TULISAN INI MUNGKIN MENGANDUNG SPOILER!
Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Gavin Hood
Pemain: Presley Chweneyagae, Terry Pheto, Kenneth Nkosi, Mothusi Magano
Tahun Rilis: 2005
“TSOTSI,” film asal Republik Afrika Selatan ini menggaet penghargaan Best Foreign Film versi Academy Awards (alias Oscar) tahun 2005 silam. Cerita yang disuguhkan “Tsotsi” sebenarnya sangat-sangat simpel. Bahkan keseluruhan cerita “Tsotsi” hanya memakan waktu kurang lebih satu setengah jam total. Tapi, yang membuat “Tsotsi” layak masuk jajaran nominator Oscar adalah kajiannya yang sangat dalam dan, tentu saja, eksekusi kajiannya tersebut ke arah yang sangat tepat. Kalau mau ditarik garis besar ceritanya, “Tsotsi” menyuguhkan cerita perubahan sosok seorang yang tidak punya nurani menjadi sosok yang lebih baik lagi. Sebuah tema yang sentimentil, memang. Hanya saja, seperti yang sudah saya bilang sebelumnya, eksekusinya yang membuat “Tsotsi” tidak terasa over-sentimentil atau over-melodramatis. Tepatnya, penggunaan gaya realisme (serupa seperti yang digunakan oleh “Ajami”) yang membuat film ini terasa nyata. Sinematografinya yang seakan-akan memberikan kesan dokmenter pun turut ikut andil.
“Tsotsi” bercerita tentang Tsotsi (Presley Chweneyagae) – bukan nama aslinya, pemimpin sebuah geng jalanan di pinggiran Swetso (dekat Johannesburg). Suatu malam, Tsotsi merampok seorang pria berjas di kereta bersama tiga anggota gengnya, Butcher (Zenzo Ngqobe), Aap (Kenneth Nkosi) and Boston (Mothusi Magano). Setelah merampok, pria berjas itu pun ditusuk dengan pisau sampai mati. Di bar, seusai merampok, Boston menuntut pada Tsotsi bagaimana perasaannya seusai membunuh pria di kereta tadi. Tsotsi hanya menatap dingin. Boston tetap menuntut, hingga akhirnya Tsotsi naik pitam dan menghajar habis-habisan teman segengnya itu. Puas melampiaskan emosi, Tsotsi keluar dari bar. Tsotsi berjalan sendirian tengah malam. Tapi, jelas sekali tergambar, jiwa Tsotsi pun sendirian.
Sebuah mobil mewah pun melesat di depan Tsotsi. Tidak tanggung-tanggung, Tsotsi merampok mobil mewah tersebut. Pemiliknya, seorang wanita (Nambitha Mpumlwana), pun ditembak di tempat – sayangnya tidak sampai mati. Namun, masalah yang sebenarnya ada di dalam mobil itu. Ada bayi di dalam mobil yang dirampok Tsotsi. Tsotsi, yang berjiwa keji, bermata dingin, dan selalu tidak berbelas kasihan pada korbannya, kini dihadapkan pada mata seorang bayi mungil. Bayi itu tidak berdaya. Dan mata tidak berdayanya menatap Tsotsi.
Jelas sekali, tokoh utama film ini, bukanlah tokoh yang patut diberi simpati. Tsotsi tidak segan-segan menikam korbannya di kereta. Tsotsi menembak wanita. Tsotsi bahkan tega menghajar habis-habisan teman segengnya sendiri. Tapi kini Tsotsi dihadapkan pada bayi. Tegakah Tsotsi membunuh bayi?
Tsotsi membawa bayi itu ke gubuknya. Sebenarnya, Tsotsi bisa saja menyerahkan bayi itu ke panti asuhan, gereja, atau sekedar diletakkan di depan pintu rumah seseorang. Tapi Tsotsi membawa bayi itu ke rumahnya. Kenapa? Karena Tsotsi tidak mau menelantarkan bayi itu seperti yang telah dia lakukan pada dirinya sendiri (dan seperti yang telah bapaknya lakukan pada dirinya). Kelak, di sekitar pertengahan film, terkuak lah masa lalu Tsotsi – dan asal muasal sikap kejinya.
Bayi itu butuh susu. Tsotsi memberi susu kental manis kalengan. Dan hasilnya, bayi itu dikerumuni semut. Tsotsi sadar, dia tidak bisa mengasuh bayi itu sendirian. Tsotsi meminta bantuan – dengan sedikit ancaman tentunya – Miriam (Terry Pheto), janda muda setempat yang juga punya bayi untuk disusui. Melihat sikap keibuan Miriam, yang walaupun diancam tapi tetap menyusui sang bayi sepenuh hati (seakan-akan Miriam iba dengan sang bayi), sisi sentimentil di hati Tsotsi pun terketuk lagi. Semua perih dari masa lalu Tsotsi pun bangkit lagi.
Tokoh Miriam yang tenang dan damai hadir sebagai penetral tokoh Tsotsi. Perlahan-lahan Tsotsi pun berubah. Tsotsi tidak digambarkan berubah seketika dari sosok yang keji menjadi sosok yang alim, tapi perubahan Tsotsi digambarkan dengan munculnya secercah empati dalam dirinya. Terbukti dari adegan ketika Tsotsi berhadapan dengan seorang pria cacat yang duduk di (semacam) papan roda. Mulanya, ada niat di kepala Tsotsi untuk mencelakai pria itu. Tapi, ujung-ujungnya, Tsotsi tidak sampai hati mencelakainya. Perubahan psikologis Tsotsi ini tidak lain karena kehadiran sang bayi. Apa yang bisa Tsotsi lakukan pada bayi tersebut? Tegakah Tsotsi mencelakai bayi tersebut? Bayi itu merengek di gubuk Tsotsi. Bayi itu berak di gubuknya, dan menyisakan bau busuk. Tapi, tegakah Tsotsi membunuhnya? Sisi keji Tsotsi perlahan-lahan kalah oleh kehadiran si bayi.
Ending-nya. Film ini diakhiri dengan ending yang sangat tepat. Ending adalah bagian paling emosional di film ini. Mengarahkan ending tetap pada gaya dokumenter merupakan pilihan yang sangat tepat, hasilnya ending yang emosional tersebut tidak terasa cengeng. Bukan hanya sekedara nuansa realismenya, tapi kajian di ending-lah yang membuat “Tsotsi” bermakna. “Tsotsi” mengakhiri filmnya tanpa penghakiman. Tidak ada yang disalahkan. Sulit menunjuk siapa yang benar-benar patut disalahkan, bahkan hingga film ini berakhir. Bayangkan sendiri kalau kita (penonton) dihadapkan pada situasi seperti di ending itu. Pada akhirnya, “Tsotsi” bukan lah film tentang yang benar dan yang salah, melainkan tipe film yang mengajak penonton untuk merenungkan kembali adegan-demi-adegan.
Tema yang sentimentil, tapi disajikan serealistis mungkin, jadilah “Tsotsi.” Terbukti di film ini, tema sentimentil tidak harus disajikan over-melodramatis atau over-sentimentil untuk sekedar menyentuh hati penonton. Penampilan pada pemain, terutama pemeran Tsotsi, yang meyakinkan memberi nilai tambah film ini. “Tsotsi,” dengan pendekatan realisnya, ternyata mampu menyajikan sebuah drama dengan kajian emosional yang sangat dalam.
Sutradara: Gavin Hood
Pemain: Presley Chweneyagae, Terry Pheto, Kenneth Nkosi, Mothusi Magano
Tahun Rilis: 2005
“TSOTSI,” film asal Republik Afrika Selatan ini menggaet penghargaan Best Foreign Film versi Academy Awards (alias Oscar) tahun 2005 silam. Cerita yang disuguhkan “Tsotsi” sebenarnya sangat-sangat simpel. Bahkan keseluruhan cerita “Tsotsi” hanya memakan waktu kurang lebih satu setengah jam total. Tapi, yang membuat “Tsotsi” layak masuk jajaran nominator Oscar adalah kajiannya yang sangat dalam dan, tentu saja, eksekusi kajiannya tersebut ke arah yang sangat tepat. Kalau mau ditarik garis besar ceritanya, “Tsotsi” menyuguhkan cerita perubahan sosok seorang yang tidak punya nurani menjadi sosok yang lebih baik lagi. Sebuah tema yang sentimentil, memang. Hanya saja, seperti yang sudah saya bilang sebelumnya, eksekusinya yang membuat “Tsotsi” tidak terasa over-sentimentil atau over-melodramatis. Tepatnya, penggunaan gaya realisme (serupa seperti yang digunakan oleh “Ajami”) yang membuat film ini terasa nyata. Sinematografinya yang seakan-akan memberikan kesan dokmenter pun turut ikut andil.
“Tsotsi” bercerita tentang Tsotsi (Presley Chweneyagae) – bukan nama aslinya, pemimpin sebuah geng jalanan di pinggiran Swetso (dekat Johannesburg). Suatu malam, Tsotsi merampok seorang pria berjas di kereta bersama tiga anggota gengnya, Butcher (Zenzo Ngqobe), Aap (Kenneth Nkosi) and Boston (Mothusi Magano). Setelah merampok, pria berjas itu pun ditusuk dengan pisau sampai mati. Di bar, seusai merampok, Boston menuntut pada Tsotsi bagaimana perasaannya seusai membunuh pria di kereta tadi. Tsotsi hanya menatap dingin. Boston tetap menuntut, hingga akhirnya Tsotsi naik pitam dan menghajar habis-habisan teman segengnya itu. Puas melampiaskan emosi, Tsotsi keluar dari bar. Tsotsi berjalan sendirian tengah malam. Tapi, jelas sekali tergambar, jiwa Tsotsi pun sendirian.
Sebuah mobil mewah pun melesat di depan Tsotsi. Tidak tanggung-tanggung, Tsotsi merampok mobil mewah tersebut. Pemiliknya, seorang wanita (Nambitha Mpumlwana), pun ditembak di tempat – sayangnya tidak sampai mati. Namun, masalah yang sebenarnya ada di dalam mobil itu. Ada bayi di dalam mobil yang dirampok Tsotsi. Tsotsi, yang berjiwa keji, bermata dingin, dan selalu tidak berbelas kasihan pada korbannya, kini dihadapkan pada mata seorang bayi mungil. Bayi itu tidak berdaya. Dan mata tidak berdayanya menatap Tsotsi.
Jelas sekali, tokoh utama film ini, bukanlah tokoh yang patut diberi simpati. Tsotsi tidak segan-segan menikam korbannya di kereta. Tsotsi menembak wanita. Tsotsi bahkan tega menghajar habis-habisan teman segengnya sendiri. Tapi kini Tsotsi dihadapkan pada bayi. Tegakah Tsotsi membunuh bayi?
Tsotsi membawa bayi itu ke gubuknya. Sebenarnya, Tsotsi bisa saja menyerahkan bayi itu ke panti asuhan, gereja, atau sekedar diletakkan di depan pintu rumah seseorang. Tapi Tsotsi membawa bayi itu ke rumahnya. Kenapa? Karena Tsotsi tidak mau menelantarkan bayi itu seperti yang telah dia lakukan pada dirinya sendiri (dan seperti yang telah bapaknya lakukan pada dirinya). Kelak, di sekitar pertengahan film, terkuak lah masa lalu Tsotsi – dan asal muasal sikap kejinya.
Bayi itu butuh susu. Tsotsi memberi susu kental manis kalengan. Dan hasilnya, bayi itu dikerumuni semut. Tsotsi sadar, dia tidak bisa mengasuh bayi itu sendirian. Tsotsi meminta bantuan – dengan sedikit ancaman tentunya – Miriam (Terry Pheto), janda muda setempat yang juga punya bayi untuk disusui. Melihat sikap keibuan Miriam, yang walaupun diancam tapi tetap menyusui sang bayi sepenuh hati (seakan-akan Miriam iba dengan sang bayi), sisi sentimentil di hati Tsotsi pun terketuk lagi. Semua perih dari masa lalu Tsotsi pun bangkit lagi.
Tokoh Miriam yang tenang dan damai hadir sebagai penetral tokoh Tsotsi. Perlahan-lahan Tsotsi pun berubah. Tsotsi tidak digambarkan berubah seketika dari sosok yang keji menjadi sosok yang alim, tapi perubahan Tsotsi digambarkan dengan munculnya secercah empati dalam dirinya. Terbukti dari adegan ketika Tsotsi berhadapan dengan seorang pria cacat yang duduk di (semacam) papan roda. Mulanya, ada niat di kepala Tsotsi untuk mencelakai pria itu. Tapi, ujung-ujungnya, Tsotsi tidak sampai hati mencelakainya. Perubahan psikologis Tsotsi ini tidak lain karena kehadiran sang bayi. Apa yang bisa Tsotsi lakukan pada bayi tersebut? Tegakah Tsotsi mencelakai bayi tersebut? Bayi itu merengek di gubuk Tsotsi. Bayi itu berak di gubuknya, dan menyisakan bau busuk. Tapi, tegakah Tsotsi membunuhnya? Sisi keji Tsotsi perlahan-lahan kalah oleh kehadiran si bayi.
Ending-nya. Film ini diakhiri dengan ending yang sangat tepat. Ending adalah bagian paling emosional di film ini. Mengarahkan ending tetap pada gaya dokumenter merupakan pilihan yang sangat tepat, hasilnya ending yang emosional tersebut tidak terasa cengeng. Bukan hanya sekedara nuansa realismenya, tapi kajian di ending-lah yang membuat “Tsotsi” bermakna. “Tsotsi” mengakhiri filmnya tanpa penghakiman. Tidak ada yang disalahkan. Sulit menunjuk siapa yang benar-benar patut disalahkan, bahkan hingga film ini berakhir. Bayangkan sendiri kalau kita (penonton) dihadapkan pada situasi seperti di ending itu. Pada akhirnya, “Tsotsi” bukan lah film tentang yang benar dan yang salah, melainkan tipe film yang mengajak penonton untuk merenungkan kembali adegan-demi-adegan.
Tema yang sentimentil, tapi disajikan serealistis mungkin, jadilah “Tsotsi.” Terbukti di film ini, tema sentimentil tidak harus disajikan over-melodramatis atau over-sentimentil untuk sekedar menyentuh hati penonton. Penampilan pada pemain, terutama pemeran Tsotsi, yang meyakinkan memberi nilai tambah film ini. “Tsotsi,” dengan pendekatan realisnya, ternyata mampu menyajikan sebuah drama dengan kajian emosional yang sangat dalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar