Oleh: Rio Johan (Rijon)Sutradara: Michel Deville
Pemain: Pierre Clémenti, Michèle Morgan, Michel Piccoli, Catherine Deneuve, Francine Bergé, Anna Gaël, Catherine Rouvel, Tania Torrens, Odile Versois, Simone Bach, Angelo Bardi, Sacha Briquet, André Cellier, Lyne Chardonnet, Madeleine Damien
Tahun Rilis: 1968
Judul Internasional: Benjamin, or The Diary of an Innocent Young Boy
Pierre Clémenti, seorang ikon sinema avant-garde Perancis era 60-an. Dalam Benjamin ia memerankan sesosok tokoh antitipe. Sebagai Benjamin, Clémenti disandingkan pada wanita-wanita ternama nan cantik dari berbagai generasi, mulai dari Michèle Morgan sampai Catherine Deneuve (yang masih begitu belia). Tiada satupun yang tangannya tak tergoda untuk menyentuh Benjamin.
Padahal Benjamin bukan playboy profesional. Ia hanya bocah yatim piatu 17-an yang masih polos nan lugu. (Boleh dibilang versi Perancis dari “Tom Jones.”) Benjamin dititipkan pada pamannya yang melarat, dan seumur hidup hanya berdua di kediaman yang kumuh. Tiada perempuan. Tiada cinta. Tiada berahi. Sampai si paman memutuskan untuk menitipkan Benjamin pada seorang bibi, seorang Comtesse yang kaya raya (Michèle Morgan) yang hobi berpesta. Benjamin diterima di real estate bibi yang luar biasa. Masuklah Benjamin ke dalam masyarakat hedonisme ala abad ke-18.
Cerita yang disuguhkan sungguh sangat sederhana, nyaris tak berplot. Yang tersaji sepanjang film hanyalah adegan tokoh yang satu mencoba merayu tokoh yang lain dengan segala macam tipu muslihat. Benjamin memerhatikan segala aksi-silat rayuan-bercinta-percintaan dengan penuh perhatian. Ia menemukan sesuatu yang baru yang belum pernah ditemukan sebelumnya. Segala temuanya itu ia catat pada sebuah buku harian kecil yang selalu dibawa ke mana-mana. Termasuk rayuan-rayuan dari tiga pelayan muda nan cantik yang tergila-gila padanya. Juga dua teman kaya bibinya yang tak kuasa menahan gairah di depannya.
Terkisah pula sang Comtesse menyimpan seorang kekasih di kastilnya (Michel Piccoli), yang ternyata tak mampu menahan berahi dari perempuan-perempuan cantik lainnya. Kekasih bibinya ini kelak yang memperkenalkan Benjamin pada seorang perempuan yatim cantik (Catherine Deneuve), yang pada akhirnya membuatnya jatuh cinta. Namun gadis sudah membuat Benjamin merasakan jatuh cinta itu malah jatuh cinta pada kekasih sang Comtesse. Rumit menjabarkannya! Polanya: si ini jatuh cinta pada si itu, yang jatuh cinta pada si anu, tapi jatuh cinta pada si ini, yang ternyata mencintai si itu, dan seterusnya.
Benjamin membawa tradisi politik seksual ala Tom Jones, Mademoiselle, Dangerous Liaisons, dan sejenisnya, di mana rayuan-rayuan bertebaran serta gairah dan cinta dipermainkan. Pesta yang digelar bibi Benjamin pun diam-diam berubah menjadi medan peperangan. Untungnya Benjamin menampilkannya dengan tidak murahan, sebaliknya penuh gaya. Silat lidah dari lawan ke mangsa disampaikan begitu renyah. Orang-orang dibalut dasi dan topi mahal atau gaun melekar, lengkap dengan tata krama yang begitu terpelajar. Humor-humor yang disajikan punya rasa spesial. Kalau saya harus mendeskripsikan serupa apa humor di film ini, mungkin saya akan menggunakan kata “seduksi yang elegan.” Bahkan ketika orang-orang mulai menanggalkan pakaian.
Pemain: Pierre Clémenti, Michèle Morgan, Michel Piccoli, Catherine Deneuve, Francine Bergé, Anna Gaël, Catherine Rouvel, Tania Torrens, Odile Versois, Simone Bach, Angelo Bardi, Sacha Briquet, André Cellier, Lyne Chardonnet, Madeleine Damien
Tahun Rilis: 1968
Judul Internasional: Benjamin, or The Diary of an Innocent Young Boy
Pierre Clémenti, seorang ikon sinema avant-garde Perancis era 60-an. Dalam Benjamin ia memerankan sesosok tokoh antitipe. Sebagai Benjamin, Clémenti disandingkan pada wanita-wanita ternama nan cantik dari berbagai generasi, mulai dari Michèle Morgan sampai Catherine Deneuve (yang masih begitu belia). Tiada satupun yang tangannya tak tergoda untuk menyentuh Benjamin.
Padahal Benjamin bukan playboy profesional. Ia hanya bocah yatim piatu 17-an yang masih polos nan lugu. (Boleh dibilang versi Perancis dari “Tom Jones.”) Benjamin dititipkan pada pamannya yang melarat, dan seumur hidup hanya berdua di kediaman yang kumuh. Tiada perempuan. Tiada cinta. Tiada berahi. Sampai si paman memutuskan untuk menitipkan Benjamin pada seorang bibi, seorang Comtesse yang kaya raya (Michèle Morgan) yang hobi berpesta. Benjamin diterima di real estate bibi yang luar biasa. Masuklah Benjamin ke dalam masyarakat hedonisme ala abad ke-18.
Cerita yang disuguhkan sungguh sangat sederhana, nyaris tak berplot. Yang tersaji sepanjang film hanyalah adegan tokoh yang satu mencoba merayu tokoh yang lain dengan segala macam tipu muslihat. Benjamin memerhatikan segala aksi-silat rayuan-bercinta-percintaan dengan penuh perhatian. Ia menemukan sesuatu yang baru yang belum pernah ditemukan sebelumnya. Segala temuanya itu ia catat pada sebuah buku harian kecil yang selalu dibawa ke mana-mana. Termasuk rayuan-rayuan dari tiga pelayan muda nan cantik yang tergila-gila padanya. Juga dua teman kaya bibinya yang tak kuasa menahan gairah di depannya.
Terkisah pula sang Comtesse menyimpan seorang kekasih di kastilnya (Michel Piccoli), yang ternyata tak mampu menahan berahi dari perempuan-perempuan cantik lainnya. Kekasih bibinya ini kelak yang memperkenalkan Benjamin pada seorang perempuan yatim cantik (Catherine Deneuve), yang pada akhirnya membuatnya jatuh cinta. Namun gadis sudah membuat Benjamin merasakan jatuh cinta itu malah jatuh cinta pada kekasih sang Comtesse. Rumit menjabarkannya! Polanya: si ini jatuh cinta pada si itu, yang jatuh cinta pada si anu, tapi jatuh cinta pada si ini, yang ternyata mencintai si itu, dan seterusnya.
Benjamin membawa tradisi politik seksual ala Tom Jones, Mademoiselle, Dangerous Liaisons, dan sejenisnya, di mana rayuan-rayuan bertebaran serta gairah dan cinta dipermainkan. Pesta yang digelar bibi Benjamin pun diam-diam berubah menjadi medan peperangan. Untungnya Benjamin menampilkannya dengan tidak murahan, sebaliknya penuh gaya. Silat lidah dari lawan ke mangsa disampaikan begitu renyah. Orang-orang dibalut dasi dan topi mahal atau gaun melekar, lengkap dengan tata krama yang begitu terpelajar. Humor-humor yang disajikan punya rasa spesial. Kalau saya harus mendeskripsikan serupa apa humor di film ini, mungkin saya akan menggunakan kata “seduksi yang elegan.” Bahkan ketika orang-orang mulai menanggalkan pakaian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar