Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Cameron Crowe
Pemain: Orlando Bloom, Kristen Dunst, Susan Sarandon, Alec Baldwin, Bruce McGill, Judy Greer, Jessica Biel, Paul Schneider, Loudon Wainwright III
Tahun Rilis: 2005
UNTUK ukuran film yang diciptakan oleh pencipta judul dengan mutu sekaliber “Jerry Maguire” dan “Almost Famous,” film terakhirnya ini bisa dibilang jatuh. Tidak jatuh bebas, hanya sekedar jatuh biasa.
Saya tidak bilang film ini buruk. Saya tidak pula bilang film ini hancur. Tidak pula saya bilang film ini jelek. Hanya saja, film ini tidak sekritis dan setajam “Jerry Maguire” dan “Almost Famous.” Film ini tidak menuntut pembelajaran karakter tokoh-tokohnya. Pun tidak memberikan konflik dilematika situasional layaknya dua judul yang saya sebut sebelumnya. Sepemahaman saya, film ini mungkin memang sama sekali tidak bertujuan untuk ditelaah kritis oleh penontonnya, layaknya dua judul yang saya sebut itu. Film ini, memang, hadir lebih ringan layaknya film-film penghangat hati umumnya. Bisa juga dikatakan, memang sepertinya film ini diproduksi tidak bertendensi untuk menjadi film yang substansinya bisa ditelaah kritis.
Untuk tipe-tipe drama (ingat, drama, bukan komedi) ringan seperti yang saya maksud di akhir-akhir paragraf sebelumnya, ada beberapa judul yang saya suka. Salah satunya “Billy Elliot.” Karena, sekalipun tampil ringan dan tidak melelehkan otak, “Billy Elliot” tetap mampu mengkritisi substansinya tanpa melupakan keringanan yang diusunganya. Bedanya dengan “Elizabethtown,” “Billy Elliot” bukan romance comedy.
Untuk sebuah genre romance comedy, film ini tidak berhasil. Beberapa komedi yang dipasangkan nyatanya tidak berhasil membuat saya tersenyum (saya lebih memilih dibikin senyum oleh film komedi ketimbang ngakak tidak jelas). Itu salah satu masalah film ini. Masalah lainnya muncul dari nuansa romance-nya. Film ini pun, bagi saya, gagal memberikan chemistry (or whatever is that) antara dua sejoli utama. Sejauh yang saya lihat, dua sejoli ini justru terlihat berat terhadap tokoh satu sama lain. Kelemahan lainnya lagi datang pada penggambaran lingkungan Elizabethtown yang tidak kalah plastiknya.
Untungnya, kalau ditilik dari segi drama film ini ternyata punya sesuatu yang unik untuk disimak. Garis besarnya, film ini bercerita tentang makna hidup. Tersentral pada tokoh Drew Baylor (Orlando Bloom) yang berniat bunuh diri dengan sepeda mekanik karena baru saja mengalami kehancuran dalam karir dan kehidupannya. Sebelum sempat menusukkan pisau yang sudah diikatkan pada sepeda mekanik, Drew Baylor mendapat telepon yang mengabarkan ayahnya meninggal. Drew pun diharuskan mengurus jenazah ayahnya di Elizabethtown. Di pesawat, Drew berkenalan dengan Claire Colburn (Kristen Dunst), seorang prmaugari. Saya pribadi, lebih menganggap konflik utama film ini berupa pencarian makna hidup tokoh Drew.
Ternyata dari segi pengemasan ceritanya ada poin-poin yang bagi saya menarik. Penggunaan jukstaposisi pada cerita yang bagi saya berhasil dari segi dramanya. Jukstaposisi ini bisa ditemukan di beberapa bagian cerita. Pertama, yang paling kentara, di hotel tempat Drew menginap di mana terdapat semacam perayaan sepasang pengantin baru semntara Drew sedang dirundung duka. Tentu jukstaposisi pertama ini tidak hanya sekedar ditampilkan begitu saja tanpa makna. Seperti yang disebutkan di film, dalam hidup ini ada yang datang, ada pula yang pergi. Jukstaposisi lain yang kentara terasa ada pada adegan perjalanan Drew mengikuti peta (?) dari Clarie. Sembari menebar abu bapaknya, bukannya bersedih melepaskan kepergian orang tercinta, Drew malah digambarkan mulai mendapati kembali makna hidupnya. Ketimbang disebut-sebut sebagai adegan ironi, saya lebih suka mengkategorikan adegan ini ke dalam jukstaposisi.
Keseluruhannya, Elizabethtown bukanlah film yang benar-benar bagus untuk ukuran sebuah film drama ringan penghangat hati ataupun sekedar romance comedy. Masih banyak kelemahan-kelemahan yang bisa ditemukan di film ini. Namun, terlepas dari kekurangan-kelebihan itu, film ini termasuk film ini termasuk oke sekedar hiburan.
Sutradara: Cameron Crowe
Pemain: Orlando Bloom, Kristen Dunst, Susan Sarandon, Alec Baldwin, Bruce McGill, Judy Greer, Jessica Biel, Paul Schneider, Loudon Wainwright III
Tahun Rilis: 2005
UNTUK ukuran film yang diciptakan oleh pencipta judul dengan mutu sekaliber “Jerry Maguire” dan “Almost Famous,” film terakhirnya ini bisa dibilang jatuh. Tidak jatuh bebas, hanya sekedar jatuh biasa.
Saya tidak bilang film ini buruk. Saya tidak pula bilang film ini hancur. Tidak pula saya bilang film ini jelek. Hanya saja, film ini tidak sekritis dan setajam “Jerry Maguire” dan “Almost Famous.” Film ini tidak menuntut pembelajaran karakter tokoh-tokohnya. Pun tidak memberikan konflik dilematika situasional layaknya dua judul yang saya sebut sebelumnya. Sepemahaman saya, film ini mungkin memang sama sekali tidak bertujuan untuk ditelaah kritis oleh penontonnya, layaknya dua judul yang saya sebut itu. Film ini, memang, hadir lebih ringan layaknya film-film penghangat hati umumnya. Bisa juga dikatakan, memang sepertinya film ini diproduksi tidak bertendensi untuk menjadi film yang substansinya bisa ditelaah kritis.
Untuk tipe-tipe drama (ingat, drama, bukan komedi) ringan seperti yang saya maksud di akhir-akhir paragraf sebelumnya, ada beberapa judul yang saya suka. Salah satunya “Billy Elliot.” Karena, sekalipun tampil ringan dan tidak melelehkan otak, “Billy Elliot” tetap mampu mengkritisi substansinya tanpa melupakan keringanan yang diusunganya. Bedanya dengan “Elizabethtown,” “Billy Elliot” bukan romance comedy.
Untuk sebuah genre romance comedy, film ini tidak berhasil. Beberapa komedi yang dipasangkan nyatanya tidak berhasil membuat saya tersenyum (saya lebih memilih dibikin senyum oleh film komedi ketimbang ngakak tidak jelas). Itu salah satu masalah film ini. Masalah lainnya muncul dari nuansa romance-nya. Film ini pun, bagi saya, gagal memberikan chemistry (or whatever is that) antara dua sejoli utama. Sejauh yang saya lihat, dua sejoli ini justru terlihat berat terhadap tokoh satu sama lain. Kelemahan lainnya lagi datang pada penggambaran lingkungan Elizabethtown yang tidak kalah plastiknya.
Untungnya, kalau ditilik dari segi drama film ini ternyata punya sesuatu yang unik untuk disimak. Garis besarnya, film ini bercerita tentang makna hidup. Tersentral pada tokoh Drew Baylor (Orlando Bloom) yang berniat bunuh diri dengan sepeda mekanik karena baru saja mengalami kehancuran dalam karir dan kehidupannya. Sebelum sempat menusukkan pisau yang sudah diikatkan pada sepeda mekanik, Drew Baylor mendapat telepon yang mengabarkan ayahnya meninggal. Drew pun diharuskan mengurus jenazah ayahnya di Elizabethtown. Di pesawat, Drew berkenalan dengan Claire Colburn (Kristen Dunst), seorang prmaugari. Saya pribadi, lebih menganggap konflik utama film ini berupa pencarian makna hidup tokoh Drew.
Ternyata dari segi pengemasan ceritanya ada poin-poin yang bagi saya menarik. Penggunaan jukstaposisi pada cerita yang bagi saya berhasil dari segi dramanya. Jukstaposisi ini bisa ditemukan di beberapa bagian cerita. Pertama, yang paling kentara, di hotel tempat Drew menginap di mana terdapat semacam perayaan sepasang pengantin baru semntara Drew sedang dirundung duka. Tentu jukstaposisi pertama ini tidak hanya sekedar ditampilkan begitu saja tanpa makna. Seperti yang disebutkan di film, dalam hidup ini ada yang datang, ada pula yang pergi. Jukstaposisi lain yang kentara terasa ada pada adegan perjalanan Drew mengikuti peta (?) dari Clarie. Sembari menebar abu bapaknya, bukannya bersedih melepaskan kepergian orang tercinta, Drew malah digambarkan mulai mendapati kembali makna hidupnya. Ketimbang disebut-sebut sebagai adegan ironi, saya lebih suka mengkategorikan adegan ini ke dalam jukstaposisi.
Keseluruhannya, Elizabethtown bukanlah film yang benar-benar bagus untuk ukuran sebuah film drama ringan penghangat hati ataupun sekedar romance comedy. Masih banyak kelemahan-kelemahan yang bisa ditemukan di film ini. Namun, terlepas dari kekurangan-kelebihan itu, film ini termasuk film ini termasuk oke sekedar hiburan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar