Oleh: Rio Johan (Rijon)Sutradara: Éric Rohmer
Pemain: Barbet Schroeder, Bertrand Tavernier, Claudine Soubrier, Michèle Girardon, Fred Junk, Michel Mardore
Tahun Rilis: 1963
Judul Internasional: The Bakery Girl of Monceau atau The Girl at Monceau Bakery
Film ini merupakan film pertama dari Contes moraux (Six Moral Tales) karya Éric Rohmer.
Contes moraux kalau diartikan secara harfiah kurang lebih menjadi “Cerita-cerita moral.” Dan La Boulangère de Monceau, yang berdurasi sekitar 23 menit, adalah film pertama dari Six Moral Tales tersebut. Untuk gampangya, keenam film ini bisa saja disebut sebuah heksalogi. Tapi heksalogi Six Moral Tales tidak seperti “logi-logi” pada umumnya di mana antara film yang satu dengan film lainnya mempunyai kesinambugan cerita, enam film karya Éric Rohmer malah memiliki cerita yang berdiri sendiri-sendiri. Namun, bukan berarti keenam film yang tergabung dalam Six Moral Tales ini tidak memiliki benang merah sama sekali. Yang jelas paling kelihatan adalah konsep ceritanya yang berupa boy meets girl. Dan secara umum, cerita-cerita dalam Six Moral Tales adalah tentang seorang laki-laki yang jatuh cinta pada seorang perempuan tapi kemudian tergoda pada perempuan yang lainnya lagi. Benang merah yang nyata lagi adalah fakta bahwa keenam film tersebut terinspirasi dari Sunrise (1927), sebuah film bisu karya F. W. Murnau (Janet Gaynor dinobatkan sebagai wanita pertama yang meraup penghargaan Best Actress Oscar di film ini).
Salah satu yang menonjol dari La Boulangère de Monceau adalah struktur narasinya. Film dibuka dengan narasi voice over seorang pemuda (Barbet Schroeder) yang menceritakan satu sudut di Paris tempat dia selalu berpapasan dengan Sylvie (Michèle Girardon), wanita yang diidam-idamkan pemuda tersebut tapi hanya bertukar pandang setiap kali berpapasan. Suatu hari pemuda tersebut mendapat satu kesempatan untuk berbincang-bincang dengan Sylvie, sayangnya hari-hari selanjutnya Sylvie tidak pernah menampakkan diri lagi. Si pemuda yang terus-terusan mencari Sylvie hari mampir di sebuah toko roti. Mulanya hanya membeli cookies, hingga semakin hari si pemuda sadar gadis penjaga toko roti tersebut, Jacqueline (Claudine Soubrier), tertarik padanya (dari tingkahnya).
Ada beberapa poin yang menarik (setidaknya bagi saya) dari narasi di film ini:
Pertama, narasi di film ini memberikan kesan seolah-olah tokoh utama sedang menceritakan kisahnya (yang sudah berlalu) di balik layar. Hal ini didukung oleh kata Sylvie (nama si gadis) yang disebutkan di narasi, yang artiinya si pemuda sudah tahu nama gadis tersebut ketika bercerita di balik layar (bernarasi).
Kedua, narasi di film ini memberi kesan si tokoh utama sedang menganalisa kejadian yang sedang diceritakannya tersebut, baik itu perilakunya, situasi, hingga perasaannya. Pada narasi ini misalnya, kalimat yang paling saya suka sepanjang 23 menit film ini (diterjemahkan bebas dari bahasa Perancis):
“It didn't take long to see the pretty bakery girl liked me. Call it vanity if you will, but the fact that a girl liked me seemed natural. And since she wasn't really my type, and Sylvie alone, so superior, held my thoughts -- Yes, it was because I was thinking of Sylvie that I accepted the advances, which is what they were, of the bakery girl in a much better spirit that if I had not loved another.”
Lalu sekitar menit ke-15 setelah narasi ini si pemuda pun merayu Jacqueline. Ada kontradiksi antara apa yang diucapkan (dinarasikan) si pemuda dengan apa yang dia lakukan di adegan ini. Alasan mengambil keuntungan bisa dijadikan dalih atas kontradiksi tersebut, tapi coba perhatikan narasi di sekitar menit ke-18:
“There. I had what I wanted. But things took a serious turn I hadn't counted on. This girl lacked the easygoing quality that would have eased my conscience. What had I gotten myself into?”
Bisa dilihat si pemuda sudah mulai tertarik dengan Jacqueline, walaupun dia tetap menyangkal dengan menggunakan sikap kaku Jacqueline sebagai tameng. Pada klimaksnya, Sylvie muncul lagi, dan si pemuda diharuskan untuk memilih antara Sylvie dan Jacqueline.
“That minute turned into 15, giving me ample opportunity to reflect on my rashness. I could have put Sylvie off a day and kept my date with my bakery girl. But my choice had been, above all, a moral one. Having found Sylvie again, seeing the bakery girl would be a vice, an aberration. One represented truth and the other a mistake, or so I told myself at the time.”
Narasi itu menyatakan dilema si pemuda. Terlihat si pemuda sadar betul dengan situasinya. Dan terlihat juga si pemuda merasakan rasa bersalah dari kalimat “One represented truth and the other a mistake, or so I told myself at the time.” Saya rasa itu lah alasan kenapa film ini termasuk dalam Six Moral Tales.
Pemain: Barbet Schroeder, Bertrand Tavernier, Claudine Soubrier, Michèle Girardon, Fred Junk, Michel Mardore
Tahun Rilis: 1963
Judul Internasional: The Bakery Girl of Monceau atau The Girl at Monceau Bakery
Film ini merupakan film pertama dari Contes moraux (Six Moral Tales) karya Éric Rohmer.
Contes moraux kalau diartikan secara harfiah kurang lebih menjadi “Cerita-cerita moral.” Dan La Boulangère de Monceau, yang berdurasi sekitar 23 menit, adalah film pertama dari Six Moral Tales tersebut. Untuk gampangya, keenam film ini bisa saja disebut sebuah heksalogi. Tapi heksalogi Six Moral Tales tidak seperti “logi-logi” pada umumnya di mana antara film yang satu dengan film lainnya mempunyai kesinambugan cerita, enam film karya Éric Rohmer malah memiliki cerita yang berdiri sendiri-sendiri. Namun, bukan berarti keenam film yang tergabung dalam Six Moral Tales ini tidak memiliki benang merah sama sekali. Yang jelas paling kelihatan adalah konsep ceritanya yang berupa boy meets girl. Dan secara umum, cerita-cerita dalam Six Moral Tales adalah tentang seorang laki-laki yang jatuh cinta pada seorang perempuan tapi kemudian tergoda pada perempuan yang lainnya lagi. Benang merah yang nyata lagi adalah fakta bahwa keenam film tersebut terinspirasi dari Sunrise (1927), sebuah film bisu karya F. W. Murnau (Janet Gaynor dinobatkan sebagai wanita pertama yang meraup penghargaan Best Actress Oscar di film ini).
Salah satu yang menonjol dari La Boulangère de Monceau adalah struktur narasinya. Film dibuka dengan narasi voice over seorang pemuda (Barbet Schroeder) yang menceritakan satu sudut di Paris tempat dia selalu berpapasan dengan Sylvie (Michèle Girardon), wanita yang diidam-idamkan pemuda tersebut tapi hanya bertukar pandang setiap kali berpapasan. Suatu hari pemuda tersebut mendapat satu kesempatan untuk berbincang-bincang dengan Sylvie, sayangnya hari-hari selanjutnya Sylvie tidak pernah menampakkan diri lagi. Si pemuda yang terus-terusan mencari Sylvie hari mampir di sebuah toko roti. Mulanya hanya membeli cookies, hingga semakin hari si pemuda sadar gadis penjaga toko roti tersebut, Jacqueline (Claudine Soubrier), tertarik padanya (dari tingkahnya).
Ada beberapa poin yang menarik (setidaknya bagi saya) dari narasi di film ini:
Pertama, narasi di film ini memberikan kesan seolah-olah tokoh utama sedang menceritakan kisahnya (yang sudah berlalu) di balik layar. Hal ini didukung oleh kata Sylvie (nama si gadis) yang disebutkan di narasi, yang artiinya si pemuda sudah tahu nama gadis tersebut ketika bercerita di balik layar (bernarasi).
Kedua, narasi di film ini memberi kesan si tokoh utama sedang menganalisa kejadian yang sedang diceritakannya tersebut, baik itu perilakunya, situasi, hingga perasaannya. Pada narasi ini misalnya, kalimat yang paling saya suka sepanjang 23 menit film ini (diterjemahkan bebas dari bahasa Perancis):
“It didn't take long to see the pretty bakery girl liked me. Call it vanity if you will, but the fact that a girl liked me seemed natural. And since she wasn't really my type, and Sylvie alone, so superior, held my thoughts -- Yes, it was because I was thinking of Sylvie that I accepted the advances, which is what they were, of the bakery girl in a much better spirit that if I had not loved another.”
Lalu sekitar menit ke-15 setelah narasi ini si pemuda pun merayu Jacqueline. Ada kontradiksi antara apa yang diucapkan (dinarasikan) si pemuda dengan apa yang dia lakukan di adegan ini. Alasan mengambil keuntungan bisa dijadikan dalih atas kontradiksi tersebut, tapi coba perhatikan narasi di sekitar menit ke-18:
“There. I had what I wanted. But things took a serious turn I hadn't counted on. This girl lacked the easygoing quality that would have eased my conscience. What had I gotten myself into?”
Bisa dilihat si pemuda sudah mulai tertarik dengan Jacqueline, walaupun dia tetap menyangkal dengan menggunakan sikap kaku Jacqueline sebagai tameng. Pada klimaksnya, Sylvie muncul lagi, dan si pemuda diharuskan untuk memilih antara Sylvie dan Jacqueline.
“That minute turned into 15, giving me ample opportunity to reflect on my rashness. I could have put Sylvie off a day and kept my date with my bakery girl. But my choice had been, above all, a moral one. Having found Sylvie again, seeing the bakery girl would be a vice, an aberration. One represented truth and the other a mistake, or so I told myself at the time.”
Narasi itu menyatakan dilema si pemuda. Terlihat si pemuda sadar betul dengan situasinya. Dan terlihat juga si pemuda merasakan rasa bersalah dari kalimat “One represented truth and the other a mistake, or so I told myself at the time.” Saya rasa itu lah alasan kenapa film ini termasuk dalam Six Moral Tales.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar