Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Elia Kazan
Pemain: Julie Harris, James Dean, Raymond Massey, Burl Ives, Richard Davalos, Jo Van Fleet
Tahun Rilis: 1955
Film ini diadaptasi dari novel “East of Eden” karya John Steinbeck.
Film yang satu ini bisa dibilang daur ulang dari kisah “Cain dan Abel” dalam Injil (“Qabil and Habil” kalau versi Al-Qur'an-nya). Atau bisa dikatakan juga, film ini menggunakan premis persaingan antar saudara dalam “Cain dan Abel.”
“East of Eden” bercerita tentang perjuangan seorang pemuda, Cal (Cain), merebut cinta dari ayahnya, Adam (Raymond Massey). Cal adalah sosok yang labil, gampang berprasangka, dan cemburuan. Cal cemburu akan cinta sang ayah dengan saudaranya, Aron (Abel) (Richard Davalos). Di mata Cal, semua yang dikerjakan Aron selalu dipandang sempurna oleh ayahnya. Dan sebaliknya, bagi Cal, semua yang dikerjakannya tidak pernag dihargai oleh ayahnya. Sang ayah, Adam, adalah petani yang mengelola ladang di pinggiran Kota Monterey. Adam merupakan sosok yang sangat religius. Dia menghukum Cal dengan Injil. Pembukaan film ini, yang berupa adegan keributan di “kamar es”, sudah sangat efektif menjabarkan permasalahan inti tersebut.
Permasalahan keluarga ini ternyata tidak hanya sebatas persaingan antar suadara itu. Dari suatu sumber, Cal mendapati ternyata sang ayah sudah berbohong perihal keberadaan ibunya. Ayahnya selama ini selalu mencekoki kedua anaknya bahwa ibu mereka sudah damai di surga. Nyatanya, ibu mereka, Kate (Jo Van Fleet), masih segar menjalankan bisnisnya di kota. Dari sebuah adegan, didapati bahwa Kate meninggalkan keluarganya karena dia ingin bebas. Kate tidak mau diperintah ini itu oleh suaminya – yang pasti, bisnisnya tidak akan jalan bila terus tetap dengan suaminya. Cal, akhirnya, tahu keberadaan ibunya, tapi Aron tidak sama sekali.
Suatu hari, karena suatu musibah, Adam mengalami kerugian karena semua hasil panennya rusak. Cal menangkap sebuah kesempatan untuk mendapatkan cinta sang bapak dari musibah ini. Cal, diam-diam, berencana menanam kacang. Menurut perkiraan Cal, tidak lama lagi pasti Amerika akan turut andil dalam Perang Dunia I, dan saat itu harga kacang akan naik pesat. Untuk memulai bisnis Cal butuh modal. Maka Cal menemui ibunya untuk meminjam modal.
Di sisi lain, ternyata Cal tidak hanya bersaing mendapatkan cinta sang ayah. Perlahan-lahan (dan diam-diam) Cal dan Abra (Julie Harris) membangun perasaan ke satu sama lain. Singkatnya, Cal diam-diam jatuh cinta pada tunangan saudaranya, dan Abra pun demikian.
“East of Eden” tidak benar-benar 100% menyulap “Cain dan Abel” ke versi tragedi keluarga zaman Perang Dunia I. Tidak benar-benar ada adegan Cal menikam mati Aron di sini. Hanya saja, diceritakan Cal merusak kepercayaan Aron terhadap ayah dengan memberi tahu fakta tentang ibu mereka. Aron yang sejak kecil berbakti dan sangat amat percaya pada ayahnya, jelas sekali sangat terhentak mendapati fakat tersebut.
Dan kalau menengok tokoh utamanya, Cal. Cal tidak benar-benar digambarkan tokoh yang amat sangat licik di sini. Cal hanya sosok yang tidak pernah dapat perhatian dan butuh perhatian. Cal hanya sosok pemurung dan penyendiri. Pada dasarnya, Cal bukanlah sosok yang keji, kejam, licik, dan tega menghalalkan segala cara. Cal hendak menolong Aron ketika saudaranya itu tertimpa masalah dengan orang-orang kampung, hanya saja Aron malah salah paham. Dan Cal yang labil, tentu saja tidak terima dengan tuduhan salah paham Aron. Makin kusut lah hubungan mereka. Tapi disinilah kemenarikan film ini: penggambaran karakter dan pergolakan batin sosok Cal (Cain).
Sinematografi film ini bisa dibilang unik (walaupun pada dasarnya saya tidak terlalu ambil pusing perihal sinematografi). Sudut-sudut penggambilan gambarnya yang unik (dari pojok-pojok ruangan (?)) terbukti mampu membangun mood kelamnya (tapi tidak overdosis seperti yang sering dilakukan Nayato Fio Naula). Semua pemain di film ini tampil meyakinkan. Terutama James Dean dan Jo Van Fleet. Adegan Jo Van Fleet marah-marah pada suaminya di depan Cal benar-benar menyita perhatian. Tapi penampilan terbaik datang dari James Dean, sang teen idol pada masa film ini dibuat. James Dean sangat berhasil membangun sosok labil dari Cal. Terbukti, James Dean, sebagai seorang teen idol, tidak hanya bermodalkan tampang semata – sayang sosok berbakat seperti beliau harus meninggal sebelum mampu berkarya lebih jauh lagi (senasib dengan River Phoenix).
R.I.P James Dean.
Sutradara: Elia Kazan
Pemain: Julie Harris, James Dean, Raymond Massey, Burl Ives, Richard Davalos, Jo Van Fleet
Tahun Rilis: 1955
Film ini diadaptasi dari novel “East of Eden” karya John Steinbeck.
Film yang satu ini bisa dibilang daur ulang dari kisah “Cain dan Abel” dalam Injil (“Qabil and Habil” kalau versi Al-Qur'an-nya). Atau bisa dikatakan juga, film ini menggunakan premis persaingan antar saudara dalam “Cain dan Abel.”
“East of Eden” bercerita tentang perjuangan seorang pemuda, Cal (Cain), merebut cinta dari ayahnya, Adam (Raymond Massey). Cal adalah sosok yang labil, gampang berprasangka, dan cemburuan. Cal cemburu akan cinta sang ayah dengan saudaranya, Aron (Abel) (Richard Davalos). Di mata Cal, semua yang dikerjakan Aron selalu dipandang sempurna oleh ayahnya. Dan sebaliknya, bagi Cal, semua yang dikerjakannya tidak pernag dihargai oleh ayahnya. Sang ayah, Adam, adalah petani yang mengelola ladang di pinggiran Kota Monterey. Adam merupakan sosok yang sangat religius. Dia menghukum Cal dengan Injil. Pembukaan film ini, yang berupa adegan keributan di “kamar es”, sudah sangat efektif menjabarkan permasalahan inti tersebut.
Permasalahan keluarga ini ternyata tidak hanya sebatas persaingan antar suadara itu. Dari suatu sumber, Cal mendapati ternyata sang ayah sudah berbohong perihal keberadaan ibunya. Ayahnya selama ini selalu mencekoki kedua anaknya bahwa ibu mereka sudah damai di surga. Nyatanya, ibu mereka, Kate (Jo Van Fleet), masih segar menjalankan bisnisnya di kota. Dari sebuah adegan, didapati bahwa Kate meninggalkan keluarganya karena dia ingin bebas. Kate tidak mau diperintah ini itu oleh suaminya – yang pasti, bisnisnya tidak akan jalan bila terus tetap dengan suaminya. Cal, akhirnya, tahu keberadaan ibunya, tapi Aron tidak sama sekali.
Suatu hari, karena suatu musibah, Adam mengalami kerugian karena semua hasil panennya rusak. Cal menangkap sebuah kesempatan untuk mendapatkan cinta sang bapak dari musibah ini. Cal, diam-diam, berencana menanam kacang. Menurut perkiraan Cal, tidak lama lagi pasti Amerika akan turut andil dalam Perang Dunia I, dan saat itu harga kacang akan naik pesat. Untuk memulai bisnis Cal butuh modal. Maka Cal menemui ibunya untuk meminjam modal.
“East of Eden” tidak benar-benar 100% menyulap “Cain dan Abel” ke versi tragedi keluarga zaman Perang Dunia I. Tidak benar-benar ada adegan Cal menikam mati Aron di sini. Hanya saja, diceritakan Cal merusak kepercayaan Aron terhadap ayah dengan memberi tahu fakta tentang ibu mereka. Aron yang sejak kecil berbakti dan sangat amat percaya pada ayahnya, jelas sekali sangat terhentak mendapati fakat tersebut.
Dan kalau menengok tokoh utamanya, Cal. Cal tidak benar-benar digambarkan tokoh yang amat sangat licik di sini. Cal hanya sosok yang tidak pernah dapat perhatian dan butuh perhatian. Cal hanya sosok pemurung dan penyendiri. Pada dasarnya, Cal bukanlah sosok yang keji, kejam, licik, dan tega menghalalkan segala cara. Cal hendak menolong Aron ketika saudaranya itu tertimpa masalah dengan orang-orang kampung, hanya saja Aron malah salah paham. Dan Cal yang labil, tentu saja tidak terima dengan tuduhan salah paham Aron. Makin kusut lah hubungan mereka. Tapi disinilah kemenarikan film ini: penggambaran karakter dan pergolakan batin sosok Cal (Cain).
Sinematografi film ini bisa dibilang unik (walaupun pada dasarnya saya tidak terlalu ambil pusing perihal sinematografi). Sudut-sudut penggambilan gambarnya yang unik (dari pojok-pojok ruangan (?)) terbukti mampu membangun mood kelamnya (tapi tidak overdosis seperti yang sering dilakukan Nayato Fio Naula). Semua pemain di film ini tampil meyakinkan. Terutama James Dean dan Jo Van Fleet. Adegan Jo Van Fleet marah-marah pada suaminya di depan Cal benar-benar menyita perhatian. Tapi penampilan terbaik datang dari James Dean, sang teen idol pada masa film ini dibuat. James Dean sangat berhasil membangun sosok labil dari Cal. Terbukti, James Dean, sebagai seorang teen idol, tidak hanya bermodalkan tampang semata – sayang sosok berbakat seperti beliau harus meninggal sebelum mampu berkarya lebih jauh lagi (senasib dengan River Phoenix).
R.I.P James Dean.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar