Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Gina Prince-Bythewood
Pemain: Dakota Fanning, Queen Latifah, Paul Bettany, Jennifer Hudson, Alicia Keys, Sophie Okonedo, Tristan Wilds, Hilarie Burton
Tahun Rilis: 2008
“THE Secret Life of Bees” membawa isu sosial sepuar penindasan ras kulit hitam di Amerika jaman dulu. Dari kalima pembuka itu saja sudah membuat film ini seakan-akan berupa pintar soal masalah sosial yang umumnya berkualitas jempolan. Tunggu dulu, film ini tidak membahas masalah rasisme sedalam apa yang dilakukan “Crash” (2004) kok. Film ini justru menyuguhkan cerita yang lebih personal, ketimbang sosial. Sejujurnya, cerita yang disajikan justru lebih ke arah opera sabun dramatis ketimbang realisme sosial. Ingat “A Patch of Blue” (1965), film tentang hubungan antar ras seorang lelaki negro dan gadis kulit putih yang buta? Atau, yang paling baru, “The Blind Side” (2009) yang bercerita tentang sebuah keluarga kulit putih yang mengasuh seorang pemuda negro dari jalanan? “The Secret Life of Bees” juga membawa konsep serupa. Kalau “The Blind Side” menyuguhkan cerita tenang keluarga kulit putih yang menyelamatkan hidup seorang pemuda kulit hitam, “The Secret Life of Bees” malah menyuguhkan cerita tentang keluarga kulit hitam yang menolong seorang gadis kecil kulit putih. Bukan benar-benar menyelamatkan hidup lahir-batin seperti yang digambarkan dalam “The Blind Side,” lebih personal lagi, dalam “The Secret Life of Bees” kita disuguhkan seorang Dakota Fanning menemukan makna keluarga (dan makna hidup) di tengah-tengah para wanita kulit hitam.
Seperti yang saya bilang di paragraf awal, “The Secret Life of Bees” malah menyuguhkan suasana dramatis, ketimbang realis. Sentimentil, memang (dan cukup terasa). Tapi penempatannya yang pas dan sesuai malah memberikan hasil yang hangat. Film yang satu ini bukan film buruk, dan bisa dibilang contoh penempatan dan pengkadaran dramatisme yang tepat dan pas (dan tidak berlebihan layaknya film-film serupa – pernah lihat “Tanah Air Beta” atau film-filmnya Nayato?).
Ke-pas-an dramatisme itu tidak lain sangat didukung oleh penokohan tokoh-tokohnya dan penampilan pemain-pemainnya. Skenario film semacam ini bisa mengarahkan dramatismenya ke mana saja, tapi sensitivitas tiap-tiap pemainnya benar-benar sangat meyakinkan. Terlebih dari semua itu, dan yang paling penting, masing-masing pemain sudah berhasil membuat saya peduli terhadap kelanjutan nasib tokoh mereka di film.
Di sebuah daerah (semacam pinggiran kota), di sekitar 1964, ketika UU Hak Asasi Manusia dikeluarkan (yang artinya kaum kulit hitam sudah mempunyai hak dalam pemilu di Amerika), gadis 14 tahun, Lily Owens (Dakota Fanning) hidup bersama bapaknya yang kejam (Paul Bettany). Satu-satunya teman (dan pelindungnya) hanyalah pembantu rumah tangga kulit hitam, Rosaleen (Jennifer Hudson). Suatu hari, Rosaleen dihinia oleh se-gang pria rasis. Rosaleen naik pitam, dan hasilnya malah membuat dirinya ditahan. Lily menolong Rosaleen, keduanya pun kabur menuju Tiburon, tempat yang diyakini Lily merupakan tempat yang berarti bagi almarhumah ibunya (dari sebuah label botol madu).
Keduanya sampai di tempat yang dituju, sebuah rumah yang memproduksi botol madu tersebut. Pintu diketuk. Lily dan Rosaleen diterima dengan hangat oleh kakak beradik Boatwright: August (Queen Latifah), June (Alicia Keys), dan May (Sophie Okonedo). Cerita sebenarnya pun dimulai: berkaitan dengan: pencarian fakta-fakta masa lalu, masalah yang dihadapi di masa kini, dan harapan di masa yang akan datang.
Penampilan adalah kunci utama menikmati film ini. Dakota Fanning, sang tokoh sentral, muncul denan penampilan yang lebih dewasa di sini. Saya sangat menikmati penampilannya sebagai anak-anak di film-film sebelumnya. Tapi, di sini Dakota membuktikan dia tidak hanya mampu bermain sebagai anak-anak. Dakota membuktikan, sekalipun di usia yang begitu muda, dia mampu mengolah emosi sedalam mungkin dan menyajikannya dengan sangat baik. Cara Dakota membawakan narasi awalnya saja, “I killed my mother when I was four years old, that's what I knew about myself. She was all I wanted and I took her away. Nothing else much mattered,” sudah membuktikan kualitas Dakota di sini. Penampilan Dakota selalu menjadi tantangan tersendiri untuk disimak.
Penampilan lain yang sangat menarik datang dari Sophie Okonedo, aktris yang sempat masuk nominator Oscar dalam “Hotel Rwanda,” sebagai gadis simple, sensistif, dan (terlihat jelas) terganggu. Faktanya, Sophie adalah seorang aktris Inggris, dengan logat British yang kental (terlihat juga di “Hotel Rwanda”). Tapi Sophie Okonedo memainkan aksennya sama bagusnya ketika Gwyneth Paltrow meniru logat British atau ketika Kate Winslet meniru logat Amerika. Bukan hanya perihal aksen, Sophie Okonedo pun sangat berhasil menjiwai tokoh bermasalahnya.
Penampilan dari pemain lain juga sanat membantu. June, yang dimainkan oleh Alicia Keys, berperan sebagai pembuka mata Rosaleen yang sebelumnya (mungkin) belum pernah melihat wanita kulit hitam secerdas dan sekritis June. Lalu ada Augusut, yang diperankan oleh Queen Latifah, yang hadir sebagai tokoh terbijak di tengah-tengah gadis-gadis ini. Sudah jelas kenapa Queen Latifah yang dipercayakan membawakan tokoh ini, dari garis muka dan bentuk senyumnya saja bisa dilihat she could play wise.
“The Secret Life of Bees” mungkin memang tidak membahas isu rasisme sangat dalam, tapi sebagai sebuah film dengan konflik personal, film ini jelas cukup menguggah.
Sutradara: Gina Prince-Bythewood
Pemain: Dakota Fanning, Queen Latifah, Paul Bettany, Jennifer Hudson, Alicia Keys, Sophie Okonedo, Tristan Wilds, Hilarie Burton
Tahun Rilis: 2008
“THE Secret Life of Bees” membawa isu sosial sepuar penindasan ras kulit hitam di Amerika jaman dulu. Dari kalima pembuka itu saja sudah membuat film ini seakan-akan berupa pintar soal masalah sosial yang umumnya berkualitas jempolan. Tunggu dulu, film ini tidak membahas masalah rasisme sedalam apa yang dilakukan “Crash” (2004) kok. Film ini justru menyuguhkan cerita yang lebih personal, ketimbang sosial. Sejujurnya, cerita yang disajikan justru lebih ke arah opera sabun dramatis ketimbang realisme sosial. Ingat “A Patch of Blue” (1965), film tentang hubungan antar ras seorang lelaki negro dan gadis kulit putih yang buta? Atau, yang paling baru, “The Blind Side” (2009) yang bercerita tentang sebuah keluarga kulit putih yang mengasuh seorang pemuda negro dari jalanan? “The Secret Life of Bees” juga membawa konsep serupa. Kalau “The Blind Side” menyuguhkan cerita tenang keluarga kulit putih yang menyelamatkan hidup seorang pemuda kulit hitam, “The Secret Life of Bees” malah menyuguhkan cerita tentang keluarga kulit hitam yang menolong seorang gadis kecil kulit putih. Bukan benar-benar menyelamatkan hidup lahir-batin seperti yang digambarkan dalam “The Blind Side,” lebih personal lagi, dalam “The Secret Life of Bees” kita disuguhkan seorang Dakota Fanning menemukan makna keluarga (dan makna hidup) di tengah-tengah para wanita kulit hitam.
Seperti yang saya bilang di paragraf awal, “The Secret Life of Bees” malah menyuguhkan suasana dramatis, ketimbang realis. Sentimentil, memang (dan cukup terasa). Tapi penempatannya yang pas dan sesuai malah memberikan hasil yang hangat. Film yang satu ini bukan film buruk, dan bisa dibilang contoh penempatan dan pengkadaran dramatisme yang tepat dan pas (dan tidak berlebihan layaknya film-film serupa – pernah lihat “Tanah Air Beta” atau film-filmnya Nayato?).
Ke-pas-an dramatisme itu tidak lain sangat didukung oleh penokohan tokoh-tokohnya dan penampilan pemain-pemainnya. Skenario film semacam ini bisa mengarahkan dramatismenya ke mana saja, tapi sensitivitas tiap-tiap pemainnya benar-benar sangat meyakinkan. Terlebih dari semua itu, dan yang paling penting, masing-masing pemain sudah berhasil membuat saya peduli terhadap kelanjutan nasib tokoh mereka di film.
Di sebuah daerah (semacam pinggiran kota), di sekitar 1964, ketika UU Hak Asasi Manusia dikeluarkan (yang artinya kaum kulit hitam sudah mempunyai hak dalam pemilu di Amerika), gadis 14 tahun, Lily Owens (Dakota Fanning) hidup bersama bapaknya yang kejam (Paul Bettany). Satu-satunya teman (dan pelindungnya) hanyalah pembantu rumah tangga kulit hitam, Rosaleen (Jennifer Hudson). Suatu hari, Rosaleen dihinia oleh se-gang pria rasis. Rosaleen naik pitam, dan hasilnya malah membuat dirinya ditahan. Lily menolong Rosaleen, keduanya pun kabur menuju Tiburon, tempat yang diyakini Lily merupakan tempat yang berarti bagi almarhumah ibunya (dari sebuah label botol madu).
Keduanya sampai di tempat yang dituju, sebuah rumah yang memproduksi botol madu tersebut. Pintu diketuk. Lily dan Rosaleen diterima dengan hangat oleh kakak beradik Boatwright: August (Queen Latifah), June (Alicia Keys), dan May (Sophie Okonedo). Cerita sebenarnya pun dimulai: berkaitan dengan: pencarian fakta-fakta masa lalu, masalah yang dihadapi di masa kini, dan harapan di masa yang akan datang.
Penampilan adalah kunci utama menikmati film ini. Dakota Fanning, sang tokoh sentral, muncul denan penampilan yang lebih dewasa di sini. Saya sangat menikmati penampilannya sebagai anak-anak di film-film sebelumnya. Tapi, di sini Dakota membuktikan dia tidak hanya mampu bermain sebagai anak-anak. Dakota membuktikan, sekalipun di usia yang begitu muda, dia mampu mengolah emosi sedalam mungkin dan menyajikannya dengan sangat baik. Cara Dakota membawakan narasi awalnya saja, “I killed my mother when I was four years old, that's what I knew about myself. She was all I wanted and I took her away. Nothing else much mattered,” sudah membuktikan kualitas Dakota di sini. Penampilan Dakota selalu menjadi tantangan tersendiri untuk disimak.
Penampilan lain yang sangat menarik datang dari Sophie Okonedo, aktris yang sempat masuk nominator Oscar dalam “Hotel Rwanda,” sebagai gadis simple, sensistif, dan (terlihat jelas) terganggu. Faktanya, Sophie adalah seorang aktris Inggris, dengan logat British yang kental (terlihat juga di “Hotel Rwanda”). Tapi Sophie Okonedo memainkan aksennya sama bagusnya ketika Gwyneth Paltrow meniru logat British atau ketika Kate Winslet meniru logat Amerika. Bukan hanya perihal aksen, Sophie Okonedo pun sangat berhasil menjiwai tokoh bermasalahnya.
Penampilan dari pemain lain juga sanat membantu. June, yang dimainkan oleh Alicia Keys, berperan sebagai pembuka mata Rosaleen yang sebelumnya (mungkin) belum pernah melihat wanita kulit hitam secerdas dan sekritis June. Lalu ada Augusut, yang diperankan oleh Queen Latifah, yang hadir sebagai tokoh terbijak di tengah-tengah gadis-gadis ini. Sudah jelas kenapa Queen Latifah yang dipercayakan membawakan tokoh ini, dari garis muka dan bentuk senyumnya saja bisa dilihat she could play wise.
“The Secret Life of Bees” mungkin memang tidak membahas isu rasisme sangat dalam, tapi sebagai sebuah film dengan konflik personal, film ini jelas cukup menguggah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar