Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: René Clément
Pemain: Georges Poujouly, Brigitte Fossey
Tahun Rilis: 1952
Judul Internasional: “Forbidden Games”
Film ini diadaptasi dari novel “Jeux interdits” karya François Boyer.
MENYAKSIKAN film yang “murni” menyajikan keluguan dan kepolosan anak-anak tanpa embel-embel dan tempel-tempelan lain adalah pengalaman langka di era modern ini. Tidak banyak, bahkan nyaris jarang, pekerja-pekerja film yang berani menyajikan film sejenis “Jeux interdits” atau “Forbidden Games” ini. Faktanya, memang, film-film klasik cenderung lebih murni dan tidak ternoda ketimbang kebanyakan film modern masa kini (“Bicycle Thieves” contoh lainnya).
“Forbidden Games” bercerita tentang Paulette (Brigitte Fossey), gadis kecil berusia lima tahun yang mendadak yatim piatu setelah kedua orang tuanya (dan anjing kecilnya) meninggal karena penyerangan Nazi di sebuah jembatan pinggiran Paris (Perang Dunia II). Paulette terkatung-katung tidak tau arah tujuan, hanya mayat anjing kecilnya yang menemani, hingga akhirnya Paulette berjumpa dengan seorang bocah kampung berusia sepuluh tahun, Michel Dollé (Georges Poujouly). Keluarga Michel pun menampung Paulette sementara, sampai petugas yang berwewenang datang untuk memungutnya. Mereka menguburkan anjing Paulette di sebuah penggilingan yang sudah terabaikan. Tapi, Paulette yang masih lugu, merasa iba meninggalkan anjingnya sendiri di dalam lubang. Perhatikan, di bagian ini, kita (penonton) disuguhkan pada sebuah keluguan anak-anak.
Paulette dan Michel menjalin keakraban satu sama lain. Dan ini lah kekuatan utama film ini, keakraban yang mereka jalin benar-benar terasa murni. Paulette memutuskan untuk menguburkan anjing kecilnya. Michel membantu Paulette menggali lubang untuk menguburkan anjing kecilnya. Tapi, Paulette yang masih polos nan lugu, merasa kasihan bila hrus meninggalkan anjing kecilnya di dalam lubang sendirian. Perhatikan, dari adegan ini saja sudah terasa kental keluguan dan kepolosan dua tokoh utama film ini (dan tidak terasa dibuat-buat). Kita (penonton) pun dihadapkan pada teorema-teorema lugu yang dikembangkan dari pikiran lugu kedua anak tersebut. Dan ketika menyimak adegan ini, minsed kita (penonton) pun dengan cara yang paling bersahaja dan tidak memaksa, diarahkan pada pola pikiran anak-anak yang tentunya masih lugu pula. Ada transisi psikologis Paulette di sini. Sebelumnya, Paulette sama sekali tidak terlalu tertarik dengan kematian (bisa dilihat di adegan awal ketika kedua orang tua Paulette meninggal). Namun, akibat pemahaman “konseputal” tentang kematian yang dijabarkan oleh Michel, Paulette (yang masih lugu) menjadi tertarik dengan kematian. Paluette dan Michel, selanjutnya, menguburkan tikus tanah di dekat kuburan anjing kecil, lalu cacing, apapun mayat binatang yang mereka temukan di penggilingan, bahkan piring bekas. Kita pun menemukan tanggapan yang berbeda dari Paulette ketika Michel menusukkan pena ke arah seekor kecoa yang masih hidup.
“Permainan terlarang” kedua anak-anak ini pun memasuki tahap selanjutnya. Mereka membutuhkan salib untuk kuburan-kuburan binatang di sanctuary mereka. Mulanya, Michel mebuatkan sendiri salib untuk kuburan si anjing kecil. Namun mereka tidak puas dengan salib hasil bikinan sendiri. Semakin berkembang sanctuary mereka, semakin mereka membutuhkan banyak (dan beragam bentuk) salib. Paulette tidak tahu apa-apa mengenai “salib.” Paluette bahkan sama sekali tidak tahu doa Kristiani ketika hendak makan. Besar kemungkinan Paulette adalah Yahudi, sekalipun tidak dijelaskan di film. Dan Michel, yang Kristen, mengajarkan semua pengetahuan Kristianinya itu pada Paulette. Termasuk tentang salib. Lagi-lagi, kita diarahkan pada pemikiran lugu seorang bocah yang bahkan masuk TK saja belum cukup umur. Paulette malah menangkap penjelasan salib dari Michel sebagai hal yang menyenangkan, bukan hal yang sakral atau religus.
Michel memutuskan untuk mecuri salib; mencuri dari kereta pemakaman kakaknya, mencuri dari kuburan, bahkan mencuri dari gereja. Tindakkan Micel ini berpengaruh (berkaitan) pada subplot hubungan tidak sedap antara keluarga Dollé dan keluarga Gouard (tetangga mereka). Kedua keluarga itu saling tuduh-menuduh. Sementara itu, kuburan rahasia di penggilingan tua pun semakin menjadi-jadi.
Sutradara: René Clément
Pemain: Georges Poujouly, Brigitte Fossey
Tahun Rilis: 1952
Judul Internasional: “Forbidden Games”
Film ini diadaptasi dari novel “Jeux interdits” karya François Boyer.
MENYAKSIKAN film yang “murni” menyajikan keluguan dan kepolosan anak-anak tanpa embel-embel dan tempel-tempelan lain adalah pengalaman langka di era modern ini. Tidak banyak, bahkan nyaris jarang, pekerja-pekerja film yang berani menyajikan film sejenis “Jeux interdits” atau “Forbidden Games” ini. Faktanya, memang, film-film klasik cenderung lebih murni dan tidak ternoda ketimbang kebanyakan film modern masa kini (“Bicycle Thieves” contoh lainnya).
“Forbidden Games” bercerita tentang Paulette (Brigitte Fossey), gadis kecil berusia lima tahun yang mendadak yatim piatu setelah kedua orang tuanya (dan anjing kecilnya) meninggal karena penyerangan Nazi di sebuah jembatan pinggiran Paris (Perang Dunia II). Paulette terkatung-katung tidak tau arah tujuan, hanya mayat anjing kecilnya yang menemani, hingga akhirnya Paulette berjumpa dengan seorang bocah kampung berusia sepuluh tahun, Michel Dollé (Georges Poujouly). Keluarga Michel pun menampung Paulette sementara, sampai petugas yang berwewenang datang untuk memungutnya. Mereka menguburkan anjing Paulette di sebuah penggilingan yang sudah terabaikan. Tapi, Paulette yang masih lugu, merasa iba meninggalkan anjingnya sendiri di dalam lubang. Perhatikan, di bagian ini, kita (penonton) disuguhkan pada sebuah keluguan anak-anak.
Paulette dan Michel menjalin keakraban satu sama lain. Dan ini lah kekuatan utama film ini, keakraban yang mereka jalin benar-benar terasa murni. Paulette memutuskan untuk menguburkan anjing kecilnya. Michel membantu Paulette menggali lubang untuk menguburkan anjing kecilnya. Tapi, Paulette yang masih polos nan lugu, merasa kasihan bila hrus meninggalkan anjing kecilnya di dalam lubang sendirian. Perhatikan, dari adegan ini saja sudah terasa kental keluguan dan kepolosan dua tokoh utama film ini (dan tidak terasa dibuat-buat). Kita (penonton) pun dihadapkan pada teorema-teorema lugu yang dikembangkan dari pikiran lugu kedua anak tersebut. Dan ketika menyimak adegan ini, minsed kita (penonton) pun dengan cara yang paling bersahaja dan tidak memaksa, diarahkan pada pola pikiran anak-anak yang tentunya masih lugu pula. Ada transisi psikologis Paulette di sini. Sebelumnya, Paulette sama sekali tidak terlalu tertarik dengan kematian (bisa dilihat di adegan awal ketika kedua orang tua Paulette meninggal). Namun, akibat pemahaman “konseputal” tentang kematian yang dijabarkan oleh Michel, Paulette (yang masih lugu) menjadi tertarik dengan kematian. Paluette dan Michel, selanjutnya, menguburkan tikus tanah di dekat kuburan anjing kecil, lalu cacing, apapun mayat binatang yang mereka temukan di penggilingan, bahkan piring bekas. Kita pun menemukan tanggapan yang berbeda dari Paulette ketika Michel menusukkan pena ke arah seekor kecoa yang masih hidup.
“Permainan terlarang” kedua anak-anak ini pun memasuki tahap selanjutnya. Mereka membutuhkan salib untuk kuburan-kuburan binatang di sanctuary mereka. Mulanya, Michel mebuatkan sendiri salib untuk kuburan si anjing kecil. Namun mereka tidak puas dengan salib hasil bikinan sendiri. Semakin berkembang sanctuary mereka, semakin mereka membutuhkan banyak (dan beragam bentuk) salib. Paulette tidak tahu apa-apa mengenai “salib.” Paluette bahkan sama sekali tidak tahu doa Kristiani ketika hendak makan. Besar kemungkinan Paulette adalah Yahudi, sekalipun tidak dijelaskan di film. Dan Michel, yang Kristen, mengajarkan semua pengetahuan Kristianinya itu pada Paulette. Termasuk tentang salib. Lagi-lagi, kita diarahkan pada pemikiran lugu seorang bocah yang bahkan masuk TK saja belum cukup umur. Paulette malah menangkap penjelasan salib dari Michel sebagai hal yang menyenangkan, bukan hal yang sakral atau religus.
Michel memutuskan untuk mecuri salib; mencuri dari kereta pemakaman kakaknya, mencuri dari kuburan, bahkan mencuri dari gereja. Tindakkan Micel ini berpengaruh (berkaitan) pada subplot hubungan tidak sedap antara keluarga Dollé dan keluarga Gouard (tetangga mereka). Kedua keluarga itu saling tuduh-menuduh. Sementara itu, kuburan rahasia di penggilingan tua pun semakin menjadi-jadi.
Georges Poujouly dan Brigitte Fossey, dua aktor utama anak-anak film ini, memberkan penampilan yang jauh di atas rata-rata untuk ukuran aktor anak-anak. Keluguan dan kepolosan mereka terasa murni, tidak plastik layaknya kebanyakan aktor-aktor anak-anak masa kini. Memang, ada sedikit kesalahan teknis kecil yang bisa ditemukan. Tapi secara keseluruhan, kedua aktor anak-anak ini adalah contoh bagaimana seharusnya aktor-aktor anak-anak itu diarhakn. Faktanya, film ini termasuk film yang cukup berat untuk diperankan anak-anak seusia Brigitte Fossey (pada masa itu).
Kekuatan utama film ini ada pada tokoh Paulette dan Michel. Film ini memaparkan bagimana keluguan anak-anak bisa membuat mereka bertahan (bahkan lebih tegar dari kaum dewasa) dari luka dan keperiahan perang. Tema serupa, yang lebih moder, bisa ditemukan di film “Empire of the Sun” besutan Steven Spielberg yang dibintangi Christian Bale (masih anaka-anak). Wajah kedua tokoh utama film ini (terutama Paulette) mencerminkan penyangkalan dan penolokan akan luka perang. Penyangkalan tersebut di pahami dengan cara mereka sendiri yang masih lugu. Dengan membangun fantasi tersendiri, kedua anak-anak ini bertahan dari luka dan keperihan perang.
Kekuatan utama film ini ada pada tokoh Paulette dan Michel. Film ini memaparkan bagimana keluguan anak-anak bisa membuat mereka bertahan (bahkan lebih tegar dari kaum dewasa) dari luka dan keperiahan perang. Tema serupa, yang lebih moder, bisa ditemukan di film “Empire of the Sun” besutan Steven Spielberg yang dibintangi Christian Bale (masih anaka-anak). Wajah kedua tokoh utama film ini (terutama Paulette) mencerminkan penyangkalan dan penolokan akan luka perang. Penyangkalan tersebut di pahami dengan cara mereka sendiri yang masih lugu. Dengan membangun fantasi tersendiri, kedua anak-anak ini bertahan dari luka dan keperihan perang.
kok bisa dapet sih film-film kayak gini? serius ini bintangnya lima??
BalasHapus@ Chusnul Khairuddin
BalasHapusSerius dong. Kenapa? Apa karena ini film yang masih "hitam-putih," lantas gak pantas dapat lima bintang?
Jangan menyepelekan film klasik. :D
Aku, sebelum memutuskan untuk nulis resensi-resensiku di blog pribadi, sering wara-wiri baca reseni-resensi para profesional (seperti Roger Ebert, resensi di Majalah Variety, Hollywood Reporter, dll). Aku juga sering baca resensi film klasik mereka. Dan mereka cukup adil menilai film klasik. Bodoh dan tidak adil rasanya kalau aku mencaci film ini hanya karena sekedar film ini masih "hitam-putih." Itu kalau "hitam-putih" yang jadi alasannya.
Aku sih tipe penonton yang "nonton semua jenis." Aku gak menutupi semua genre. Dari yang heboh sampai yang super serius. Dari yang klasik sampai yang super canggih. Dan tiap kali nonton, tentunya aku (sebagai penonton) harus bisa "adaptasi," kan? Maksudnya? Tentu aku gak bisa berharap film "drama" bakal seheboh film "aksi." Sama halnya dengan film klasik ini.
Terlepas dari "hitam-putih"-nya, isi film ini yang membuatnya patut dapat lima bintang dariku. Film ini murni. Pure. Dan kemurnian itu sudah sangat jarang ditemukan di film-film modern sekarang. Dari segi isi, ada sesuatu di film ini yang sering diabaikan oleh film-film modern sekarang: "kemurnian ceritanya (gak terasa embel-embel lain yang menganggu."
aku ga maksud nyepelein loh. :)
BalasHapuswalopun referensiku ga banyak, aku lumayan suka beberapa film: the sound of music, ben hur, sama cinema paradiso (btw, yg terakhir ini termasuk klasik ga ya?..)
makanya kalo rijon kasih rating lima buat film ini, kan aku jadi penasaran.
btw, rijon nonton film ini di mana? ada ya yg nyewain kasetnya? :)
BalasHapusHehe. Maaf, habisnya kebanyakan temen-temenku ya nyepelein film klasik cuma karena penggambarannya (visualisaisnya) yang masih kuno. Padahal kalau dilihat, nyatanya banyak film klasik yang masih lebih bagus dari film-film modern sekarang (walau gak semua).
BalasHapusAku juga suka The Sound of Music, Ben Hur, dan Cinema Paradiso (yang ini masuk favorit list-ku).
Aku download.
Aku juga penikmat film klasik/hitam-putih. "Permainan terlarang" ini memang layak dapat bintang lima... (walau referensiku masih amat minim)
BalasHapus