Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: William Friedkin
Pemain: Ellen Burstyn, Linda Blair, Max von Sydow, Jason Miller, Lee J. Cobb, Mercedes McCambridge
Tahun Rilis: 1973
Film ini diangkat dari novel “The Exorcist” karangan William Peter Blatty.
SETELAH kemarin saya dengan lantangnya meresensi singkat “Singin' in the Rain,” film musikal yang paling banyak digemari di sejarah perfilman dunia, kini giliran film horrornya: “The Exorcist.” Saya pun tidak akan berbicara panjang lebar dalam resensi horror kali ini.
Menurut saya, ada poin-poin yang langka dalam “The Exorcist,” yang jarang (baca: jarang) ditemukan di horror-horror ekstrak canggih masa kini.
Film dibuka dengan adegan simbolik di sebuah penggalian situs sejarah di Irak. Sore hari. Suara adzan pun terdengar. Father Merrin (Max von Sydow) yang turut serta dalam penggalian tersebut menemukan spot berisi patung mencekam. Di sini dikenalkan sebuah patung penting (tapi saya rasa bakal diabaikan oleh penonton awam yang ogah menyimak) yang berhubungan dengan cerita film kelak: Patung Pazuzu. Pazuzu sendiri, dalam mitologi Asyria dan Babilonia, merupakan iblis angin, anak dari dewa Hanbi. Adegan pembukaan, yang bagi penonton awam mungkin tidak nyambung sama sekali dengan keseluruhan cerita, memberikan semacam pesan simbolisme yang juga berhubungan dengan inti utama cerita: bahwa setan/iblis turun ke bumi untuk mengusik keyakinan manusia.
Setelah pembukaan yang penuh simbolisme (yang bakal dikira membosankan atau membingungkan buat yang tidak mau menyimak), dimulailah cerita utamanya. Secara garis besar, film ini berceria tentang usaha Chris MacNeil (Ellen Burstyn), seorang aktris, berjuangan menyelamatkan putri semata wayangnya, Regan MacNeil (Linda Blair) dari kerasukan. Plot yang sederhana, berjalan pelan, namun disajikan dengan kadar keseraman yang memuncak teratur perlahan-lahan.
Dari segi tokoh. Kesemua tokoh utama di film ini bisa dibilang tidak satupun yang diberikan penokohan unik. Aktris dengan penokohan standar, pun putrinya, pun kedua pendetanya. Masalahnya, film ini bukan tipe-tipe character driven plot, melainkan tipe film dimana para pemainnya ditantang untuk membawakan tokoh masing-masing dalam suasana terbilang ekstrim. Sebagian besar tokohnya bisa dibilang berhasil. Ellen Burstyn, yang sebelumnya saya cintai pengontrolan emosnya di film “Alice Doesn't Live Here Anymore” dan “Requiem for a Dream,” kembali saya cintai di film ini. Jason Miller, pemeran Father Kerras, yang sama sekali bukan aktor profesional ternyata lebih mampu mencuri perhatian daripada Max von Sydow. Tentu, yang paling menyita perhatian saya sekaligus salah satu pusat keberhasilan penampilan film ini, adalah penampilan berani Linda Blair sebagai anak perampuan yang kerasukan. Come one. Untuk anak seumuran Linda Blair, memainkan peran seperti yang dia lakukan di film ini almost impossible. Tapi nyatanya, Linda Blair membuat tokohnya terlihat sangat possible. Penampilan Linda Blair di film ini bisa dibilang termasuk yang paling memorable (atau fenomenal) untuk ukuran sebuah film horror. Buktinya saja, foto-foto kerasukannya sampai sekarang masih digunakan oleh situs-situs horror (paling terkenal digunakan oleh killerjo.net).
Bagi saya, “The Exorcist” merupakan salah satu dari deretan film horror langka yang mampu melayangkan smackdown keras pada horror-horror yang cuma jadi antek-antek CGI atau spesial efek super canggih.
Sutradara: William Friedkin
Pemain: Ellen Burstyn, Linda Blair, Max von Sydow, Jason Miller, Lee J. Cobb, Mercedes McCambridge
Tahun Rilis: 1973
Film ini diangkat dari novel “The Exorcist” karangan William Peter Blatty.
SETELAH kemarin saya dengan lantangnya meresensi singkat “Singin' in the Rain,” film musikal yang paling banyak digemari di sejarah perfilman dunia, kini giliran film horrornya: “The Exorcist.” Saya pun tidak akan berbicara panjang lebar dalam resensi horror kali ini.
Menurut saya, ada poin-poin yang langka dalam “The Exorcist,” yang jarang (baca: jarang) ditemukan di horror-horror ekstrak canggih masa kini.
- Sensibilitas dan atmosfir yang tersturktur dan terjaga rapi.
- Konteks dan isu penting yang diembang yang membuat film ini tidak sekedar berakhir seram-seraman belaka (poin yang sering diabaikan oleh horror pada umumnya).
- Tidak terasa tendensi memaksa untuk sekedar menyajikan ketegangan visual semata. Atau dengan bahasa lain: tidak ada adegan seram yang sebenarnya tidak terlalu klop dengan plot utamanya, tapi dipaksakan ada untuk sekedar kaget-kagetan. Semua keseraman visual yang ditampilkan di film ini nge-blend dengan plot utamanya.
- Film ini tidak hanya menampilkan keseraman visualisasi, tapi juga keseraman psikologis bahkan mungkin keseraman supranatural tersendiri. Film ini memang tidak memajang cipratan-cipratan darah, potongan tubuh, adegan tangan digergaji, atau tipe gore-gore lainnya. Film ini mengekspolrasi lebih dalam lagi sumber keseraman yang dikandung di ceritanya. Jarang sekali film horror masa kini yang rela menggali dalam esensi cerita, bukan?
Film dibuka dengan adegan simbolik di sebuah penggalian situs sejarah di Irak. Sore hari. Suara adzan pun terdengar. Father Merrin (Max von Sydow) yang turut serta dalam penggalian tersebut menemukan spot berisi patung mencekam. Di sini dikenalkan sebuah patung penting (tapi saya rasa bakal diabaikan oleh penonton awam yang ogah menyimak) yang berhubungan dengan cerita film kelak: Patung Pazuzu. Pazuzu sendiri, dalam mitologi Asyria dan Babilonia, merupakan iblis angin, anak dari dewa Hanbi. Adegan pembukaan, yang bagi penonton awam mungkin tidak nyambung sama sekali dengan keseluruhan cerita, memberikan semacam pesan simbolisme yang juga berhubungan dengan inti utama cerita: bahwa setan/iblis turun ke bumi untuk mengusik keyakinan manusia.
Setelah pembukaan yang penuh simbolisme (yang bakal dikira membosankan atau membingungkan buat yang tidak mau menyimak), dimulailah cerita utamanya. Secara garis besar, film ini berceria tentang usaha Chris MacNeil (Ellen Burstyn), seorang aktris, berjuangan menyelamatkan putri semata wayangnya, Regan MacNeil (Linda Blair) dari kerasukan. Plot yang sederhana, berjalan pelan, namun disajikan dengan kadar keseraman yang memuncak teratur perlahan-lahan.
Dari segi tokoh. Kesemua tokoh utama di film ini bisa dibilang tidak satupun yang diberikan penokohan unik. Aktris dengan penokohan standar, pun putrinya, pun kedua pendetanya. Masalahnya, film ini bukan tipe-tipe character driven plot, melainkan tipe film dimana para pemainnya ditantang untuk membawakan tokoh masing-masing dalam suasana terbilang ekstrim. Sebagian besar tokohnya bisa dibilang berhasil. Ellen Burstyn, yang sebelumnya saya cintai pengontrolan emosnya di film “Alice Doesn't Live Here Anymore” dan “Requiem for a Dream,” kembali saya cintai di film ini. Jason Miller, pemeran Father Kerras, yang sama sekali bukan aktor profesional ternyata lebih mampu mencuri perhatian daripada Max von Sydow. Tentu, yang paling menyita perhatian saya sekaligus salah satu pusat keberhasilan penampilan film ini, adalah penampilan berani Linda Blair sebagai anak perampuan yang kerasukan. Come one. Untuk anak seumuran Linda Blair, memainkan peran seperti yang dia lakukan di film ini almost impossible. Tapi nyatanya, Linda Blair membuat tokohnya terlihat sangat possible. Penampilan Linda Blair di film ini bisa dibilang termasuk yang paling memorable (atau fenomenal) untuk ukuran sebuah film horror. Buktinya saja, foto-foto kerasukannya sampai sekarang masih digunakan oleh situs-situs horror (paling terkenal digunakan oleh killerjo.net).
Bagi saya, “The Exorcist” merupakan salah satu dari deretan film horror langka yang mampu melayangkan smackdown keras pada horror-horror yang cuma jadi antek-antek CGI atau spesial efek super canggih.
bukan diawal aja kayaknya di akhir juga ada suara adzan deh
BalasHapus