Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Tom Tykwer
Pemain: Franka Potente, Moritz Bleibtreu
Tahun Rilis: 1998
Judul Internasional: “Run Lola Run”
SEJUJURNYA saya tidak suka suasana nge-punk yang terasa cukup kental di film ini. Tapi abaikan saja, toh semua itu tertutupi oleh keunikan alurnya. Layaknya “Momento” yang mempunyai cara tersendiri untuk bercerita, thriller dari German ini pun memberikan alur yang berbeda dari normalnya film-film bercerita.
Konsep tentang batas waktu dan nyawa ganda sebenarnya bukanlah hal yang benar-benar baru dikeluarkan oleh “Run Lola Run”. Sebelumnya tema serupa (dengan cerita yang berbeda) pernah diusung dalam film “La double vie de Véronique” film Polandia besutan sutradara Krzysztof Kieślowski. Layaknya “La double vie de Véronique,” “Run Lola Run” juga kental akan aspek surrealisme, fantasi, bahkan supranatural yang juga tidak dijelaskan hingga akhir filmnya. Dan semua ke-absurd-an itu dipampangkan dengan cara betutur film eksperimental (kalau saya boleh bilang ini “Run Lola Run” termasuk film eksperimental).
Lola (Franka Potente), wanita yang berambut shocking red, baru saja menerima telepon dari kekasihnya Manni. Manni terbelit masalah pelik dengan gangster lokal terkait persoal uang,. Manni meminta bantuan Lola dan sebagai kekasih Lola pun merasa harus menolong. Dalam rentang waktu 20 menit, Manni harus sudah mendapatkan uang tersebut. Menyimak crime drama ini bisa diibaratkan menyimak sebuah permainan pelik yang memacu adrenalin. Perjuangan Lola di film ini dibagi menjadi tiga babak (tiga nyawa, atau tiga versi alternatif kehidupan) – layaknya video game. Sutradara pun tidak lupa menambahkan koneksi-koneksi sekaligus diversitas di setiap nyawa. Muncul frame-frame masa depan yang muncul setiap kali Lola berjumpa dengan orang (yang selalu sama di setiap nyawanya). Sekalipun dari orang yang sama, nyatanya gambaran masa depan yang muncul tidaklah sama untuk setiap nyawa Lola. Hal ini semacam simbolisme pertegasan salah satu (mungkin) tema utama film ini: tentang gambaran masa depan.
Kedua pemeran utama film ini memberikan penampilan yang solid. Pengambilan gambar adegan-adegannya, yang bisa dibilang cepat, pun turut mampu membantu membangkitkan mood. Film ini juga konsisten menjaga pace-nya dari awal hingga akhir. Sekalipun konsep tema film ini bukanlah hal baru (walau faktanya memang jarang dijumpai), semua aspek yang saya sebutkan di atas bisa membuat penonton merasakan orisinalitas nyata film ini.
Sutradara: Tom Tykwer
Pemain: Franka Potente, Moritz Bleibtreu
Tahun Rilis: 1998
Judul Internasional: “Run Lola Run”
SEJUJURNYA saya tidak suka suasana nge-punk yang terasa cukup kental di film ini. Tapi abaikan saja, toh semua itu tertutupi oleh keunikan alurnya. Layaknya “Momento” yang mempunyai cara tersendiri untuk bercerita, thriller dari German ini pun memberikan alur yang berbeda dari normalnya film-film bercerita.
Konsep tentang batas waktu dan nyawa ganda sebenarnya bukanlah hal yang benar-benar baru dikeluarkan oleh “Run Lola Run”. Sebelumnya tema serupa (dengan cerita yang berbeda) pernah diusung dalam film “La double vie de Véronique” film Polandia besutan sutradara Krzysztof Kieślowski. Layaknya “La double vie de Véronique,” “Run Lola Run” juga kental akan aspek surrealisme, fantasi, bahkan supranatural yang juga tidak dijelaskan hingga akhir filmnya. Dan semua ke-absurd-an itu dipampangkan dengan cara betutur film eksperimental (kalau saya boleh bilang ini “Run Lola Run” termasuk film eksperimental).
Lola (Franka Potente), wanita yang berambut shocking red, baru saja menerima telepon dari kekasihnya Manni. Manni terbelit masalah pelik dengan gangster lokal terkait persoal uang,. Manni meminta bantuan Lola dan sebagai kekasih Lola pun merasa harus menolong. Dalam rentang waktu 20 menit, Manni harus sudah mendapatkan uang tersebut. Menyimak crime drama ini bisa diibaratkan menyimak sebuah permainan pelik yang memacu adrenalin. Perjuangan Lola di film ini dibagi menjadi tiga babak (tiga nyawa, atau tiga versi alternatif kehidupan) – layaknya video game. Sutradara pun tidak lupa menambahkan koneksi-koneksi sekaligus diversitas di setiap nyawa. Muncul frame-frame masa depan yang muncul setiap kali Lola berjumpa dengan orang (yang selalu sama di setiap nyawanya). Sekalipun dari orang yang sama, nyatanya gambaran masa depan yang muncul tidaklah sama untuk setiap nyawa Lola. Hal ini semacam simbolisme pertegasan salah satu (mungkin) tema utama film ini: tentang gambaran masa depan.
Kedua pemeran utama film ini memberikan penampilan yang solid. Pengambilan gambar adegan-adegannya, yang bisa dibilang cepat, pun turut mampu membantu membangkitkan mood. Film ini juga konsisten menjaga pace-nya dari awal hingga akhir. Sekalipun konsep tema film ini bukanlah hal baru (walau faktanya memang jarang dijumpai), semua aspek yang saya sebutkan di atas bisa membuat penonton merasakan orisinalitas nyata film ini.
bagus!!
BalasHapus