Oleh: Rio Johan (Rijon)Sutradara: Marc Webb
Pemain: Joseph Gordon-Levitt, Zooey Deschanel, Chloë Grace Moretz, Geoffrey Arend, Matthew Gray Gubler, Clark Gregg, Rachel Boston, Minka Kelly, Maile Flanagan, Patricia Belcher, Richard McGonagle
Tahun Rilis: 2009
Pemain: Joseph Gordon-Levitt, Zooey Deschanel, Chloë Grace Moretz, Geoffrey Arend, Matthew Gray Gubler, Clark Gregg, Rachel Boston, Minka Kelly, Maile Flanagan, Patricia Belcher, Richard McGonagle
Tahun Rilis: 2009
Ini lah salah satu film yang akan sangat menantang ratting para maniak film. Di satu sisi (500) Days of Summer menampilkan sebuah gaya visualisasi yang cerdas, kreatif, dan cukup unik. Di sisi lain, pada dasarnya cerita yang disuguhkan terbilang tipis dan hanya cenderung berputar-putar di titik yang sama sampai akhirinya diakhiri di ending.
Summer Finn (Zooey Deschanel), sesuai dengan yang diberi tahu narator, adalah seorang wanita biasa-biasa saja, dengan tinggi yang biasa saja, berat badan biasa saja, walaupun ukuran kakinya sedikit di atas biasa saja. Walaupun wanita ini biasa-biasa saja, ada sesuati dari dalam dirinya yang selalu menarik perhatian pria-pria. Pada dasarnya, Summer Finn cuma gadis biasa-biasa saja, terlepas dari beberapa “poin.”
Summer tidak percaya dengan istilah yang disebut cinta. Sementara, Tom Hansen (Joseph Gordon-Levitt) adalah tipikal pria melankolis yang yakin bahwa dia tidak akan bahagia sampai akhirnya dia benar-benar menemukan wanita yang dia yakini belahan jiwanya. Summer dan Tom bertemu di sebuah perusahaan kartu ucapan, di mana keduanya bekerja di sana. Tepatnya di dalam lift ketika Summer mendengar lagu the Smiths dari headset Tom.
Singkat cerita, hubungan keduanya pun berlanjut. Tapi sebuah hubungan yang tidak seperti hubungan biasanya. Dari sebuah pengakuan Summer, bisa diketahui bahwa dia sama sekali tidak percaya dengan cinta, yang dia mau hanya bersenang-senang tanpa perlu ambil pusing dengan masalah-masalah serius (seperti “komitmen,” misalnya). (500) Days of Summer menyoroti hari-hari Tom mulai dari berkenalan dengan Summer, berteman, “berhubungan,” retak, putus, dan mulailah hari-hari depresif Tom tanpa Summer. Kejadian selama 500 hari ini diceritkan secara acak, maju-mundur, ditandai dengan semacam angka yang mirip kalender lengkap dengan background dan backsound sesuai dengan suasana hati Tom.
(500) Days of Summer adalah film debutan bagi sutradara Marc Webb. Sebelumnya beliau lebih dikenal sebagai sutradara video klip, sebut saja Jesse McCartney, Backstreet Boys, My Chemical Romance, Maroon 5, Good Charlotte, Green Day, Ashlee Simpson, Fergie, Evanescence, bahkan Hilary Duff dan Miley Cyrus. Bisa dibilang, Marc Webb termasuk sutradara video klip yang cukup ternama. Dan tidak menutup kemungkinan sutradara video klip yang sudah punya nama akhirnya membelot ke film, lihat Floria Sigismondi dengan The Runways.
Menilai dari profesi awalnya tersebut, tidak heran kalau (500) Days of Summer dibungkus dengan gaya (atau style) yang kompleks, eye-catching, dan sophisticated. Karena memang begitulah umumnya kecenderungan sutradara video klip: “more to the style (pop-art pada umumnya).” Lihat film-film Rizal Mantovani yang “more to the style” tapi kebanyakan bobrok (Mati Suri, misalnya), simpelnya karena beliau sendiri tidak piawa mengolah style-style tersebut ketika dihadapkan pada film sinematik, bukan video klip penyanyi.
Bahkan saya cukup yakin bahwa skenario film ini sendiri lebih dibuat untuk menunjang style-nya ketimbang kompleksitas cerita. Bayangkan kalau kisah Tom dan Summer ini diceritakan secara kronologis (tidak acak), pasti hasilnya tidak semenarik ini. Selain pada alur nonlinear-nya, film ini juga menampilkan teknik-teknik editing yang juga menambah poin menariknya, yang paling menarik adalah split screen adegan ekspektasi versus realita.
Sekalipun kompleks pada gayanya, film ini jelas bukan sebuah high art, jelas film ini bukan tipikal Sayat Nova karya Sergei Parajanov. Tapi bisa ditemukan beberapa homage dari film-film high art atau sekedar classical film di sini. Mulai dari The Graduate yang ditonton Tom ketika masih remaja, hingga The Seventh Seal karya Ingmar Bergman yang ditonton Tom ketika patah hati. Bukan cuma sekedar itu saja, ada teknik di mana gambar berubah (fade away) dari fotografi menjadi sketsa, yang juga digunakan oleh Michael Gondry di Eternal Sunlight of the Spotless Mind. Beberapa suasana komikal yang dihadirkan juga agak mengingatkan dengan film-film Woody Alen. Dan ada suatu adegan yang bisa dibilang merupakan homage bagi film-film musikal (ketika Tom menari bersama orang-orang di jalanan). Belum termasuk wajah Harrison Ford (dari Star Wars?) yang muncul ketika Tom berkaca di jendela mobil. Saya tidak bermaksud bilang film ini tidak orisinil dengan menampilkan begitu banyak homege, justru bagaimana homage-homage tersebut, dan semua teknik dan style, diolah dengan cerdas sehingga film ini tampil menyenangkan.
Summer Finn (Zooey Deschanel), sesuai dengan yang diberi tahu narator, adalah seorang wanita biasa-biasa saja, dengan tinggi yang biasa saja, berat badan biasa saja, walaupun ukuran kakinya sedikit di atas biasa saja. Walaupun wanita ini biasa-biasa saja, ada sesuati dari dalam dirinya yang selalu menarik perhatian pria-pria. Pada dasarnya, Summer Finn cuma gadis biasa-biasa saja, terlepas dari beberapa “poin.”
Summer tidak percaya dengan istilah yang disebut cinta. Sementara, Tom Hansen (Joseph Gordon-Levitt) adalah tipikal pria melankolis yang yakin bahwa dia tidak akan bahagia sampai akhirnya dia benar-benar menemukan wanita yang dia yakini belahan jiwanya. Summer dan Tom bertemu di sebuah perusahaan kartu ucapan, di mana keduanya bekerja di sana. Tepatnya di dalam lift ketika Summer mendengar lagu the Smiths dari headset Tom.
Singkat cerita, hubungan keduanya pun berlanjut. Tapi sebuah hubungan yang tidak seperti hubungan biasanya. Dari sebuah pengakuan Summer, bisa diketahui bahwa dia sama sekali tidak percaya dengan cinta, yang dia mau hanya bersenang-senang tanpa perlu ambil pusing dengan masalah-masalah serius (seperti “komitmen,” misalnya). (500) Days of Summer menyoroti hari-hari Tom mulai dari berkenalan dengan Summer, berteman, “berhubungan,” retak, putus, dan mulailah hari-hari depresif Tom tanpa Summer. Kejadian selama 500 hari ini diceritkan secara acak, maju-mundur, ditandai dengan semacam angka yang mirip kalender lengkap dengan background dan backsound sesuai dengan suasana hati Tom.
(500) Days of Summer adalah film debutan bagi sutradara Marc Webb. Sebelumnya beliau lebih dikenal sebagai sutradara video klip, sebut saja Jesse McCartney, Backstreet Boys, My Chemical Romance, Maroon 5, Good Charlotte, Green Day, Ashlee Simpson, Fergie, Evanescence, bahkan Hilary Duff dan Miley Cyrus. Bisa dibilang, Marc Webb termasuk sutradara video klip yang cukup ternama. Dan tidak menutup kemungkinan sutradara video klip yang sudah punya nama akhirnya membelot ke film, lihat Floria Sigismondi dengan The Runways.
Menilai dari profesi awalnya tersebut, tidak heran kalau (500) Days of Summer dibungkus dengan gaya (atau style) yang kompleks, eye-catching, dan sophisticated. Karena memang begitulah umumnya kecenderungan sutradara video klip: “more to the style (pop-art pada umumnya).” Lihat film-film Rizal Mantovani yang “more to the style” tapi kebanyakan bobrok (Mati Suri, misalnya), simpelnya karena beliau sendiri tidak piawa mengolah style-style tersebut ketika dihadapkan pada film sinematik, bukan video klip penyanyi.
Bahkan saya cukup yakin bahwa skenario film ini sendiri lebih dibuat untuk menunjang style-nya ketimbang kompleksitas cerita. Bayangkan kalau kisah Tom dan Summer ini diceritakan secara kronologis (tidak acak), pasti hasilnya tidak semenarik ini. Selain pada alur nonlinear-nya, film ini juga menampilkan teknik-teknik editing yang juga menambah poin menariknya, yang paling menarik adalah split screen adegan ekspektasi versus realita.
Sekalipun kompleks pada gayanya, film ini jelas bukan sebuah high art, jelas film ini bukan tipikal Sayat Nova karya Sergei Parajanov. Tapi bisa ditemukan beberapa homage dari film-film high art atau sekedar classical film di sini. Mulai dari The Graduate yang ditonton Tom ketika masih remaja, hingga The Seventh Seal karya Ingmar Bergman yang ditonton Tom ketika patah hati. Bukan cuma sekedar itu saja, ada teknik di mana gambar berubah (fade away) dari fotografi menjadi sketsa, yang juga digunakan oleh Michael Gondry di Eternal Sunlight of the Spotless Mind. Beberapa suasana komikal yang dihadirkan juga agak mengingatkan dengan film-film Woody Alen. Dan ada suatu adegan yang bisa dibilang merupakan homage bagi film-film musikal (ketika Tom menari bersama orang-orang di jalanan). Belum termasuk wajah Harrison Ford (dari Star Wars?) yang muncul ketika Tom berkaca di jendela mobil. Saya tidak bermaksud bilang film ini tidak orisinil dengan menampilkan begitu banyak homege, justru bagaimana homage-homage tersebut, dan semua teknik dan style, diolah dengan cerdas sehingga film ini tampil menyenangkan.
Satu hal lagi, (500) Days of Summer termasuk film yang bikin saya sakit hati. Huh.
BalasHapus"there is no fate, just coincidence"
BalasHapustu ending yg sngat bruk