Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Stephen Daldry
Pemain: Jamie Bell, Julie Walters, Gary Lewis, Jamie Draven, Stuart Wells
Tahun Rilis: 2000
BERLATAR di Inggris di masa protes pertambangan (1984-1985), “Billy Elliot” berpusat pada tokoh Billy Elliot (Jamie Bell), seorang bocah yang menyukai balet dan harus memperjuangkan bakat baletnya itu di depan bapaknya dan kakaknya. Kalau biasanya dipertontonkan film-film bertema emansipasi wanita; “Million Dollar Baby,” dan judul-judul setipe lainnya. “Billy Elliot” malah mempertontonkan emansipasi pria – kurang lebih. Garis besarnya, film ini mengkritisi persoalan diskriminasi gender.
Film ini berlatar di sebuah kota pertambangan di Inggris. Cerita dimulai dengan Billy Elliot yang terpaksa harus mengikuti kelas tinju karena suruhan bapaknya. Yah, sekali tinju, Billy KO. Kehidupan Billy di rumah pun bisa dibilang keras: bapak yang keras dan kakak (Jamie Draven) yang tidak kalah keras pula. Suatu hari, Billy menyimak sebuah kelas balet yang dipimpin oleh wanita, Mrs. Georgia Wilkinson (Julie Walters). Billy terpesona. Malu-malu, Billy pun bergabung dengan kelas balet itu. Billy satu-satunya anak laki-laki di kelas itu.
Billy berteman dengan Michael (Staurt Wells) yang ternyata homoseksual dan suka menggunakan pakaian wanita. Malahan, Michael diam-diam sepertinya menyimpan rasa ketertarikan (cinta (?)) terhadap Billy. Hanya saja, Billy sepertinya tidak merasakan sebaliknya. Billy juga tidak terlalu keberatan berteman dengan Michael yang notabene gay. Tapi Billy bukan gay. Kenormalan orientasi seksual Billy ini ditunjukkan melalui adegan perang-perangan bantal Billy dengan anak guru baletnya, Debbie (Nicola Blackwell). Billy mendadak malu di akhir adegan perang-perangan itu. Tahu kan artinya?
Sayangnya kesukaan Billy terhadap balet berbeda dengan bapak dan kakak yang menganggap pebalet laki-laki setara dengan homoseksual. Dan jelas sekali, adalah sebuah pelecehan besar-besaran bagi bapak dan kakaknya bila mendapati Billy mengikuti kelas balet.
Ada satu kemendadakan yang agak menganggu di film ini. Bapaknya Billy, yang mulanya menolak mentah-mentah (bahkan menganggap memalukan) kesukaan Billy terhadap balet, tiba-tiba berubah seratus delapan puluh derajat menjadi penyokong karir Billy. Adegan perubahan drastis ini digambarkan karena si bapak melihat keteguhan Billy terhadap balet di suatu malam. Hanya saja, adegan ini kurang menggambarkan perubahan itu.
Tetap saja, dan untungnya, secara keseluruhan film ini termasuk film yang terjalin rapi. Konfliknya hingga penggalian karakter tokohnya, semuanya bisa dibilang efektif dan efisien. Bahkan hingga bumbu-bumbunya.
Jamie Bell, si tokoh utama, menyedot banyak perhatian di film ini. Untuk ukuran pemeran anak-anak, Jamie Bell menunjukkan bagaimana seharusnya pemeran anak-anak mengontrol emosinya dalam tiap adegan tanpa perlu tampil dengan emosi overloaded. Sebagai film yang bersentral di tokoh anak-anak, karakter Billy Elliot ini termasuk karakter yang rentan untuk diperankan anak-anak (sama halnya dengan “The Sixth Sense” dan “Atonement”). Untungnya Jamie Bell tidak hanya mampu membuat tokohnya hidup, tidak pula hanya mampu membuat tokohnya menarik simpati penonton, tapi juga mampu membuat tokohnya terlihat fantasik sekaligus realistik secara bersamaan. Julie Walters dan Gary Lewis pun patut diberi kredit untuk penampilan mereka yang juga menggugah.
Untuk ukuran film yang bersentral pada tokoh anak-anak, film ini termasuk jauh lebih serius, termasuk jauh lebih dewasa, dan juga termasuk jauh lebih realistis ketimbang film-film setipe pada umumnya (sebut saja “Laskar Pelangi”). Film ini membuktikan bahwa drama dengan tokoh utama anak-anak bisa tampil realistis tanpa perlu over-melodramatis.
Sutradara: Stephen Daldry
Pemain: Jamie Bell, Julie Walters, Gary Lewis, Jamie Draven, Stuart Wells
Tahun Rilis: 2000
BERLATAR di Inggris di masa protes pertambangan (1984-1985), “Billy Elliot” berpusat pada tokoh Billy Elliot (Jamie Bell), seorang bocah yang menyukai balet dan harus memperjuangkan bakat baletnya itu di depan bapaknya dan kakaknya. Kalau biasanya dipertontonkan film-film bertema emansipasi wanita; “Million Dollar Baby,” dan judul-judul setipe lainnya. “Billy Elliot” malah mempertontonkan emansipasi pria – kurang lebih. Garis besarnya, film ini mengkritisi persoalan diskriminasi gender.
Film ini berlatar di sebuah kota pertambangan di Inggris. Cerita dimulai dengan Billy Elliot yang terpaksa harus mengikuti kelas tinju karena suruhan bapaknya. Yah, sekali tinju, Billy KO. Kehidupan Billy di rumah pun bisa dibilang keras: bapak yang keras dan kakak (Jamie Draven) yang tidak kalah keras pula. Suatu hari, Billy menyimak sebuah kelas balet yang dipimpin oleh wanita, Mrs. Georgia Wilkinson (Julie Walters). Billy terpesona. Malu-malu, Billy pun bergabung dengan kelas balet itu. Billy satu-satunya anak laki-laki di kelas itu.
Billy berteman dengan Michael (Staurt Wells) yang ternyata homoseksual dan suka menggunakan pakaian wanita. Malahan, Michael diam-diam sepertinya menyimpan rasa ketertarikan (cinta (?)) terhadap Billy. Hanya saja, Billy sepertinya tidak merasakan sebaliknya. Billy juga tidak terlalu keberatan berteman dengan Michael yang notabene gay. Tapi Billy bukan gay. Kenormalan orientasi seksual Billy ini ditunjukkan melalui adegan perang-perangan bantal Billy dengan anak guru baletnya, Debbie (Nicola Blackwell). Billy mendadak malu di akhir adegan perang-perangan itu. Tahu kan artinya?
Sayangnya kesukaan Billy terhadap balet berbeda dengan bapak dan kakak yang menganggap pebalet laki-laki setara dengan homoseksual. Dan jelas sekali, adalah sebuah pelecehan besar-besaran bagi bapak dan kakaknya bila mendapati Billy mengikuti kelas balet.
Ada satu kemendadakan yang agak menganggu di film ini. Bapaknya Billy, yang mulanya menolak mentah-mentah (bahkan menganggap memalukan) kesukaan Billy terhadap balet, tiba-tiba berubah seratus delapan puluh derajat menjadi penyokong karir Billy. Adegan perubahan drastis ini digambarkan karena si bapak melihat keteguhan Billy terhadap balet di suatu malam. Hanya saja, adegan ini kurang menggambarkan perubahan itu.
Tetap saja, dan untungnya, secara keseluruhan film ini termasuk film yang terjalin rapi. Konfliknya hingga penggalian karakter tokohnya, semuanya bisa dibilang efektif dan efisien. Bahkan hingga bumbu-bumbunya.
Jamie Bell, si tokoh utama, menyedot banyak perhatian di film ini. Untuk ukuran pemeran anak-anak, Jamie Bell menunjukkan bagaimana seharusnya pemeran anak-anak mengontrol emosinya dalam tiap adegan tanpa perlu tampil dengan emosi overloaded. Sebagai film yang bersentral di tokoh anak-anak, karakter Billy Elliot ini termasuk karakter yang rentan untuk diperankan anak-anak (sama halnya dengan “The Sixth Sense” dan “Atonement”). Untungnya Jamie Bell tidak hanya mampu membuat tokohnya hidup, tidak pula hanya mampu membuat tokohnya menarik simpati penonton, tapi juga mampu membuat tokohnya terlihat fantasik sekaligus realistik secara bersamaan. Julie Walters dan Gary Lewis pun patut diberi kredit untuk penampilan mereka yang juga menggugah.
Untuk ukuran film yang bersentral pada tokoh anak-anak, film ini termasuk jauh lebih serius, termasuk jauh lebih dewasa, dan juga termasuk jauh lebih realistis ketimbang film-film setipe pada umumnya (sebut saja “Laskar Pelangi”). Film ini membuktikan bahwa drama dengan tokoh utama anak-anak bisa tampil realistis tanpa perlu over-melodramatis.
suka saya film nya
BalasHapusSama, saya juga. Suka banget. Bagusan ini dari Laskar Pelangi.
BalasHapuslove this sooooooo much.
BalasHapus