Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: David Lean
Pemain: Omar Sharif, Julie Christie, Geraldine Chaplin, Rod Steiger, Alex Guinnes, Tom Courtenay
Tahun Rilis: 1965
Film ini diangkat dari novel “Doctor Zhivago” karya Boris Pasternak.
SATU lagi mahakarya dari David Lean, sutradara dengan sederet karya-karya legenda lainnya:. Sebut saja: “Lawrence of Arabia”, “The Bridge on the River Kwai”, “Ryan's Daughter”, dan “A Passage to India”.
Saya tahu apa yang kebanyakan orang pikirkan bila mendapati film-film klasik seperti ini: kuno, katrok, jadul, dan tidak memanjakan mata. Ya. Tidak memanjakan mata! Bagi orang-orang yang, mungkin, sudah terbuai oleh hipnotis kecanggihan-kecanggihan gambar film-film era modern ini, gambar-gambar yang disajikan di dalam “Doctor Zhivago” bukanlah apa-apa. Tapi untuk ukuran sinema klasik, gambar-gambar di film ini cukup mengenakkan.
Layaknya gambar, kualitas suara sinema klasik pun tidak sejernih film-film era modern ini. Yah, jangan terlalu berharap kualitas suara secanggih “Avatar” dalam film terbitan tahun 1960-an, bukan?
Here comes the story!
Tapi, bagi saya, unsur yang paling intrinsik dari sebuah film sendiri adalah kisahnya. Suara dan sinematografi adalah keharusan nomor sekian dalam sebuah film. Banyak film-film era modern ini yang terjebak (atau terbuai) dengan hanya menampilkan kecanggihan visualisasi, tapi akhirnya malah menyepelekan kedalaman cerita itu sendiri. “Clash of Titan” dan “New Moon” contoh nyatanya.
Tapi tidak dengan “Doctor Zhivago”! Justru kekritisan pendalaman ceritanya lah yang membuat sinematografi katrok dan sistem suara jadul itu jadi sangat tertutupi. Dari temanya, cinta di suatu hingar-bingar revolusi, tema ini agak mengingatkan saya dengan film Austrilia “The Years of Living Dangerously (1982)” yang menceritakan tentang kisah romansa seorang wartawan asing di tengah kekacauan 30 September 1965 di Indonesia. Bedanya, film ini lebih menampilkan nuansa yang lebih epik ketimbang kekentalan politik.
Setting film ini kurang lebih bekutat di seputar masa Revolusi Rusia (1917) dan Perang Sipil Rusia (1918-1920). Mengenai storyline-nya sendiri, film ini bisa dibagi menjadi tiga bagian utama: revolusi, Perang Dunia II, dan pasca perang sipil. Tokoh utama yang dihadirkan adalah Dr. Yuri Andreyevich Zhivago, yang diasuh oleh teman ibunya karena kematian ibu dan sudah ditelantarkan bapaknya. Lalu Lara Antipova, seorang yang terlibat affair dengan Viktor Komarovsky (teman ibunya), padahal dia sendiri sudah bertunangan dengan Pasha Antipov (seorang remaja pejuang revolusi). Lalu tokoh yang tidak kalah penting adalah Tonya Gromeko, anak dari orang tua asuh Yuri yang nantinya malah akan menjadi mempersuami Yuri.
Omar Sharif, aktor Mesir yang juga bermain di “Lawrence of Arabia”, somehow tampil berlebihan secara emosional di beberapa bagian. Applause sekadarnya saya tujukan pada Julie Christie yang sudah sangat berhasil mencuri perhatian saya di setiap adegannya. Penampilan Julie Christie di sini bisa dibilang cukup sensibel and somehow passionate.
Mulanya, film berkutat seputar dilema kehidupan Lara seputar affair-nya dengan Viktor Komarovsky dan pertunangannya dengan Pasha Antipov (yang notabene pejuang revolusi). Lalu kisah pun bergulir, melalui pertemuan singkat yang tidak biasa timbulah rasa simpatik Yuri terhadap Lara. Sayangnya, seiring kisah pun bergulir, Yuri sudah harus menikah dengan Tonya. Yap, kisah cinta epik ini berkutat antara kisah cinta segitiga itu. Tapi yang membuat film ini lebih penting, bukan hanya kisah cintanya, tapi bagaimana film ini mampu menyajikan semacam kisah perih dan luka perang dari cerminan cinta segitiga itu. Selain itu, film ini juga mampu menyuguhkan semacam titik pandang politikal perang di masa itu.
Sutradara: David Lean
Pemain: Omar Sharif, Julie Christie, Geraldine Chaplin, Rod Steiger, Alex Guinnes, Tom Courtenay
Tahun Rilis: 1965
Film ini diangkat dari novel “Doctor Zhivago” karya Boris Pasternak.
SATU lagi mahakarya dari David Lean, sutradara dengan sederet karya-karya legenda lainnya:. Sebut saja: “Lawrence of Arabia”, “The Bridge on the River Kwai”, “Ryan's Daughter”, dan “A Passage to India”.
Saya tahu apa yang kebanyakan orang pikirkan bila mendapati film-film klasik seperti ini: kuno, katrok, jadul, dan tidak memanjakan mata. Ya. Tidak memanjakan mata! Bagi orang-orang yang, mungkin, sudah terbuai oleh hipnotis kecanggihan-kecanggihan gambar film-film era modern ini, gambar-gambar yang disajikan di dalam “Doctor Zhivago” bukanlah apa-apa. Tapi untuk ukuran sinema klasik, gambar-gambar di film ini cukup mengenakkan.
Layaknya gambar, kualitas suara sinema klasik pun tidak sejernih film-film era modern ini. Yah, jangan terlalu berharap kualitas suara secanggih “Avatar” dalam film terbitan tahun 1960-an, bukan?
Here comes the story!
Tapi, bagi saya, unsur yang paling intrinsik dari sebuah film sendiri adalah kisahnya. Suara dan sinematografi adalah keharusan nomor sekian dalam sebuah film. Banyak film-film era modern ini yang terjebak (atau terbuai) dengan hanya menampilkan kecanggihan visualisasi, tapi akhirnya malah menyepelekan kedalaman cerita itu sendiri. “Clash of Titan” dan “New Moon” contoh nyatanya.
Tapi tidak dengan “Doctor Zhivago”! Justru kekritisan pendalaman ceritanya lah yang membuat sinematografi katrok dan sistem suara jadul itu jadi sangat tertutupi. Dari temanya, cinta di suatu hingar-bingar revolusi, tema ini agak mengingatkan saya dengan film Austrilia “The Years of Living Dangerously (1982)” yang menceritakan tentang kisah romansa seorang wartawan asing di tengah kekacauan 30 September 1965 di Indonesia. Bedanya, film ini lebih menampilkan nuansa yang lebih epik ketimbang kekentalan politik.
Setting film ini kurang lebih bekutat di seputar masa Revolusi Rusia (1917) dan Perang Sipil Rusia (1918-1920). Mengenai storyline-nya sendiri, film ini bisa dibagi menjadi tiga bagian utama: revolusi, Perang Dunia II, dan pasca perang sipil. Tokoh utama yang dihadirkan adalah Dr. Yuri Andreyevich Zhivago, yang diasuh oleh teman ibunya karena kematian ibu dan sudah ditelantarkan bapaknya. Lalu Lara Antipova, seorang yang terlibat affair dengan Viktor Komarovsky (teman ibunya), padahal dia sendiri sudah bertunangan dengan Pasha Antipov (seorang remaja pejuang revolusi). Lalu tokoh yang tidak kalah penting adalah Tonya Gromeko, anak dari orang tua asuh Yuri yang nantinya malah akan menjadi mempersuami Yuri.
Omar Sharif, aktor Mesir yang juga bermain di “Lawrence of Arabia”, somehow tampil berlebihan secara emosional di beberapa bagian. Applause sekadarnya saya tujukan pada Julie Christie yang sudah sangat berhasil mencuri perhatian saya di setiap adegannya. Penampilan Julie Christie di sini bisa dibilang cukup sensibel and somehow passionate.
Mulanya, film berkutat seputar dilema kehidupan Lara seputar affair-nya dengan Viktor Komarovsky dan pertunangannya dengan Pasha Antipov (yang notabene pejuang revolusi). Lalu kisah pun bergulir, melalui pertemuan singkat yang tidak biasa timbulah rasa simpatik Yuri terhadap Lara. Sayangnya, seiring kisah pun bergulir, Yuri sudah harus menikah dengan Tonya. Yap, kisah cinta epik ini berkutat antara kisah cinta segitiga itu. Tapi yang membuat film ini lebih penting, bukan hanya kisah cintanya, tapi bagaimana film ini mampu menyajikan semacam kisah perih dan luka perang dari cerminan cinta segitiga itu. Selain itu, film ini juga mampu menyuguhkan semacam titik pandang politikal perang di masa itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar