Oleh: Rio Johan (Rijon)Sutradara: Jacques Nolot
Pemain: Vittoria Scognamiglio, Jacques Nolot, Sébastien Viala, Olivier Torres, Lionel Goldstein, Frédéric Longbois, Fouad Zeraoui, Jean-Louis Coquery, Raphaëline Goupilleau, Pascal Varley, Arben Bajraktaraj, Christine Paolini, Matt Trahan, Mark Duran, Frédéric Franzil
Tahun Rilis: 2002
Judul Internasional: Porn Theater
Judul internasional film ini, Porn Theater, mengacu pada sepotong bagian kehidupan yang jarang sekali luput dari jamahan. Juga mengacu pada sebuah aspek seksualitas yang masih sering ditampik kehadirannya. Mau tidak mau, sadar atau tidak, bagian ini memang selalu akan hadir dan selalu akan jadi bagian dari kehidupan masyarakat modern. Selalu bisa hadir diam-diam di malam hari.
Tapi bagi para pelakonnya, kehidupan semacam Porn Theater ini ibarat “jiwa” bagi nyawa mereka. Sudah mendarah daging. Terutama bagi mereka yang sudah langnan. Dan sama saja halnya bagi mereka yang baru icip-icip datang, karena pada dasarnya semua datang dengan tujuan yang sama: kepuasan. Berbagai macam spesies manusia pencari kepuasan bisa ditemukan di sini: pria hidung belang, pria mata keranjang, pria yang hobi cuci mata, bujang lapuk, pria beristri, homo, bisex, banci, atau bisa saja gabungan dari poin-poin tersebut. Semuanya datang karena tempat tersebut mampu mewujudkan kebutuhan mereka: kepuasan.
Secara singkat, film ini menyroti kejadian-kejadian yang terjadi di sebuah bioskop porno di suatu malam. Kalau bioskop tersebut diibaratkan sebagai sebuah arena (atau sebuah panggung), maka Jacques Nolot menghadirkan seorang pengatur arena: seorang penjual tiket wanita paruh baya (Vittoria Scognamiglio). Secara literal wanita ini memang bukan pemilik bioskop, tapi dia lah pihak yang hampir tiap malamnya mempunyai hak menentukan siapa-siapa yang boleh masuk atau tidak. Untungnya Nolot tahu betul bagaimana memposisikan wanita paruh baya ini ke dalam filmnya. Penjaga kasir tersebut juga ditampilkan sebagai pengamat manusia-manusia yang keluar masuk gedung bioskopnya. Wanita itu punya segudang pengalaman seputar dunia yang mereka geluti. Dia seakan-akan paham aspek-aspek seksualitas yang ada di dalam gedung bioskop. Sadar posisinya sebagai pengamat, dia cukup bijak dan tidak menghakimi.
Malam itu, wanita penjual tiket itu berjumpa dengan dua orang pria. Pertama, seorang pemuda heteroseksual (Sébastien Viala) naif yang sepertinya tertarik pada wanita itu (sampai-sampai mentraktir wiskey dan rela menemaninya bercakap-cakap semalaman). Pemuda itu naif, tapi mempunya rasa penasaran besar untuk terus mengikuti kisah demi kisah yang keluar dari mulut si wanita penjual tiket. Kedua, seorang homoseksual konservatif lima puluh tahunan yang sudah lama jadi langganan yang sudah lama mengidap HIV positif. Secara bergantian wanita penjaga kios tiket itu berbicara dengan dua laki-laki tersebut seputar cinta, seks, AIDS, trisom, dan bagaimana membuat seorang straight menjadi gay.
Paralel dengan percakapan tersebut, Nolot menampilkan kejadian-kejadian di dalam arena biskop: para transeksual menjajakan badan dan jasa mereka, adegan-adegan nakal di toilet, pria tua-muda saling berjumpa, tentara, imigran, suami, lajang, sampai homofobia semuanya menyebar di bangku-bangku penonton, di gang, di toliet, dengan satu tujuan yang sama. Tidak ada yang pernah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Bisa saja tiba-tiba seorang tentara tampan memasuki ruangan, misalnya. Atau ternyata orang yang hendak dirayu adalah seorang homofobia. Jacques Nolot membuat semuanya seakan-akan terjadi tiba-tiba.
Berita baiknya, untuk ukuran sebuah film tentang potret prilaku manusia, Nolot tidak pernah menjatuhkan penghakiman pada tokoh-tokohnya, semenyedihkan apapun tindakan yang dilakukan tokoh tersebut. Nolot juga cukup menegaskan seakan-akan ada pengaruh pilihan yang turut campur di adegan-adegan tersebut. Nolot lebih menetikberatkan pada pengalaman – seperti yang dibicarakan wanita penjual tiket – ketimbang menampilkan kritik-kritik sosial. Untuk urusan itu, Porn Theater sangat berhasil tampil jujur dan berani seputar kebutuhan seksual manusia yang sayangnya sering ditampik keberadaannya. Menonton film ini seperti menonton sebuah pengalaman, sama halnya ketika menonton film porno yang merupakan pengalaman.
Pemain: Vittoria Scognamiglio, Jacques Nolot, Sébastien Viala, Olivier Torres, Lionel Goldstein, Frédéric Longbois, Fouad Zeraoui, Jean-Louis Coquery, Raphaëline Goupilleau, Pascal Varley, Arben Bajraktaraj, Christine Paolini, Matt Trahan, Mark Duran, Frédéric Franzil
Tahun Rilis: 2002
Judul Internasional: Porn Theater
Judul internasional film ini, Porn Theater, mengacu pada sepotong bagian kehidupan yang jarang sekali luput dari jamahan. Juga mengacu pada sebuah aspek seksualitas yang masih sering ditampik kehadirannya. Mau tidak mau, sadar atau tidak, bagian ini memang selalu akan hadir dan selalu akan jadi bagian dari kehidupan masyarakat modern. Selalu bisa hadir diam-diam di malam hari.
Tapi bagi para pelakonnya, kehidupan semacam Porn Theater ini ibarat “jiwa” bagi nyawa mereka. Sudah mendarah daging. Terutama bagi mereka yang sudah langnan. Dan sama saja halnya bagi mereka yang baru icip-icip datang, karena pada dasarnya semua datang dengan tujuan yang sama: kepuasan. Berbagai macam spesies manusia pencari kepuasan bisa ditemukan di sini: pria hidung belang, pria mata keranjang, pria yang hobi cuci mata, bujang lapuk, pria beristri, homo, bisex, banci, atau bisa saja gabungan dari poin-poin tersebut. Semuanya datang karena tempat tersebut mampu mewujudkan kebutuhan mereka: kepuasan.
Secara singkat, film ini menyroti kejadian-kejadian yang terjadi di sebuah bioskop porno di suatu malam. Kalau bioskop tersebut diibaratkan sebagai sebuah arena (atau sebuah panggung), maka Jacques Nolot menghadirkan seorang pengatur arena: seorang penjual tiket wanita paruh baya (Vittoria Scognamiglio). Secara literal wanita ini memang bukan pemilik bioskop, tapi dia lah pihak yang hampir tiap malamnya mempunyai hak menentukan siapa-siapa yang boleh masuk atau tidak. Untungnya Nolot tahu betul bagaimana memposisikan wanita paruh baya ini ke dalam filmnya. Penjaga kasir tersebut juga ditampilkan sebagai pengamat manusia-manusia yang keluar masuk gedung bioskopnya. Wanita itu punya segudang pengalaman seputar dunia yang mereka geluti. Dia seakan-akan paham aspek-aspek seksualitas yang ada di dalam gedung bioskop. Sadar posisinya sebagai pengamat, dia cukup bijak dan tidak menghakimi.
Malam itu, wanita penjual tiket itu berjumpa dengan dua orang pria. Pertama, seorang pemuda heteroseksual (Sébastien Viala) naif yang sepertinya tertarik pada wanita itu (sampai-sampai mentraktir wiskey dan rela menemaninya bercakap-cakap semalaman). Pemuda itu naif, tapi mempunya rasa penasaran besar untuk terus mengikuti kisah demi kisah yang keluar dari mulut si wanita penjual tiket. Kedua, seorang homoseksual konservatif lima puluh tahunan yang sudah lama jadi langganan yang sudah lama mengidap HIV positif. Secara bergantian wanita penjaga kios tiket itu berbicara dengan dua laki-laki tersebut seputar cinta, seks, AIDS, trisom, dan bagaimana membuat seorang straight menjadi gay.
Paralel dengan percakapan tersebut, Nolot menampilkan kejadian-kejadian di dalam arena biskop: para transeksual menjajakan badan dan jasa mereka, adegan-adegan nakal di toilet, pria tua-muda saling berjumpa, tentara, imigran, suami, lajang, sampai homofobia semuanya menyebar di bangku-bangku penonton, di gang, di toliet, dengan satu tujuan yang sama. Tidak ada yang pernah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Bisa saja tiba-tiba seorang tentara tampan memasuki ruangan, misalnya. Atau ternyata orang yang hendak dirayu adalah seorang homofobia. Jacques Nolot membuat semuanya seakan-akan terjadi tiba-tiba.
Berita baiknya, untuk ukuran sebuah film tentang potret prilaku manusia, Nolot tidak pernah menjatuhkan penghakiman pada tokoh-tokohnya, semenyedihkan apapun tindakan yang dilakukan tokoh tersebut. Nolot juga cukup menegaskan seakan-akan ada pengaruh pilihan yang turut campur di adegan-adegan tersebut. Nolot lebih menetikberatkan pada pengalaman – seperti yang dibicarakan wanita penjual tiket – ketimbang menampilkan kritik-kritik sosial. Untuk urusan itu, Porn Theater sangat berhasil tampil jujur dan berani seputar kebutuhan seksual manusia yang sayangnya sering ditampik keberadaannya. Menonton film ini seperti menonton sebuah pengalaman, sama halnya ketika menonton film porno yang merupakan pengalaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar