Oleh: Rio Johan (Rijon)Sutradara: Ezequiel Acuña
Pemain: Nicolás Mateo, Santiago Pedrero, Antonella Costa, Tomás Fonzi, Manuel Callau, Mónica Galán, Mailen Glave, Alberto Rojas Apel, Matías Castelli, Gerardo Chendo
Tahun Rilis: 2003
Judul Internasional: Swimming Alone
Martin (Nicolás Mateo) berenang sendirian. Entah memang dia suka berenang sendirian, atau memang Martin yang merasa dia sedang berenang sendirian. Padahal, ketika dia nongol ke permukaan kolam, ada orang-orang lain juga yang berenang di sekitar. Saya rasa, Martin, yang usianya kira-kira masih tujuh belas tahun, memang merasa sedang berenang sendirian.
Padaha tidak ada yang salah dengan Martin. Ia hidup berkecekupan. Keluarganya terlihat baik-baik saja. Terlepas dari fakta kakaknya yang sepertinya sudah lama kabur dari rumah, keluarganya baik-baik saja. Mereka masih sarapan tanpa masalah apa-apa di meja makan. Mungkin tidak bisa juga disebut sangat-amat harmonis, tapi yang jelas tidak terlihat masalah apa-apa. Martin juga disekolahkan di sekolah yang mapan. Tidak terlalu ada masalah juga dengan kehidupan sekolahnya. Ia tidak diganggui. Tidak pula menganggu. Martin bersahabat dengan Guille (Santiago Pedrero). Bersama Guille dan seorang basis lagi, Martin membentuk sebuah band kecil-kecilan. Sekalipun basis mereka sering telat (bahkan tidak datang), tidak terlalu ada yang salah dengan Martin. Tapi Martin tidak bahagia. Dia tidak merasa bahagia, entah itu di rumah, di sekolah, ataupun di tengah teman-temannya. Sekalipun tidak ada yang salah dengan keluarga, sekolah, ataupun teman-temannya, Martin merasa tidak merasa menjadi bagian dari kehidupan tersebut. Yang Martin rasakan hanyalah isolasi.
Saya rasa apa yang dirasakan Martin wajar dan manusiawi. Mungkin ada yang merasa hidup berkecukupan, pintar, dengan keluarga yang berkecukupan saja, namun sayangnya tidak terpuaskan secara batin dengan kondisi tersebut? Sulit menjelaskan perasaan semacam ini, sekalinya pernah merasakan, saya rasa, Anda pasti bakal mengerti betul apa yang Martin rasakan. Dan untungnya Ezequiel Acuña cukup tajam dalam menangkap detil-detil dilema batin Martin. Sebagai seseorang yang sedang dihadapkan pada krisis emosional, krisis batin, dan krisis kebahagian, wajar saja Martin tengah mencari solusi. Martin tengah mencari sesuatu yang dapat membuatnya merasa menjadi bagian dalam kehidupannya. Sesuatu yang dapat memuaskan segala kebutuhan batinnya. Sayangnya Martin tidak tahu apa yang harus dia cari. Yang dilakukannya hanya berenang, berenang, dan terus berenang sendirian, tanpa benar-benar berkomunikasi, tanpa benar-benar peduli.
Muncul ide di kepala Martin untuk mencari kakaknya yang sudah pergi entah kemana, berharap dengan menemukan kakaknya Martin dapat menemukan kepuasan batin juga. Mencari kakak memang tujuannya, tapi apakah benar-benar bisa menumbuhkan kebahagian? Tidak ada yang pasti. Yang Martin lakukan hanya berenang sendirian, tanpa benar-benar ada arah yang pasti.
Yang benar-benar membuat Swimming Alone berharga adalah tone dan pendekatan naratifnya. Tidak seperti kebanyakan sutradara yang cenderung menampilkan grafik klimaks, Ezequiel Acuña malah mengarahkan filmnya pada pengalaman demi pengalaman yang akan dirasa penontonnya. Ketimbang menjelaskan permasalahan yang dikandung, Swimming Alone lebih mengajak penontonnya mengobservasi Martin. Pujian juga patut dilayangkan pada aktor muda Nicolás Mateo yang begitu sensitif tapi begitu arif dalam memberikan penampilan. Ini salah satu wujud paling nyata film yang lebih barupa “show” ketimbang “tell.”
Swimming Alone begitu sederahan, begitu simpel, begitu kecil, namun memberikan pengalaman dan pengamatan yang menakjubkan dan menyesakkan. Dan yang paling istimewa dari film ini adalah liris demi liris yang dikandung di setiap adegan yang berpadupadan sempurna dengan nada melankolisnya. Menonton film ini lebih seperti menyimak bagaimana Martin berenang sendirian, ketimbang kenapa Martin berenang sendirian.
Pemain: Nicolás Mateo, Santiago Pedrero, Antonella Costa, Tomás Fonzi, Manuel Callau, Mónica Galán, Mailen Glave, Alberto Rojas Apel, Matías Castelli, Gerardo Chendo
Tahun Rilis: 2003
Judul Internasional: Swimming Alone
Martin (Nicolás Mateo) berenang sendirian. Entah memang dia suka berenang sendirian, atau memang Martin yang merasa dia sedang berenang sendirian. Padahal, ketika dia nongol ke permukaan kolam, ada orang-orang lain juga yang berenang di sekitar. Saya rasa, Martin, yang usianya kira-kira masih tujuh belas tahun, memang merasa sedang berenang sendirian.
Padaha tidak ada yang salah dengan Martin. Ia hidup berkecekupan. Keluarganya terlihat baik-baik saja. Terlepas dari fakta kakaknya yang sepertinya sudah lama kabur dari rumah, keluarganya baik-baik saja. Mereka masih sarapan tanpa masalah apa-apa di meja makan. Mungkin tidak bisa juga disebut sangat-amat harmonis, tapi yang jelas tidak terlihat masalah apa-apa. Martin juga disekolahkan di sekolah yang mapan. Tidak terlalu ada masalah juga dengan kehidupan sekolahnya. Ia tidak diganggui. Tidak pula menganggu. Martin bersahabat dengan Guille (Santiago Pedrero). Bersama Guille dan seorang basis lagi, Martin membentuk sebuah band kecil-kecilan. Sekalipun basis mereka sering telat (bahkan tidak datang), tidak terlalu ada yang salah dengan Martin. Tapi Martin tidak bahagia. Dia tidak merasa bahagia, entah itu di rumah, di sekolah, ataupun di tengah teman-temannya. Sekalipun tidak ada yang salah dengan keluarga, sekolah, ataupun teman-temannya, Martin merasa tidak merasa menjadi bagian dari kehidupan tersebut. Yang Martin rasakan hanyalah isolasi.
Saya rasa apa yang dirasakan Martin wajar dan manusiawi. Mungkin ada yang merasa hidup berkecukupan, pintar, dengan keluarga yang berkecukupan saja, namun sayangnya tidak terpuaskan secara batin dengan kondisi tersebut? Sulit menjelaskan perasaan semacam ini, sekalinya pernah merasakan, saya rasa, Anda pasti bakal mengerti betul apa yang Martin rasakan. Dan untungnya Ezequiel Acuña cukup tajam dalam menangkap detil-detil dilema batin Martin. Sebagai seseorang yang sedang dihadapkan pada krisis emosional, krisis batin, dan krisis kebahagian, wajar saja Martin tengah mencari solusi. Martin tengah mencari sesuatu yang dapat membuatnya merasa menjadi bagian dalam kehidupannya. Sesuatu yang dapat memuaskan segala kebutuhan batinnya. Sayangnya Martin tidak tahu apa yang harus dia cari. Yang dilakukannya hanya berenang, berenang, dan terus berenang sendirian, tanpa benar-benar berkomunikasi, tanpa benar-benar peduli.
Muncul ide di kepala Martin untuk mencari kakaknya yang sudah pergi entah kemana, berharap dengan menemukan kakaknya Martin dapat menemukan kepuasan batin juga. Mencari kakak memang tujuannya, tapi apakah benar-benar bisa menumbuhkan kebahagian? Tidak ada yang pasti. Yang Martin lakukan hanya berenang sendirian, tanpa benar-benar ada arah yang pasti.
Yang benar-benar membuat Swimming Alone berharga adalah tone dan pendekatan naratifnya. Tidak seperti kebanyakan sutradara yang cenderung menampilkan grafik klimaks, Ezequiel Acuña malah mengarahkan filmnya pada pengalaman demi pengalaman yang akan dirasa penontonnya. Ketimbang menjelaskan permasalahan yang dikandung, Swimming Alone lebih mengajak penontonnya mengobservasi Martin. Pujian juga patut dilayangkan pada aktor muda Nicolás Mateo yang begitu sensitif tapi begitu arif dalam memberikan penampilan. Ini salah satu wujud paling nyata film yang lebih barupa “show” ketimbang “tell.”
Swimming Alone begitu sederahan, begitu simpel, begitu kecil, namun memberikan pengalaman dan pengamatan yang menakjubkan dan menyesakkan. Dan yang paling istimewa dari film ini adalah liris demi liris yang dikandung di setiap adegan yang berpadupadan sempurna dengan nada melankolisnya. Menonton film ini lebih seperti menyimak bagaimana Martin berenang sendirian, ketimbang kenapa Martin berenang sendirian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar