Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Yôji Yamada
Pemain:Hiroyuki Sanada, Rie Miyazawa, Nenji Kobayashi, Ren Osugi, Mitsuru Fukikoshi, Hiroshi Kanbe, Miki Itô, Erina Hashiguchi, Reiko Kusamura, Min Tanaka, Keiko Kishi, Tetsuro Tamba
Tahun Rilis: 2002
Judul Internasional: The Twilight Samurai
Seibei Iguchi (Hiroyuki Sanada), samurai kelas rendah tokoh utama film ini, hidup dengan gaji 50 koku (plus hasil membuat sangkar belalang) per bulan. Saya tidak tahu seberapa berharganya 50 koku di zaman itu, tapi dengan melihat film bisa saya bayangkan, menghidupi dua orang anak ditambah satu ibu yang sudah pikun dengan 50 koku per bulan, kurang lebih rasanya sama dengan jadi anak kost dengan biaya Rp. 50000 per bulan. Itulah salah satu hal yang menarik dari The Twilight Samurai.
Ketika hendak dihadapkan dengan film-film tentang samurai, biasanya yang pertama kali hadir di benak saya adalah pedang (sudah umum rasanya). Lalu adegan duel maut antar samurai sampai mati. Tipikal semacam ini bisa dijumpai di Rurouni Kenshin. Atau game Samurai Warriors ciptaan KOEI. Tapi sesuatu di luar ekspektasi itu saya dapatkan dari The Twilight Samurai. Ya, jelas ada adegan tempur pedang antar samurai di film ini – ada dua adegan malah. Tapi The Twilight Samurai bukan sekedar tentang bagaimana samurai menghunus pedang lalu menebas musuhnya satu per satu. The Twilight Samurai menceritakan sisi-sisi kehidupan samurai yang lebih mendasar; keluarga, cinta, pekerjaan, kemiskinan, dan bagaimana sang samurai menanamkan idealismenya ke sisi-sisi kehidupan tersebut.
Kita dihadapkan pada tokoh Seibei Iguchi (yang namanya sudah saya sebut di atas), samurai miskin yang hidup di bawah aturan klannya hanya dengan penghasilan 50 koku sebulan untuk menghidupi dua anak perempuan dan ibunya yang sudah pikun-pikunan. Istri Seibei sudah meninggal karena TBC, jadi Seibei lah yang harus mengurusi semua keperluan rumah tangga keluarganya. Seibei bekerja di gudang makanan klan. Senja hari, seusai kerja, Seibei selalu langsung bergegas pulang untuk mengurusi kelurganya di rumah. Karena itu teman-teman kerjanya menjulikinya Tasogare Seibei atau Twilight Seibei (Indonesia: Seibei Senja).
Saking sibuknya Seibei bekerja untuk menafkahi keluarga ditambah mengurusi keperluan-keperluan rumah tangga, Seibei jadi tak terurus. Kimononya sobek-sobekkan. Seibei pun jadi jarang mandi. Hasilnya, bau badannya busuk tak terkira. Suatu hari, ketua klan menghampiri gudang makanan. Beliau mendapati bau busuk tubuh Seibei. Berita ini tersebar dan langsung menjadi aib bukan hanya bagi Seibei, tapi juga nama keluarga Seibei. Sampai-sampai, paman Seibei datang untuk mengusulkan pernikahan bagi Seibei. Seibei menolak dengan sopan.
Lalu muncul Tomoe (Rie Miyazawa), wanita cantik yang merupakan teman Seibei sejak kecil. Tomoe baru saja bercerai dengan suminya, seorang samurai yang kaya raya tapi pemabuk dan ringan tangan. Berkali-kali Tomoe mengunjungi kediaman Seibei, membantu merapikan rumah Seibei, hingga bermain dengan anak-anak Seibei. Anak-anaknya menyukai Tomoe. Seibei pun, bisa ditangkap, sebenarnya suka dengan Tomoe, sayangnya Seibei terlalu merasa rendah diri untuk menikahi Tomoe.
Ada satu adegan di mana Seibei ditantang duel oleh mantan suami Tomoe. Seibei mau tidak mau harus menerima tantangan duel tersebut Seibei menerima tantangan duel tersebut – untuk membebaskan Tomoe dari kekangan sang mantan suami. Di sisi lain, klan melarang keras duel antar anggota, yang artinya siapapun yang menang pun akan mati. Sebagai solusinya, Seibei memutuskan untuk menghadapi mantan suami Tomoe dengan tongkat bambu – sementara musuhnya menggunakan katana. Dari sini terlihat bahwa Seibei tidak hanya rendah diri dan bersahaja, tapi juga berakal dan mampu menalaah situasi.
Film ini sendiri diceritakan dari narasi putri sulung Seibei yang sudah tua (Erina Hashiguchi). Yôji Yamada, sang sutradara, menceritakan keidupan Seibei dengan sinematografi dan soundtrack yang terasa hening dan kaku. Cara yang digunakan Yôji Yamada itu nyatanya berhasil membangun feel memoar di sepanjang film.
Dari segi set artistiknya, The Twilight Samurai termasuk menampilkan dekorasi menarik. Pembangunan ulang latar desa feodal lengkap dengan arsitekturnya, adat dan budayanya, bahkan suasananya, benar-benar mampu memanjakan mata. Set artistiknya mempertegas kesan bagaimana usangnya kehidupan Seibei sebagai samurai.
Masuk ke cerita. Lebih dari setengah durasi film penonton dipertontonkan kehidupan sehari-hari Seibei. Sisa durasinya dipakai untuk adegan klimaks yang menuntut Seibei untuk mengambil keputusan berat yang menyangkut hidupnya dan keluarganya. Ini menariknya The Twilight Samurai. Setengah durasi awal film, penonton tidak hanya menyimak tentang bagaimana seorang Seibei hidup sehari-harinya, tapi juga dibuat menelaah idealisme Seibei dan bagaimana Seibei mengaplikasikan idealismenya dalam kehidupan. Hal ini ternyata tidak dipertontonkan untuk studi karakter semata. Sisa durasi film digunakan dengan tepat oleh Yôji Yamada untuk plot tentang bagaimana idealisme Seibei dipertaruhkan untuk sebuah keputusan besar yang menyangkut hidupnya dan keluarganya. Dan ketika film berakhir, cerita berakhir sebagai sebuah memoar.
Sutradara: Yôji Yamada
Pemain:Hiroyuki Sanada, Rie Miyazawa, Nenji Kobayashi, Ren Osugi, Mitsuru Fukikoshi, Hiroshi Kanbe, Miki Itô, Erina Hashiguchi, Reiko Kusamura, Min Tanaka, Keiko Kishi, Tetsuro Tamba
Tahun Rilis: 2002
Judul Internasional: The Twilight Samurai
Seibei Iguchi (Hiroyuki Sanada), samurai kelas rendah tokoh utama film ini, hidup dengan gaji 50 koku (plus hasil membuat sangkar belalang) per bulan. Saya tidak tahu seberapa berharganya 50 koku di zaman itu, tapi dengan melihat film bisa saya bayangkan, menghidupi dua orang anak ditambah satu ibu yang sudah pikun dengan 50 koku per bulan, kurang lebih rasanya sama dengan jadi anak kost dengan biaya Rp. 50000 per bulan. Itulah salah satu hal yang menarik dari The Twilight Samurai.
Ketika hendak dihadapkan dengan film-film tentang samurai, biasanya yang pertama kali hadir di benak saya adalah pedang (sudah umum rasanya). Lalu adegan duel maut antar samurai sampai mati. Tipikal semacam ini bisa dijumpai di Rurouni Kenshin. Atau game Samurai Warriors ciptaan KOEI. Tapi sesuatu di luar ekspektasi itu saya dapatkan dari The Twilight Samurai. Ya, jelas ada adegan tempur pedang antar samurai di film ini – ada dua adegan malah. Tapi The Twilight Samurai bukan sekedar tentang bagaimana samurai menghunus pedang lalu menebas musuhnya satu per satu. The Twilight Samurai menceritakan sisi-sisi kehidupan samurai yang lebih mendasar; keluarga, cinta, pekerjaan, kemiskinan, dan bagaimana sang samurai menanamkan idealismenya ke sisi-sisi kehidupan tersebut.
Kita dihadapkan pada tokoh Seibei Iguchi (yang namanya sudah saya sebut di atas), samurai miskin yang hidup di bawah aturan klannya hanya dengan penghasilan 50 koku sebulan untuk menghidupi dua anak perempuan dan ibunya yang sudah pikun-pikunan. Istri Seibei sudah meninggal karena TBC, jadi Seibei lah yang harus mengurusi semua keperluan rumah tangga keluarganya. Seibei bekerja di gudang makanan klan. Senja hari, seusai kerja, Seibei selalu langsung bergegas pulang untuk mengurusi kelurganya di rumah. Karena itu teman-teman kerjanya menjulikinya Tasogare Seibei atau Twilight Seibei (Indonesia: Seibei Senja).
Saking sibuknya Seibei bekerja untuk menafkahi keluarga ditambah mengurusi keperluan-keperluan rumah tangga, Seibei jadi tak terurus. Kimononya sobek-sobekkan. Seibei pun jadi jarang mandi. Hasilnya, bau badannya busuk tak terkira. Suatu hari, ketua klan menghampiri gudang makanan. Beliau mendapati bau busuk tubuh Seibei. Berita ini tersebar dan langsung menjadi aib bukan hanya bagi Seibei, tapi juga nama keluarga Seibei. Sampai-sampai, paman Seibei datang untuk mengusulkan pernikahan bagi Seibei. Seibei menolak dengan sopan.
Lalu muncul Tomoe (Rie Miyazawa), wanita cantik yang merupakan teman Seibei sejak kecil. Tomoe baru saja bercerai dengan suminya, seorang samurai yang kaya raya tapi pemabuk dan ringan tangan. Berkali-kali Tomoe mengunjungi kediaman Seibei, membantu merapikan rumah Seibei, hingga bermain dengan anak-anak Seibei. Anak-anaknya menyukai Tomoe. Seibei pun, bisa ditangkap, sebenarnya suka dengan Tomoe, sayangnya Seibei terlalu merasa rendah diri untuk menikahi Tomoe.
Ada satu adegan di mana Seibei ditantang duel oleh mantan suami Tomoe. Seibei mau tidak mau harus menerima tantangan duel tersebut Seibei menerima tantangan duel tersebut – untuk membebaskan Tomoe dari kekangan sang mantan suami. Di sisi lain, klan melarang keras duel antar anggota, yang artinya siapapun yang menang pun akan mati. Sebagai solusinya, Seibei memutuskan untuk menghadapi mantan suami Tomoe dengan tongkat bambu – sementara musuhnya menggunakan katana. Dari sini terlihat bahwa Seibei tidak hanya rendah diri dan bersahaja, tapi juga berakal dan mampu menalaah situasi.
Film ini sendiri diceritakan dari narasi putri sulung Seibei yang sudah tua (Erina Hashiguchi). Yôji Yamada, sang sutradara, menceritakan keidupan Seibei dengan sinematografi dan soundtrack yang terasa hening dan kaku. Cara yang digunakan Yôji Yamada itu nyatanya berhasil membangun feel memoar di sepanjang film.
Dari segi set artistiknya, The Twilight Samurai termasuk menampilkan dekorasi menarik. Pembangunan ulang latar desa feodal lengkap dengan arsitekturnya, adat dan budayanya, bahkan suasananya, benar-benar mampu memanjakan mata. Set artistiknya mempertegas kesan bagaimana usangnya kehidupan Seibei sebagai samurai.
Masuk ke cerita. Lebih dari setengah durasi film penonton dipertontonkan kehidupan sehari-hari Seibei. Sisa durasinya dipakai untuk adegan klimaks yang menuntut Seibei untuk mengambil keputusan berat yang menyangkut hidupnya dan keluarganya. Ini menariknya The Twilight Samurai. Setengah durasi awal film, penonton tidak hanya menyimak tentang bagaimana seorang Seibei hidup sehari-harinya, tapi juga dibuat menelaah idealisme Seibei dan bagaimana Seibei mengaplikasikan idealismenya dalam kehidupan. Hal ini ternyata tidak dipertontonkan untuk studi karakter semata. Sisa durasi film digunakan dengan tepat oleh Yôji Yamada untuk plot tentang bagaimana idealisme Seibei dipertaruhkan untuk sebuah keputusan besar yang menyangkut hidupnya dan keluarganya. Dan ketika film berakhir, cerita berakhir sebagai sebuah memoar.
salah satu film favorit saya, sanggup mengaduk - aduk emosi. padahal saya biasanya tidak suka film Samurai. endingnya bikin nyesek =(
BalasHapus