Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Djenar Maesa Ayu
Pemain: Titi Sjuman, Henidar Amroe, Ray Sahetapy, Bucek Depp, Jajang C. Noer, August Melasz
Tahun Rilis: 2007
Film ini diangkat dari cerpen “Lintah” dan “Melukis Jendela” karangan Djenar Maesa Ayu.
Sutradara: Djenar Maesa Ayu
Pemain: Titi Sjuman, Henidar Amroe, Ray Sahetapy, Bucek Depp, Jajang C. Noer, August Melasz
Tahun Rilis: 2007
Film ini diangkat dari cerpen “Lintah” dan “Melukis Jendela” karangan Djenar Maesa Ayu.
RASANYA tidak salah kalau Tempo memilih “Mereka Bilang Saya Monyet!” sebagai film tebaik tahun 2008 mengalahkan “Laskar Pelangi.” Film direct-to-disc bikinan penulis cerpen, Djenar Maesa Ayu (yang juga putri dari sutradara ternama Indonesia: Sdjumandjaja) ini memang bisa dibilang berkualitas langka untuk ukuran Indonesia. Ada yang protes kalau saya setuju dengan pilihan Tempo bahwa film ini mengalahkan “Laskar Pelangi”? Wajar saja. Film bertabur metafora semacam ini memang bukan makanan penonton awam.
Film ini bercerita tentang Adjeng (Titi Sjuman), penulis muda yang harus menghadapi kehidupan kelam bentukan masa lalunya. Adjeng menjadi sosok malam: dia mengencani pria kaya untuk nafkah hidup sekaligus juga mengencani penulis senior (Ray Sahetapy) demi melejitkan karirnya. Namun, di depan sosok ibunya (Henidar Amroe), Adjeng malah terlihat pasif. Adegan flashback masa lalu Adjeng pun ditunjukkan secara bergantian dengan masa sekarang. Tekanan psikologis dari ayah tiri sampai pelecehan seksual pun dirasakan Adjeng kecil.
Ibu saya memelihara seekor lintah....
Kalimat yang juga jadi pembukaan cerpen “Lintah” itu dijadikan pembuka film ini juga. Dinarasikan oleh Titi Sjuman yang juga pemain utama film ini. Titi Sjuman membuktikan kalau beliau tidak hanya musisi yang baik, tapi juga aktris yang baik. Tokoh Adjeng, yang menurut saya karakteristiknya tidak jauh dari Djenar (setidaknya itu yang saya lihat di cerpen-cerpennya) ini berhasil diperankan oleh Titi Sjuman dengan baik. Yang lebih menghanyutkan datang dari Henidar Amroe, pemeran sang sosok ibu, yang mampun memerankan lengkap postur si ibu yang manipulatif dengan sempurna. Bahasa tubuh si ibu diperagakan Henidar Amroe dengan sempurna. Bahkan Henidar Amroe bisa lah saya katakan termasuk sumber empati film ini.
Selain metafora pada judul, film ini juga menggambarkan pelecehan seksual Adjeng kecil dengan metafora pula. Lintah ditempelkan di paha Adjeng ketika berada di dalam mobil dan juga di punggung Adjeng ketika sedang berendam di bathtub dijadikan simbolisme sebagai adegan pelecehan seksual: bahwa sang lintah sudah menjamah tubuhnya.
Selain pada penggambaran pelecehan seksual, film ini pun diakhiri dengan metafora. Tokoh-tokoh yang sempat melintasi kehidupan Adjeng terlihat dari balik jendela - lengkap dengan dua sosok Adjeng kecil yang terlihat tidak saling mengenal. Semacam simbolisme lagi perihal melupakan masa lalu. Sekaligus juga tentang untuk tidak saling menghujat, menghakimi, menuduh, atau sekedar sok tau.
Lantas apa arti dari judulnya yang juga bermetafora itu? Apa arti judul yang seakan-akan ejekan itu? Kalau saya pribadi menangkap judul itu semacam curahan hati tokoh Adjeng. Semacam penghakiman atau pelabelan yang dirasa Adjeng dari orang-orang disekitarnya. Adegan ketika Adjeng menggerutu, “Monyet!”, bisa pula diartikan sebagai protes dari Adjeng. Dari adegan dan judul tersebut bisa saya ambil kesimpulan judul itu bermakna protes dari Adjeng. Siapakah yang sebenarnya monyet? Adjeng? Atau orang-orang sok paling benar yang selalu memonyeti Adjeng?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar