Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Hugh Wilson
Pemain: Goldie Hawn, Diane Keaton, Bette Midler, Elizabeth Berkley, Stockard Channing, Stephen Collins, Victor Garber, Marcia Gay Harden, Eileen Heckart, Dan Hedaya, Sarah Jessica Parker, Bronson Pinchot, Maggie Smith
Tahun Rilis: 1996
TIGA aktris veteran nominator patung Oscar dipampangkan sebagai trio pemain utama film ini. Goldie Hawn meluk patung emas Oscar saat bermain satu layar dengan Ingrid Bergman di “Cactus Flower” (1969). Diane Keaton, yang termasuk jajaran pemeran “The Godfather,” memeluk patung emas Oscarnya di film Woody Alen: “Annie Hall.” Dan terakhir, Bette Midler yang juga seorang musisi, dua kali namanya dipasangkan sebagai nominator patung Oscar untuk penampilannya di “The Rose” dan “For the Boys,” beliau memainkan tokoh penyanyi dalam kedua film itu.
Sudah jelas sekali, penampilan pemeran utamanya bukanlah hal yang patut dipertanyakan lagi di film ini. Dan ya, trio aktris senior itu membawa nyawa film ini di masing-masing pundak mereka dengan sengat berhasil. Diane Keaton memainkan peran wanita krisis self-esteem (kepercayaan diri), Goldie Hawn berperan sebagai aktris yang melawan krisis penuan dengan tambal-tambal plastik, sementara Bette Midler bermain sebagai ibu Yahudi. Yah, tidak ada yang bisa dipermasalahkan dari penampilan tiga wanita yang mulai memasuki gerbang masa uzur itu.
Judulnya sudah sangat menegaskan kekentalan materi feminisme di film ini. Ini adalah film feminis dengan segala woman-power-nya. Layaknya kisah-kisah feminis pada umumnya, film ini mengedepankan wanita ketimbang pria. Lebih jauh lagi, pria digambarkan sebagai tipikal makhluk ciptaan Tuhan paling gatal di film ini. Well, tidak separah yang dibayangkan, memang. Untungnya, film ini bergenre komedi. Yang artinya, genre komedinya membuat saya tidak terlalu tersinggung dengan pencitraan pria oleh film ini. Nikmati saja humornya.
Bicara tentang komedinya. Sebagai komedi, perlu diakui memang komedi-komedi di film ini berhasil. Dan yang penting, komedinya tidak terasa plastik dan tidak pula terasa dipaksakan. Pun komedinya tidak terasa menzalimi arus alur cerita. Singkatnya saja: komedi film ini berhasil.
Namun, terlepas dari komedinya, ternyata masih ada adegan-adegan yang membuat saya agak terganggu. Paling kental rasa agak terganggu itu muncul di ending-nya. Ending-nya, yang lagi-lagi berbau feminis, sayangnya terasa tidak nyaman disimak. Bahkan, seolah-olah, saya merasa ending film ini berteriak pada saya perihal kemenagan feminisme dengan segala keagung-agungannya.
Yah, setidaknya, sekalipun ending-nya tidak sedap dipandang mata, film ini memberikan komedi yang mampu membuat saya menyungging senyum. Bagi saya, komedi yang mampu membuat saya tersenyum jauh lebih baik ketimbang komedi yang cuma bisa membuat saya ngakak tidak jelas dan tidak karuan.
Sutradara: Hugh Wilson
Pemain: Goldie Hawn, Diane Keaton, Bette Midler, Elizabeth Berkley, Stockard Channing, Stephen Collins, Victor Garber, Marcia Gay Harden, Eileen Heckart, Dan Hedaya, Sarah Jessica Parker, Bronson Pinchot, Maggie Smith
Tahun Rilis: 1996
TIGA aktris veteran nominator patung Oscar dipampangkan sebagai trio pemain utama film ini. Goldie Hawn meluk patung emas Oscar saat bermain satu layar dengan Ingrid Bergman di “Cactus Flower” (1969). Diane Keaton, yang termasuk jajaran pemeran “The Godfather,” memeluk patung emas Oscarnya di film Woody Alen: “Annie Hall.” Dan terakhir, Bette Midler yang juga seorang musisi, dua kali namanya dipasangkan sebagai nominator patung Oscar untuk penampilannya di “The Rose” dan “For the Boys,” beliau memainkan tokoh penyanyi dalam kedua film itu.
Sudah jelas sekali, penampilan pemeran utamanya bukanlah hal yang patut dipertanyakan lagi di film ini. Dan ya, trio aktris senior itu membawa nyawa film ini di masing-masing pundak mereka dengan sengat berhasil. Diane Keaton memainkan peran wanita krisis self-esteem (kepercayaan diri), Goldie Hawn berperan sebagai aktris yang melawan krisis penuan dengan tambal-tambal plastik, sementara Bette Midler bermain sebagai ibu Yahudi. Yah, tidak ada yang bisa dipermasalahkan dari penampilan tiga wanita yang mulai memasuki gerbang masa uzur itu.
Judulnya sudah sangat menegaskan kekentalan materi feminisme di film ini. Ini adalah film feminis dengan segala woman-power-nya. Layaknya kisah-kisah feminis pada umumnya, film ini mengedepankan wanita ketimbang pria. Lebih jauh lagi, pria digambarkan sebagai tipikal makhluk ciptaan Tuhan paling gatal di film ini. Well, tidak separah yang dibayangkan, memang. Untungnya, film ini bergenre komedi. Yang artinya, genre komedinya membuat saya tidak terlalu tersinggung dengan pencitraan pria oleh film ini. Nikmati saja humornya.
Bicara tentang komedinya. Sebagai komedi, perlu diakui memang komedi-komedi di film ini berhasil. Dan yang penting, komedinya tidak terasa plastik dan tidak pula terasa dipaksakan. Pun komedinya tidak terasa menzalimi arus alur cerita. Singkatnya saja: komedi film ini berhasil.
Namun, terlepas dari komedinya, ternyata masih ada adegan-adegan yang membuat saya agak terganggu. Paling kental rasa agak terganggu itu muncul di ending-nya. Ending-nya, yang lagi-lagi berbau feminis, sayangnya terasa tidak nyaman disimak. Bahkan, seolah-olah, saya merasa ending film ini berteriak pada saya perihal kemenagan feminisme dengan segala keagung-agungannya.
Yah, setidaknya, sekalipun ending-nya tidak sedap dipandang mata, film ini memberikan komedi yang mampu membuat saya menyungging senyum. Bagi saya, komedi yang mampu membuat saya tersenyum jauh lebih baik ketimbang komedi yang cuma bisa membuat saya ngakak tidak jelas dan tidak karuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar