Rajuh Lah, Greishma Makar Singh
Tahun Rilis: 1994
Sebuah Pengejawantahan Filsafat Religius dalam Layar Kaca
EKSISTENSIALISME. Apa yang ada dibenak penonton umum ketika mendengar film dengan tema seputar eksistensi manusia? Pastilah sebagian besar penonton bakal mengira film tersbut film yang berat, membingungkan, sangat absurd, atau malah bisa jadi sangat menjemukan. Tidak menutup kemungkinan juga sebagain besar penonton umum malah tidak paham di mana letak nilai filsafat eksistensi. Lebih parah lagi, malah sangat mungkin sebagian besar penonton umum, terutama di Indonesia, sama sekali tidak pernah mengenal kata “eksistensi”.
Lima tahun setelah “Little Buddha” ini dibuat, muncul film “Being John Malkovich” yang disutradari Spike Jonze, seorang sutradara yang karya-karyanya selalu sarat nilai-nilai filosofis (terlihat juga di film-film selanjutnya “Adaptation” dan “Where the Wild Things We Are”). “Being John Malkovich” sudah berhasil mengikrarkan ciri khasnya sendiri dengan meramu tema tentang filsafat modern seputar pikiran: asal muasal diri dan kesadaran, diktum pikiran-tubuh, dan penerimaan sensorik. Sebuah tema yang jarang diangkat sebagai tema utama dalam film (kalaupun diangkat biasanya cuma jadi tema bumbu). Lebih hebat lagi, “Being John Malkovich” mampu meramu tema-tema bermomok “tidak ramah penonton” itu menjadi film yang asyik dan menarik untuk disantap lahap.
Tapi “Little Buddha” tidak sedalam itu.
“Little Buddha” lebih mirip “The Fountain”, film fantasi surealis bertema filosofis yang dibintangi Hugh Jackman dan Rachel Weisz. Lebih tepatnya “Little Buddha” bisa dibilang versi lebih bersahabat dari “The Fountain”. Kenapa saya bilang begitu? Karena “Little Buddha” dan “The Fountain” sama-sama mengusung tema filosofis yang hampir sama (dengan cerita berbeda). Ditambah, kedua film itu juga sama-sama menggunakan agama dalam pengejawantahannya. Dalam “The Fountain” diuraikan Ayat Kejadian (Genesis) 3:24 untuk menegaskan tema thanatophobia (takut kematian) yang diusung. Sedangkan pada “Little Buddha”, filsafat akan kematian itu diceritakan melalui reinkarnasi dalam kepercayaan Buddha. Hanya saja, “Little Buddha” tidak sedalam dan seintens “The Fountain”.
Siddhartha dan Little Buddha
Sebelum masuk ke film, bolehlah saya tilik sebentar tentang siapa sutradara film ini. Dari namanya, Bernardo Bertolucci, saya rasa sudah ketahuan kalau sutradara ini berasal dari Italia. Sutradara Italia bikin film epik berlatar Asia? Jarang, bukan? Sejauh ini, kebanyakan sutradara Italia cenderung menelurkan film-film noir, potret nyata kehidupan, atau drama epik masa perang. Tapi sepertinya sutradara Italia satu ini juga tertarik melayarkan kisah-kisah Asia. Tujuh tahun sebelum film “Little Buddha” ini, sang sutradara sudah menelurkan film “The Last Emperor” yang berlatar Cina. Film itu sukses memenangkan total sembilan Piala Oscar dari sembilan kategori yang dinominasikan. Hebat sekali, bukan (dan memang film itu hebat, saya sudah lihat)? Lalu apakah “Little Buddha” ini sehebat film itu?
Film ini dibagi menjadi dua alur utama.
Dibuka dengan menampilkan sekelompok biksu, yang dipimpin oleh Lama Norbum, yang sedang dalam misi pencarian sosok reinkarnasi guru besar mereka. Melalui bukti-bukti spiritual dan (katakanlah) faktual, mereka tiba di rumah megah seorang bocah, Jesse, di Seattle, Amerika. Yap, bocah periang dan punya rasa ingin tahu yang besar ini diduga adalah jelmaan dari sang guru besar itu. Sang biksu pun, dengan cara sekonvensional mungkin, mendekati si bocah dan kedua orang tuanya. Ibu si anak digambarkan sebagai sosok yang tidak terlalu percaya dengan ocehan-ocehan seputar reinkarnasi, tapi tertarik (mungkin secara tidak langsung dalam lubuk hati terdalamnya dia ingin percaya–setidaknya itu yang saya tangkap). Sedangkan si bapak dipasangkan sebagai tokoh penetral di ceria ini, berpikiran praktis, modern, dan “sukses”.
Lama Norbu menghadiahi Jesse sebuah buku dongeng berjudul “Little Buddha” yang akhirnya dongeng ini diceritakan melalui plotnya tersendiri. Dalam plot ini penonton diperkenalkan pada suasana surrealis, mistik, dan fantasik yang berbeda dengan plot yang satunya. Plot dongeng ini dimulai dengan lahirnya Siddhartha. Sebenarnya, secara pribadi, adegan kelahiran yang penuh unsur-unsur dongeng ini sempat membuat saya berkata “waw” dalam hati. Sang Ratu (lupa namanya), ibunya Siddhartha, melhirkan sambil bersenandung sembari menggengam erat ranting pohon. Dua plot yang berbeda, yang satu menampilkan potret kehidupan nyata, yang satu lagi menampilkan potret mistik.
Keanu Reeves sebagai Siddharta?
Ini lucunya (setidaknya menurut saya). Dari awal saya sadar, bahkan sejak saya melihat kotak CD film ini pun saya sadar, dengan nama Keanu Reeves. Artinya Keanu Reeves, yang lebih sering main sebagai “cowok tampan”, unjuk gigi di film ini. Bermain sebagai “cowok tampan” bukan hal sulit bagi Keanu, dia cuma perlu tampil “tampan”. Lalu bagaimana nasib Keanu di film ini? Maka sebelum menonton saya bertanya-tanya, bermain sebagai apakah Keanu Reeves di sini? Sebagai biksu yang digunduli kepalanya? Atau sebagai bapak Jeese? Yap. Mulanya, kuat perkiraan saya kalau Keanu Reeves bermain sebagai bapaknya Jeese, berpasangan dengan Bridget Fonda. Tapi ternyata tidak! Dugaan saya salah besar ketika yang sosok bapaknya Jeese berbeda jauh dengan sosok Keanu Reeves yang charming itu. Lalu, sembari menelaah film, saya mencari-cari Keeanu di sini. Kenapa? Saya masih penasaran dengan tokoh yang diperankan Keanu, karena sejauh yang saya lihat (selain perang sebagai bapaknya Jeese) tidak ada peran lain sebagai “cowok tampan” di sini. Untuk itu, coba perhatikan foto tokoh Siddharta dari film ini yang saya tampilkan. Siapa coba yang mengira kalau itu Keanu Reeves? Saya pun sempat pangling. Make-up-nya, terutama penghitam matanya (entah apa namanya itu) yang tebal itu, rambut kriting-kritingnya, dan tone kulitnya, semua itu berhasil mengecoh saya.
Lalu apa reaksi saya ketika tahu Keanu bermain sebagai Siddharta?
Saya puas sekaligus kecewa. Saya puas karena Keanu membawakan peran yang cukup penting ini dengan cukup baik. Sekalipun tidak saya applause, penampilan Keanu ini bisa dibilang “bermanfaat”. Kecewanya? Karena, perannya kali ini sama sekali tidak terlalu berbeda dengan peran-peran sebelumnya sebagai “cowok tampan”. Bedanya, di sini dia bermain sebagai Siddharta yang notabene India, bukan Kaukasoid. Selebihnya peran yang dia lakukan sama sekali tidak menantang untuk ukuran Keanu (mungkin peran “cowok tampan” ini baru bisa dibilang menantang kalau diberikan pada pemain seperti Komeng atau Sule). Yang perlu Keanu lakukan di film ini, dan jelas dia lakukan, cuma terlihat baik-baik. Sekalipun dia gundah ataupun teriris sekalipun, dia tetap harus terlihat baik-baik–karena memang itulah hakikat tokohnya. Satu kritik kecil: kalau dibandingkan dengan aksen pemeran India yang lain, sepertinya aksen India yang ditirukan Keanu agak menganggu ya?
Lalu bagaimana penampilan tokoh di plot yang satunya?
Saya sama sekali tidak ada keluhan dengan tokoh Jesse yang diperankan oleh Alex Wiesendanger. Kritikan pedas dari saya malah akan saya lemparkan pada pemeran bapaknya Jesse, yang sebenarnya tokoh penting, Chris Isaak. Beliau sudah gagal total di film ini. Kaku bak kayu. Tidak meyakinkan. Bahkan, turut andil dalam ketidakmenarikan film ini. Yap, penampilan Chris Isaak sangat menganggu. Titik.
Sebuah Judi: Sekuat Material, Sedangkal Penceritaan, Sedangkal Penampilan
Judi? Kenapa saya bilang judi? Dari sub-judul di atas seharusnya pembaca sudah tahu apa yang saya maksud dengan judi. Film ini bisa dibilang bagus tapi bisa pula dibilang tidak bagus. Bagusnya? Film ini mempunya kekuatan pada materinya yang diangkatnya. Rasanya tidak perlu saya bahas lagi materi itu. Begitu pula dengan kekurangan film ini dari segi penampilan pemainnya, saya sudah bahas di atas kan?
Lalu bagaimana alur di film ini bergulir?
Mulanya film ini terfokus pada pencerahan yang dialami Jesse, si bocah, dalam memahami tata cara kehidupan para biksu. Maka masuk akal lah kenapa plot dongeng tentang Siddharta itu dimunculkan. Yap, awalnya penonton lebih diarahkan pada alur sederhana itu. Saya sama sekali tidak masalah dengan tema sedarhana, asalkan terbangun dengan baik dan rapi (dan tidak dangkal tentunya). Lalu mendadak, di tengah-tengah, penceritan terfokus pula pada crisis kepercayaan bapaknya Jesse. Sekali lagi, sebenarnya saya sama sekali tidak masalah dengan bertambahnya titik acuan konflik seperti ini. Masalahnya? Masalahnya, sejak itu fokus awalnya yang seharusnys tersentral di tokoh Jesse, malah seakan-akan berbelok ke arah bapaknya. Dilema tokoh Jesse menjadi tidak kritis, meskipun tetap diceritakan dengan porsi yang pas. Singkatnya: tidak adanya konsistensi dengan dilema awal yang belum terselesaikan.
Setidaknya ada satu adegan yang masih mampu menarik perhatian saya di film ini (dan ini jujur). Adegan puncaknya, yang juga merupakan adegan perjumpaan dua plot itu: yaitu adegan ketika Siddharta menghadapi trik-trik licik Mara.
Tetek Bengek Lain
Kalau ditanya apa hal-hal lain selain di atas yang menarik (atau tidak menarik) dari film ini? Tentu pengambilan gambarnya yang cantik. Apa lagi saya sebagai penonton cukup dimanjakan dengan pemandangan-pemandangan Tibet. Ditambah plot dongeng yang memberikan pengalaman tersendiri ketika disimak: adegan-adegan yang mistik, dialog yang puitis, sampai setting dan kostum yang cantik. Setidaknya itulah hal-hal yang bisa saya bagus-baguskan dari film ini.
Rasanya tidak ada lagi yang bisa saya resensi dari film ini. Silahkan nonton “Little Buddha”, tapi saya sarankan jangan dengan eksepektasi setinggi “The Last Emperor”. Kalau ditarik kesimpulan, ini film judi: tidak bisa dibilang bagus, tidak pula bisa dibilang jelek.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar