Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Mark Steven Johnson
Pemain: Kristen Bell, Josh Duhamel, Will Arnett, Jon Heder, Dax Shepard, Danny DeVito, Anjelica Huston
Tahun Rilis: 2010
APAKAH saya salah bila menuntut sedikit “logika” dalam genre romantic comed? Yah, “When in Rome,” sejauh yang saya tahu memang bergenre romantic comedy, bukan slapstick. Dan sejauh yang saya tahu, film-film bergenre romantic comedy juga butuh “logika.”
“When in Rome” menyuguhkan sebuah cerita magical petualangan Beth (Kristen Bell), seorang kurator sebuah museum seni yang sangat mendambakan sebuah percintaan tapi belum menemukan orang yang tepat. Beth terbang ke Roma (Italia) untuk menghardiri pernikahan adiknya, Joan (Alexis Dziena). Beth berjumpa dengan Nicholas, atau singkatnya Nick (Josh Duhmel), yang merupakan kakak dari mempelai pria. Nick dan Beth hampir jatuh cinta sampai tiba-tiba Beth mendapati Nick mencium seorang gadis cantik bergaun merah di sisi fountain of love (air mancur cinta).
Ada sebuah mitos tentang fountain of love ini, orang-orang melempar koin ke air mancur itu demi mendapatkan cinta sejati. Mitosnya tidak sampai di situ, bila ada seseorang yang memungut koin dalam air mancur itu, maka sang pemilik koin akan jatuh cinta padanya. Mitos ini mungkin (atau sekitar 90%) terinspirasi oleh Air Mancur Trevi di Roma, Italia, yang juga bermitos. Bedanya, orang yang melempar koin ke Air Mancur Trevi konon bakal balik lagi ke Roma suatu hari nanti (bukannya mendapatkan cinta sejati). Saya tidak tahu apakah mitos itu benar atau tidak, yang pasti koin-koin dengan total sekitar 3000 euro dilempar ke Air Mancur Trevi setiap harinya.
Kembali ke “When in Rome,” Beth kecewa. Beth merasa takdir memainkannya. Beth ngamuk-ngamuk di fountain of love. Beth mengambil lima koin dari fountain of love; sebuah koin trik sulap, sebuah koin langka, koin Euro, koin se-penny, dan sebuah koin poker (well, yang satu ini tidak benar-benar koin). Beth pun terkena efek magis air terjun itu. Empat orang pria (seorang model narsis yang hobi pamer bodi (Dax Shepard), seorang pengusaha sosis berbadan pendek (Danny DeVito), seorang pesulap jalanan (Jon Heder), dan seorang pelukis yang berasal dari pedesaan Italia (Will Arnett)) mengejar-ngejar Beth bahkan sampai ke Amerika. Hey, koin yang dipungut Beth ada lima, kan? Yap, koin terakhir bakal mengandung spoiler kalau dibicarakan, bahkan mungkin sudah bisa ditebak oleh sebagian penonton.
Satu komentar tentang petulangan Beth: Menantang logika!
Dari awal saja penonton sudah disuguhi adegan yang menantang logika. Mungkinkan sebuah guci keramik tidak bakal pecah setelah dihempaskan berkali-kali ke lantai, menabrak tumpukan gelas, dan di pukul-pukul dengan mic stand? Silahkan praktekkan di rumah, perhatikan dengan seksama, apakah guci keramik tidak akan pecah bila dihempas-hempaskan ke lantai? Saya, sebagai penonton, bisa saja memaafkan adegan yang melecehkan logika ini andai saja adegan ini punya alasan kuat untuk ditayangkan. Apa alasannya? Untuk menegaskan takdir cinta Beth? Atau untuk membuat Nick membantu Beth agak Beth merasa terpesona dengan bantuan Nick. Maaf saja, alasan ini sangat tidak kuat buat. Cuma untuk komedi, karena adegan itu terlihat kocak? Maaf juga, adegan itu tidak lucu dan tidak juga kocak. Adegan itu lebih tepat disebut konyol (dalam artian negatif) ketimbang kocak.
Lalu adegan Beth memunguti lima koin di fountain of love. Apa alasan Beth? Beth ngamuk-ngamuk dengan Venus (asumsi patung dewi cinta dalam mitologi Romawi yang dipajang di fountain of love), lantas mencuri lima koin di fountain of love untuk menunjukkan kekesalannya? Kekanak-kanakan untuk ukuran seorang wanita karir TOP, kan? Yah, saya tidak bisa terlalu menyalahkan ke-silly-an adegan ini karena adegan ini lah plot device cerita film ini. Can't helped it!
Sudah bisa ditebak bagaimana alur selanjutnya bakal bergulir. Bahkan tidak perlu jadi jenius untuk menebak bagaimana akhir cerita ini. Yap, tipikal romance comedy sekali. Tapi bukan ke-klise-annya yang jadi masalah. Keklisean romance comedy bukanlah masalah besar sebenarnya, asalkan disajikan dengan sangat baik. Masalah cerita ini ada pada alur ceritanya (atau skenarionya, kalau saya benar-benar mau mencari dalang).
Semua yang disajikan selanjutnya berupa adegan-adegan slapstick kejar-kejaran Beth dengan fans-fansnya. Nyaris semua adegan-adegan ini slapstick. Dan itu masalahnya. Menampilkan adegan slapstick sama berisikonya dengan menampilkan adegan sensual/seksual, kedua-duanya butuh alasan yang tepat untuk ditampilkan. Sembarangan menampilkan adegan sensual/seksual tanpa tujuan yang kuat tentunya akan menimbulkan kesan bahwa film tersebut hanya sekedar pamer birahi saja. Dan nilai minus pun pasti akan melayang. Hal seperti ini bisa dilhat di mayoritas film-film horror (sempak) lokal sekarang. Begitu pula dengan adegan-adegan slapstick, sembarangan menampilkannya tentu akan merusak logika. Dan itu lah yang dihadirkan di film ini, slapstick tanpa alasan yang kuat kenapa adegan itu dihadirkan (selain sekedar untuk kocak-kocakan yang tidak lucu).
Menabrak kereta kuda. Jatuh ke lubang jalan. Oh come on! Lucu kah? Melukis pose telanjang Beth dengan ukuran raksasa di dinding bangunan? Tidakkah menganggu kenyamanan publik? Tidak ditangkap oleh pihak berwewenang? Restoran gelap? Adakah? Masuk akal kah? Bagian terburuknya, film ini malah terlalu terlena menyajikan adegan-adegan konyol yang sangat tidak penting ketimbang membangun chemistry antara kedua pasangannya. Padahal chemistry jelas sekali sangat diperlukan untuk mendukung romance-nya. Kristen Bell dan Josh Duhamel terlihat melakukan usaha keras untuk mebangun chemistry di antara mereka, sayangnya memang skenario film ini tidak mendukung untuk terbangun. Apa boleh buat. Satu bintang melayang. Yah, seperti yang saya bilang sebelumnya, film ini benar-benar menantang logika!
Sutradara: Mark Steven Johnson
Pemain: Kristen Bell, Josh Duhamel, Will Arnett, Jon Heder, Dax Shepard, Danny DeVito, Anjelica Huston
Tahun Rilis: 2010
APAKAH saya salah bila menuntut sedikit “logika” dalam genre romantic comed? Yah, “When in Rome,” sejauh yang saya tahu memang bergenre romantic comedy, bukan slapstick. Dan sejauh yang saya tahu, film-film bergenre romantic comedy juga butuh “logika.”
“When in Rome” menyuguhkan sebuah cerita magical petualangan Beth (Kristen Bell), seorang kurator sebuah museum seni yang sangat mendambakan sebuah percintaan tapi belum menemukan orang yang tepat. Beth terbang ke Roma (Italia) untuk menghardiri pernikahan adiknya, Joan (Alexis Dziena). Beth berjumpa dengan Nicholas, atau singkatnya Nick (Josh Duhmel), yang merupakan kakak dari mempelai pria. Nick dan Beth hampir jatuh cinta sampai tiba-tiba Beth mendapati Nick mencium seorang gadis cantik bergaun merah di sisi fountain of love (air mancur cinta).
Ada sebuah mitos tentang fountain of love ini, orang-orang melempar koin ke air mancur itu demi mendapatkan cinta sejati. Mitosnya tidak sampai di situ, bila ada seseorang yang memungut koin dalam air mancur itu, maka sang pemilik koin akan jatuh cinta padanya. Mitos ini mungkin (atau sekitar 90%) terinspirasi oleh Air Mancur Trevi di Roma, Italia, yang juga bermitos. Bedanya, orang yang melempar koin ke Air Mancur Trevi konon bakal balik lagi ke Roma suatu hari nanti (bukannya mendapatkan cinta sejati). Saya tidak tahu apakah mitos itu benar atau tidak, yang pasti koin-koin dengan total sekitar 3000 euro dilempar ke Air Mancur Trevi setiap harinya.
Kembali ke “When in Rome,” Beth kecewa. Beth merasa takdir memainkannya. Beth ngamuk-ngamuk di fountain of love. Beth mengambil lima koin dari fountain of love; sebuah koin trik sulap, sebuah koin langka, koin Euro, koin se-penny, dan sebuah koin poker (well, yang satu ini tidak benar-benar koin). Beth pun terkena efek magis air terjun itu. Empat orang pria (seorang model narsis yang hobi pamer bodi (Dax Shepard), seorang pengusaha sosis berbadan pendek (Danny DeVito), seorang pesulap jalanan (Jon Heder), dan seorang pelukis yang berasal dari pedesaan Italia (Will Arnett)) mengejar-ngejar Beth bahkan sampai ke Amerika. Hey, koin yang dipungut Beth ada lima, kan? Yap, koin terakhir bakal mengandung spoiler kalau dibicarakan, bahkan mungkin sudah bisa ditebak oleh sebagian penonton.
Satu komentar tentang petulangan Beth: Menantang logika!
Dari awal saja penonton sudah disuguhi adegan yang menantang logika. Mungkinkan sebuah guci keramik tidak bakal pecah setelah dihempaskan berkali-kali ke lantai, menabrak tumpukan gelas, dan di pukul-pukul dengan mic stand? Silahkan praktekkan di rumah, perhatikan dengan seksama, apakah guci keramik tidak akan pecah bila dihempas-hempaskan ke lantai? Saya, sebagai penonton, bisa saja memaafkan adegan yang melecehkan logika ini andai saja adegan ini punya alasan kuat untuk ditayangkan. Apa alasannya? Untuk menegaskan takdir cinta Beth? Atau untuk membuat Nick membantu Beth agak Beth merasa terpesona dengan bantuan Nick. Maaf saja, alasan ini sangat tidak kuat buat. Cuma untuk komedi, karena adegan itu terlihat kocak? Maaf juga, adegan itu tidak lucu dan tidak juga kocak. Adegan itu lebih tepat disebut konyol (dalam artian negatif) ketimbang kocak.
Lalu adegan Beth memunguti lima koin di fountain of love. Apa alasan Beth? Beth ngamuk-ngamuk dengan Venus (asumsi patung dewi cinta dalam mitologi Romawi yang dipajang di fountain of love), lantas mencuri lima koin di fountain of love untuk menunjukkan kekesalannya? Kekanak-kanakan untuk ukuran seorang wanita karir TOP, kan? Yah, saya tidak bisa terlalu menyalahkan ke-silly-an adegan ini karena adegan ini lah plot device cerita film ini. Can't helped it!
Sudah bisa ditebak bagaimana alur selanjutnya bakal bergulir. Bahkan tidak perlu jadi jenius untuk menebak bagaimana akhir cerita ini. Yap, tipikal romance comedy sekali. Tapi bukan ke-klise-annya yang jadi masalah. Keklisean romance comedy bukanlah masalah besar sebenarnya, asalkan disajikan dengan sangat baik. Masalah cerita ini ada pada alur ceritanya (atau skenarionya, kalau saya benar-benar mau mencari dalang).
Semua yang disajikan selanjutnya berupa adegan-adegan slapstick kejar-kejaran Beth dengan fans-fansnya. Nyaris semua adegan-adegan ini slapstick. Dan itu masalahnya. Menampilkan adegan slapstick sama berisikonya dengan menampilkan adegan sensual/seksual, kedua-duanya butuh alasan yang tepat untuk ditampilkan. Sembarangan menampilkan adegan sensual/seksual tanpa tujuan yang kuat tentunya akan menimbulkan kesan bahwa film tersebut hanya sekedar pamer birahi saja. Dan nilai minus pun pasti akan melayang. Hal seperti ini bisa dilhat di mayoritas film-film horror (sempak) lokal sekarang. Begitu pula dengan adegan-adegan slapstick, sembarangan menampilkannya tentu akan merusak logika. Dan itu lah yang dihadirkan di film ini, slapstick tanpa alasan yang kuat kenapa adegan itu dihadirkan (selain sekedar untuk kocak-kocakan yang tidak lucu).
Menabrak kereta kuda. Jatuh ke lubang jalan. Oh come on! Lucu kah? Melukis pose telanjang Beth dengan ukuran raksasa di dinding bangunan? Tidakkah menganggu kenyamanan publik? Tidak ditangkap oleh pihak berwewenang? Restoran gelap? Adakah? Masuk akal kah? Bagian terburuknya, film ini malah terlalu terlena menyajikan adegan-adegan konyol yang sangat tidak penting ketimbang membangun chemistry antara kedua pasangannya. Padahal chemistry jelas sekali sangat diperlukan untuk mendukung romance-nya. Kristen Bell dan Josh Duhamel terlihat melakukan usaha keras untuk mebangun chemistry di antara mereka, sayangnya memang skenario film ini tidak mendukung untuk terbangun. Apa boleh buat. Satu bintang melayang. Yah, seperti yang saya bilang sebelumnya, film ini benar-benar menantang logika!
good
BalasHapus