Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Jerry Zaks
Pemain: Diane Keaton, Leonardo DiCaprio, Meryl Streep, Robert De Niro, Hume Cronyn, Gwen Verdon, Hal Scardino, Dan Hedaya
Tahun Rilis: 1996
Film ini diangkat dari naskah drama panggung “Marvin's Room” karya Scott McPherson.
Penyakit dalam Film
PENYAKIT dalam film, khususnya drama, bukanlah hal baru. Berbagai macam nama dan jenis penyakit sudah dipampangkan di dunia perfilman, mulai dari penyakit psikologis hingga penyakit biologis, mulai dari batuk-batuk hingga penyakit kronis. Bahkan ada juga film malah menggunakan nama-nama penyakit-penyakit yang tidak ramah di telinga, contohnya: “The Others” yang memperkenalkan xeroderma pigmentosum atau “Lorenzo's Oil” yang membawa nama adrenoleukodystrophy (ALD). Ada juga film yang menyajikan penyakit fiksional: seperti wabah kebutaan tiba-tiba dalam film “Blindness” atau infertility epidemic dalam film “Children of Men”.
Apalagi Leukimia (kanker darah), penyakit yang diusung dalam “Marvin's Room”. Sudah berapa banyak film-film yang menceritakan sisi sentimentil dari tokoh yang sekarat, hampir mati, bahkan nyaris berkesan lebih baik mati? Bahkan di dunia persinetron-sinetronan Indonesia pun bentuk-bentuk seperti bukanlah hal baru lagi. Dalam sinetron, tema sesentimentil ini bisa jadi obyek yang sangat komersil: dengan bumbu-bumbu dramatisme tingkat tinggi, ditambah cucuran air mata bak air hujan, plus sendu-sendu tangisan yang terasa lebay – jadilah sinetron yang mampu menyedot haru-biru ibu-ibu rumah tangga.
Tidak ada yang baru sebenarnya dari “Marvin's Room” (tentunya film ini tidak se-lebay sinetron-sinetron Indonesia dengan tema sejenis), hanya saja bumbu-bumbu dan arah tema leukimia itu dibawa yang membuat film ini cukup menarik disimak. Secara garis besar, ketimbang menceritakan tentang leukimia, saya rasa film ini lebih tepat disebut film tentang keluarga. Alasannya, fokus permasalahan film ini, saya rasa lebih, lebih pada pencarian kembali makna keluarga dari masing-masing tokohnya, ketimbang pada leukimianya (sekalipun leukimia menjadi tema penting juga di sini).
Bercerita tentang Bessie, perawan tua yang terpaksa harus mengasuh bapaknya, Marvin, lumpuh seorang diri karena tidak tega menelantarkan bapaknya itu ke panti jompo. Sementara Lee, adiknya Bessie, sudah dua puluh tahun silam kabur bersama suaminya ke Ohio dan tidak pernah lagi berhubungan dengan keluarganya. Bessie terkena leukimia, untuk itu dia membutuhkan donor untuk melakukan transplantasi sumsum tulang belakang. Setelah dua puluh tahun tidak berhubungan dengan keluarganya, Lee mendapat telepon dari Bessie yang mengabarkan tentang leukimiannya itu. Di saat yang sama pula, Lee sebenarnya tengah mengalami permasalahan krisis kepercayaan tersendiri dengan putra sulungnya, Hank. Dengan begini, Hank yang saat itu sedang dalam pengawasan institusi mental, harus ikut serta dalam perjalanan Lee kembali ke keluarganya. Di sini, sembari mencari jalan keluar seputar leukimia yang diderita Bessie mulai lah konflik sebenarnya: pencarian kembali makna keluarga bagi masing-masing tokohnya.
Ketajaman Penampilan
Pada dasarnya, tidak ada yang terlalu spesial dengan skenario ceritanya. Fairy tale selayaknya film-film tentang keluarga lainnya. Tidak ada yang terlalu menggugah. Tapi lain ceritanya bila skenario yang tidak spesial itu dibawakan oleh pemain-pemain profesional. Sebut saja Diane Keaton, perempuan yang sempat nangkring di film “The Godfather”, yang sudah membuktikan kapasitas cemerlangnya di film “Reds” dan “Annie's Hall”. Atau Leonardo diCaprio, pemain muda (di film ini beliau masih muda) yang berhasil memberikan penam memukau dalam film “What's Eating Gilbert Grape?”. Jangan tanya soal Meryl Streep!
Ketiga nama profesional itu sudah sangat berhasil menghipnotis saya dengan perannya masing-masing. Meryl Streep, secerdas biasanya, berhasil menggambarkan transisi kesadaran sosok Lee dari perempuan yang acuh terhadap keluarga. Leonardo diCaprio pun mampu mengimbangi keprofesionalitasan Meryl Streep dengan penampilannya sebagai Hank, anak Lee, yang pada dasarnya sangat merindukan perhatian. Diane Keaton memimpin film ini, malah melibihi kecemerlangan Leonardo diCaprio atau Meryl Streep sekalipun. Beliau memberikan gambaran cerdas tentang tokohnya, Bessie, yang rentan menjadi obyek sentimentil ini.
Secara keseluruhan, memang tidak ada yang terlalu spesial dalam drama keluarga ringan ini, tapi penampilan emas para pemainnya lah yang membuat film ini menjadi film keluarga yang sangat spesial. Secara tematik pun, tidak ada yang bisa dibahas kritis - panjang dan lebar, seperti tema-tema film keluarga pada umumnya: pencarian kembali makna keluarga. That's all.
Sutradara: Jerry Zaks
Pemain: Diane Keaton, Leonardo DiCaprio, Meryl Streep, Robert De Niro, Hume Cronyn, Gwen Verdon, Hal Scardino, Dan Hedaya
Tahun Rilis: 1996
Film ini diangkat dari naskah drama panggung “Marvin's Room” karya Scott McPherson.
Penyakit dalam Film
PENYAKIT dalam film, khususnya drama, bukanlah hal baru. Berbagai macam nama dan jenis penyakit sudah dipampangkan di dunia perfilman, mulai dari penyakit psikologis hingga penyakit biologis, mulai dari batuk-batuk hingga penyakit kronis. Bahkan ada juga film malah menggunakan nama-nama penyakit-penyakit yang tidak ramah di telinga, contohnya: “The Others” yang memperkenalkan xeroderma pigmentosum atau “Lorenzo's Oil” yang membawa nama adrenoleukodystrophy (ALD). Ada juga film yang menyajikan penyakit fiksional: seperti wabah kebutaan tiba-tiba dalam film “Blindness” atau infertility epidemic dalam film “Children of Men”.
Apalagi Leukimia (kanker darah), penyakit yang diusung dalam “Marvin's Room”. Sudah berapa banyak film-film yang menceritakan sisi sentimentil dari tokoh yang sekarat, hampir mati, bahkan nyaris berkesan lebih baik mati? Bahkan di dunia persinetron-sinetronan Indonesia pun bentuk-bentuk seperti bukanlah hal baru lagi. Dalam sinetron, tema sesentimentil ini bisa jadi obyek yang sangat komersil: dengan bumbu-bumbu dramatisme tingkat tinggi, ditambah cucuran air mata bak air hujan, plus sendu-sendu tangisan yang terasa lebay – jadilah sinetron yang mampu menyedot haru-biru ibu-ibu rumah tangga.
Tidak ada yang baru sebenarnya dari “Marvin's Room” (tentunya film ini tidak se-lebay sinetron-sinetron Indonesia dengan tema sejenis), hanya saja bumbu-bumbu dan arah tema leukimia itu dibawa yang membuat film ini cukup menarik disimak. Secara garis besar, ketimbang menceritakan tentang leukimia, saya rasa film ini lebih tepat disebut film tentang keluarga. Alasannya, fokus permasalahan film ini, saya rasa lebih, lebih pada pencarian kembali makna keluarga dari masing-masing tokohnya, ketimbang pada leukimianya (sekalipun leukimia menjadi tema penting juga di sini).
Bercerita tentang Bessie, perawan tua yang terpaksa harus mengasuh bapaknya, Marvin, lumpuh seorang diri karena tidak tega menelantarkan bapaknya itu ke panti jompo. Sementara Lee, adiknya Bessie, sudah dua puluh tahun silam kabur bersama suaminya ke Ohio dan tidak pernah lagi berhubungan dengan keluarganya. Bessie terkena leukimia, untuk itu dia membutuhkan donor untuk melakukan transplantasi sumsum tulang belakang. Setelah dua puluh tahun tidak berhubungan dengan keluarganya, Lee mendapat telepon dari Bessie yang mengabarkan tentang leukimiannya itu. Di saat yang sama pula, Lee sebenarnya tengah mengalami permasalahan krisis kepercayaan tersendiri dengan putra sulungnya, Hank. Dengan begini, Hank yang saat itu sedang dalam pengawasan institusi mental, harus ikut serta dalam perjalanan Lee kembali ke keluarganya. Di sini, sembari mencari jalan keluar seputar leukimia yang diderita Bessie mulai lah konflik sebenarnya: pencarian kembali makna keluarga bagi masing-masing tokohnya.
Ketajaman Penampilan
Pada dasarnya, tidak ada yang terlalu spesial dengan skenario ceritanya. Fairy tale selayaknya film-film tentang keluarga lainnya. Tidak ada yang terlalu menggugah. Tapi lain ceritanya bila skenario yang tidak spesial itu dibawakan oleh pemain-pemain profesional. Sebut saja Diane Keaton, perempuan yang sempat nangkring di film “The Godfather”, yang sudah membuktikan kapasitas cemerlangnya di film “Reds” dan “Annie's Hall”. Atau Leonardo diCaprio, pemain muda (di film ini beliau masih muda) yang berhasil memberikan penam memukau dalam film “What's Eating Gilbert Grape?”. Jangan tanya soal Meryl Streep!
Ketiga nama profesional itu sudah sangat berhasil menghipnotis saya dengan perannya masing-masing. Meryl Streep, secerdas biasanya, berhasil menggambarkan transisi kesadaran sosok Lee dari perempuan yang acuh terhadap keluarga. Leonardo diCaprio pun mampu mengimbangi keprofesionalitasan Meryl Streep dengan penampilannya sebagai Hank, anak Lee, yang pada dasarnya sangat merindukan perhatian. Diane Keaton memimpin film ini, malah melibihi kecemerlangan Leonardo diCaprio atau Meryl Streep sekalipun. Beliau memberikan gambaran cerdas tentang tokohnya, Bessie, yang rentan menjadi obyek sentimentil ini.
Secara keseluruhan, memang tidak ada yang terlalu spesial dalam drama keluarga ringan ini, tapi penampilan emas para pemainnya lah yang membuat film ini menjadi film keluarga yang sangat spesial. Secara tematik pun, tidak ada yang bisa dibahas kritis - panjang dan lebar, seperti tema-tema film keluarga pada umumnya: pencarian kembali makna keluarga. That's all.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar