Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Lasse Hallström
Pemain: Channing Tatum, Amanda Seyfried, Henry Thomas, Scott Porter, Richard Jenkins
Tahun Rilis: 2010
Film ini diadaptasi dari novel “Dear John” karya Nicholas Sparks.
YA, “Dear John” berhasil menampilkan senyuman manis Amanda Seyfried (sekaligus bikininya) sekaligus kegagahan Channing Tatum – sekalipun film ini bukan film tinju-tinjuan, urban, atau “G.I. Joe.” Permasalahannya, film ini gagal menampilkan apa yang sesungguhnya ingin ditampilkan. Saya sendiri belum pernah membaca novel Nicholas Sparks, jadi saya tidak akan mengunkit-ungkit novelnya. Hanya saja, untuk sebuah film romantis, “Dear John” terbilang gagal.
Sekitar 2001-an, John (Channing Tatum), seorang tentara anggota (semacam) pasukan khusus, yang nekat terjun dari dermaga yang tingginya sekitar 20 kaki demi tas seorang gadis cantik jelita bernama Savannah (Amanda Seyfried). John pun berkenalan dengan Savannah. John juga berkenalan dengan tetangga Savannah, Tim Wheddon (Henry Thomas) dan putranya, Alan (Braeden Reed), yang menderita autis. John juga mengenalkan Savannah pada ayahnya (Richard Jenkins) yang super pendiam, hobi mengumpulkan koin-koin aneh, selalu masak ayam tiap hari sabtu, dan selalu masa lasgna tiap hari minggu – sepertinya juga menderita autis. Sudah bisa ditebak apa yang akan terjadi antara John dan Savannah, selanjutnya? Perlukah diceritakan lagi?
Masalahnya, John adalah seorang tentara. Dan tugas tentara bukan berdua-duaan dengan Savannah, tapi di medan perang. John harus bertugas nun jauh di sana. Bisa disimpulkan, perang adalah plot device film ini. Karena perang, John harus bertugas. Karena perang, John harus pergi ke negeri antah berantah. Karena perang, John harus jauh dari Savannah. Solusinya, John dan Savannah saling bertukar surat. John tidak bisa benar-benar memberi tahu Savannah di mana posisinya atau tugas semacam apa yang sedang dia lakukan (top secret gitu). Mulai titik ini, film bercerita dengan cara naratif melalui surat-surat “Dear John”.
Kalau melihat film-film yang diadaptasi dari novel-novel karangan Nicholas Sparks lainnya; “The Notebook,” “A Walk to Remember,” dan judul-judul lainnya. “Dear John” ini benar-benar berciri khas Nicholas Sparks; cinta, tragedi, takdir, dan tentu saja semuanya dibalut dengan nada melodramatis. Tidak heran pula kalau kisah cinta John dan Savannah ini dibumbui detil-detil seperti autisme dan tragedi 9/11. Sayangnya, adaptasi “Dear John” ini mempunyai dua kesalahan.
Kesalahan pertama adalah latar belakang sosok John (sang tokoh utama). Tidak ada penjelasan yang jelas bagaimana hubungan John dan bapaknya. Dari film, bisa diketahui jelas kalau ada yang salah dengan bapaknya John. Hanya saja, tidak digambarkan apakah John menyadarinya? Di usianya yang sudah dewasa? Tidakkah John sadar ada yang aneh dengan bapaknya? Film ini hanya menceritakan sekilas sejarah obsesi bapaknya John terhadap koin. Tapi hanya sebatas itu saja. Dan mengenai tanggapan John terhadap kondisi bapaknya, film ini hanya menjelaskan bahwa John tidak terima Savannah menganggap bapaknya tidak normal. Tapi bagaimana dengan tanggapannya sendiri? Apakah John hanya membiarkan bapaknya terus-terusan pendiam, murung, dan bermain-main dengan koin? Rasanya kejam (dan aneh) kalau John (di usia yang sudah bisa dibilang dewasa) tidak pernah merasa aneh dengan kondisi bapaknya. Film ini tidak terlalu menjelaskan.
Tidak ada yang salah sebenarnya dengan penampilan para pemainnya. Pas-pas saja. Toh mereka hanya memainkan porsi masing-masing sesuai skenario yang ada. Kesalahan memang datang dari skenarionya. Kesalahan fatalnya adalah penggambaran masa-masa surat-suratan antara John dan Savannah – yang seharusnya menjadi momen paling penting film ini. Nyatanya, penggunaan metoda narasi paralel antara John dan Savannah dari dua tempat yang berjauhan sama sekali tidak berhasil memberi kesan bahwa mereka benar-benar berjauhan dan benar-benar rindu setengah mati.
Sutradara: Lasse Hallström
Pemain: Channing Tatum, Amanda Seyfried, Henry Thomas, Scott Porter, Richard Jenkins
Tahun Rilis: 2010
Film ini diadaptasi dari novel “Dear John” karya Nicholas Sparks.
YA, “Dear John” berhasil menampilkan senyuman manis Amanda Seyfried (sekaligus bikininya) sekaligus kegagahan Channing Tatum – sekalipun film ini bukan film tinju-tinjuan, urban, atau “G.I. Joe.” Permasalahannya, film ini gagal menampilkan apa yang sesungguhnya ingin ditampilkan. Saya sendiri belum pernah membaca novel Nicholas Sparks, jadi saya tidak akan mengunkit-ungkit novelnya. Hanya saja, untuk sebuah film romantis, “Dear John” terbilang gagal.
Sekitar 2001-an, John (Channing Tatum), seorang tentara anggota (semacam) pasukan khusus, yang nekat terjun dari dermaga yang tingginya sekitar 20 kaki demi tas seorang gadis cantik jelita bernama Savannah (Amanda Seyfried). John pun berkenalan dengan Savannah. John juga berkenalan dengan tetangga Savannah, Tim Wheddon (Henry Thomas) dan putranya, Alan (Braeden Reed), yang menderita autis. John juga mengenalkan Savannah pada ayahnya (Richard Jenkins) yang super pendiam, hobi mengumpulkan koin-koin aneh, selalu masak ayam tiap hari sabtu, dan selalu masa lasgna tiap hari minggu – sepertinya juga menderita autis. Sudah bisa ditebak apa yang akan terjadi antara John dan Savannah, selanjutnya? Perlukah diceritakan lagi?
Masalahnya, John adalah seorang tentara. Dan tugas tentara bukan berdua-duaan dengan Savannah, tapi di medan perang. John harus bertugas nun jauh di sana. Bisa disimpulkan, perang adalah plot device film ini. Karena perang, John harus bertugas. Karena perang, John harus pergi ke negeri antah berantah. Karena perang, John harus jauh dari Savannah. Solusinya, John dan Savannah saling bertukar surat. John tidak bisa benar-benar memberi tahu Savannah di mana posisinya atau tugas semacam apa yang sedang dia lakukan (top secret gitu). Mulai titik ini, film bercerita dengan cara naratif melalui surat-surat “Dear John”.
Kalau melihat film-film yang diadaptasi dari novel-novel karangan Nicholas Sparks lainnya; “The Notebook,” “A Walk to Remember,” dan judul-judul lainnya. “Dear John” ini benar-benar berciri khas Nicholas Sparks; cinta, tragedi, takdir, dan tentu saja semuanya dibalut dengan nada melodramatis. Tidak heran pula kalau kisah cinta John dan Savannah ini dibumbui detil-detil seperti autisme dan tragedi 9/11. Sayangnya, adaptasi “Dear John” ini mempunyai dua kesalahan.
Kesalahan pertama adalah latar belakang sosok John (sang tokoh utama). Tidak ada penjelasan yang jelas bagaimana hubungan John dan bapaknya. Dari film, bisa diketahui jelas kalau ada yang salah dengan bapaknya John. Hanya saja, tidak digambarkan apakah John menyadarinya? Di usianya yang sudah dewasa? Tidakkah John sadar ada yang aneh dengan bapaknya? Film ini hanya menceritakan sekilas sejarah obsesi bapaknya John terhadap koin. Tapi hanya sebatas itu saja. Dan mengenai tanggapan John terhadap kondisi bapaknya, film ini hanya menjelaskan bahwa John tidak terima Savannah menganggap bapaknya tidak normal. Tapi bagaimana dengan tanggapannya sendiri? Apakah John hanya membiarkan bapaknya terus-terusan pendiam, murung, dan bermain-main dengan koin? Rasanya kejam (dan aneh) kalau John (di usia yang sudah bisa dibilang dewasa) tidak pernah merasa aneh dengan kondisi bapaknya. Film ini tidak terlalu menjelaskan.
Tidak ada yang salah sebenarnya dengan penampilan para pemainnya. Pas-pas saja. Toh mereka hanya memainkan porsi masing-masing sesuai skenario yang ada. Kesalahan memang datang dari skenarionya. Kesalahan fatalnya adalah penggambaran masa-masa surat-suratan antara John dan Savannah – yang seharusnya menjadi momen paling penting film ini. Nyatanya, penggunaan metoda narasi paralel antara John dan Savannah dari dua tempat yang berjauhan sama sekali tidak berhasil memberi kesan bahwa mereka benar-benar berjauhan dan benar-benar rindu setengah mati.
kebalikannya mas, kalau saya malah demen banget ama ni film, ...ga tau kenapa ya....
BalasHapus