Oleh: Rio Johan (Rijon)Sutradara: Lucky Kuswandi
Pemain: Amink, Marcell Siahaan, Sarah Sechan, Shanty, Titi DJ, Ria Irawan, Vincent Rompies, Joko Anwar, Fitri Tropica
Tahun Rilis: 2010
Pemain: Amink, Marcell Siahaan, Sarah Sechan, Shanty, Titi DJ, Ria Irawan, Vincent Rompies, Joko Anwar, Fitri Tropica
Tahun Rilis: 2010
Indonesia memproduksi sebuah film superhero-comedy (atau bisa juga disebut action-comedy)? Mulanya saya tidak memiliki sedikitpun ketertarikan dengan proyek ini. Alasannya sudah umum. Tapi mendengar nama Nia di Nata di jajaran produser–yang notabene enggan memproduksi film-film buruk, saya jadi tertarik.
Jangan samakan Madame X yang ini dengan Madame X yang dibintangi Lana Turner (1966). Seperti yang sudah dikatakan di posternya, Madame X mengambil premis film tentang superhero waria. Garis besar ceritanya kurang lebih tentang Adam (Amink), waria yang ditangkap oleh kelompok Bogem–kelompok homophobic brutal yang selalu menodongkan ancaman “Tobat atau mati?” pada tiap tawanan-tawanannya. Teman Adam (Joko Anwar) tewas, dan Adam pun dibuang, hingga akhirnya ditolong oleh pasangan pemilik sanggar Tari Lenggok, Om Rudy dan Tante Yantje–seorang transeksual (diperankan oleh Robby Tumewu dan Ria Irawan). Singkat cerita, Adam bergabung dengan grup Tari Lenggok bimbingan Om Rudy. Dan singkat cerita lagi, ternyata tarian tersebut bukan sekedar tarian biasa, tapi juga semacam seni beladiri. Om Rudy dan Tante Yantje diam-diam ternyata mempunyai sebuah proyek superhero rahasia, dan Adam dipercaya untuk mengambil posisi superhero tersebut.
Film ini norak. Film ini konyol. Memang. Tergantung bagaimana cara memandang kenorakan dan kekonyolan film ini. Apakah baik? Atau malah buruk? Sudah banyak judul-judul komedi Indonesia era new wave ini yang mentikberatkan komedinya pada kekonyolan: ada tampil sekonyol-konyolnya sampai akhirnya terlihat sangat-sangat dipaksakan; ada pula yang berusaha tampil konyol-berbobot dengan menyisipkan pesan-pesan tapi hasilnya malah merusak keseluruhan atmosfir film tersebut; dan sudah jadi rahasia umum kalau ada juga tipe komedi konyol bikinan Indonesia yang menyuguhkan kekonyolannya melalui adegan sensual, bahkan seksual, yang hasilnya malah sangat menganggu. Nyatanya saya tidak terlalu terganggu dengan kenorakan dan kekonyolan yang ada di Madame X.
Alasannya karena Madame X cukup sadar akan esensinya sebagai superhero-comedy dan cukup sadar juga dengan muatan serta atmosfirnya. Film ini mampu mempertahankan humor-humor dan adegan-adegan kocak tanpa perlu harus terlihat dipaksakan untuk lucu (tapi malah menganggu adegan itu sendiri). Selain itu, film ini juga sadar akan muatannya, di bagian-bagian emosional tertentu, film ini tidak serta merta mengubah atmosfirnya menjadi sentimentil, tapi tetap mempertahankan nuansa superhero-comedy-nya dengan cara tertentu.
Madame X juga menampilkan beragam sindiran: seputar kultur pop (Lady Gaga stuff, fashion, selebritis kawin-cerai, susuk selebritis yang bisa juga dipandang sebagai sindiran seputar obsesi kecantikan, sampai “Infotaiment derajatnya lebih rendah daripada pelacur”; seputar sosial politik (perkumpulan kaum-kaum anarkis yang berbuat seenaknya yang merupakan sindiran pada grup “you-know-who,” sindiran penipuan agen TKI/TKW, poligami, dan villain film ini sendiri merupakan sindiran bahwa para calon perwakilan rakyat bisa begitu munafiknya ketika mencalonkan diri); hingga sindiran seputar seks dan LGBT (oral seks, homophobic, cross-dresser, transgender, sampai bondage dan sadomasochism). Berita baiknya, Madame X cukup berhasil menyuguhkan sindiran-sindirannya tanpa harus menganggu menu utama film, atau tanpa perlu terkesan preachy. Malah di seringnya saya merasa bahwa sindiran-sindiran tersebut mengalir dan menjadi bagian dari komedinya sendiri.
Kalau sudah berurusan dengan film-film superhero, maka efek-efek spesial sudah jadi kewajiban. Efek-efek spesial yang dihadirkan di Madame X adalah sesuatu yang rentan, maksudnya, efek spesial di film ini bisa dipandang sebagai kelemahan utamanya, tapi bisa juga dipandang sebagai keunikannya. Tergantung persepsi yang memandang. Kalau saya lebih suka memandang efek spesial yang norak ini sebagai konsistensi terhadap atmosfirnya sendiri. Kenapa harus memaksa tampil keren kalau tidak sesuai dengan kondisinya, kan?
Jangan samakan Madame X yang ini dengan Madame X yang dibintangi Lana Turner (1966). Seperti yang sudah dikatakan di posternya, Madame X mengambil premis film tentang superhero waria. Garis besar ceritanya kurang lebih tentang Adam (Amink), waria yang ditangkap oleh kelompok Bogem–kelompok homophobic brutal yang selalu menodongkan ancaman “Tobat atau mati?” pada tiap tawanan-tawanannya. Teman Adam (Joko Anwar) tewas, dan Adam pun dibuang, hingga akhirnya ditolong oleh pasangan pemilik sanggar Tari Lenggok, Om Rudy dan Tante Yantje–seorang transeksual (diperankan oleh Robby Tumewu dan Ria Irawan). Singkat cerita, Adam bergabung dengan grup Tari Lenggok bimbingan Om Rudy. Dan singkat cerita lagi, ternyata tarian tersebut bukan sekedar tarian biasa, tapi juga semacam seni beladiri. Om Rudy dan Tante Yantje diam-diam ternyata mempunyai sebuah proyek superhero rahasia, dan Adam dipercaya untuk mengambil posisi superhero tersebut.
Film ini norak. Film ini konyol. Memang. Tergantung bagaimana cara memandang kenorakan dan kekonyolan film ini. Apakah baik? Atau malah buruk? Sudah banyak judul-judul komedi Indonesia era new wave ini yang mentikberatkan komedinya pada kekonyolan: ada tampil sekonyol-konyolnya sampai akhirnya terlihat sangat-sangat dipaksakan; ada pula yang berusaha tampil konyol-berbobot dengan menyisipkan pesan-pesan tapi hasilnya malah merusak keseluruhan atmosfir film tersebut; dan sudah jadi rahasia umum kalau ada juga tipe komedi konyol bikinan Indonesia yang menyuguhkan kekonyolannya melalui adegan sensual, bahkan seksual, yang hasilnya malah sangat menganggu. Nyatanya saya tidak terlalu terganggu dengan kenorakan dan kekonyolan yang ada di Madame X.
Alasannya karena Madame X cukup sadar akan esensinya sebagai superhero-comedy dan cukup sadar juga dengan muatan serta atmosfirnya. Film ini mampu mempertahankan humor-humor dan adegan-adegan kocak tanpa perlu harus terlihat dipaksakan untuk lucu (tapi malah menganggu adegan itu sendiri). Selain itu, film ini juga sadar akan muatannya, di bagian-bagian emosional tertentu, film ini tidak serta merta mengubah atmosfirnya menjadi sentimentil, tapi tetap mempertahankan nuansa superhero-comedy-nya dengan cara tertentu.
Madame X juga menampilkan beragam sindiran: seputar kultur pop (Lady Gaga stuff, fashion, selebritis kawin-cerai, susuk selebritis yang bisa juga dipandang sebagai sindiran seputar obsesi kecantikan, sampai “Infotaiment derajatnya lebih rendah daripada pelacur”; seputar sosial politik (perkumpulan kaum-kaum anarkis yang berbuat seenaknya yang merupakan sindiran pada grup “you-know-who,” sindiran penipuan agen TKI/TKW, poligami, dan villain film ini sendiri merupakan sindiran bahwa para calon perwakilan rakyat bisa begitu munafiknya ketika mencalonkan diri); hingga sindiran seputar seks dan LGBT (oral seks, homophobic, cross-dresser, transgender, sampai bondage dan sadomasochism). Berita baiknya, Madame X cukup berhasil menyuguhkan sindiran-sindirannya tanpa harus menganggu menu utama film, atau tanpa perlu terkesan preachy. Malah di seringnya saya merasa bahwa sindiran-sindiran tersebut mengalir dan menjadi bagian dari komedinya sendiri.
Kalau sudah berurusan dengan film-film superhero, maka efek-efek spesial sudah jadi kewajiban. Efek-efek spesial yang dihadirkan di Madame X adalah sesuatu yang rentan, maksudnya, efek spesial di film ini bisa dipandang sebagai kelemahan utamanya, tapi bisa juga dipandang sebagai keunikannya. Tergantung persepsi yang memandang. Kalau saya lebih suka memandang efek spesial yang norak ini sebagai konsistensi terhadap atmosfirnya sendiri. Kenapa harus memaksa tampil keren kalau tidak sesuai dengan kondisinya, kan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar