Oleh: Rio Johan (Rijon)Sutradara: Marcel Gisler
Pemain: Vincent Branchet, Frédéric Andrau, Urs Peter Halter, Jean-Pierre von Dach
Tahun Rilis: 1998
Judul Internasional: F. Is a Bastard / Fögi is a Bastard
Diadaptasi dari novel F. Is a Bastard karya Martin Frank.
Dalam film asal Swiss ini, cinta bisa begitu buta, begitu tuli, begitu bodoh, begitu tidak ada logika (kata Agnes Monica), begitu sakit jiwa, bahkan pada obyek yang seharusnya tidak pantas untuk dicintai sekalipun. Kata “salaud,” atau “bastard,” atau “bajingan,” memang cukup masuk akal untuk judul film ini. Walaupun secara pribadi saya lebih memilih judul “Fögi is a Dog” atau “Fögi adalah anjing,” dalam artian sumpah serapah. Ini adalah film yang menampilkan muatan seksual yang sakit dan terbilang eksplisit (untuk ukuran film bercerita, bukan bokep), bagi yang belum 18 tahun atau sudah 18 tahun tapi tidak menyukai cerita-cerita semacam ini, saya sarankan tidak usah membaca resensi film ini (apalagi menonton).
Film ini bercerita tentang Beni (Vincent Branchet), seorang remaja yang tergila-gila (terobsesi) pada Fögi (Frédéric Andrau), vokalis sebuah band lokal. Setelah Beni menulis surat penggemar pada Fögi, dia pun diundang ke aparteman idolanya tersebut. Dalam waktu sesingkat itu juga keduanya langsung melakukan hubungan seksual, dan puppy-affair pun dimulai. Bagi Fögi, yang jelas memang tipe-tipe anak band, hubungan tersebut cuma sekedar untuk kesenangan semata, selingan bersama seorang groupie-nya yang dia tahu bakal melakukan apapun untuk terus bersamanya. Sementara bagi Beni, hubungan mereka terasa nyata, momen-momen bersama Fögi merupakan hal terpenting baginya. Seluruh cinta dan pengabdian Beni, bisa dibilang, hanya untuk Fögi.
Kalau Anda mengira Beni akan berubah menjadi Glenn Close di Fatal Attraction, maka salah besar, justru tokoh Beni yang diposisikan sebagai sosok teraniaya. Fögi sama sekali tidak peduli pada Beni. Di awal-awal hubungan mereka, Fögi tidak di mana saja kapan saja dengan siapa saja semaunya, meninggalkan Beni seorang diri, bahkan tidak jarang dalam waktu yang cukup lama. Fögi juga pecandu obat-obatan. Dan Beni yang kerap-kali menjadi korban candunya. Nasib Beni makin parah ketika band Fögi bubar (akibat sebuah konflik). Hidup keduanya pun kacau tanpa uang. Lebih parah lagi, Fögi yang semakin hari semakin kacau justru memperlakukan Beni, yang sudah benar-benar dibutakan-ditulikan-dan-dibodhokan oleh cinta, seperti anjing. Fögi memakaikan kalung anjing pada Beni. Fögi juga memberinya makan layaknya anjing, di lempar ke lantai (disuruh bersuara seperti anjing juga). Beni juga tidur seperti anjing. Bahkan ada sebuah adegan di mana Beni melihat cerminan dirinya di dalam seekor anjing. Lebih biadab lagi, Fögi memanfaatkan Beni untuk menafkahi hidupnya sendiri dengan cara menjual jasa seks Beni pada pria-pria kaya raya. Terlepas dari semua kebiadaban yang sudah dilakukan Fögi, Beni tetap mencintainya (dengan cinta yang menurut saya “sakit” juga). Sudah saya peringatkan sebelumnya, ini film yang “sakit,” dan Fögi memang cocok diberi julukan “bastard.”
Semua kisah jahanam tersebut tentu berjung pada sebuah ending tragis (dan ini bukan spoiler karena memang begitulah umumnya). Ending tersebut juga memberikan pencerahan/pengharapan bagi Beni, dan di sini kekuatan film ini. Vincent Branchet memberikan penampilan yang sangat intens sebagai Beni. Dengan memerankan Beni, aktor muda tersebut bisa saja telrihat bodoh di layar – tapi di sini dia justru berhasil membuat saya mengerti apa yang Beni lakukan karena dia berhasil menunjukkan cinta irasional tokohnya pada level yang cukup dalam. Dan Frédéric Andrau juga melakukan kerja yang sangat baik dalam memerankan tokoh yang sama sekali tidak mungkin mendapat simpati penonton.
Beni:
I felt lighter and almost emptier. In this emptiness there was sadness, but also consolation. I of course asked myself over and over again, and still do: If I had loved him even more, and differently, he wouldn't have died. Should our paths cross again Fögi, I'll try harder this time, love you so that nothing can keep us apart. Next time I'll be stronger, I swear, next time...
Pemain: Vincent Branchet, Frédéric Andrau, Urs Peter Halter, Jean-Pierre von Dach
Tahun Rilis: 1998
Judul Internasional: F. Is a Bastard / Fögi is a Bastard
Diadaptasi dari novel F. Is a Bastard karya Martin Frank.
Dalam film asal Swiss ini, cinta bisa begitu buta, begitu tuli, begitu bodoh, begitu tidak ada logika (kata Agnes Monica), begitu sakit jiwa, bahkan pada obyek yang seharusnya tidak pantas untuk dicintai sekalipun. Kata “salaud,” atau “bastard,” atau “bajingan,” memang cukup masuk akal untuk judul film ini. Walaupun secara pribadi saya lebih memilih judul “Fögi is a Dog” atau “Fögi adalah anjing,” dalam artian sumpah serapah. Ini adalah film yang menampilkan muatan seksual yang sakit dan terbilang eksplisit (untuk ukuran film bercerita, bukan bokep), bagi yang belum 18 tahun atau sudah 18 tahun tapi tidak menyukai cerita-cerita semacam ini, saya sarankan tidak usah membaca resensi film ini (apalagi menonton).
Film ini bercerita tentang Beni (Vincent Branchet), seorang remaja yang tergila-gila (terobsesi) pada Fögi (Frédéric Andrau), vokalis sebuah band lokal. Setelah Beni menulis surat penggemar pada Fögi, dia pun diundang ke aparteman idolanya tersebut. Dalam waktu sesingkat itu juga keduanya langsung melakukan hubungan seksual, dan puppy-affair pun dimulai. Bagi Fögi, yang jelas memang tipe-tipe anak band, hubungan tersebut cuma sekedar untuk kesenangan semata, selingan bersama seorang groupie-nya yang dia tahu bakal melakukan apapun untuk terus bersamanya. Sementara bagi Beni, hubungan mereka terasa nyata, momen-momen bersama Fögi merupakan hal terpenting baginya. Seluruh cinta dan pengabdian Beni, bisa dibilang, hanya untuk Fögi.
Kalau Anda mengira Beni akan berubah menjadi Glenn Close di Fatal Attraction, maka salah besar, justru tokoh Beni yang diposisikan sebagai sosok teraniaya. Fögi sama sekali tidak peduli pada Beni. Di awal-awal hubungan mereka, Fögi tidak di mana saja kapan saja dengan siapa saja semaunya, meninggalkan Beni seorang diri, bahkan tidak jarang dalam waktu yang cukup lama. Fögi juga pecandu obat-obatan. Dan Beni yang kerap-kali menjadi korban candunya. Nasib Beni makin parah ketika band Fögi bubar (akibat sebuah konflik). Hidup keduanya pun kacau tanpa uang. Lebih parah lagi, Fögi yang semakin hari semakin kacau justru memperlakukan Beni, yang sudah benar-benar dibutakan-ditulikan-dan-dibodhokan oleh cinta, seperti anjing. Fögi memakaikan kalung anjing pada Beni. Fögi juga memberinya makan layaknya anjing, di lempar ke lantai (disuruh bersuara seperti anjing juga). Beni juga tidur seperti anjing. Bahkan ada sebuah adegan di mana Beni melihat cerminan dirinya di dalam seekor anjing. Lebih biadab lagi, Fögi memanfaatkan Beni untuk menafkahi hidupnya sendiri dengan cara menjual jasa seks Beni pada pria-pria kaya raya. Terlepas dari semua kebiadaban yang sudah dilakukan Fögi, Beni tetap mencintainya (dengan cinta yang menurut saya “sakit” juga). Sudah saya peringatkan sebelumnya, ini film yang “sakit,” dan Fögi memang cocok diberi julukan “bastard.”
Semua kisah jahanam tersebut tentu berjung pada sebuah ending tragis (dan ini bukan spoiler karena memang begitulah umumnya). Ending tersebut juga memberikan pencerahan/pengharapan bagi Beni, dan di sini kekuatan film ini. Vincent Branchet memberikan penampilan yang sangat intens sebagai Beni. Dengan memerankan Beni, aktor muda tersebut bisa saja telrihat bodoh di layar – tapi di sini dia justru berhasil membuat saya mengerti apa yang Beni lakukan karena dia berhasil menunjukkan cinta irasional tokohnya pada level yang cukup dalam. Dan Frédéric Andrau juga melakukan kerja yang sangat baik dalam memerankan tokoh yang sama sekali tidak mungkin mendapat simpati penonton.
Beni:
I felt lighter and almost emptier. In this emptiness there was sadness, but also consolation. I of course asked myself over and over again, and still do: If I had loved him even more, and differently, he wouldn't have died. Should our paths cross again Fögi, I'll try harder this time, love you so that nothing can keep us apart. Next time I'll be stronger, I swear, next time...
Saya heran... kok bisa2nya Beni masih teetp cinta ama Fogi. Alasan Beni cinta ama Fogi gak jelas. Gak mungkin 'kan cinta ama orang berbuat jahat ama kita terus2an.
BalasHapusPertanyaan itu sama saja dengan pertanyaan "Saya heran, kenapa ada cowok yang suka sama cowok di dunia ini?" Atau: "Saya heran, kenapa ada ibu yang melakukan hubungan seks sama anaknya sendiri?"
BalasHapusFilmnya sendiri memang tipikal film-film disturbing, pernah nonton film semacam ini?
Cinta ditunjukan di film ini, bagi orang-orang normal, memang irasional. Tapi memang itu yang ditunjukkan di film ini. Dan nggak semua "hal" yang ada di dunia ini rasional. Di dunia ini banyak orang-orang yang melakukan tindakan irasional, nggak logis, nggak masuk akal, nggak pantas dilakukan, di luar etika, amoral. Bagi orang-orang rasional, alasan "psikologis" jadi tameng kerasionalan mereka. Atau sederhana saja, banyak orang "sakit" di dunia ini. Dan film memang begitulah isi film ini.
Film ini juga bisa dipandang sebagai film tentang orang-orang yang "sakit" secara psikologis.
Yah, nonton deh. Kalau kamu liat secemeralang apa penampilan (akting) Vincent Branchet, pasti tahu kenapa Beni tetep cinta sama Fögi (sekalipun irasional -- menurut kamu, dan juga menurutku).
"Saya heran, kenapa ada cowok yang suka sama cowok di dunia ini?"
BalasHapusgmn y...
klo ak bilang itu lah hidup...sebuah cobaan yang berat...
menurutQ gay itu,,,cobaan bagi mereka...
tinggal mereka aj bisa milih mana yg benar buat mereka,,atw salah buat mereka...
tapi dmn2,,gay itu d larang ya,,,hahhahaha