Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Peter Care
Pemain: Emile Hirsch, Kieran Culkin, Jena Malone, Vincent D'Onofrio, Jodie Foster
Tahun Rilis: 2002
Seputar Ekspektasi yang Menyimpang
SEBENARNYA saya ingin sekali membahas stereotipe-stereotipe miring masyarakat tentang kapasitas konteks film remaja, tapi sepertinya lebih baik saya simpan untuk film remaja selanjutnya saja. “The Dangerous Lives of Altar Boys” itu judulnya, atau kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi: “Kehidupan Berbahaya Pelayan-pelayan Misa”.
Apa yang pertama kali tersirat di kepala saya ketika membaca judul itu? Hahaha. Ketahuliah, pertama kali saya memasukkan CD 1 pertama film ini ke tray disc laptop, ekspekstasi saya berupa film hitam seputar skandal terlarang antara pelayan misa dengan pastur mesum (semacam film “Primal Fear”). Jangan salahkan ekspektasi saya, jangan pula mengira saya mesum, tapi itulah yang saya rasa bakal ditangkap sebagian para penggila film ketika melihat judul semacam itu. Tapi ternyata tebakan saya 100% berbeda dengan yang saya dapat dari film indie ini.
Lantas tema apa yang diusung film yang diangkat dari draft novel Chris Fuhrman, penulis aslinya, yang sudah meninggal duluan sebelum novelnya terselesaikan? Keremajaan, layaknya film-film remaja umumnya, adalah tema utama film ini. Ketimbang menyajikan drama hitam seperti yang saya harapkan, film ini malah menyugukan sebuah tontonan komedi kehidupan seputar tabu-tabu kehidupan remaja gereja. Tapi jangan berharap pula film ini bakal membuat penonton ngakak ala komedi konyol semacam “American Pie”. Kalau Anda tipe penonton yang “hanya” mengharapkan “ngakak” dari sebuah komedi, maka jangan tonton komedi semacam film ini. Bukan. Ini bukan komedi konyol, ini lebih pada komedi kehidupan. Komedi dalam film ini berupa yang menyulap isu-isu sosial dalam masyarakat menjadi sebuah potret humoris sekaligus ironis, setidaknya itulah yang saya tangkap. Saya sendiri lebih suka mengategorikan film ini ke dalam kelompok black comedy remaja.
Tabu-tabu Kehidupan Remaja
Bisa dibilang keseluruhan cerita film ini difokuskan pada perspektif Frances Doyle, tokoh utama film, seorang pelayan misa di sekolah Katolik St. Agatha. Semua bentuk permasalahan kehidupan yang dihadapi Frances diposisikan sesuai dengan kacamata dan pola pikir remajanya: mulai dari percintaan monyetnya dengan Margie Flynn, petualangan dengan sahabatnya Kieran Culkin, hingga masalah-masalah seputar kehidupan sekolahnya (terutama ihwal Sister Assumpta, biarawati yang “keganasana dan kekejamannya” setara dengan setan dari kacamata remaja Frances). Menariknya, semua pengalaman kehidupan remajanya itu dituangkan pada sebuah proyek komik superhero “Atomic Trinity” yang karakter-karaternya pun merupakan versi fiksional dari tokoh-tokoh nyata di kehidupan Frances (termasuk Sister Assumpta yang digambarkan sebagai setan di komiknya).
Francis Doyle, dan temannya Tim Sullivan, diceritakan bukan sebagai sosok pelajar sekolah Katolik yang normal-normal saja. Mereka menjalani masa keremajaan dengan keseruan dari dunia petualangan-petualangan yang mereka ciptakan sendiri. Liar, bisa dikatakan. Icip-icip rokok sampai minuman (walaupun tidak sampai kadar parah). Obsesi seks (walaupun sebatas ukuran bocah). Hingga kenakalan-kenakalan remaja berupa pelanggaran hingga pelecehan nilai-nilai di sekolah mereka. Tentu, semua tabu-tabu itu, seperti yang sudah saya bilang sebelumnya, digambarkan di film sebagai sesuatu yang “seru” (sesuai dengan kacamata tokoh).
Konflik pun berkembang ketika “keseruan” itu ternyata menimbulkan konsekuensi. Hubungan asamara Frances yang memasuki tahap dilema ketika mendapati fakta bahwa kekasih hatinya ternyata sering melakukan hubungan seksual paksa dengan kakaknya sendiri. Hal itu menimbulkan perasaan gundah dan tidak yakin di kepala Frances atas hubungan monyetnya itu. Belum lagi tindakan keseruan remajanya, mencuri patung St. Agatha dari sekolah, yang ujung-ujungnya malah menimbulkan masalah baru. Tekanan psikologis Frances ketika menghadapi konflik-konflik keremajaannya itu tidak hanya digambarkan secara visual, tapi juga secara komikal melalui adegan-adegan animatik dari proyek komiknya. Suatu bentuk penggambaran transisi dari penangkapan faktual Frances menu dunia imajinasinya.
Nuansa Black Comedy Remaja Bercampur dengan Tema Kedewasaan
Para pemain remaja di film ini, terutama Emile Hrisch (pemain utama) dan Jena Malone (pemain yang memainkan Margie yang tampangnya agak mengingatkan saya pada Arumi Bachsin), bisalah dibilang sudah membawakan peran masing-masing dengan baik. Jodie Foster melakukan penampilan yang memberikan nilai tambah untuk film ini.
Banyak momen-momen humorik di film ini, tapi banyak juga adegan-adegan yang dirasa terlalu dewasa bila menilik pada nuansa yang dibangun film ini dari awal. Masalah seksual yang dihadapi Margie, misalnya, yang menurut saya terlalu tinggi untuk level black comedy yang sudah terbangun. Satu kelemahan lagi pada endingnya, yang juga menurut saya terlalu sentimentil untuk feel yang sudah terbangun dari awal. Melihat endingnya, seakan-akan menyaksikan transisi mendadak film ini dari black comedy menjadi sebuah kisah dramatik.
Sutradara: Peter Care
Pemain: Emile Hirsch, Kieran Culkin, Jena Malone, Vincent D'Onofrio, Jodie Foster
Tahun Rilis: 2002
Seputar Ekspektasi yang Menyimpang
SEBENARNYA saya ingin sekali membahas stereotipe-stereotipe miring masyarakat tentang kapasitas konteks film remaja, tapi sepertinya lebih baik saya simpan untuk film remaja selanjutnya saja. “The Dangerous Lives of Altar Boys” itu judulnya, atau kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi: “Kehidupan Berbahaya Pelayan-pelayan Misa”.
Apa yang pertama kali tersirat di kepala saya ketika membaca judul itu? Hahaha. Ketahuliah, pertama kali saya memasukkan CD 1 pertama film ini ke tray disc laptop, ekspekstasi saya berupa film hitam seputar skandal terlarang antara pelayan misa dengan pastur mesum (semacam film “Primal Fear”). Jangan salahkan ekspektasi saya, jangan pula mengira saya mesum, tapi itulah yang saya rasa bakal ditangkap sebagian para penggila film ketika melihat judul semacam itu. Tapi ternyata tebakan saya 100% berbeda dengan yang saya dapat dari film indie ini.
Lantas tema apa yang diusung film yang diangkat dari draft novel Chris Fuhrman, penulis aslinya, yang sudah meninggal duluan sebelum novelnya terselesaikan? Keremajaan, layaknya film-film remaja umumnya, adalah tema utama film ini. Ketimbang menyajikan drama hitam seperti yang saya harapkan, film ini malah menyugukan sebuah tontonan komedi kehidupan seputar tabu-tabu kehidupan remaja gereja. Tapi jangan berharap pula film ini bakal membuat penonton ngakak ala komedi konyol semacam “American Pie”. Kalau Anda tipe penonton yang “hanya” mengharapkan “ngakak” dari sebuah komedi, maka jangan tonton komedi semacam film ini. Bukan. Ini bukan komedi konyol, ini lebih pada komedi kehidupan. Komedi dalam film ini berupa yang menyulap isu-isu sosial dalam masyarakat menjadi sebuah potret humoris sekaligus ironis, setidaknya itulah yang saya tangkap. Saya sendiri lebih suka mengategorikan film ini ke dalam kelompok black comedy remaja.
Tabu-tabu Kehidupan Remaja
Bisa dibilang keseluruhan cerita film ini difokuskan pada perspektif Frances Doyle, tokoh utama film, seorang pelayan misa di sekolah Katolik St. Agatha. Semua bentuk permasalahan kehidupan yang dihadapi Frances diposisikan sesuai dengan kacamata dan pola pikir remajanya: mulai dari percintaan monyetnya dengan Margie Flynn, petualangan dengan sahabatnya Kieran Culkin, hingga masalah-masalah seputar kehidupan sekolahnya (terutama ihwal Sister Assumpta, biarawati yang “keganasana dan kekejamannya” setara dengan setan dari kacamata remaja Frances). Menariknya, semua pengalaman kehidupan remajanya itu dituangkan pada sebuah proyek komik superhero “Atomic Trinity” yang karakter-karaternya pun merupakan versi fiksional dari tokoh-tokoh nyata di kehidupan Frances (termasuk Sister Assumpta yang digambarkan sebagai setan di komiknya).
Francis Doyle, dan temannya Tim Sullivan, diceritakan bukan sebagai sosok pelajar sekolah Katolik yang normal-normal saja. Mereka menjalani masa keremajaan dengan keseruan dari dunia petualangan-petualangan yang mereka ciptakan sendiri. Liar, bisa dikatakan. Icip-icip rokok sampai minuman (walaupun tidak sampai kadar parah). Obsesi seks (walaupun sebatas ukuran bocah). Hingga kenakalan-kenakalan remaja berupa pelanggaran hingga pelecehan nilai-nilai di sekolah mereka. Tentu, semua tabu-tabu itu, seperti yang sudah saya bilang sebelumnya, digambarkan di film sebagai sesuatu yang “seru” (sesuai dengan kacamata tokoh).
Konflik pun berkembang ketika “keseruan” itu ternyata menimbulkan konsekuensi. Hubungan asamara Frances yang memasuki tahap dilema ketika mendapati fakta bahwa kekasih hatinya ternyata sering melakukan hubungan seksual paksa dengan kakaknya sendiri. Hal itu menimbulkan perasaan gundah dan tidak yakin di kepala Frances atas hubungan monyetnya itu. Belum lagi tindakan keseruan remajanya, mencuri patung St. Agatha dari sekolah, yang ujung-ujungnya malah menimbulkan masalah baru. Tekanan psikologis Frances ketika menghadapi konflik-konflik keremajaannya itu tidak hanya digambarkan secara visual, tapi juga secara komikal melalui adegan-adegan animatik dari proyek komiknya. Suatu bentuk penggambaran transisi dari penangkapan faktual Frances menu dunia imajinasinya.
Nuansa Black Comedy Remaja Bercampur dengan Tema Kedewasaan
Para pemain remaja di film ini, terutama Emile Hrisch (pemain utama) dan Jena Malone (pemain yang memainkan Margie yang tampangnya agak mengingatkan saya pada Arumi Bachsin), bisalah dibilang sudah membawakan peran masing-masing dengan baik. Jodie Foster melakukan penampilan yang memberikan nilai tambah untuk film ini.
Banyak momen-momen humorik di film ini, tapi banyak juga adegan-adegan yang dirasa terlalu dewasa bila menilik pada nuansa yang dibangun film ini dari awal. Masalah seksual yang dihadapi Margie, misalnya, yang menurut saya terlalu tinggi untuk level black comedy yang sudah terbangun. Satu kelemahan lagi pada endingnya, yang juga menurut saya terlalu sentimentil untuk feel yang sudah terbangun dari awal. Melihat endingnya, seakan-akan menyaksikan transisi mendadak film ini dari black comedy menjadi sebuah kisah dramatik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar