Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Majid Majidi
Pemain: Hossein Abedini, Zahra Bahrami, Mohammad Amir Naji, Abbas Rahimi, Gholam Ali Bakhshi
Tahun Rilis: 2002
Judul Internasional: “Baran”
SINEMA Iran salah satunya memang terkenal dengan film-film humanistik realismenya. “Baduk,” “Pedar,” “Children of Heaven,” dan “The Color of Paradise” adalah salah satu contohnya. Film-film itu, termasuk film ini juga, mengingatkan saya kembali akan tujuan sesungguhnya dari sebuah film selain sebagai medium hiburan semata. Tapi, yang membuat judul-judul itu lebih hebat lagi, adalah bagaimana mereka tidak melupakan identitasnya sebagai seni hanya karena tendensi untuk menampilkan pesan.
Hal penting itu salah satu poin yang sekarang ini sering diabaikan oleh sineas-sineas Indonesia tercinta kita.
Masuk ke resensi.
Garis besarnya, Baran bercerita tentang kemanusiaan melali konflik pendewasaan dan romansa diam-diam tokoh Lateef (Hossein Abedini). Lateef bekerja di sebuah proyek pembangunan yang diurush (dikepalai) bapak tirinya, Memar (Mohammad Amir Naji). Cerita ini bersetting kira-kira disekitar tahun 2001, di mana banyak pengngsi-pengngsi Afganistan singgah di Iran karena peperangan dengan Rusia sekaligus juga karena rezim Taliban yang semakin opresif. Abaikan saja latar politik terebut, cerita ini bukan tentang kasus politik perang melainkan (lebih tepatnya) sebuah coming of age. Proyek pembangunan tempat Lateef bekerja secara ilegal memperkerjakan pengungsi-pengungsi Afganistan. Di tempatnya bekerja, Lateef bertemu dengan Rahmat (Zahra Bahrami - yang sebenarnya perempuan), pengungsi Afganistan yang terpaksa menggantikan kerja bapaknya (karena kaki bapaknya terkilir).
Untungnya, Majid Majidi tidak membawa drama ini ke arah sentimentil. Untung film ini tidak dibseut oleh Hanung Brahmantyo dengan metode dramatisme over-sentimentil ala “Ayat-Ayat Cinta.” Pendekatan realsime nyatanya memang jauh lebih cocok untuk tema cerita yang berpotensi melankolis itu. Hasil gabungannya dengan realisme Majid Majidi? Hasilnya film ini jadi meyakinkan dan masuk akal.
Hal tersebut bisa dirasakan jelas dari cara Majid Majidi menggambarkan transisi tokoh Lateef dari pemuda egois menjadi sosok yang lebih memaknai hidup. Cara Majid Majidi mebangun sensitivitas Lateef terhadap kehidupan mulai dari titik nol sangat meyakinkan akal sehat saya. Mencari jati diri. Mengembangkan perasaan cinta diam-diamnya. Bahkan Majid Majidi tidak lupa melibatkan pembelajaran kultural dalam pendewasaan Lateef. Itulah kehebatan utamanya bagi saya.
Tokoh-tokoh dalam “Baran” yang bila ditilik sekilas sepertinya too good to be true ternyata bisa menjadi sangat realistik dengan penampilan Hossein Abedini dan Zahra Bahrami. Kedua tokoh utama film ini membuat tokoh-tokoh film ini tidak terasa plastik. Tokoh-tokohnya, bahkan, terasanya nyata. Hidup. Dan mungkin terjadi. Semua itu semata-mata berkat penampilan sangat naturalistik dari tokoh-tokohnya (terutama tokoh utamanya).
Secara pribadi, film ini memberikan pandangan yang berbeda pada saya perihal pengungsian. Bukan hanya memberikan pengetahuan, tapi film ini juga (dengan cara yang mulus) mengajak saya berpikir dua kali perihal kemanusian.
Sutradara: Majid Majidi
Pemain: Hossein Abedini, Zahra Bahrami, Mohammad Amir Naji, Abbas Rahimi, Gholam Ali Bakhshi
Tahun Rilis: 2002
Judul Internasional: “Baran”
SINEMA Iran salah satunya memang terkenal dengan film-film humanistik realismenya. “Baduk,” “Pedar,” “Children of Heaven,” dan “The Color of Paradise” adalah salah satu contohnya. Film-film itu, termasuk film ini juga, mengingatkan saya kembali akan tujuan sesungguhnya dari sebuah film selain sebagai medium hiburan semata. Tapi, yang membuat judul-judul itu lebih hebat lagi, adalah bagaimana mereka tidak melupakan identitasnya sebagai seni hanya karena tendensi untuk menampilkan pesan.
Hal penting itu salah satu poin yang sekarang ini sering diabaikan oleh sineas-sineas Indonesia tercinta kita.
Masuk ke resensi.
Garis besarnya, Baran bercerita tentang kemanusiaan melali konflik pendewasaan dan romansa diam-diam tokoh Lateef (Hossein Abedini). Lateef bekerja di sebuah proyek pembangunan yang diurush (dikepalai) bapak tirinya, Memar (Mohammad Amir Naji). Cerita ini bersetting kira-kira disekitar tahun 2001, di mana banyak pengngsi-pengngsi Afganistan singgah di Iran karena peperangan dengan Rusia sekaligus juga karena rezim Taliban yang semakin opresif. Abaikan saja latar politik terebut, cerita ini bukan tentang kasus politik perang melainkan (lebih tepatnya) sebuah coming of age. Proyek pembangunan tempat Lateef bekerja secara ilegal memperkerjakan pengungsi-pengungsi Afganistan. Di tempatnya bekerja, Lateef bertemu dengan Rahmat (Zahra Bahrami - yang sebenarnya perempuan), pengungsi Afganistan yang terpaksa menggantikan kerja bapaknya (karena kaki bapaknya terkilir).
Untungnya, Majid Majidi tidak membawa drama ini ke arah sentimentil. Untung film ini tidak dibseut oleh Hanung Brahmantyo dengan metode dramatisme over-sentimentil ala “Ayat-Ayat Cinta.” Pendekatan realsime nyatanya memang jauh lebih cocok untuk tema cerita yang berpotensi melankolis itu. Hasil gabungannya dengan realisme Majid Majidi? Hasilnya film ini jadi meyakinkan dan masuk akal.
Hal tersebut bisa dirasakan jelas dari cara Majid Majidi menggambarkan transisi tokoh Lateef dari pemuda egois menjadi sosok yang lebih memaknai hidup. Cara Majid Majidi mebangun sensitivitas Lateef terhadap kehidupan mulai dari titik nol sangat meyakinkan akal sehat saya. Mencari jati diri. Mengembangkan perasaan cinta diam-diamnya. Bahkan Majid Majidi tidak lupa melibatkan pembelajaran kultural dalam pendewasaan Lateef. Itulah kehebatan utamanya bagi saya.
Tokoh-tokoh dalam “Baran” yang bila ditilik sekilas sepertinya too good to be true ternyata bisa menjadi sangat realistik dengan penampilan Hossein Abedini dan Zahra Bahrami. Kedua tokoh utama film ini membuat tokoh-tokoh film ini tidak terasa plastik. Tokoh-tokohnya, bahkan, terasanya nyata. Hidup. Dan mungkin terjadi. Semua itu semata-mata berkat penampilan sangat naturalistik dari tokoh-tokohnya (terutama tokoh utamanya).
Secara pribadi, film ini memberikan pandangan yang berbeda pada saya perihal pengungsian. Bukan hanya memberikan pengetahuan, tapi film ini juga (dengan cara yang mulus) mengajak saya berpikir dua kali perihal kemanusian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar