Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Jafar Panahi
Pemain: Shima Mobarak-Shahi, Safar Samandar, Shayesteh Irani, Ayda Sadeqi, Golnaz Farmani, Melika Shafahi, Safdar Samandar, Mohammad Kheir-abadi, Masoud Kheymeh-kabood, Mohammed-Reza Gharebaghi
Tahun Rilis: 2006
Judul Internasional: Offside
Sinema Iran memang salah satu sinema favorit saya. Film-film bikinan sutradara Iran, diantaranya Abbas Kiarostami atau Majid Majidi, selalu jadi salah satu yang saya nanti-nanti. Sekarang, akibat The White Balloon, The Circle, dan Offside ini, Jafar Panahi masuk jajaran sutradara Iran yang bakal saya tunggu-tunggu karyanya.
Kemenarikan sinema Iran sendiri tidak hanya terletak dari keunikan pendekatan neo-realis-nya. Tapi juga tema-tema humanistik, politik, sosial, hingga personal yang diangkat dan bagaimana sineas-sineas Iran dengan pintar mengkajinya. Di Offside ini, Jafar Panahi mempertegas, dan menyempurnakan lagi, gaya realis yang biasa ditemukan di film-film Iran. Jafar Panahi juga membuktikan bahwa pendekatan realis tidak hanya cocok diterapkan di film-film drama, tapi ternyata mempan juga di sebuah komedi.
Offside dilarang screening di Iran. Ironis. Cukup bisa dimengerti bila dilihat dari konteksnya. Keseluruhan total cerita Offside sebenarnya simpel. Di Iran, wanita dilarang menonton pertandingan sepak bola di stadion. Di Offside, segumpalan gadis-gadis penggila bola dari Iran nekat berdandan ala lelaki demi untuk menonton pertandingan sepak bola secara langsung. Offside ber-settting di tahun 2006, di pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2006 Iran vs Bahrain. Konon, dari beberapa sumber yang saya baca, Jafar Panahi melakukan syuting beberapa adegan langsung di stadion Azadi di Tehrano. Wow! Saya tidak bisa membayangkan apabila hal-hal diluar perkiraan terjadi selama syuting (atau selama pertandingan). Misal saja, bila saat itu tim nasional Iran kalah, akankah film Offside tetap seperti yang saya tonton ini? Apakah memang naskahnya sendiri besifat insidentil? Apakah Jafar Panahi punya rencana B (atau naskah B)? Jelas Jafar Panahi mengambil kesempatan yang cukup berisiko.
Sebelumnya saya sudah menulis kurang lebih dua paragaf yang menjabarkan tentang sinopsis singkat Offside. Tapi saya hapus lagi. Setelah saya pikir-pikir, rasanya saya tidak perlu menulis panjang lebar tentang cerita Offside di sini. Singkat saja, Offside berkisah tentang lima gadis Iran (Sima Mobarak-Shahi, Shayesteh Irani, Ayda Sadeqi, Golnaz Farmani, Mahnaz Zabihi, dan Nazanin Sediq-zadeh) yang menyamar untuk bisa masuk stadion Azadi, sayangnya tertangkap dan sialnya harus mendekap di belakang pagar sambil diawasi tiga orang penjaga sepanjang pertandingan (Safdar Samandar, Mohammad Kheir-abadi, dan Masoud Kheymeh-kabood). Situasi ini jelas malapetaka besar bagi kelima gadis penggila sepak bola tersebut. Pintarnya, di sini lah letak real komedinya. Bukan komedi kocak-kocakan atau konyol-konyolan. Tapi ini lah makna sebenarnya komedi situasi dan komedi atmosferis. Lebih jauh lagi, Offside bukan sekedar komedi yang ditujukan untuk membuat penontonnya tertawa, tapi juga komedi yang mengingatkan kembali hakikat sebuah seni sebagai media penyampaian pesan.
Film ini menyenangkan. Film ini lucu. Lucu yang tidak konyol. Lucu yang pintar. Lucu yang berbobot. Itu yang ada di benak saya sepanjang menonton Offside sampai selesai. Kelima gadis ini berhasrat setengah mati untuk menonton bola. Dan tiga petugas itu menghalangi mereka. Berbagai trik mereka gunakan untuk memuaskan hasrat gila bola mereka: mulai dari membujuk-rayu ketiga petugas itu, meminta salah satu petugas untuk menceritakan kejadian di lapangan bola, sampai izin buang air kecil.
Dialog yang paling menarik, dan salah satu yang paling pintar dari sebuah film komedi, adalah dialog antara gadis tomboy dengan salah satu petugas. Bisa saja saya jabarkan dialog menarik tersebut di sini, sayangnya terlalu panjang dan tentunya bakal mengurangi kenikmatan yang belum menonton. Intinya, dialog tersebut mendebatkan perbandingan logika wanita Iran dilarang menonton bola di stadion dengan beberapa fakta; wanita Jepang yang diperbolehkan menonton pertandingan Iran-Jepang di Iran, wanita Iran yang diperbolehkan menonton bioskop bersama pria di Iran, bahkan kemungkinan menonton sepak bola bagi wanita Iran andai saja mereka membawa kerabat laki-laki (ayah atau kakak). Dialog dua arah itu terbangun sempurna. Tidak preachy. Tidak terkesan sok tahu. Bahkan nuansa satirikalnya pun masih terjaga.
Dari segi penokohan, walaupun bisa dibilang tokoh-tokoh di film ini tidak diberitahu namanya, pembagian karakteristik bagi kelima wanita dan ketiga penjaga cukup berhasil. Dari sisi wanita: ada wanita yang tomboy, ada yang cengeng, ada yang nekat kencing, ada juga yang menyamar jadi petugas. Sementara dari sisi petugas; ada petugas kolot yang merasa sepak bola itu buang-buang waktu dan tenaga semata ada juga yang jago jadi komentator sepak bola. Singkat kata, Offside adalah film tentang politik gender yang dibalut dengan komedi fresh dan ringan yang sangat patut untuk ditonton. Satu hal lagi yang membuat saya jatuh cinta dengan Offside: Jafar Panahi tidak berusaha menggambarkan kelima gadis di filmnya sebagai aktivis perempuan, Jafar Panahi juga tidak berusaha menggambarkan para petugas sebagai tokoh penegak hukum yang sangat sadar hukum, Jafar Panahi dengan tepat menyuguhkan kelima gadis itu murni sebagai fans berat sepak bola dan para petugas murni sebagai petugas yang sadaar akan tugas. Saya sendiri tidak segan-segan untuk bilang bahwa Offside adalah salah satu komedi terbaik dari komedi-komedi sepanjang era 2000-an yang pernah saya tonton.
Sutradara: Jafar Panahi
Pemain: Shima Mobarak-Shahi, Safar Samandar, Shayesteh Irani, Ayda Sadeqi, Golnaz Farmani, Melika Shafahi, Safdar Samandar, Mohammad Kheir-abadi, Masoud Kheymeh-kabood, Mohammed-Reza Gharebaghi
Tahun Rilis: 2006
Judul Internasional: Offside
Sinema Iran memang salah satu sinema favorit saya. Film-film bikinan sutradara Iran, diantaranya Abbas Kiarostami atau Majid Majidi, selalu jadi salah satu yang saya nanti-nanti. Sekarang, akibat The White Balloon, The Circle, dan Offside ini, Jafar Panahi masuk jajaran sutradara Iran yang bakal saya tunggu-tunggu karyanya.
Kemenarikan sinema Iran sendiri tidak hanya terletak dari keunikan pendekatan neo-realis-nya. Tapi juga tema-tema humanistik, politik, sosial, hingga personal yang diangkat dan bagaimana sineas-sineas Iran dengan pintar mengkajinya. Di Offside ini, Jafar Panahi mempertegas, dan menyempurnakan lagi, gaya realis yang biasa ditemukan di film-film Iran. Jafar Panahi juga membuktikan bahwa pendekatan realis tidak hanya cocok diterapkan di film-film drama, tapi ternyata mempan juga di sebuah komedi.
Offside dilarang screening di Iran. Ironis. Cukup bisa dimengerti bila dilihat dari konteksnya. Keseluruhan total cerita Offside sebenarnya simpel. Di Iran, wanita dilarang menonton pertandingan sepak bola di stadion. Di Offside, segumpalan gadis-gadis penggila bola dari Iran nekat berdandan ala lelaki demi untuk menonton pertandingan sepak bola secara langsung. Offside ber-settting di tahun 2006, di pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2006 Iran vs Bahrain. Konon, dari beberapa sumber yang saya baca, Jafar Panahi melakukan syuting beberapa adegan langsung di stadion Azadi di Tehrano. Wow! Saya tidak bisa membayangkan apabila hal-hal diluar perkiraan terjadi selama syuting (atau selama pertandingan). Misal saja, bila saat itu tim nasional Iran kalah, akankah film Offside tetap seperti yang saya tonton ini? Apakah memang naskahnya sendiri besifat insidentil? Apakah Jafar Panahi punya rencana B (atau naskah B)? Jelas Jafar Panahi mengambil kesempatan yang cukup berisiko.
Sebelumnya saya sudah menulis kurang lebih dua paragaf yang menjabarkan tentang sinopsis singkat Offside. Tapi saya hapus lagi. Setelah saya pikir-pikir, rasanya saya tidak perlu menulis panjang lebar tentang cerita Offside di sini. Singkat saja, Offside berkisah tentang lima gadis Iran (Sima Mobarak-Shahi, Shayesteh Irani, Ayda Sadeqi, Golnaz Farmani, Mahnaz Zabihi, dan Nazanin Sediq-zadeh) yang menyamar untuk bisa masuk stadion Azadi, sayangnya tertangkap dan sialnya harus mendekap di belakang pagar sambil diawasi tiga orang penjaga sepanjang pertandingan (Safdar Samandar, Mohammad Kheir-abadi, dan Masoud Kheymeh-kabood). Situasi ini jelas malapetaka besar bagi kelima gadis penggila sepak bola tersebut. Pintarnya, di sini lah letak real komedinya. Bukan komedi kocak-kocakan atau konyol-konyolan. Tapi ini lah makna sebenarnya komedi situasi dan komedi atmosferis. Lebih jauh lagi, Offside bukan sekedar komedi yang ditujukan untuk membuat penontonnya tertawa, tapi juga komedi yang mengingatkan kembali hakikat sebuah seni sebagai media penyampaian pesan.
Film ini menyenangkan. Film ini lucu. Lucu yang tidak konyol. Lucu yang pintar. Lucu yang berbobot. Itu yang ada di benak saya sepanjang menonton Offside sampai selesai. Kelima gadis ini berhasrat setengah mati untuk menonton bola. Dan tiga petugas itu menghalangi mereka. Berbagai trik mereka gunakan untuk memuaskan hasrat gila bola mereka: mulai dari membujuk-rayu ketiga petugas itu, meminta salah satu petugas untuk menceritakan kejadian di lapangan bola, sampai izin buang air kecil.
Dialog yang paling menarik, dan salah satu yang paling pintar dari sebuah film komedi, adalah dialog antara gadis tomboy dengan salah satu petugas. Bisa saja saya jabarkan dialog menarik tersebut di sini, sayangnya terlalu panjang dan tentunya bakal mengurangi kenikmatan yang belum menonton. Intinya, dialog tersebut mendebatkan perbandingan logika wanita Iran dilarang menonton bola di stadion dengan beberapa fakta; wanita Jepang yang diperbolehkan menonton pertandingan Iran-Jepang di Iran, wanita Iran yang diperbolehkan menonton bioskop bersama pria di Iran, bahkan kemungkinan menonton sepak bola bagi wanita Iran andai saja mereka membawa kerabat laki-laki (ayah atau kakak). Dialog dua arah itu terbangun sempurna. Tidak preachy. Tidak terkesan sok tahu. Bahkan nuansa satirikalnya pun masih terjaga.
Dari segi penokohan, walaupun bisa dibilang tokoh-tokoh di film ini tidak diberitahu namanya, pembagian karakteristik bagi kelima wanita dan ketiga penjaga cukup berhasil. Dari sisi wanita: ada wanita yang tomboy, ada yang cengeng, ada yang nekat kencing, ada juga yang menyamar jadi petugas. Sementara dari sisi petugas; ada petugas kolot yang merasa sepak bola itu buang-buang waktu dan tenaga semata ada juga yang jago jadi komentator sepak bola. Singkat kata, Offside adalah film tentang politik gender yang dibalut dengan komedi fresh dan ringan yang sangat patut untuk ditonton. Satu hal lagi yang membuat saya jatuh cinta dengan Offside: Jafar Panahi tidak berusaha menggambarkan kelima gadis di filmnya sebagai aktivis perempuan, Jafar Panahi juga tidak berusaha menggambarkan para petugas sebagai tokoh penegak hukum yang sangat sadar hukum, Jafar Panahi dengan tepat menyuguhkan kelima gadis itu murni sebagai fans berat sepak bola dan para petugas murni sebagai petugas yang sadaar akan tugas. Saya sendiri tidak segan-segan untuk bilang bahwa Offside adalah salah satu komedi terbaik dari komedi-komedi sepanjang era 2000-an yang pernah saya tonton.
Barusan menonton tadi malam di Metro TV. Memang Film yang sangat menarik :)
BalasHapusbenar sekali, film ini selain lucu jg bnyak ilmu yg bisa diserap. seperi masalah hukum, etika, dll
BalasHapus