Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Henry Selick
Tahun Rilis: 2009
Film ini diangkat dari novel “Coraline” karangan Neil Gaiman.
“CORALINE” adalah sampel dari stop-motion. Agak sulit menjelaskan apa itu stop-motion. Pastinya ini bukan CGI. Stop-motion bisa dibilang semacam teknik membuat manipulasi visual gerakan benda-benda fisik. Stop-motion biasanya dibuat dengan kumpulan potongan gambar gerakan kecil obyek stop-motion sehinggal menimbulkan semacam ilusi visual bahwa obyek tersebut bergerak. Ambil contoh sebuah koin di meja, lalu beri gerakkan kecil secara berkali sembari mengambil gambar per gerakannya. Keseluruhan gambarnya disatukan menjadi semacam slide show. Jadilah contoh simpel stop-motion. Yah, buat yang masih belum mengerti, silahkan simak sendiri trailer “Coraline” (atau filmnya).
Kanak-kanak mungkin bakal merasa terganggu dengan tema hitam yang disajikan “Coraline.” Tidak heran dengan tema hitamnya karena animasi ini datang dari sutradara yang sebelumnya menghasilkan “The Nightmare Before Christmas.” Tokoh utama film ini, Coraline (bukan Caroline), bukan figur yang patut dicontoh anak-anak. Coraline tukang ngambek. Coraline tipikal gadis kecil sinikal. Coraline punya segudang tuntutan pada orang tuanya. Dan memang bukan 100% kesalahan Coraline pula, toh memang kedua orang tuanya sibuk melototi komputer masing-masing. Kedua orang tua Coraline bahkan hampir tidak pernah mendengar keluhannya.
Jadi wajar saja kalau Coraline terperangkap di dunia yang ditemukannya dibalik pintu kecil di pojok dinding rumahnya. Coraline berjumpa “the other parent” (orang tuanya yang lain) di dunia itu. Terlepas dari fakta bahwa kedua orang tua Coraline di dunia itu bermata kancing, Coraline menemukan sosok ideal orang tuanya. Ibunya memasak masakan lezat setiap hari. Bapaknya selalu memberikan perhatian buatnya. Bahkan lingkungannya di dunia yang lain jauh lebih menyenangkan ketimbang dunia aslinya. Coraline terperangkap di dunia itu.
Terlepas dari fakta bahwa tema film ini terbilang kelam untuk disajikan pada anak-anak, penonton dewasa mungkin bakal menikmati temanya yang mungkin bisa saja terjadi di dunia nyata: anak kecil menggunakan imajinasinya untuk lepas dari dunia yang tidak dimaui. Justru daya tarik film ini datang dari sisi artistiknya yang kelam dan gelap. Ketika kebanyakan animasi (CGI, stop-mation, animasi klasik, atau tipe-tipe lainnya) cenderung menyajikan warna-warna yang cerah, manis, lucu, bahkan imut, “Coraline” malah menyuguhkan warna yang gotik. Faktanya, sisi artistik tersebut memang berhasil sekali membangun mood.
Sutradara: Henry Selick
Tahun Rilis: 2009
Film ini diangkat dari novel “Coraline” karangan Neil Gaiman.
“CORALINE” adalah sampel dari stop-motion. Agak sulit menjelaskan apa itu stop-motion. Pastinya ini bukan CGI. Stop-motion bisa dibilang semacam teknik membuat manipulasi visual gerakan benda-benda fisik. Stop-motion biasanya dibuat dengan kumpulan potongan gambar gerakan kecil obyek stop-motion sehinggal menimbulkan semacam ilusi visual bahwa obyek tersebut bergerak. Ambil contoh sebuah koin di meja, lalu beri gerakkan kecil secara berkali sembari mengambil gambar per gerakannya. Keseluruhan gambarnya disatukan menjadi semacam slide show. Jadilah contoh simpel stop-motion. Yah, buat yang masih belum mengerti, silahkan simak sendiri trailer “Coraline” (atau filmnya).
Kanak-kanak mungkin bakal merasa terganggu dengan tema hitam yang disajikan “Coraline.” Tidak heran dengan tema hitamnya karena animasi ini datang dari sutradara yang sebelumnya menghasilkan “The Nightmare Before Christmas.” Tokoh utama film ini, Coraline (bukan Caroline), bukan figur yang patut dicontoh anak-anak. Coraline tukang ngambek. Coraline tipikal gadis kecil sinikal. Coraline punya segudang tuntutan pada orang tuanya. Dan memang bukan 100% kesalahan Coraline pula, toh memang kedua orang tuanya sibuk melototi komputer masing-masing. Kedua orang tua Coraline bahkan hampir tidak pernah mendengar keluhannya.
Jadi wajar saja kalau Coraline terperangkap di dunia yang ditemukannya dibalik pintu kecil di pojok dinding rumahnya. Coraline berjumpa “the other parent” (orang tuanya yang lain) di dunia itu. Terlepas dari fakta bahwa kedua orang tua Coraline di dunia itu bermata kancing, Coraline menemukan sosok ideal orang tuanya. Ibunya memasak masakan lezat setiap hari. Bapaknya selalu memberikan perhatian buatnya. Bahkan lingkungannya di dunia yang lain jauh lebih menyenangkan ketimbang dunia aslinya. Coraline terperangkap di dunia itu.
Terlepas dari fakta bahwa tema film ini terbilang kelam untuk disajikan pada anak-anak, penonton dewasa mungkin bakal menikmati temanya yang mungkin bisa saja terjadi di dunia nyata: anak kecil menggunakan imajinasinya untuk lepas dari dunia yang tidak dimaui. Justru daya tarik film ini datang dari sisi artistiknya yang kelam dan gelap. Ketika kebanyakan animasi (CGI, stop-mation, animasi klasik, atau tipe-tipe lainnya) cenderung menyajikan warna-warna yang cerah, manis, lucu, bahkan imut, “Coraline” malah menyuguhkan warna yang gotik. Faktanya, sisi artistik tersebut memang berhasil sekali membangun mood.
Iya, ceritanya kelam, tapi suka ni film
BalasHapusDan namanya unik, "Coraline"
:D