Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Lasse Hallström
Pemain: Richard Gere, Joan Allen, Sarah Roemer, Erick Avari, Jason Alexander, serta Chico, Layla dan Forrest sebagai Hachiko
Tahun Rilis: 2009
Film ini merupakan remake dari “Hachikō Monogatari” (1987) yang diangkat dari kisah nyata tentang Hachikō.
Sutradara: Lasse Hallström
Pemain: Richard Gere, Joan Allen, Sarah Roemer, Erick Avari, Jason Alexander, serta Chico, Layla dan Forrest sebagai Hachiko
Tahun Rilis: 2009
Film ini merupakan remake dari “Hachikō Monogatari” (1987) yang diangkat dari kisah nyata tentang Hachikō.
SEJAK pertama kali melihat poster film ini di twenty-one, saya lumayan tertarik. Bukan tertarik buat menyimak haru-biru filmnya, tapi tertarik sejauh mana tema melankolis ini bakal dibawa. Apalagi setelah saya tahu nama Lasse Hallström yang dipampangkan sebagai sutradara, ekspektasi saya terhadap film semakin tinggi. Tentu saja, saya sudah menyimak dua film lain dari sang sutradara: “The Cider House Rules” (1999) dan “Mitt liv som hun” (1985). Filmnya “Mitt liv som hun,” yang judul internasionalnya “My Life as a Dog” (tapi tidak ada hubungannya dengan Hachiko ini, cuma metafora), sangat berhasil memukau saya.
Cerita ini diangkat (atau tepatnya terinspirasi) dari kisah nyata tentang Hachikō (1923-1935), anjing peliharaan Hidesaburō Ueno, seorang profesor fakultas pertanian di Universitas Tokyo. Profesor itu menemukan (atau ditemukan) Hachikō di sekitar Stasiun Shibuya. Kedua pasang sahabat ini semakin hari semakin dekat, dan selalu pula melakukan rutinitas biasa mereka. Hingga suatu sore, sang profesor tidak muncul-muncul lagi dari pintu stasiun. Hachikō yang setia, tetap setia menunggu sang profesor di tempat dia biasa menunggu. Sembilan tahun Hachikō menanti di tempat yang sama.
“Hachiko: A Dog's Story” bisa dibilang versi amerikanisasi dari kisah nyata itu.
Richard Gere memerankan sang profesor, bagian seni, yang menjalin persahabatan dengan Hachi (nama anjing Akita di film ini). Film ini sama sekali bukan penampilan terbaik Richard Gere, bukan pula termasuk penampilan memorable-nya. Penampilan beliau di film ini tidak ada bedanya dengan penampilan-penampilan standar beliau yang lain. Senyum yang sama. Raut muka yang sama. Walaupun begitu, penampilan beliau di film ini sudah cukup menarik simpati. Sayangnya simpati Richard Gere tidak sebesar simpati yang didapat si anjing Akita. Jelas saja, Hachi-lah sentral utama film ini. Hachi-lah yang memang ditujukan untuk menarik simpati dari puluhan pasang mata berbinar di dalam bioskop yang gelap gulita. Saya yakin, cuma psikopat atau manusia yang hatinya disemen tebal yang tidak akan tersentuh melihat emosi diam-diam menghanyutkan si Hachi. Bagaimana dengan Joan Allen? Aktris yang sudah tiga kali masuk nominasi Oscar itu, sayang sekali, hanya berupa pajangan di film ini. Setidaknya, di akhir film, Joan Allen menunjukkan bahwa beliau memang Joan Allen yang pantas meraup nominasi Oscar itu. Sayangnya, adegan tersebut hanya berlangsung sekilas karena wajah Joan Allen harus mendekap di bulu-bulu badan Hachi.
Sayang sekali, “Hachiko: A Dog's Story” ternyata tidak setajam “Mitt liv som hun.” Film ini bisa dibilang sama sekali tidak mempunya klimaks yang berarti. Bahkan, untuk ukuran drama melankolis, film ini nyaris tidak “berdrama.” Tentu, bagi penonton yang sudah keburu mencair air matanya memenuhi semua inci pipi, persetan saja dengan drama atau klimaks. Tapi, sungguh disayangkan, nyawa film ini seakan-akan hanya bertopang pada kehadiran si Hachi.
Ini bukan tontonan bioskop yang buruk, tapi bukan pula sebuah masterpiece. Ini bukan karya buruk dari Lasse Hallström, hanya saja pengembangannya tidak setajam film-film sebelumnya. Seperti yang saya bilang sebelumnya, kehadiran Hachi di film ini memang efektif sekali buat mengeruk sisi melankolis penonton. Saya sendiri pun tersentuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar