Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Niels Arden Oplev
Pemain: Michael Nyqvist, Noomi Rapace, Sven-Bertil Taube, Peter Haber, Marika Lagercrantz
Tahun Rilis: 2009
Judul Internasional: “The Girl with the Dragon Tattoo” atau “Men Who Hate Women”
Film ini diadaptasi dari novel “Män som hatar kvinnor” karya Stieg Larsson.
Sutradara: Niels Arden Oplev
Pemain: Michael Nyqvist, Noomi Rapace, Sven-Bertil Taube, Peter Haber, Marika Lagercrantz
Tahun Rilis: 2009
Judul Internasional: “The Girl with the Dragon Tattoo” atau “Men Who Hate Women”
Film ini diadaptasi dari novel “Män som hatar kvinnor” karya Stieg Larsson.
DARI segi misteri dan thriller-nya, “The Girl with the Dragon Tattoo” termasuk film crime thriller yang rumit, memaksa, membingungkan, dan cukup menarik. Perpaduan latar belakang nazi, misteri pembunuhan gadis-gadis, ayat-ayat suci, tersangka-tersangka ala novel detektif klasik, sampai masalah psikotik – kurang rumit apa lagi coba? Tapi, nilai tambah yang membuat film ini lebih menarik dan berbeda dari film-film sejenis adalah wujud dan karakterisasi protagonisnya.
Ada dua protagonis di film ini. Yang pertama, Mikael Blomkvist (Michael Nyqvist), seorang wartawan Majalah Millenium – tipe protagonis yang sering ditemukan di film-film penyelidikan – yang akan dijebloskan di penjara karena kalah kasus melawan industrialis Swedia (yang dituduhnya melakukan korupsi). Protagonis yang satunya lagi (yang membuat film ini unik) adalah Lisbeth Salander (Noomi Rapace), seorang hacker bergaya punk yang diam-diam membantu Mikael Blomkvist (dengan memasuki jaringan komputernya secara ilegal). Lisbeth termasuk tokoh, selain unik, sangat rumit untuk film sejenis. Lisbeth memasang tindik-tindik di badannya, memasang cincin/anting di hidungnya, merokok, berjalan layaknya pria, bahkan memasang sebuah tato naga di punggungnya sebagai perlambangan maskulinitas dalam tubuh feminimnya – sesuai dengan judul internasional film ini.
Lisbeth punya masa lalu yang tidak kalah rumit dengan tindikan dan tato di badannya. Sewaktu kecil, dia bahkan membakar hidup-hidup bapaknya. Memori fotografik yang dimiliki Lisbeth bukannya menjadi berkah buatnya, malah menjadi hantu yang menghantuinya sepanjang hidup. Tidak dijelaskan lebih lanjut alasan tepatnya (toh film ini tergolong trilogi), yang pasti dari kebencian Lisbeth terhadap ketika menatap sang pembunuh di akhir film (dan juga dari subplot tentang wali Lisbeth yang mesum), kita tahu Lisbeth punya dendam tersendiri – semacam pelecehan/kekerasan terhadap perempuan. Bertolak belakang dengan kehidupannya yang kacau, Lisbeth ternyata adalah hacker yang sangat handal. Terlepas dari perwujudannya yang punk, Lisbeth adalah sosok yang ternyata intelektual. Naomi Rapace, pemeran Lisbeth, mewujudkan karakter rumit ini dengan cara yang sangat intensif dan tajam. Saya belum pernah membaca novelnya, jadi saya tidak akan membandingkan dengan karakter Lisbeth di novel.
Lisbeth secara diam-diam membantu Mikael menyelesaikan sebuah kasus yang ia terima di hari-hari terakhirnya sebelum terpuruk di penjara. Mikael diminta oleh seorang CEO sebuah perusahaan milik keluarga kaya-raya, Henrik Vanger (Sven-Bertil Taube), untuk memecahkan misteri hilangnya keponakan gadisnya tiga puluh tujuh tahun yang lalu (hilang saat usia 16 tahun). Henrik yakin keponakannya tersebut dibunuh oleh salah satu dari anggota seraka keluarga jutawan tersebut. Kedua orang ini, Lisbeth dan Mikael, menjadi pasangan yang unik dalam cerita detektif-detektifan ini.
Kedua pasang protagonis tersebut pun menjadi pasangan, bukan hanya pasangan “partner kerja,” tapi “pasangan yang lebih intim lagi.” Terdapat pergolakan psikologis yang menarik dalam tokoh Lisbeth sepanjang pergolakan romansa ini – bukan hanya sekedar pameran birahi. Secara psikologis, sebenarnya pengkajian tokoh Lisbeth tidak bisa dibilang dalam. Hanya saja, perwujudannya yang membuat tokoh Lisbeth ini disturbin sekaligus seksi serta aneh sekaligus seduktif.
Sebenarnya, formula yang digunakan di film ini untuk meramu misterinya sudah sangat umum ditemukan di film-film serupa. Kedua protagonis itu melakukan penyelidikan, dan perlahan-lahan kebenaran pun terkuak dengan cara yang mengaggetkan. Semakin dekat kedua protagonis tersebut dengan kebenaran, semakin pula mereka dekat dengan kotak Pandora yang hakikatnya berbahaya bila dibuka. Kebenaran di film-film semacam ini, memang selalu diibaratkan sebagai sesuatu yang mematikan untuk dikuak. Formula yang sudah umum.
Hanya saja, apa saja yang tersembunyi di balik misteri-misteri di film ini, bagaimana misteri-misteri film ini dikaitkan satu sama lain, dan lalu dihubungkan dengan latar belakang tokohnya, adalah hal yang membuat film ini beberapa langkah lebih maju dari keklisean.
Setting yang digunakan pun sangat efektif untuk menekan misterinya sampai titik puncak. Thriller yang disajikan sangat berpadu-padan dengan suasana dingin-dingin (memang settingnya dingin) yang terasa dari latar. Ada beberapa adegan yang menunjukkan kekerasan, perkosaan, bondage, bahkan kekerasan seksual yang lebih tajam lagi. Hanya saja, eksekusi adgean-adegan ini jatuhnya pun tidak sekedar “birahi.” Ada semacam kesan feminisme yang terasa, sesuai dengan judul internasionalnya: “The Girl with the Dragon Tattoo.”
Hanya saja, apa saja yang tersembunyi di balik misteri-misteri di film ini, bagaimana misteri-misteri film ini dikaitkan satu sama lain, dan lalu dihubungkan dengan latar belakang tokohnya, adalah hal yang membuat film ini beberapa langkah lebih maju dari keklisean.
Setting yang digunakan pun sangat efektif untuk menekan misterinya sampai titik puncak. Thriller yang disajikan sangat berpadu-padan dengan suasana dingin-dingin (memang settingnya dingin) yang terasa dari latar. Ada beberapa adegan yang menunjukkan kekerasan, perkosaan, bondage, bahkan kekerasan seksual yang lebih tajam lagi. Hanya saja, eksekusi adgean-adegan ini jatuhnya pun tidak sekedar “birahi.” Ada semacam kesan feminisme yang terasa, sesuai dengan judul internasionalnya: “The Girl with the Dragon Tattoo.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar