Oleh: Rio Johan (Rijon)Sutradara: Peter Jackson
Pemain: Saoirse Ronan, Mark Wahlberg, Rachel Weisz, Rose McIver, Stanley Tucci, Susan Sarandon, Michael Imperioli, Christian Thomas Ashdale, Reece Ritchie, Charlie Saxton, Amanda Michalka, Jake Abel, Carolyn Dando, Nikki SooHoo, Annabel Grealish, Thomas McCarthy
Tahun Rilis: 2009
Diadaptasi dari novel The Lovely Bones karya Alice Sebold.
Kenyataannya memang tidak semua novel bisa dengan gampang disulap menjadi sebuah karya sinematik. Bahkan novel bestseller yang dipuji oleh berbagai kritkus sastra sekalipun bisa saja gagal total di tangan sutradara yang sudah teruji kehandalannya. Bahkan seorang Peter Jackson, yang namanya dipuji di sana-sini berkat trilogi The Lord of the Rings, ternyata bisa menghasilkan sebauh film hampa – nyaris tidak bernyawa – yang ironisnya diangkat dari sebuah novel yang duduk di peringkat pertama New York Times Bestseller.
Apa yang ada dibenakmu apabila kamu diperkosa (kan?), dibunuh, lalu arwahmu bergentayangan di alam baka? Bukan di surga, bukan di nereka, tapi di alam baka – sebut saja semacam alam persinggahan sementara. Dan yang kamu lakukan di alam persinggahan tersebut hanya menonton: menonton orang-orang tersayang di dunia sambil diselingi dengan pemandangan-pemandangan ganjil yang cantik. Pertanyaannya: Apa maksud dan tujuan dari semua itu sampai-sampai sutradara sekaliber Peter Jackson menganggap semua itu sebagai sebuah materi film?
Kalau kamu mengira saya tipikal penonton yang sinis terhadap drama-drama bertema spiritual dan supranatural, kamu salah. Jujur saja, tema supranatural, seperti konsep alam baka (atau alam setelah kematian) di film ini, sebenarnya bisa saja menjadi sesuatu yang sangat menarik – tapi bisa juga sebaliknya. Saya sangat menyukai percakapan antara seorang anak pastur dan malaikat di Penda's Fen. Contoh lainnya, saya juga sangat menikmati konsep kehidupan setelah kemtian di film Afterlife besutan Hirokazu Koreeda.
Saya sama sekali belum pernah memegang buku karangan Alice Sebold tersebut (tapi saya sering melihat tumpukan bukunya di Gramedia), tapi saya yakin ada alasan kuat tertentu kenapa buku tersebut bisa begitu berhasil baik di mata kritik maupun konsumen umum. Setidaknya yang ada di benak saya novel tersebut memngandung muapan filosofis di balik imajinasi alam bakanya – yang sepertinya gagal ditangkap oleh Peter Jackson.
The Lovely Bones seakan-akan mengalami dilema antara mempertontonkan drama meloankolis seorang gadis yang menyaksikan keluarganya dari alam baka, kisah burtal pembunuhan seorang gadis di bawah umur, dan teknologi visual tingkat tinggi yang sudah membunuh segala macam esensi dari cerita ini sendiri. Yap, The Lovely Bonesi menghadirkan konsep alam baka yang mencengangkan mata, tapi cuma sampai di situ, film ini cuma cantik di luar tapi kosong di dalam. Tidak bernyawa. Tidak hidup. Parahnya film ini sama sekali tidak berhasil menunjukkan apapun selain pernak-pernik visualisasi tersebut.
Apakah saya sebagai penonton harus merasa simpati kepada Suzy Salmon hanya karena visulisasi alam bakanya yang cantik? Bahkan tidak satu bagian pun dari narasi Suzy Salmon yang mampu memancing kepedulian pada tokohnya. Tidakkah Suzy merasa marah, merasa dendam, merasa geram dengan pembunuhnya – bahkan The Lovely Bones gagal menunjukkan hal ini. Faktanya, Suzy cuma berkeliaran di alam baka entah apa tujuannya, sementara keluarganya di alam bawah kalang kabut atas kematiannya – apakah hal ini serta merta bisa membuat saya peduli pada tokohnya? Dan saya pun menolak mentah-mentah kalau kekuatan film ini justru ada di kesurrealismean penggambaran alam bakanya karena visualisasi absurd film ini sama kosongnya dengan arwah Suzy Salmon. Tidak ada nilai-nilai filosofis. Dan adakah simbolisme yang kuat dan bermakna di balik adegan-adegan absurd tersebut? Seperti yang saya bilang sebelumnya, visualisasi di The Lovely Bones lebih cocok disebut pernak-pernik yang ditempel tak keruan, ketimbang sebuah keabsurdan yang bermakna.
Peter Jackson jelas sudah menghadirkan alam baka yang cantik dan menawan bagi Suzy Salmon, dan Suzy tidak terlalu bermasalah di dalamnya, lantas di bagian mana lagi saya harus bersimpati pada Suzy?
Pemain: Saoirse Ronan, Mark Wahlberg, Rachel Weisz, Rose McIver, Stanley Tucci, Susan Sarandon, Michael Imperioli, Christian Thomas Ashdale, Reece Ritchie, Charlie Saxton, Amanda Michalka, Jake Abel, Carolyn Dando, Nikki SooHoo, Annabel Grealish, Thomas McCarthy
Tahun Rilis: 2009
Diadaptasi dari novel The Lovely Bones karya Alice Sebold.
Apa yang ada dibenakmu apabila kamu diperkosa (kan?), dibunuh, lalu arwahmu bergentayangan di alam baka? Bukan di surga, bukan di nereka, tapi di alam baka – sebut saja semacam alam persinggahan sementara. Dan yang kamu lakukan di alam persinggahan tersebut hanya menonton: menonton orang-orang tersayang di dunia sambil diselingi dengan pemandangan-pemandangan ganjil yang cantik. Pertanyaannya: Apa maksud dan tujuan dari semua itu sampai-sampai sutradara sekaliber Peter Jackson menganggap semua itu sebagai sebuah materi film?
Kalau kamu mengira saya tipikal penonton yang sinis terhadap drama-drama bertema spiritual dan supranatural, kamu salah. Jujur saja, tema supranatural, seperti konsep alam baka (atau alam setelah kematian) di film ini, sebenarnya bisa saja menjadi sesuatu yang sangat menarik – tapi bisa juga sebaliknya. Saya sangat menyukai percakapan antara seorang anak pastur dan malaikat di Penda's Fen. Contoh lainnya, saya juga sangat menikmati konsep kehidupan setelah kemtian di film Afterlife besutan Hirokazu Koreeda.
Saya sama sekali belum pernah memegang buku karangan Alice Sebold tersebut (tapi saya sering melihat tumpukan bukunya di Gramedia), tapi saya yakin ada alasan kuat tertentu kenapa buku tersebut bisa begitu berhasil baik di mata kritik maupun konsumen umum. Setidaknya yang ada di benak saya novel tersebut memngandung muapan filosofis di balik imajinasi alam bakanya – yang sepertinya gagal ditangkap oleh Peter Jackson.
The Lovely Bones seakan-akan mengalami dilema antara mempertontonkan drama meloankolis seorang gadis yang menyaksikan keluarganya dari alam baka, kisah burtal pembunuhan seorang gadis di bawah umur, dan teknologi visual tingkat tinggi yang sudah membunuh segala macam esensi dari cerita ini sendiri. Yap, The Lovely Bonesi menghadirkan konsep alam baka yang mencengangkan mata, tapi cuma sampai di situ, film ini cuma cantik di luar tapi kosong di dalam. Tidak bernyawa. Tidak hidup. Parahnya film ini sama sekali tidak berhasil menunjukkan apapun selain pernak-pernik visualisasi tersebut.
Apakah saya sebagai penonton harus merasa simpati kepada Suzy Salmon hanya karena visulisasi alam bakanya yang cantik? Bahkan tidak satu bagian pun dari narasi Suzy Salmon yang mampu memancing kepedulian pada tokohnya. Tidakkah Suzy merasa marah, merasa dendam, merasa geram dengan pembunuhnya – bahkan The Lovely Bones gagal menunjukkan hal ini. Faktanya, Suzy cuma berkeliaran di alam baka entah apa tujuannya, sementara keluarganya di alam bawah kalang kabut atas kematiannya – apakah hal ini serta merta bisa membuat saya peduli pada tokohnya? Dan saya pun menolak mentah-mentah kalau kekuatan film ini justru ada di kesurrealismean penggambaran alam bakanya karena visualisasi absurd film ini sama kosongnya dengan arwah Suzy Salmon. Tidak ada nilai-nilai filosofis. Dan adakah simbolisme yang kuat dan bermakna di balik adegan-adegan absurd tersebut? Seperti yang saya bilang sebelumnya, visualisasi di The Lovely Bones lebih cocok disebut pernak-pernik yang ditempel tak keruan, ketimbang sebuah keabsurdan yang bermakna.
Peter Jackson jelas sudah menghadirkan alam baka yang cantik dan menawan bagi Suzy Salmon, dan Suzy tidak terlalu bermasalah di dalamnya, lantas di bagian mana lagi saya harus bersimpati pada Suzy?
its a good movie, i have seen
BalasHapus