Oleh: Rio Johan (Rijon)
Sutradara: Barbra Streisand
Pemain: Barbra Streisand, Jeff Bridges, Lauren Bacall, George Segal, Mimi Rogers, Brenda Vaccaro, Pierce Brosnan, Leslie Stefanson
Tahun Rilis: 1996
Film ini diadaptasi dari film “Le Miroir à Deux Faces” karangan André Cayatte (not a remake).
“THE Mirror Has Two Faces” lagi-lagi mengangkat isu seputar pernikahan, seks, dan seks dalam pernikahan. Jelas bukan tema yang langka. Tapi cara Barabra Streisand membawa isu klise tersebut dalam “The Mirror Has Two Faces” yang membuat film ini lumayan berarti.
Dua sejoli utama film ini adalah Rose (Barbra Streisand) dan Gregory (Jeff Bridgets). Dua-duanya adalah profesor di Universitas Colombia. Yap, kali ini kita dihadapkan pada pasangan intelek (bukan geeky yang sering digambarkan di film-film remaja, tapi intelek dalam gambaran normal). Dua-duanya, yang pasti, punya masalah soal asmara.
Gregory, seorang profesor Matematika, mengalami dilema besar antara seks dan cinta (baca: cinta murni). Di adegan awal, Gregory mendapati mantan istrinya yang cantik nan seksi hadir ketika dia menyampaikan semacam seminar Matematik. Konsentrasi Gregory pun lansung buyar. Yah, bagi saya, adegan awal ini sangat-sangat tidak meyakinkan untuk menegaskan dilema asmara Gregory.
Singkat saja, Gregory memasang iklan pencarian jodoh dengan kalimat “kategori fisik bukan lah kriteria utama” digaris bawahi. Gregory mendambakan hubungan yang murni atas dasar cinta, tanpa embel-embel jasmaniah (apalagi seks). Alhasil, iklan Gregory dijawab oleh Rose (bukan benar-benar Rose yang menjawab, tapi Claire (saudarinya Rose – diperankan oleh Mimi Rogers) yang prihatin dengan kehidupan asmaranya).
Beralih ke tokoh Rose (seorang profesor sastra), well, ternyata beliau memang pasangan yang tepat untuk kalimat “kategori fisik bukan lah kriteria utama.” Rose layaknya virgin Mary yang hidup di antara divine bitch (a.k.a Claire) dan Medusa (a.k.a ibunya – diperankan oleh salah satu aktris Hollywood dari era klasik yang masih hidup bahkan sampai saya membuat tulisan ini, Lauren Bacall). Claire, saudarinya Rose, bahkan sudah menikah lebih dari satu kali. Dan kali ini, Claire bakalan menikahi seorang pria tampan lagi (Pierce Brosnan). Kontras dengan Claire, Rose yang sudah 40-an, hanya pernah merasakan hubungan pacaran (ehmm...bukan benar-benar “asmara”) dengan seorang pemuda aneh bin ajaib.
Gregory pun menghadiri kelas sastra Rose. Gregory terkesima dengan penjelasan Rose seputar cinta-cintaan di kelasnya. Selanjutnya, mereka pun janjian makan malam. Tema obrolan mereka saat itu tidak lain adalah “pasangan bilangan prima.” Gregory lagi-lagi terpesona dengan keintelektualan Rose. So sweet isn't it?
Oh ya. Jelas sekali Gregory sangat-sangat tertarik dengan Rose. Dan Rose pun sepertinya memberikan tanggapan positif dari hubungan mereka. Lamaran pernikahan pun dilayangkan Gregory. Oits, dengan syarat pernikahan mereka bakal berupa: “Tanpa sex, tanpa ketertarikan fisik, hanya pernikahan dua pemikiran, dan saling menghargai satu sama lain.”
OMG!
Peraturan ini berjalan lancar di awal-awal, sampai akhirnya Rose sendiri mulai merasa terganggu. Rose merasa mereka terlalu sopan. Jangankan Rose, saya yang menonton saja sudah geregetan dengan tingkah suami-istri mereka yang terlalu sopan satu sama lain. Mereka bahkan tidak mau masuk kamar mandi (cuma sekedar untuk ganti baju tidur) berbarengan. Mereka tidur di ranjang terpisah. Oh, Rose yang tidak tahan lagi dengan kondisi itu menggenakan gaun malam yang seksi untuk merayu Gregory ke ranjang. Sayangnya Rose gagal, dan Gregory tetap pada pendiriannya.
Rose pun kembali ke kediaman ibunya, sang Medusa. Kurang lebih, seperti itulah premis film besutan Barbra Streisand ini.
Yang paling saya suka dari film dramedy ini adalah penekanan verbal-nya yang sangat menarik. Jarang sekali ditemukan film-film yang mengangkat tema cinta yang membawa dialog-dialog tajam tapi tetap terdengar ringan dan humoris. Sebagian besar film-film semacam ini, biasanya, lebih mengandalkan suasana ketimbang dialog (biasanya sebagian besar dialognya cuma gombal-gombalan). Pendekatan verbal yang menarik ini tidak lain memang didukung dari script-nya. Kita dihadapkan pada dua pasangan intelektual, tidak heren kalau dialog mereka pun berbobot. Tapi sisi menariknya malah datang dari tokohnya Lauren Bacall. Tokohnya bukan tokoh intelek, tapi sindiran-sindirannya selalu tidak kalah menarik dengan percakapan intelek antara Rose dan Gregory. Lauren Bacall sendiri bermain sangat superb di sini. Lauran Bacall mengingatkan kembali bahwa dahulu beliau memang pantas disebut salah satu bintang Hollywood ternama di zamannya. Ada yang ingat penampilannya di “How to Marry a Millionaire” (1953) dengan Marylin Monroe atau di “Designing Woman” (1957) dengan Gregory Peck?
Chemistry antara Barbra Streisand dan Jeff Bridges memang terasa. Tapi chemistry yang paling menarik di sini, lagi-lagi, adalah hubungan ibu-anak dari Rose dan ibunya (sang Medusa). Terasa sekali intensitas antara keduanya ketika bercakap-cakap di meja makan (seperti yang saya bilang sebelumnya, dialog di film ini bukan bualan/gombalan semata). Oh, dan lagi-lagi kredit untuk Lauren Bacall.
Sayangnya, menjelang akhir, film ini malah terarah ke sebuah klise. Rose berubah dari wanita buruk rupa menjadi wanita cantik rupawan untuk mencuri perhatian Gregory. Transformasi semacam ini sudah tidak asing lagi di film-film semacam ini (terutama di film-film romansa remaja). Setidaknya, transformasi (yang klise) di film ini tidak dibawa se-cheesy film-film serupa pada umumnya.
Secara keseluruhan, film ini termasuk film tentang pernikahan yang sangat menarik, membawa temanya ke arah yang cukup dalam mulai dari konsep dasar pernikahan sampai tentang apa yang benar-benar dibutuhkan dalam pernikahan.
Sutradara: Barbra Streisand
Pemain: Barbra Streisand, Jeff Bridges, Lauren Bacall, George Segal, Mimi Rogers, Brenda Vaccaro, Pierce Brosnan, Leslie Stefanson
Tahun Rilis: 1996
Film ini diadaptasi dari film “Le Miroir à Deux Faces” karangan André Cayatte (not a remake).
“THE Mirror Has Two Faces” lagi-lagi mengangkat isu seputar pernikahan, seks, dan seks dalam pernikahan. Jelas bukan tema yang langka. Tapi cara Barabra Streisand membawa isu klise tersebut dalam “The Mirror Has Two Faces” yang membuat film ini lumayan berarti.
Dua sejoli utama film ini adalah Rose (Barbra Streisand) dan Gregory (Jeff Bridgets). Dua-duanya adalah profesor di Universitas Colombia. Yap, kali ini kita dihadapkan pada pasangan intelek (bukan geeky yang sering digambarkan di film-film remaja, tapi intelek dalam gambaran normal). Dua-duanya, yang pasti, punya masalah soal asmara.
Gregory, seorang profesor Matematika, mengalami dilema besar antara seks dan cinta (baca: cinta murni). Di adegan awal, Gregory mendapati mantan istrinya yang cantik nan seksi hadir ketika dia menyampaikan semacam seminar Matematik. Konsentrasi Gregory pun lansung buyar. Yah, bagi saya, adegan awal ini sangat-sangat tidak meyakinkan untuk menegaskan dilema asmara Gregory.
Singkat saja, Gregory memasang iklan pencarian jodoh dengan kalimat “kategori fisik bukan lah kriteria utama” digaris bawahi. Gregory mendambakan hubungan yang murni atas dasar cinta, tanpa embel-embel jasmaniah (apalagi seks). Alhasil, iklan Gregory dijawab oleh Rose (bukan benar-benar Rose yang menjawab, tapi Claire (saudarinya Rose – diperankan oleh Mimi Rogers) yang prihatin dengan kehidupan asmaranya).
Beralih ke tokoh Rose (seorang profesor sastra), well, ternyata beliau memang pasangan yang tepat untuk kalimat “kategori fisik bukan lah kriteria utama.” Rose layaknya virgin Mary yang hidup di antara divine bitch (a.k.a Claire) dan Medusa (a.k.a ibunya – diperankan oleh salah satu aktris Hollywood dari era klasik yang masih hidup bahkan sampai saya membuat tulisan ini, Lauren Bacall). Claire, saudarinya Rose, bahkan sudah menikah lebih dari satu kali. Dan kali ini, Claire bakalan menikahi seorang pria tampan lagi (Pierce Brosnan). Kontras dengan Claire, Rose yang sudah 40-an, hanya pernah merasakan hubungan pacaran (ehmm...bukan benar-benar “asmara”) dengan seorang pemuda aneh bin ajaib.
Gregory pun menghadiri kelas sastra Rose. Gregory terkesima dengan penjelasan Rose seputar cinta-cintaan di kelasnya. Selanjutnya, mereka pun janjian makan malam. Tema obrolan mereka saat itu tidak lain adalah “pasangan bilangan prima.” Gregory lagi-lagi terpesona dengan keintelektualan Rose. So sweet isn't it?
Oh ya. Jelas sekali Gregory sangat-sangat tertarik dengan Rose. Dan Rose pun sepertinya memberikan tanggapan positif dari hubungan mereka. Lamaran pernikahan pun dilayangkan Gregory. Oits, dengan syarat pernikahan mereka bakal berupa: “Tanpa sex, tanpa ketertarikan fisik, hanya pernikahan dua pemikiran, dan saling menghargai satu sama lain.”
OMG!
Peraturan ini berjalan lancar di awal-awal, sampai akhirnya Rose sendiri mulai merasa terganggu. Rose merasa mereka terlalu sopan. Jangankan Rose, saya yang menonton saja sudah geregetan dengan tingkah suami-istri mereka yang terlalu sopan satu sama lain. Mereka bahkan tidak mau masuk kamar mandi (cuma sekedar untuk ganti baju tidur) berbarengan. Mereka tidur di ranjang terpisah. Oh, Rose yang tidak tahan lagi dengan kondisi itu menggenakan gaun malam yang seksi untuk merayu Gregory ke ranjang. Sayangnya Rose gagal, dan Gregory tetap pada pendiriannya.
Rose pun kembali ke kediaman ibunya, sang Medusa. Kurang lebih, seperti itulah premis film besutan Barbra Streisand ini.
Yang paling saya suka dari film dramedy ini adalah penekanan verbal-nya yang sangat menarik. Jarang sekali ditemukan film-film yang mengangkat tema cinta yang membawa dialog-dialog tajam tapi tetap terdengar ringan dan humoris. Sebagian besar film-film semacam ini, biasanya, lebih mengandalkan suasana ketimbang dialog (biasanya sebagian besar dialognya cuma gombal-gombalan). Pendekatan verbal yang menarik ini tidak lain memang didukung dari script-nya. Kita dihadapkan pada dua pasangan intelektual, tidak heren kalau dialog mereka pun berbobot. Tapi sisi menariknya malah datang dari tokohnya Lauren Bacall. Tokohnya bukan tokoh intelek, tapi sindiran-sindirannya selalu tidak kalah menarik dengan percakapan intelek antara Rose dan Gregory. Lauren Bacall sendiri bermain sangat superb di sini. Lauran Bacall mengingatkan kembali bahwa dahulu beliau memang pantas disebut salah satu bintang Hollywood ternama di zamannya. Ada yang ingat penampilannya di “How to Marry a Millionaire” (1953) dengan Marylin Monroe atau di “Designing Woman” (1957) dengan Gregory Peck?
Chemistry antara Barbra Streisand dan Jeff Bridges memang terasa. Tapi chemistry yang paling menarik di sini, lagi-lagi, adalah hubungan ibu-anak dari Rose dan ibunya (sang Medusa). Terasa sekali intensitas antara keduanya ketika bercakap-cakap di meja makan (seperti yang saya bilang sebelumnya, dialog di film ini bukan bualan/gombalan semata). Oh, dan lagi-lagi kredit untuk Lauren Bacall.
Sayangnya, menjelang akhir, film ini malah terarah ke sebuah klise. Rose berubah dari wanita buruk rupa menjadi wanita cantik rupawan untuk mencuri perhatian Gregory. Transformasi semacam ini sudah tidak asing lagi di film-film semacam ini (terutama di film-film romansa remaja). Setidaknya, transformasi (yang klise) di film ini tidak dibawa se-cheesy film-film serupa pada umumnya.
Secara keseluruhan, film ini termasuk film tentang pernikahan yang sangat menarik, membawa temanya ke arah yang cukup dalam mulai dari konsep dasar pernikahan sampai tentang apa yang benar-benar dibutuhkan dalam pernikahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar