Oleh: Rio Johan (Rijon)Sutradara: Andy Tennant
Pemain: Drew Barrymore, Anjelica Huston, Dougray Scott, Megan Dodds, Melanie Lynskey
Pemain: Drew Barrymore, Anjelica Huston, Dougray Scott, Megan Dodds, Melanie Lynskey
Tahun Rilis: 1998
Dibuka dengan adegan seorang wanita tua sedang berbincang-bincang dengan The Brothers Grimm, menawarkan cerita sebenarnya dari “the little cinder girl” (karya Grimm Brothers) yang menurutnya merupakan kisah nyata. Lukisan asli “the little cinder girl,” yang pada kenyataannya adalah lukisan-daur-ulang dari La Scapigliata karya Leonardo Da Vinci. Pembukaan tersebut mengidentifikasikan dua hal: (1) Ever After adalah sebuah historical fiction, dan (2) Ever After merupakan versi rombakkan dari Cinderella.
Danielle de Barbarac (Drew Barrymore), si Cinderella yang sebenarnya menurut film ini, cuma hidup dengan bapaknya, sampai bapaknya menikahi Baroness Rodmilla de Ghent (Anjelica Huston). Ayahnya kemudian meninggal, dan hidup Danielle dibuat kacau oleh ibu tiri dan saudari tirinya, Marguerite (Megan Dodds), yang sama jahatnya. Bedanya dengan Cinderella asli, ada satu saudari tiri yang simpatik di sini, Jacqueline (Melanie Lynskey).
Dua perbedaan yang benar-benar signifikan antara Ever After dan Cinderella antara lain: (1) Porsi pangeran yang lebih besar, dan (2) Peri (fairy godmother) yang benar-benar dihilangkan dari cerita. Walaupun tidak memiliki peri, tentu Danielle masih punya pelayan-pelayan yang setia dan sayang padanya. Dan untuk urusan pangeran, berbeda dengan Cinderella di mana sang pangeran hanya diperkenalkan pada penonton sebagai “pangeran,” pangeran di Ever After bahkan mempunya identitas: Pangeran Henry II (Dougray Scott) dari Perancis. Oh, apa saya lupa menyebut bahwa setting film ini adalah Perancis abad ke-16? Itulah kenapa film ini disebut historical fiction, karena pada kenyataannya Pangeran Henry II menikah dengan Catherine de' Medici, bukan wanita bernama Daniella. Plus, ada Leonardo da Vinci juga di sini.
Salah satu yang saya suka dari Ever After adalah penggambaran ibu tiri yang ternyata tidak 100% jahat. Setidaknya masih ada 1-2% kebaikan dari si ibu tiri untuk Daniella, terlihat di adegan keduanya berbincang-bincang ketika Daniella menyisir rambut ibu tirinya. Saya suka dengan jawaban yang keluar dari mulut ibu tiri ketika Daniella bertanya, “Did you love my father?” Adegan tersebut memberikan kesan manusia yang cukup riil untuk sebuah film yang suasananya murni dongeng.
Untuk itu kredit tertinggi saya berikan pada Anjelica Huston yang mempu memporsi tokoh antipatinya dengan sangat baik sehingga film ini jadi menyenangkan. Lalu pada Drew Barrymore yang tidak hanya tampil cantik dari segi luar. Dan terakhir untuk Dougray Scott yang mampu memerankan tokoh kompleks, baik historikal ataupun fiksional.
Yang mungkin terasa hilang di Ever After adalah unsur magical-nya, tapi film ini tetap menghadirkan sepatu kaca Cinderella. Hanya saja sepatu kaca di sini berperan lebih kecil ketimbang di cerita aslinya. Kalau di cerita aslinya sepatu kaca adalah benda yang digunakan pangeran untuk mencari/menemukan pasangannya, di sini sepatu kaca hanya berperan sebagai simbolik Cinderelaesque, karena memang dari awal cerita Pangeran Henry dan Danielle sudah sering bertemu satu sama lain.
Danielle de Barbarac (Drew Barrymore), si Cinderella yang sebenarnya menurut film ini, cuma hidup dengan bapaknya, sampai bapaknya menikahi Baroness Rodmilla de Ghent (Anjelica Huston). Ayahnya kemudian meninggal, dan hidup Danielle dibuat kacau oleh ibu tiri dan saudari tirinya, Marguerite (Megan Dodds), yang sama jahatnya. Bedanya dengan Cinderella asli, ada satu saudari tiri yang simpatik di sini, Jacqueline (Melanie Lynskey).
Dua perbedaan yang benar-benar signifikan antara Ever After dan Cinderella antara lain: (1) Porsi pangeran yang lebih besar, dan (2) Peri (fairy godmother) yang benar-benar dihilangkan dari cerita. Walaupun tidak memiliki peri, tentu Danielle masih punya pelayan-pelayan yang setia dan sayang padanya. Dan untuk urusan pangeran, berbeda dengan Cinderella di mana sang pangeran hanya diperkenalkan pada penonton sebagai “pangeran,” pangeran di Ever After bahkan mempunya identitas: Pangeran Henry II (Dougray Scott) dari Perancis. Oh, apa saya lupa menyebut bahwa setting film ini adalah Perancis abad ke-16? Itulah kenapa film ini disebut historical fiction, karena pada kenyataannya Pangeran Henry II menikah dengan Catherine de' Medici, bukan wanita bernama Daniella. Plus, ada Leonardo da Vinci juga di sini.
Salah satu yang saya suka dari Ever After adalah penggambaran ibu tiri yang ternyata tidak 100% jahat. Setidaknya masih ada 1-2% kebaikan dari si ibu tiri untuk Daniella, terlihat di adegan keduanya berbincang-bincang ketika Daniella menyisir rambut ibu tirinya. Saya suka dengan jawaban yang keluar dari mulut ibu tiri ketika Daniella bertanya, “Did you love my father?” Adegan tersebut memberikan kesan manusia yang cukup riil untuk sebuah film yang suasananya murni dongeng.
Untuk itu kredit tertinggi saya berikan pada Anjelica Huston yang mempu memporsi tokoh antipatinya dengan sangat baik sehingga film ini jadi menyenangkan. Lalu pada Drew Barrymore yang tidak hanya tampil cantik dari segi luar. Dan terakhir untuk Dougray Scott yang mampu memerankan tokoh kompleks, baik historikal ataupun fiksional.
Yang mungkin terasa hilang di Ever After adalah unsur magical-nya, tapi film ini tetap menghadirkan sepatu kaca Cinderella. Hanya saja sepatu kaca di sini berperan lebih kecil ketimbang di cerita aslinya. Kalau di cerita aslinya sepatu kaca adalah benda yang digunakan pangeran untuk mencari/menemukan pasangannya, di sini sepatu kaca hanya berperan sebagai simbolik Cinderelaesque, karena memang dari awal cerita Pangeran Henry dan Danielle sudah sering bertemu satu sama lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar