Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Mikael Håfström
Pemain: John Cusack, Gong Li, Chow Yun-fat, Ken Watanabe, Jeffrey Dean Morgan, Rinko Kikuchi
Tahun Rilis: 2010
Sutradara: Mikael Håfström
Pemain: John Cusack, Gong Li, Chow Yun-fat, Ken Watanabe, Jeffrey Dean Morgan, Rinko Kikuchi
Tahun Rilis: 2010
Dulu, sekitar tahun 1930-1940-an, zaman-zaman film masih kebanyakan disajikan dalam layar hitam putih, film-film berbau noir semacam “Shanghai” meraja lela. Mungkin beberapa diantaranya yang cukup terkenal antara lain “Notorious,” “M,” atau “Double Indemnity.” Biasanya film-film semacam ini mengangkat tema-tema kriminalitas, kehidupan gangster, detektif, atau bahkan konspirasi gelap. Dewasa ini, di saat teknologi sudah tidak bisa dibendung lagi, yang kita dapatkan kebanyakan cumalah film-film dengan budget tak terhingga nominalnya yang isinya cuma banting-bantingan mobil mewah atau sekedar pamer kecanggihan CGI. Yah, kebanyakan malah tidak jelas maksud dan tujuan membanting mobil mewah selain untuk bikin ngiler penonton seperti saya semata. Untungnya “Shanghai” membawa kembali ingatan pada masa keemasaan film noir dahulu (di mana di saat itu film lebih ditanggapi serius sebagai sebuah “karya”). Ada yang ingat (atau pernah menonton) “Chinatown” besutan Roman Polanski (salah satu film neo-noir terbaik yang pernah dibuat)? Yap, “Shanghai” mengingatkan saya pada nuansa neo-noir “Chinatown.”
“Shanghai” mengusut tema kriminalitas dengan plot yang sebenarnya sudah cukup umum di Hollywood. “Shanghai” dibuka di masa Perang Dunia II sebelum Shanghai jatuh ke tangan Jepang dan ketika Jepang menyerang Shanghai (karena Jepang menyatakan perang pada Amerika setelah membom Pearl Harbour). Paul Soames (John Cussack), sang tokoh utama, seorang wartawan Amerika bermisi menyelidik kematian sahabatnya, Connor (Jeffrey Dean Morgan) di Shanghai. Penyelidikannya ini membuatnya berkenalan dengan, Anthony Lan-Ting (Chow Yun-fat), seorang pria yang punya pengaruh kuat di Shanghai, dan istrinya yang cantik jelita, Anna Lan-Ting (Gong Li). Dalam sekejap Paul mendapatkan kepercayaan dari Anthony Lan-Ting. Perkenalan Paul dengan Anna Lan-Ting ternyata tidak sebatas perkenalan semata, mereka pun terlibat affair. Dan terkuak pula ternyata Anna Lan-Ting diam-diam berkerja untuk gerakan pemberontak (pemberontakan atas kedudukan Jepang di Shanghai). Melalui Anthony Lan-Ting, Paul pun diperkenalkan dengan seorang petinggi militer Jepang, Kapten Tanaka (Ken Watanabe). Di sisi yang lain, penyelidikan Paul atas kematian sahabatnya mengarah pada seorang wanita Jepang, kekasih Connor yang ternyata juga selir Kapten Tanaka, bernama Sumiko (Rinko Kikuchi) yang sedang ditahan oleh pihak pemeberontak untuk jaminan.
Plot film ini terbilang klasik, malah klise dan tipikal film-film noir klasik yang membahas soal kriminal dan persekonkolan. Saya rasa tidak perlu saya jabarkan lebih panjang-lebar lagi tentang detail cerita “Shanghai.” Ada keraguan di plotnya, ada juga pengkhianatan, ada pembunuhan, ada romansa, ada korupsi, ada perang, ada pemberontakan, ada pertumpahan darah, ada pula pengorbanan. Yap, banyak sekali pengalaman yang disuguhkan “Shanghai,” dan kesemuanya itu bisa dibilang bukan barang baru dalam film-film nori serupa. Walaupun begitu, tema, penggambaran adegan, bahkan dari segi penampilan pemainnya pun, malah membuat saya menikmati adegan-per-adegan film ini yang sebenarnya plot-plot-nya bisa ditemui di banyak film-film noir Hollywood. Film terus berjalan, berjalan, dan berjalan. Dan saya tetap senang menikmati.
John Cusack membeirkan penampilan yang pas di sini sebagai pemain utama. Gong Li, tetap cantik dan anggun, mampu menyuguhkan aura misterius sekaligus memesona dalam karakternya. Jarang sekali kita melihat Chow Yun-Fat menunjukkan akting dalam peran-perannya, kebanyakan perannya lebih ke arah aksi. Dan ya, Chow Yun-Fat, pantas mendapatkan peran sebagai bos yang punya pengaruh di Shanghai. Cara Chow Yun-Fat membuat tokohnya berbicara benar-benar pas pada karakternya. Ken Watanabe juga sangat meyakinkan sebagai antagonis utama film. Dan terakhir datang dari Rinko Kikuchi yang memberikan penampilan menawan terutama di detik-detik terakhir film.
Kebanyakan set film ditampilkan glamor untuk menunjukkan betapa eksotisnya Shanghai saat itu. Sebagian besar sinematografinya digambarkan dalam suasana-suasana kelam-gelap untuk menegaskan unsur noirnya. Entahlah apakah film ini bisa masuk kategori summer movie atau tidak (yang pasti saya tidak lagi mengkategorikan film ini sebagai popcorn movie atau film cuma untuk hibur-hiburan semata). Ada sesuatu yang pantas untuk ditonton di film ini. Setidaknya, “Shanghai” mengingatkan bahwa plot jauh lebih berharga ketimbang adegan-adegan banting-bantingan mobil mahal yang tidak jelas juntrungannya atau adegan CGI yang overdosis. “Shanghai” termasuk film modern yang membuat saya mengingat kembali pada film-film noir klasik.
“Shanghai” mengusut tema kriminalitas dengan plot yang sebenarnya sudah cukup umum di Hollywood. “Shanghai” dibuka di masa Perang Dunia II sebelum Shanghai jatuh ke tangan Jepang dan ketika Jepang menyerang Shanghai (karena Jepang menyatakan perang pada Amerika setelah membom Pearl Harbour). Paul Soames (John Cussack), sang tokoh utama, seorang wartawan Amerika bermisi menyelidik kematian sahabatnya, Connor (Jeffrey Dean Morgan) di Shanghai. Penyelidikannya ini membuatnya berkenalan dengan, Anthony Lan-Ting (Chow Yun-fat), seorang pria yang punya pengaruh kuat di Shanghai, dan istrinya yang cantik jelita, Anna Lan-Ting (Gong Li). Dalam sekejap Paul mendapatkan kepercayaan dari Anthony Lan-Ting. Perkenalan Paul dengan Anna Lan-Ting ternyata tidak sebatas perkenalan semata, mereka pun terlibat affair. Dan terkuak pula ternyata Anna Lan-Ting diam-diam berkerja untuk gerakan pemberontak (pemberontakan atas kedudukan Jepang di Shanghai). Melalui Anthony Lan-Ting, Paul pun diperkenalkan dengan seorang petinggi militer Jepang, Kapten Tanaka (Ken Watanabe). Di sisi yang lain, penyelidikan Paul atas kematian sahabatnya mengarah pada seorang wanita Jepang, kekasih Connor yang ternyata juga selir Kapten Tanaka, bernama Sumiko (Rinko Kikuchi) yang sedang ditahan oleh pihak pemeberontak untuk jaminan.
Plot film ini terbilang klasik, malah klise dan tipikal film-film noir klasik yang membahas soal kriminal dan persekonkolan. Saya rasa tidak perlu saya jabarkan lebih panjang-lebar lagi tentang detail cerita “Shanghai.” Ada keraguan di plotnya, ada juga pengkhianatan, ada pembunuhan, ada romansa, ada korupsi, ada perang, ada pemberontakan, ada pertumpahan darah, ada pula pengorbanan. Yap, banyak sekali pengalaman yang disuguhkan “Shanghai,” dan kesemuanya itu bisa dibilang bukan barang baru dalam film-film nori serupa. Walaupun begitu, tema, penggambaran adegan, bahkan dari segi penampilan pemainnya pun, malah membuat saya menikmati adegan-per-adegan film ini yang sebenarnya plot-plot-nya bisa ditemui di banyak film-film noir Hollywood. Film terus berjalan, berjalan, dan berjalan. Dan saya tetap senang menikmati.
John Cusack membeirkan penampilan yang pas di sini sebagai pemain utama. Gong Li, tetap cantik dan anggun, mampu menyuguhkan aura misterius sekaligus memesona dalam karakternya. Jarang sekali kita melihat Chow Yun-Fat menunjukkan akting dalam peran-perannya, kebanyakan perannya lebih ke arah aksi. Dan ya, Chow Yun-Fat, pantas mendapatkan peran sebagai bos yang punya pengaruh di Shanghai. Cara Chow Yun-Fat membuat tokohnya berbicara benar-benar pas pada karakternya. Ken Watanabe juga sangat meyakinkan sebagai antagonis utama film. Dan terakhir datang dari Rinko Kikuchi yang memberikan penampilan menawan terutama di detik-detik terakhir film.
Kebanyakan set film ditampilkan glamor untuk menunjukkan betapa eksotisnya Shanghai saat itu. Sebagian besar sinematografinya digambarkan dalam suasana-suasana kelam-gelap untuk menegaskan unsur noirnya. Entahlah apakah film ini bisa masuk kategori summer movie atau tidak (yang pasti saya tidak lagi mengkategorikan film ini sebagai popcorn movie atau film cuma untuk hibur-hiburan semata). Ada sesuatu yang pantas untuk ditonton di film ini. Setidaknya, “Shanghai” mengingatkan bahwa plot jauh lebih berharga ketimbang adegan-adegan banting-bantingan mobil mahal yang tidak jelas juntrungannya atau adegan CGI yang overdosis. “Shanghai” termasuk film modern yang membuat saya mengingat kembali pada film-film noir klasik.
Thanks for reviewing this movie! I even didn't realize that this movie is exist, ha ha. I'm gonna watching this.
BalasHapus