Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Brad Bird
Tahun Rilis: 2007
“SEMUA orang bisa masak,” kata Auguste Gusteau (almarhum koki ternama di Perancis – salah satu tokoh film ini, “tapi cuma yang bertekad kuat yang bisa hebat.” Intinya, semua orang bisa masak asal mau mencoba.
Remy bukan sekedar tikus. Remy, tokoh utama film ini, adalah tikus yang diberkati dengan penciuman yang tajam. Remy mampu mengenali aroma bahan-bahan makanan hanya dengan penciumannya. Remy memanfaatkan penciumannya untuk masak-memasak. Tidak seperti tikus lainnya, Remy enggam melumat makanan sampah. Remy gila memasak, dan Auguste Gusteau adalah idolanya. Tapi, selain diberkti bakat memasak, Remy juga dijatuhi sebuah ketidakmujuran. Ketidakmujuran yang diemban Remy tidak lain adalah fakta bahwa dia seekor tikus. Dan tikus tidak memasak. Siapa yang mau makan makanan seekor tikus?
Karena suatu kejadian, Remy pun terpisah dengan koloninya dan entah bagaimana tiba di Restoran Gusteau yang kini dikelola seorang koki kerdil, Skinner. Restoran bintang lima itu kini sekarang tinggal berbintang tiga, satu bintang hilang karena kritikan pedas dari kritikus kejam Anton Ego dan satu bintang lagi hilang karena wafatnya Gusteau. Remy pun, karena suatu kejadian lagi, berteman Linguini (keponakan Gusteau yang seharusnya mewarisi restoran tersebut), sang tukang pel dan tukang cuci piring.
Remy dan Linguni membangun semacam kepercayaan satu sama lain. Linguini sama sekali tidak punya bakat memasak. Sementara Remy punya bakat memasak. Tapi Remy tikus. Siapa yang mau makan makanan yang dimasak seekor tikus? Bahkan Remy malah bakal disemprot dengan racun tikus bila menunjukkan dirinya di restoran. Linguini lah solusinya. Karena Linguini adalah manusia. Remy dan Linguni melengkapi satu sama lain. Remy memasak dengan menggunakan badan Linguni. Remy menarik rambut Linguini, dan tubuh Linguni mengikuti arah gerakan rambut yang ditarik Remy. Rambut Linguni seolah-olah jadi semacam stir mobil bagi Remy, dan Linguni lah mobilnya. Atau joystick, dan Linguni lah Playstation-nya.
“Ratatouille” adalah salah satu animasi favorit saya. Tidak lain karena tokohnya yang sangat loveable dan ceritanya yang sangat modest. Berbeda dengan kebanyakan animasi yang menampilkan tokoh-tokoh super heboh, “Ratatouille” malah menyajikan seekor tikus ala fabel-fabel klasik sebagai tokoh utamanya. Remy sangat rendah hati. Remy bahkan pemalu. Remy tidak digambarkan dengan gesture-gesture super heboh ala animasi CGI umumnya. Remy digambarkan dengan bentuk fabel ala kadarnya. Thanks to Pixar, gesture sederhana Remy (untuk ukuran tikus) malah terlihat sangat detil. Gerakan tangannya. Hingga ekspresi wajahnya. Saya mau memelihara Remy!
Kalau mau bermain logika, jelas film ini di luar logika. Sangat tidak mungkin seekor tikus memasak, sekalipun tangannya sudah dicuci. Membayangkan bulu-bulunya yang kemungkinan nyangkut di makanan yang dimasak saja sudah enek. Tapi ini fantasi, atau katakanlah fabel. Nikmatilah sebatas fantasi.
“Ratatouille” menunjukkan sebuah kemajuan dari animasi-animasi Disney's Pixar. This is a true Disney and Pixar. Atau lebih jelasnya, “Ratatouille” seakan-akan merupakan penggabungan nuansa animasi klasik Disney dengan ketajaman CGI Pixar.
Sutradara: Brad Bird
Tahun Rilis: 2007
“SEMUA orang bisa masak,” kata Auguste Gusteau (almarhum koki ternama di Perancis – salah satu tokoh film ini, “tapi cuma yang bertekad kuat yang bisa hebat.” Intinya, semua orang bisa masak asal mau mencoba.
Remy bukan sekedar tikus. Remy, tokoh utama film ini, adalah tikus yang diberkati dengan penciuman yang tajam. Remy mampu mengenali aroma bahan-bahan makanan hanya dengan penciumannya. Remy memanfaatkan penciumannya untuk masak-memasak. Tidak seperti tikus lainnya, Remy enggam melumat makanan sampah. Remy gila memasak, dan Auguste Gusteau adalah idolanya. Tapi, selain diberkti bakat memasak, Remy juga dijatuhi sebuah ketidakmujuran. Ketidakmujuran yang diemban Remy tidak lain adalah fakta bahwa dia seekor tikus. Dan tikus tidak memasak. Siapa yang mau makan makanan seekor tikus?
Karena suatu kejadian, Remy pun terpisah dengan koloninya dan entah bagaimana tiba di Restoran Gusteau yang kini dikelola seorang koki kerdil, Skinner. Restoran bintang lima itu kini sekarang tinggal berbintang tiga, satu bintang hilang karena kritikan pedas dari kritikus kejam Anton Ego dan satu bintang lagi hilang karena wafatnya Gusteau. Remy pun, karena suatu kejadian lagi, berteman Linguini (keponakan Gusteau yang seharusnya mewarisi restoran tersebut), sang tukang pel dan tukang cuci piring.
Remy dan Linguni membangun semacam kepercayaan satu sama lain. Linguini sama sekali tidak punya bakat memasak. Sementara Remy punya bakat memasak. Tapi Remy tikus. Siapa yang mau makan makanan yang dimasak seekor tikus? Bahkan Remy malah bakal disemprot dengan racun tikus bila menunjukkan dirinya di restoran. Linguini lah solusinya. Karena Linguini adalah manusia. Remy dan Linguni melengkapi satu sama lain. Remy memasak dengan menggunakan badan Linguni. Remy menarik rambut Linguini, dan tubuh Linguni mengikuti arah gerakan rambut yang ditarik Remy. Rambut Linguni seolah-olah jadi semacam stir mobil bagi Remy, dan Linguni lah mobilnya. Atau joystick, dan Linguni lah Playstation-nya.
“Ratatouille” adalah salah satu animasi favorit saya. Tidak lain karena tokohnya yang sangat loveable dan ceritanya yang sangat modest. Berbeda dengan kebanyakan animasi yang menampilkan tokoh-tokoh super heboh, “Ratatouille” malah menyajikan seekor tikus ala fabel-fabel klasik sebagai tokoh utamanya. Remy sangat rendah hati. Remy bahkan pemalu. Remy tidak digambarkan dengan gesture-gesture super heboh ala animasi CGI umumnya. Remy digambarkan dengan bentuk fabel ala kadarnya. Thanks to Pixar, gesture sederhana Remy (untuk ukuran tikus) malah terlihat sangat detil. Gerakan tangannya. Hingga ekspresi wajahnya. Saya mau memelihara Remy!
Kalau mau bermain logika, jelas film ini di luar logika. Sangat tidak mungkin seekor tikus memasak, sekalipun tangannya sudah dicuci. Membayangkan bulu-bulunya yang kemungkinan nyangkut di makanan yang dimasak saja sudah enek. Tapi ini fantasi, atau katakanlah fabel. Nikmatilah sebatas fantasi.
“Ratatouille” menunjukkan sebuah kemajuan dari animasi-animasi Disney's Pixar. This is a true Disney and Pixar. Atau lebih jelasnya, “Ratatouille” seakan-akan merupakan penggabungan nuansa animasi klasik Disney dengan ketajaman CGI Pixar.
Jon, Auguste Gusteau itu laki bukan? Kok almarhumah?
BalasHapusHahaha. Kesalahan. Makasih koreksinya.
BalasHapus