Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Charles Gozali
Pemain: Wulan Guritno, Winky Wiryawan, Sendy Taroreh, Widyawati, Ray Sahetapy, Bulan Ayu, Volland Humonggio
Tahun Rilis: 2010
JUJUR saja, sebenarnya “Demi Dewi” punya potensi mentah untuk jadi film yang bagus, malah sangat bagus: tema yang disuguhkan bisa dibilang fresh ketimbang film-film sempak yang makin meraja-lela, pemainnya pun bisa dibilang mumpuni dan bukan sembarangan nama, bahkan (yang paling menantang niat untuk menonton) film ini disebut-sebut sebagai penyelamat kualitas perfilman Indonesia. Yang lebih hebat lagi, film ini bahkan melakukan hal yang cenderung amat-sangat jarang sekali dilakukan pekerja-pekerja perfilman Indonesia (yang rata-rata malas): penggalian tema dan penngembangan tokoh. Semua poin-poin itu seharusnya bisa mengantarkan “Demi Dewi” ke sebuah kualitas yang wah. Benarkah?
Sayang sekali “Demi Dewi” malah mengacaukan premis luar biasa yang dijanjikannya karena melakukan keselahan-kesalahan yang kesemuanya bisa dirangkum menjadi satu kesalahan fatal: dramatisasi yang sangat-sangat-sangat berlebihan!
Jangankan alur ceritanya, sinematografinya pun didramatisasi dengan sangat berlebihan. Bisa dilihat slow-motion yang tidak pada tempatnya dan tidak terpasang dengan rapi. Efek-efek guncangan-gunangan (atau getaran-getaran) kamera yang hasilnya malah menganggu. Atau establishing shot yang, entahlah, terlihat amatiran dan masih sangat kasar. Kalau memang mau main kasar, kenapa tidak benar-benar kasar sekalian: shot saja filmnya dengan sinematografi kasar ala dokumenter seperti yang dilakukan “The Constant Gardener” atau “A Mighty Heart” (yang notabene malah memperkuat unsur realisme film)! Bahkan saya sendiri nyaris tidak bisa membedakan kualitas gambar “Demi Dewi” dengan kualitas gambar FTV di tivi-tivi (kalau tidak mau dibilang mirip sinetron). Saya sendiri bahkan bingung membedakan fakta mana yang substansial dan fakta mana yang sekedar bumbu. Semua fakta masing-masing tokoh datang silih berganti saling tabrak-tabrakan, dan akhirnya saling memaksa untuk ditelan penontonnya mentah-mentah tak beraturan.
Parahnya, bukan cuma kualitas gambar yang sekelas FTV di tivi-tivi, tapi eksekusi cerita pun tidak mau kalau over-dramatis (kalau tidak mau dibilang mirip sinetron). Seperti yang sudah saya ungkit sebelumnya, film ini melakukan satu hal yang jarang sekali dilakukan pekerja film-film lokal: pengembangan tokoh. Film ini punya Darah (Wulan Guritno) sebagai female fatale yang anak perempuannya, Dewi (Bulan Ayu), diculik, yang ternyata memendam masa lalu kelam dengan almarhumah suaminya (Robertino). Lalu ada Leo (Winky Wiryawan), salah satu penculik Dewi yang ternyata menyimpan dendam pada Terry (Sandy Taroreh), dokter yang tidak bersedia menyelamatkan putrinya beberapa tahun silam sekaligus suami Dara saat ini. Ada juga Deni (Volland Humonggio), sang otak penculikan yang memanfaatkan ketidakstabilan mental Leo demi sebuah alasan klise: uang. Ada Terry, suami Dara yang ternyata tidak se-gentle dan se-bijak yang dikira. Terakhir, ada juga seorang polisi (Ray Sahetapy) yang turut menangani kasus Dewi yang ternyata masih menyimpan urusan masa lalu dengan Dara. Dari situ saja bisa dilihat bahwa tiap tokoh di sini terkembangkan berlebihan.
Saya pernah menulis resensi film “The Clearing” yang juga memiliki bentuk cerita serupa (tentang penculikan dan usaha mendapatkan kembali yang tersayang dari tangan penculik), hanya saja minus aksi-aksi beladiri yang tidak dilakukan Helen Mirren. Bisa dilihat di sana dramatisasi yang terasa pas dan pendalaman tokoh yang tidak kacau (sekalipun tokoh yang disorot cuma tiga orang). Saya tidak akan menyalahkan jumlah tokoh sorotan “Demi Dewi.” Para pemainnya pun rasanya sudah berusaha melakukan yang terbaik dari mereka, rasanya tidak perlu terlalu menyalahkan pemainnya (toh mereka hanya bermain sesuai tuntutan skenarion). Saya rasa yang lebih pantas disalahkan adalah skenarionya yang merupakan sumber over-dramatis jalinan ceritanya dan eksekusinya yang merupakan sumber over-dramatis visualisasinya.
Sutradara: Charles Gozali
Pemain: Wulan Guritno, Winky Wiryawan, Sendy Taroreh, Widyawati, Ray Sahetapy, Bulan Ayu, Volland Humonggio
Tahun Rilis: 2010
JUJUR saja, sebenarnya “Demi Dewi” punya potensi mentah untuk jadi film yang bagus, malah sangat bagus: tema yang disuguhkan bisa dibilang fresh ketimbang film-film sempak yang makin meraja-lela, pemainnya pun bisa dibilang mumpuni dan bukan sembarangan nama, bahkan (yang paling menantang niat untuk menonton) film ini disebut-sebut sebagai penyelamat kualitas perfilman Indonesia. Yang lebih hebat lagi, film ini bahkan melakukan hal yang cenderung amat-sangat jarang sekali dilakukan pekerja-pekerja perfilman Indonesia (yang rata-rata malas): penggalian tema dan penngembangan tokoh. Semua poin-poin itu seharusnya bisa mengantarkan “Demi Dewi” ke sebuah kualitas yang wah. Benarkah?
Sayang sekali “Demi Dewi” malah mengacaukan premis luar biasa yang dijanjikannya karena melakukan keselahan-kesalahan yang kesemuanya bisa dirangkum menjadi satu kesalahan fatal: dramatisasi yang sangat-sangat-sangat berlebihan!
Jangankan alur ceritanya, sinematografinya pun didramatisasi dengan sangat berlebihan. Bisa dilihat slow-motion yang tidak pada tempatnya dan tidak terpasang dengan rapi. Efek-efek guncangan-gunangan (atau getaran-getaran) kamera yang hasilnya malah menganggu. Atau establishing shot yang, entahlah, terlihat amatiran dan masih sangat kasar. Kalau memang mau main kasar, kenapa tidak benar-benar kasar sekalian: shot saja filmnya dengan sinematografi kasar ala dokumenter seperti yang dilakukan “The Constant Gardener” atau “A Mighty Heart” (yang notabene malah memperkuat unsur realisme film)! Bahkan saya sendiri nyaris tidak bisa membedakan kualitas gambar “Demi Dewi” dengan kualitas gambar FTV di tivi-tivi (kalau tidak mau dibilang mirip sinetron). Saya sendiri bahkan bingung membedakan fakta mana yang substansial dan fakta mana yang sekedar bumbu. Semua fakta masing-masing tokoh datang silih berganti saling tabrak-tabrakan, dan akhirnya saling memaksa untuk ditelan penontonnya mentah-mentah tak beraturan.
Parahnya, bukan cuma kualitas gambar yang sekelas FTV di tivi-tivi, tapi eksekusi cerita pun tidak mau kalau over-dramatis (kalau tidak mau dibilang mirip sinetron). Seperti yang sudah saya ungkit sebelumnya, film ini melakukan satu hal yang jarang sekali dilakukan pekerja film-film lokal: pengembangan tokoh. Film ini punya Darah (Wulan Guritno) sebagai female fatale yang anak perempuannya, Dewi (Bulan Ayu), diculik, yang ternyata memendam masa lalu kelam dengan almarhumah suaminya (Robertino). Lalu ada Leo (Winky Wiryawan), salah satu penculik Dewi yang ternyata menyimpan dendam pada Terry (Sandy Taroreh), dokter yang tidak bersedia menyelamatkan putrinya beberapa tahun silam sekaligus suami Dara saat ini. Ada juga Deni (Volland Humonggio), sang otak penculikan yang memanfaatkan ketidakstabilan mental Leo demi sebuah alasan klise: uang. Ada Terry, suami Dara yang ternyata tidak se-gentle dan se-bijak yang dikira. Terakhir, ada juga seorang polisi (Ray Sahetapy) yang turut menangani kasus Dewi yang ternyata masih menyimpan urusan masa lalu dengan Dara. Dari situ saja bisa dilihat bahwa tiap tokoh di sini terkembangkan berlebihan.
Saya pernah menulis resensi film “The Clearing” yang juga memiliki bentuk cerita serupa (tentang penculikan dan usaha mendapatkan kembali yang tersayang dari tangan penculik), hanya saja minus aksi-aksi beladiri yang tidak dilakukan Helen Mirren. Bisa dilihat di sana dramatisasi yang terasa pas dan pendalaman tokoh yang tidak kacau (sekalipun tokoh yang disorot cuma tiga orang). Saya tidak akan menyalahkan jumlah tokoh sorotan “Demi Dewi.” Para pemainnya pun rasanya sudah berusaha melakukan yang terbaik dari mereka, rasanya tidak perlu terlalu menyalahkan pemainnya (toh mereka hanya bermain sesuai tuntutan skenarion). Saya rasa yang lebih pantas disalahkan adalah skenarionya yang merupakan sumber over-dramatis jalinan ceritanya dan eksekusinya yang merupakan sumber over-dramatis visualisasinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar