Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: F. W. Murnau
Pemain: Max Schreck, Gustav von Wangenheim, Greta Schröder, Alexander Granach, Ruth Landshoff
Tahun Rilis: 1922
Judul Alternatif: “Nosferatu, eine Symphonie des Grauens,” “Nosferatu: A Symphony of Horror,” atau “Nosferatu: A Symphony of Terror”
Film ini merupakan adaptasi pertama dari novel “Dracula” (1897) karya Bram Stoker.
“NOSFERATU” dikenal sebagai adaptasi pertama dari novel terkenal karya Bram Stoker, “Dracula.” “Nosferatu” juga dikenal sebagai film pertama tentang drakula, vampir, atau makhluk penghisap darah sejenis. “Nosferatu” memang adaptasi ilegal (tidak mendapat izin resmi sebagai adaptasi di masanya), tapi “Nosferatu,” hingga saat ini, tetap dikenang sebagai film bapak film-film drakula/vampir (dan tentunya banyak menginspirasi film-film sejenis).
“Nosferatu” dibuat tahun 1922, dan masih berbentuk “film bisu (silent film).” Sudah jelas, sesuai dengan teknologi zaman itu, gambar yang disajikan “Nosferatu” masih kasar. Sangat bodoh bila saya membandingkan visualisasi “Nosferatu” dengan kecanggihan teknologi “Transformer.” Cara terbaik untuk menikmati “Nosferatu” adalah “beradaptasi.” Bahkan cara terbaik untuk menikmati film-film klasik adalah “beradaptasi.” Tentu saya (sebagai penonton) sangat mustahil memaksa “Nosferatu” untuk beradaptasi dengan dunia modern, tapi saya lah yang beradaptasi dengan dunia klasik “Nosferatu” (tapi tetap dengan pikiran modern ketika menonton). Artinya, saya tidak bisa menulis resensi tentang kekurangan “Nosferatu” dari segi kecanggihan gambar, bukan? Alangkah bodohnya bila saya menulis hal semacam itu di resensi ini (this movie was made in 1922, for God sake). Tapi, sesuai dengan “adaptasi” yang saya lakukan, saya akan (mencoba) berpikiran fleksibel dalam meresensi film-film klasik. Dan memang itu lah yang seharusnya dilakukan oleh penonton-penonton (profesional), kan?
Sebagai film horror, sudah jelas horror yang disajikan “Nosferatu” sudah tidak mempan lagi. Mungkin, “Nosferatu” sangat berhasil sebagai horror di zamannya, tapi jelas sudah tidak mungkin berhasil lagi bila diterapkan di era modern seperti sekarang ini. Sekalipun sebenarnya atmosfir horror yang dibangun “Nosferatu” sangat terasa. Saya sendiri lebih menikmati “Nosferatu” sebagai film epik tentang drakula, bukan horror.
Lantas apa yang membuat saya memberi lima bintang untuk film bisu ini? Singkatnya: karena “Nosferatu” berhasil memikat saya sebagai film epik tentang drakula (bukan sebagai horror) – bahkan menurut saya, ini lah film yang paling berhasil menggambarkan sosok drakula. “Nosferatu” adalah film yang paling tepat tentang sosok drakula. “Nosferatu” bahkan jauh lebih tepat bila dibandingkan film-film modern tentang drakula/vampir yang penuh dengan keklisean, cheesyness, bahkan malah membunuh sosok drakula/vampir itu sendiri.
Penampilan di “Nosferatu” memang terasa agak teaterikal. Mau bagaimana lagi? Penampilan teaterikal semacam ini memang sering ditemukan di film-film bisu, tujuannya untuk menyampaikan emosi dan ekspresi tokoh-tokohnya tanpa perlu bersuara (ini film bisu kan?). Sekalipun teaterikal, nyatanya teaterikal yang disuguhkan oleh “Nosferatu” tidak terlalu menganggu. Dan khusus untuk penampilan Max Schreck (pemeran Count Orlok atau Count Dracula dalam versi Amerikanya) justru malah sangat membantu menggambarkan sosok drakula sejati. Lagipula, kalau diperhatikan, bukankah penggambaran drakula/vampir di film-film modern juga berbau-bau teaterikal?
Max Schreck memberikan pengambaran drakula/vampir yang tidak mungkin rasanya bisa ditemukan di film-film modern sekarang. Max Schreck tidak tampil flamboyan dan tampan layaknya Robert Pattinson, Tom Cruise, atau Brad Pitt. Lebih dalam lagi, beliau memberikan gambaran tepat sosok drakula sebagai sosok yang menderita kutukan berkepanjangan (bukan sebagai sosok tampan tak terkira). Max Schreck menggambarakan sosok drakula seolah-olah sebagai makhluk buas yang haus darah (dan memang seharusnya begitu), bukan sebagai manusia flamboyan. Telinganya, giginya, kukunya dan segala set-set artistik yang menempel di badan Max Schreck, semuanya berhasil membantu penggambaran tersebut.
Hal lain yang saya suka dari “Nosferatu” adalah adegan-adegan pantulan bayangan Count Dracula di dinding. Adegan ini, sepenangkapan saya, ditujukan untuk membangun nuansa horror. Seperti adegan-adegan horror lainnya, atmosfir horror di adegan ini pun terasa. Hanya saja, memang tidak berhasil membuat saya ketakutan. Terlepas dari saya ketakutan atau tidak, nyatanya adegan ini sangat memorabel buat saya (terutama yang naik tangga menjelang akhir).
“Nosferatu” memang film klasik. “Nosferatu” memang belum bersaura. Tapi, bila saya membayangkan “Nosferatu” sebagai film bersuara, saya tidak yakin bakal sehebat versi bisunya. Alasannya, karena “Nosferatu” memang lebih cocok sebagai film bisu. Lebih klasik. Lebih misterius. Dan lebih merasuk unsur drakulanya (saya tidak bisa membayangkan Count Dracula di film bersuara). Dan pada akhirnya, “Nosferatu” memang pantas dikenang sebagai bapak dari film-film drakula/vampir. Nyatanya, “Nosferatu” (di usianya yang nyaris 100 tahun), masih cukup dikenang hingga sekarang. Dan tidak bisa dipungkiri, “Nosferatu” memang sudah menginspirasi film-film drakula/vampir lainnya.
Sutradara: F. W. Murnau
Pemain: Max Schreck, Gustav von Wangenheim, Greta Schröder, Alexander Granach, Ruth Landshoff
Tahun Rilis: 1922
Judul Alternatif: “Nosferatu, eine Symphonie des Grauens,” “Nosferatu: A Symphony of Horror,” atau “Nosferatu: A Symphony of Terror”
Film ini merupakan adaptasi pertama dari novel “Dracula” (1897) karya Bram Stoker.
“NOSFERATU” dikenal sebagai adaptasi pertama dari novel terkenal karya Bram Stoker, “Dracula.” “Nosferatu” juga dikenal sebagai film pertama tentang drakula, vampir, atau makhluk penghisap darah sejenis. “Nosferatu” memang adaptasi ilegal (tidak mendapat izin resmi sebagai adaptasi di masanya), tapi “Nosferatu,” hingga saat ini, tetap dikenang sebagai film bapak film-film drakula/vampir (dan tentunya banyak menginspirasi film-film sejenis).
“Nosferatu” dibuat tahun 1922, dan masih berbentuk “film bisu (silent film).” Sudah jelas, sesuai dengan teknologi zaman itu, gambar yang disajikan “Nosferatu” masih kasar. Sangat bodoh bila saya membandingkan visualisasi “Nosferatu” dengan kecanggihan teknologi “Transformer.” Cara terbaik untuk menikmati “Nosferatu” adalah “beradaptasi.” Bahkan cara terbaik untuk menikmati film-film klasik adalah “beradaptasi.” Tentu saya (sebagai penonton) sangat mustahil memaksa “Nosferatu” untuk beradaptasi dengan dunia modern, tapi saya lah yang beradaptasi dengan dunia klasik “Nosferatu” (tapi tetap dengan pikiran modern ketika menonton). Artinya, saya tidak bisa menulis resensi tentang kekurangan “Nosferatu” dari segi kecanggihan gambar, bukan? Alangkah bodohnya bila saya menulis hal semacam itu di resensi ini (this movie was made in 1922, for God sake). Tapi, sesuai dengan “adaptasi” yang saya lakukan, saya akan (mencoba) berpikiran fleksibel dalam meresensi film-film klasik. Dan memang itu lah yang seharusnya dilakukan oleh penonton-penonton (profesional), kan?
Sebagai film horror, sudah jelas horror yang disajikan “Nosferatu” sudah tidak mempan lagi. Mungkin, “Nosferatu” sangat berhasil sebagai horror di zamannya, tapi jelas sudah tidak mungkin berhasil lagi bila diterapkan di era modern seperti sekarang ini. Sekalipun sebenarnya atmosfir horror yang dibangun “Nosferatu” sangat terasa. Saya sendiri lebih menikmati “Nosferatu” sebagai film epik tentang drakula, bukan horror.
Lantas apa yang membuat saya memberi lima bintang untuk film bisu ini? Singkatnya: karena “Nosferatu” berhasil memikat saya sebagai film epik tentang drakula (bukan sebagai horror) – bahkan menurut saya, ini lah film yang paling berhasil menggambarkan sosok drakula. “Nosferatu” adalah film yang paling tepat tentang sosok drakula. “Nosferatu” bahkan jauh lebih tepat bila dibandingkan film-film modern tentang drakula/vampir yang penuh dengan keklisean, cheesyness, bahkan malah membunuh sosok drakula/vampir itu sendiri.
Penampilan di “Nosferatu” memang terasa agak teaterikal. Mau bagaimana lagi? Penampilan teaterikal semacam ini memang sering ditemukan di film-film bisu, tujuannya untuk menyampaikan emosi dan ekspresi tokoh-tokohnya tanpa perlu bersuara (ini film bisu kan?). Sekalipun teaterikal, nyatanya teaterikal yang disuguhkan oleh “Nosferatu” tidak terlalu menganggu. Dan khusus untuk penampilan Max Schreck (pemeran Count Orlok atau Count Dracula dalam versi Amerikanya) justru malah sangat membantu menggambarkan sosok drakula sejati. Lagipula, kalau diperhatikan, bukankah penggambaran drakula/vampir di film-film modern juga berbau-bau teaterikal?
Max Schreck memberikan pengambaran drakula/vampir yang tidak mungkin rasanya bisa ditemukan di film-film modern sekarang. Max Schreck tidak tampil flamboyan dan tampan layaknya Robert Pattinson, Tom Cruise, atau Brad Pitt. Lebih dalam lagi, beliau memberikan gambaran tepat sosok drakula sebagai sosok yang menderita kutukan berkepanjangan (bukan sebagai sosok tampan tak terkira). Max Schreck menggambarakan sosok drakula seolah-olah sebagai makhluk buas yang haus darah (dan memang seharusnya begitu), bukan sebagai manusia flamboyan. Telinganya, giginya, kukunya dan segala set-set artistik yang menempel di badan Max Schreck, semuanya berhasil membantu penggambaran tersebut.
Hal lain yang saya suka dari “Nosferatu” adalah adegan-adegan pantulan bayangan Count Dracula di dinding. Adegan ini, sepenangkapan saya, ditujukan untuk membangun nuansa horror. Seperti adegan-adegan horror lainnya, atmosfir horror di adegan ini pun terasa. Hanya saja, memang tidak berhasil membuat saya ketakutan. Terlepas dari saya ketakutan atau tidak, nyatanya adegan ini sangat memorabel buat saya (terutama yang naik tangga menjelang akhir).
“Nosferatu” memang film klasik. “Nosferatu” memang belum bersaura. Tapi, bila saya membayangkan “Nosferatu” sebagai film bersuara, saya tidak yakin bakal sehebat versi bisunya. Alasannya, karena “Nosferatu” memang lebih cocok sebagai film bisu. Lebih klasik. Lebih misterius. Dan lebih merasuk unsur drakulanya (saya tidak bisa membayangkan Count Dracula di film bersuara). Dan pada akhirnya, “Nosferatu” memang pantas dikenang sebagai bapak dari film-film drakula/vampir. Nyatanya, “Nosferatu” (di usianya yang nyaris 100 tahun), masih cukup dikenang hingga sekarang. Dan tidak bisa dipungkiri, “Nosferatu” memang sudah menginspirasi film-film drakula/vampir lainnya.
Emang legend ni film
BalasHapusdialognya juga masih pake tulisan sehabis adegan, tapi gak bingung
:D
@Razeed:
BalasHapusIya.
Yang paling saya suka dari film jadul ini penggambaran sosok drakulanya yang benar-benar "drakula."
:D